Gambar: https://news.okezone.com |
Oleh Aziza Restu Febrianto
Kondisi pendidikan di daerah 3T memang selalu
menjadi topik perbincangan yang menarik oleh banyak pihak dan media massa
karena kondisinya yang memang masih jauh berbeda dari daerah lainnya di
Indonesia. Ketika menjadi seorang guru di
sebuah sekolah terpencil di pulau Flores melalui program Sarjana Mendidik di daerah
3T (SM-3T) pada tahun 2012 silam, penulis merasakan betul bagaimana kondisi dan
keterbatasan hidup yang dialami oleh masyarakat setempat termasuk para siswanya.
Penulis melihat masih begitu banyak desa bahkan kecamatan yang belum mendapatkan
akses aliran listrik, sinyal komunikasi telepon dan pastinya jaringan internet.
Keterbatasan fasilitas dan prasarana umum ini tentu saja sangat menghambat
segala aktivitas pembelajaran terutama para generasi muda di daerah tersebut. Akses
distribusi fasilitas dan perangkat penunjang pembelajaran seperti buku, alat
peraga dan komputer akhirnya juga menjadi terhambat. Kondisi ini ternyata masih
belum banyak berubah ketika penulis melakukan penelitian untuk disertasi studi
S-2nya tentang pendidikan di daerah ini pada akhir tahun 2017 yang lalu. Kemudian
ketika penulis melakukan wawancara dengan beberapa rekannya yang merupakan guru
PNS program Guru Garis Depan (GGD), kondisi itu juga masih belum begitu membaik
secara signifikan di tahun 2019 ini.
Tantangan
Geografis dan Demografis
Secara geografis dan
demografis, Indonesia merupakan salah satu negara paling besar di dunia dengan
kepulauan dan lautnya yang membentang luas dari Sabang hingga Merauke. Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia
mencapai 237 juta jiwa, dan sekarang meningkat menjadi sekitar 265 juta jiwa
(Bappenas, 2018). Jumlah ini membuat Indonesia menempati peringkat ke-4 dari
negara yang paling banyak penduduknya. Selain jumlah penduduk yang besar,
komposisi masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai macam suku dan etnis
yang memiliki keragaman budaya dan adat istiadat. Seorang peneliti Australia,
Graeme Hugo (2015), dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “The Demography of Race in Indonesia,” menyebutkan bahwa Indonesia dihuni
oleh lebih dari 300 jenis suku dengan 700 bahasa daerah yang berbeda-beda. Melihat
luasnya wilayah serta jumlah populasi yang besar dan beragam ini, tantangan terbesar
bangsa Indonesia kemudian adalah memastikan bahwa semua warga negaranya dapat
menikmati pembangunan termasuk pendidikan secara merata di seluruh wilayah kepulauan
yang terpisah-pisah di nusantara, karena memang merupakan sebuah amanah
konstitusi. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 45 menyatakan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pasal ini
kemudian dijelaskan secara lebih rinci dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003.
Fakta demografis
lainnya menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia dan perekonomiannya masih
terpusat di pulau Jawa, terbukti dengan banyaknya kota-kota besar disana. Hugo
(2015) menyebutkan bahwa persebaran penduduk Indonesia itu tidak merata, dan
lebih dari setengahnya tinggal di wilayah yang dia sebut sebagai “Inner Indonesia,” seperti Jawa, Madura
dan Bali. BPS (2010) juga menunjukkan data yang sama, yaitu sekitar 51%
penduduk di Indonesia hidup di daerah perkotaan, sedangkan 49% sisanya tersebar
di berbagai pulau, termasuk pulau-pulau kecil yang terpencil dan tertinggal. Kondisi
demografis yang tidak merata seperti ini terbukti telah membuat pemerintah
mengalami kesulitan dalam merealisasikan semua program-programnya, terutama dalam
hal pemerataan kualitas pendidikan. Beberapa lembaga internasional seperti Bank
Dunia, Australian Development Bank (ADB)
dan Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD), pada tahun 2017, melaporkan secara
khusus bahwa di bidang pendidikan, Indonesia memang sedang menghadapi tantangan
yang serius terutama dalam hal ketimpangan dan kesenjangan kualitas pendidikan
antara di daerah perkotaan dengan pedesaan.
Ketimpangan dan
kesenjangan kualitas pendidikan ini utamanya disebabkan oleh infrastruktur yang
terbatas dan jumlah distribusi tenaga pendidik yang tidak merata. Menurut Bank
Dunia (2017), rasio rata-rata guru dan siswa di perkotaan sebenarnya sudah sangat ideal, yaitu 1:17.
Namun rasio ini jauh berbeda dengan sekolah-sekolah di daerah tertinggal, yang
sebaliknya justru mengalami kekurangan guru. Para peneliti pendidikan seperti
Heyward, dkk (2017) dalam studi mereka tentang Indonesia, melaporkan bahwa
banyak sekali siswa khususnya di daerah miskin dan marginal di Indonesia diajar
oleh guru yang tidak berkualifikasi atau memiliki ijazah yang tidak sesuai
dengan mata pelajaran yang diajarkan. Informasi ini senada dengan pernyataan
ketua PGRI, Sulistyo melalui lembaga Analytical and Capacity Development
Partnership (ACDP) Indonesia (2015) bahwa jumlah guru di daerah perkotaan
mengalami surplus, sedangkan sekolah di wilayah pedesaan masih membutuhkan
sekitar 520 ribu guru. Dari informasi tersebut, bisa disimpulkan bahwa akar
ketimpangan jumlah guru ini disebabkan oleh kondisi dimana para guru terutama
yang berkualitas menumpuk di daerah perkotaan. Jika kualitas pendidikan di
daerah pedesaan terlihat begitu timpang dan memprihatinkan seperti ini, bisa
dipastikan kondisi pendidikan di daerah 3T juga lebih parah lagi.
Upaya
Pemerintah Selama Ini
Permasalahan akan
keterbatasan fasilitas dan kekurangan guru berkualitas menurut berbagai survei
dan penelitian yang ada tentu saja sangat berdampak pada tersendatnya akses dan
rendahnya mutu pendidikan di daerah terpencil khususnya 3T. Menurut berbagai
laporan baik dari pemerintah, media massa, organisasi nasional maupun internasional,
pemerintah pusat sebenarnya sudah melakukan banyak upaya dan merealisasikan
berbagai macam program strategis untuk menyeselesaikan permasalahan tersebut. Upaya
ini juga sejalan dengan janji politik Presiden Joko Widodo yang ingin membangun
negara dari pinggiran melalui visi dan misi Nawacitanya. Upaya yang pertama
tentu saja adalah optimalisasi penyerapan alokasi dana 20% dari APBN untuk
pendidikan yang sesuai dengan amanat undang-undang (Kemenkeu, 2019). Menurut Menteri
Keuangan, Sri Mulyani di berbagai media massa, dana ini sangatlah besar dan
diharapkan dapat secara signifikan meningkatkan mutu dan akses pendidikan. Dengan
dana yang besar ini, pemerintah akhirnya dapat melakukan pembiayaan, baik untuk
perbaikan infrastruktur maupun operasional pendidikan seperti Biaya Operasional
Sekolah (BOS), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan sebagainya khususnya untuk sekolah-sekolah
yang berada di wilayah 3T.
Pemerintah pusat juga telah
merealisasikan beberapa program khusus pendidikan dan pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM) di daerah 3T. Salah satunya adalah program peningkatan kualitas
tenaga pendidik yang dikenal dengan 5 (lima) program Afirmasi (Kemendikbud,
2017). Program pertama adalah SM-3T, yang bertujuan untuk mengisi kekurangan
guru di berbagai sekolah di daerah 3T dengan mengirimkan lulusan sarjana
melalui seleksi khusus sejak tahun 2011. Program SM-3T ini kemudian dilanjutkan
dengan rekrutmen CPNS khusus bernama Guru Garis Depan (GGD). Menurut Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2017), melalui skema GGD yang berjalan
sejak tahun 2015 ini, pemerintah telah mengirimkan sekitar 17.000 guru ke
daerah 3T. Beberapa program lainnya adalah Program Sertifikasi Keahlian dan
Sertifikasi Pendidik bagi Guru SMA/ SMK (Program Keahlian Ganda), Program
Pemberian Subsidi Bantuan Pendidikan Konversi GTK PAUD dan DIKMAS, dan Program
Diklat Berjenjang bagi Pendidik PAUD. Selain kelima program Afirmasi ini,
pemerintah melalui Kemenristekdikti (2018), juga telah membuka Pendidikan
Profesi Guru (PPG) berasrama yang ditujukan secara khusus bagi para lulusan
sarjana dari daerah 3T yang ingin menjadi guru.
Tidak hanya berfokus
pada perbaikan infrastruktur dan pengembangan kualitas guru, pemerintah ternyata
juga telah menyediakan beberapa bantuan khusus pendidikan kepada para putera
dan puteri daerah 3T melalui Program Indonesia Pintar (PIP), Bidikmisi,
Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), dan program beasiswa Afirmasi seperti
Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) untuk siswa sekolah menengah pertama dan
atas (Kemendikbud, 2019). Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (2017),
sejak diresmikan pada tahun 2013, program ADEM telah memberangkatkan sekitar
1.047 pelajar dari Papua ke beberapa daerah seperti Jawa dan Bali untuk
bersekolah. Sedangkan bagi para lulusan
sekolah menengah yang ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tingi
disediakan beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik), Bidikmisi dan BPI
(Kemenristekdikti, 2019). Menurut laporan Kemendikbud, sejak tahun 2013 hingga
2017 terdapat 1.693 anak di Papua khususnya yang berasal dari daerah 3T telah mengikuti
program beasiswa ADik (Kemendikbud, 2019). Saat diwawancarai oleh pihak Kemendikbud,
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberano Tengah, Provinsi Papua,
menyampaikan apresiasinya terhadap pemerintah pusat yang telah menerapkan PIP
dengan menyediakan beasiswa ADEM dan ADik khususnya untuk anak-anak Papua dan
Papua Barat (ibid, 2019).
Pekerjaan
Rumah Kita
Meskipun pemerintah pusat
sudah banyak melalukan terobosan dan merealisasikan berbagai program yang strategis,
kualitas pendidikan kita masih belum juga meningkat secara signifikan. Menteri
Keuangan, Sri Mulyani, melalui beberapa media massa, mengatakan bahwa Indonesia
masih berada di belakang negara Asia lainnya dari segi pendidikan, padahal selama
10 tahun terakhir, pemerintah telah mengeluarkan anggaran yang jauh lebih besar
dari negara lainnya, yaitu 20% dari APBN untuk pendidikan (CNBC Indonesia, 2019).
Kualitas pendidikan sebagai dampak keberhasilan program pemerintah bisa diukur
melalui beberapa acuan. Salah satunya tentu saja adalah dengan melihat Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia terkini. Menurut informasi terakhir pada tahun 2018
yang lalu, IPM Indonesia memang mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan.
BPS menyebutkan bahwa IPM Indonesia berada pada angka 71,39 sepanjang tahun
2018 atau lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu 70.81 pada tahun
2017 (BPS, 2018). Namun, meskipun IPM sedikit meningkat, sayangnya tingkat
persebarannya tidak merata. Menurut Kepala BPS melalui CNN Indonesia (2019), kondisi
pembangunan manusia di Indonesia masih ‘jomplang’ atau belum merata di semua
provinsi, kabupaten, dan kota. Provinsi dengan IPM terendah menurutnya antara
lain Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, dan
Kalimantan Barat. Faktanya, kebanyakan daerah berkategori 3T berada di Provinsi
tersebut (Bappenas, 2016).
Kondisi IPM yang tidak
merata ini tentu ada penyebabnya. Beberapa sumber terkini menunjukkan bahwa
ternyata lagi-lagi pendidikan di daerah termasuk 3T masih mengalami banyak
kendala umum dan klasik. Kendala yang pertama adalah kondisi fasilitas dan
infrastruktur yang masih terbatas serta tidak merata di masing-masing daerah. Kemendikbud
(Antaranews, 2019) mencatat bahwa
mayoritas sekolah SMA dan SMK di daerah 3T belum mempunyai laboratorium IPA.
Banyak juga ruang kelas yang rusak dan belum direnovasi. Menurut Kemendikbud,
alasan keterbatasan sarana dan prasarana tersebut memang disebabkan oleh
kondisi geografis yang sulit di beberapa wilayah dan akses transportasi juga
terbatas. Masalah yang lebih memprihatinkan lagi adalah masih banyaknya sekolah
di daerah 3T yang mengalami kekurangan guru. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, permasalahan ini lebih disebabkan oleh porsi mayoritas guru yang
memilih untuk tinggal dan bekerja di ibukota provinsi dan kabupaten. Merespon
kondisi ini, Kemendikbud bahkan telah merencanakan sebuah program rotasi guru
pegawai negeri (PNS) secara periodik, sehingga semua guru PNS harus mendapatkan
pengalaman mengajar di daerah 3T (Media Indonesia, 2019). Kendala yang terakhir
adalah kesadaran masyarakat 3T akan pentingnya pendidikan masih rendah. Masalah
ini disampaikan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Supriano di
Markas besar TNI-AD bulan Maret yang lalu. Sebagus apapun program pendidikan
yang dicanangkan, jika tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, maka
hasilnya akan sia-sia (Antaranews, 2019). Penulis, dalam penelitian
disertasinya juga menemukan bahwa banyak diantara masyarakat di wilayah 3T yang
ternyata memang tidak terlalu peduli dengan pendidikan. Bahkan, karena alasan
tradisi, tokoh dan pemangku adat pun cenderung mempersulit pembangunan sarana
dan prasarana umum yang mendukung peningkatan pendidikan di daerahnya.
Semua kendala
pendidikan yang terjadi di daerah 3T ini
tentu saja menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana hasil dan dampak dari
upaya pemerintah selama ini. Alokasi dana yang besar telah dikucurkan dan
berbagai macam program khusus untuk pendidikan daerah 3T juga telah direalisasikan.
Namun, perubahan yang diharapkan masih tidak begitu signifikan dan tidak heran
jika Menteri Keuangan sering mempertanyakan kondisi ironis ini. Kita harus
mengakui bahwa pemerintah pusat memang telah bekerja secara maksimal dalam
memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan di daerah 3T melalui semua program
yang sudah ada. Namun, jika masalah yang dihadapi ternyata tetap sama, berarti
semua program itu memang belum memberikan dampak yang pasti. Kondisi ini
menunjukkan secara jelas bahwa pokok permasalahan itu berada pada bagaimana
semua program yang ada dieksekusi dan ditindaklanjuti. Dalam konteks ini, pihak
yang paling bertanggungjawab akan hal ini tentu saja adalah Pemerintah daerah
(Pemda). Jika dilihat dari perannya dalam aturan otonomi daerah, porsi tugas
dan wewenang pemda dalam mengelola pembangunan di daerahnya itu sebenarnya jauh
lebih besar dibandingkan Pemerintah pusat. Semua wewenang dan tanggungjawab
Pemda ini diatur oleh undang-undang yang sah seperti UU Nomor 23 tahun 2014
tentang pemerintah daerah dan UU Nomor
20 tahun 2003 yang secara khusus mengamanatkan alokasi 20% dana pendidikan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kewenangan dalam mengelola
sekolah dasar dan menengah juga sepenuhnya diberikan kepada pemda.
Benang kusut
permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya di daerah 3T ini tentu saja
harus segera dicarikan solusi. Ada beberapa tahapan yang bisa dilakukan oleh pemerintah
agar dapat menemukan terobosan yang solutif. Meskipun akar permasalahan
terbukti berasal dari daerah atau pemda sebagai penanggung jawab, tapi
pemerintah pusat masih memiliki wewenang koordinasi dalam menanganinya. Yang
pertama adalah mengevaluasi semua agenda implementasi dan penyerapan dana
pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah yang selama ini belum pernah
dilakukan secara terbuka. Ketika semua agenda dan program dievaluasi, maka
permasalahan akan teruraikan dan terpetakan. Hasil pemetaan masalah ini bisa
dijadikan sebagai bahan untuk menyusun sebuah blueprint atau kerangka kerja yang sesuai dengan kebutuhan
masing-masing daerah, sehingga para pemimpin di daerah bisa menentukan
kebijakan yang akurat, efektif dan tepat sasaran. Setelah kerangka kerja
dibuat, tentu saja koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus secara
terus menerus diperkuat. Penyerapan dana
dan pelaksanaan semua program pendidikan baik yang datang dari pusat maupun
daerah harus selalu diawasi, sehingga prosesnya menjadi optimal dan bersih dari
segala kecurangan. Informasi dan pelaporan semua program hendaknya juga
dilakukan secara transparan karena masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan
akses terhadap hasil dari semua kebijakan yang ada. Masyarakat juga berhak
memberikan kritik dan saran secara terbuka. Untuk mendukung program pengawasan
ini, penggunaan sistem teknologi informasi dan e-government memang mutlak dioptimalkan, dan infrastruktur
pendukungnya juga harus segera diperbaiki. Namun, pemerintah juga harus selalu
berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran mereka
terhadap kemajuan pendidikan di daerahnya. Upaya ini bisa dilakukan dengan
pendekatan adat, tradisi dan budaya setempat oleh Pemda. Masyarakat yang apatis
tentu tidak akan mampu dan mau memberikan kritik dan masukan untuk pendidikan
yang lebih baik.
Bahan
Bacaan
ACDP
Indonesia. (2015). Teacher Shortage in Indonesia/ Kekurangan Guru di Indonesia. Diakses
pada 2 September 2019, dari http://www.acdpindonesia.org/en/indonesia-
facing-shortage-of-520-thousand-teachers/
Antaranews. (2019). Kemendikbud:
Kesadaran Pendidikan di 3T Masih Rendah. Diakses pada 12 September 2019,
dari https://m.antaranews.com/berita/808685/kemendikbud-kesadaran-pendidikan-di-daerah-3t-masih-rendah
Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas). (2016). Laporan
Akhir Koordinasi Program Pembangunan Daerah Tertinggal. Diakses pada 15
September 2019., dari http://kawasan.bappenas.go.id/images/data/Produk/PemantauanEvaluasi/2016/Laporan_Akhir_2016_1.pdf .
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2018). Sensus Penduduk Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2019, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/18/2018-jumlah-penduduk-indonesia-mencapai-265-juta-jiwa
Badan
Pusat Statistik (BPS). (2010). Sensus Penduduk Indonesia. Diakses pada
28 Agustus 2019, dari http://sp2010.bps.go.id/
Badan
Pusat Statistik (BPS). (2018). Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Meningkat. Diakses pada 12 September
2019, dari https://setkab.go.id/en/national-statistics-agency-indonesias-human-development-index-increases-to-71-39-in-2018/
Bank Dunia. (2017). “Pupil-Teacher Ratio in Secondary Education
(Headcount Basis).” UNESCO Institute for Statistics. [Dataset]. Diakses
pada 1 September 2019, dari http://data.worldbank.org/indicator/SE.SEC.ENRL.TC.ZS
Beasiswa ADEM. (2019). 1693 Anak Papua Mendapatkan Beasiswa ADEM. Diakses
pada 8 September 2019, dari http://pklk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/1693-anak-papua-mendapatkan-beasiswa-adem/
Beasiswa ADiK. (2019). Program Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi
Tahun 2019. Diakses pada 8 September 2019, dari https://belmawa.ristekdikti.go.id/2019/04/12/program-beasiswa-afirmasi-pendidikan-tinggi-adik-tahun-2019/
CNBC Indonesia. (2019). Dana Pendidikan 20%, Output Kalah Bersaing.
Diakses pada 12 September 2019, dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20190801230921-4-89264/dana-pendidikan-20-apbn-kualitas-output-kok-kalah-bersaing/2
CNN Indonesia. (2018). Indeks Pembangunan Manusia Naik, Tapi Masih
Jomplang. Diakses pada 12 September 2019, dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190415140212-532-386501/indeks-pembangunan-manusia-2018-naik-tapi-masih-jomplang
Heyward, M., Hadiwijaya, A.,
Mahargianto, E., & Priyono, M. (2017). Reforming teacher deployment in
Indonesia. Journal Of Development Effectiveness,9(2), 245-262.
DOI:10.1080/19439342.2017.1301978
Hugo, G. (2015). Demography of
Race and Etnicity in Indonesia. R. Sáenz et al. (eds.). (2015). The
International Handbook of the Demography of Race 259 and Ethnicity,
International Handbooks of Population 4, 259 – 279. DOI
10.1007/978-90-481-8891-8_13
Kementerian Keuangan. (2019). “Anggaran Pendidikan APBN 2019.” Diakses
pada 8 September 2019, dari http://visual.kemenkeu.go.id/anggaran-pendidikan-apbn-2019/
Media Indonesia. (2019). Rotasi Guru. Diakses pada 12 September
2019, dari https://m.mediaindonesia.com/read/detail/240687-setiap-guru-wajib-mengajar-di-daerah-3t
OECD/Asian Development Bank
(2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge, OECD
Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en
Pendidikan Profesi Guru di Daerah
3T. (2018). Meningkatkan Kualitas Guru di
Daerah 3T Melalui PPG3T. Diakses pada 8 September 2019, dari https://belmawa.ristekdikti.go.id/2018/08/24/meningkatkan-kualitas-guru-di-daerah-terpencil-melalui-program-pendidikan-profesi-guru-daerah-tertinggal-terdepan-dan-terluar-3t/
Program Afirmasi Kemendikbud.
(2017). Kemendikbud Siapkan Lima Program
Afirmasi. Diakses pada 8 September 2019, dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/11/kemendikbud-siapkan-lima-program-afirmasi-untuk-pemenuhan-guru-di-daerah
Kementerian Luar Negeri. (2014). Undang-undang Otonomi Daerah. Diakses
pada 12 September 2019, dari https://pih.kemlu.go.id/files/UU0232014.pdf
Catatan: Artikel ini pernah diikutkan dalam lomba Esai Nasional pada tahun ini yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi sosial bernama Open Access Indonesia