Tampilkan postingan dengan label Reflections. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Reflections. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Juli 2025

From Zero to Hero: Suka Duka Menjadi Dosen di Kampus Baru

Video untuk Serdos Gelombang 1 Tahun 2025

From Zero to Hero: Suka Duka Menjadi Dosen di Kampus Baru

Aziza Restu Febrianto

Kampus baru tentu punya semangat besar untuk berkembang, tapi pastinya juga dibarengi berbagai tantangan unik yang tidak selalu dirasakan oleh dosen di institusi yang sudah mapan. Berikut ini adalah suka dan duka yang saya alami sebagai dosen di Universitas Nasional Karangturi, sebuah kampus baru di Semarang yang masih berusia 8 tahun. Pengalaman saya ini mungkin juga dirasakan oleh rekan-rekan akademisi lain yang memilih (atau terpilih) untuk ikut membangun institusi dari nol.

Sisi Manis: Kesempatan Emas yang Tidak Datang Dua Kali

1. Status Dosen Tetap yang Didapat Lebih Cepat

Berbeda dengan kampus besar yang proses seleksinya panjang dan sangat kompetitif, kampus baru cenderung membuka peluang lebih cepat untuk para dosen yang baru memulai karirnya. Saya bersyukur bisa mendapat status resmi sebagai dosen tetap hanya dalam hitungan bulan sejak bergabung. Ini memberi kepastian karier sekaligus menjadi bekal untuk mengurus jenjang jabatan berikutnya.

2. Menjadi Bagian dari Sejarah

Ada kebanggaan tersendiri ketika melihat nama kita tercantum dalam dokumen awal pendirian kampus. Kita bukan sekadar bekerja, tapi ikut meletakkan fondasi sejarah. Setiap rapat pertama, setiap dokumen awal, dan bahkan setiap ruangan yang kita tata bersama, kelak akan menjadi cerita yang layak dikenang.

3. Kesempatan Berkarya di Luar Akademik

Karena SDM masih terbatas, peran dosen di kampus baru sering kali melebar ke berbagai bidang. Saya pernah ikut menyusun pedoman akademik, merancang pelatihan untuk tendik, bahkan diminta jadi pembawa acara saat wisuda pertama. Semua ini memperluas pengalaman dan membentuk keterampilan yang tidak hanya terbatas di ruang kelas.

4. Jabatan Fungsional Bisa Diurus Sejak Dini

Tuntutan akreditasi mendorong para dosen untuk aktif dalam Tri Dharma sejak awal. Kampus pun memberi dukungan dalam bentuk insentif, bimbingan, dan fasilitas administratif agar dosen bisa segera mengurus jabatan fungsionalnya. Saya pribadi merasa terbantu karena banyak kesempatan meneliti dan mengabdi yang bisa langsung dikerjakan.

5. Mahasiswa Masih Sedikit, Proses Mengajar Lebih Personal

Kelas-kelas dengan jumlah mahasiswa yang masih kecil membuat suasana lebih akrab. Saya bisa mengenal karakter mereka satu per satu, memberi umpan balik yang lebih mendalam, dan membimbing mereka secara lebih intensif. Hal ini menurut saya memberi kualitas pembelajaran yang lebih baik di tahap awal.

 

Sisi Menantang: Membangun Kampus Itu Tidak Mudah

1. Bekerja di Luar Tupoksi Itu Biasa

Sebagai dosen, tupoksi kita sebenarnya adalah menjalankan Tri Dharma: mengajar, meneliti, dan mengabdi. Tapi di kampus baru, pekerjaan administratif datang silih berganti, mulai dari menyusun statuta, rencana strategis, SOP, hingga menyiapkan borang akreditasi. Waktu untuk mengajar dan meneliti sering tergerus oleh tuntutan administratif ini.

2. Sistem Belum Mapan, Semua Harus Serba Fleksibel

Bayangkan bekerja tanpa SOP, atau dengan sistem informasi akademik yang belum sepenuhnya berjalan. Banyak hal harus dilakukan manual. Komunikasi pun sering dilakukan melalui jalur informal karena struktur organisasi belum tertata rapi. Ketahanan mental dan fleksibilitas menjadi kunci agar tetap waras di tengah situasi yang cair ini.

3. SDM Terbatas, Beban Menumpuk

Jumlah mahasiswa yang masih sedikit tentu berdampak pada pendapatan institusi. Akibatnya, kampus belum mampu merekrut banyak dosen atau karyawan. Akhirnya, banyak tugas—khususnya yang berkaitan dengan administrasi dan akreditasi—dibebankan pada segelintir orang saja. Lembur, multitasking, bahkan rangkap jabatan menjadi hal biasa.

4. Fasilitas Masih Sangat Terbatas

Perpustakaan yang belum lengkap, laboratorium yang belum tersedia, hingga ruang dosen yang harus berbagi. Semua ini adalah bagian dari kenyataan di kampus yang sedang tumbuh. Kami sering harus berkreasi untuk mengatasi keterbatasan ini, misalnya dengan mengandalkan sumber digital atau bekerja kolaboratif dalam satu ruangan kecil.

Mengukir Jejak di Tempat yang Masih Kosong

Menjadi dosen di kampus baru ibarat menanam pohon di tanah kosong. Butuh tenaga, kesabaran, dan waktu. Tapi saya percaya, pohon ini suatu hari akan tumbuh besar dan rindang, memberi manfaat bagi banyak orang. Di tengah lelahnya mengerjakan borang, di sela rapat yang kadang tidak jelas arah, saya tetap berusaha mengingat alasan saya memilih jalan ini: ingin berkontribusi untuk pendidikan. Dan kelak, ketika kampus ini telah dikenal luas, mahasiswanya ribuan, dan bangunannya megah, saya bisa berkata pada diri sendiri, “Saya ada di sana sejak awal. Saya ikut menanam benihnya.”

Apakah Anda juga seorang dosen yang sedang membangun dari nol? Atau pernah merasakan dinamika serupa?

Rabu, 04 Juni 2025

Mencari Kebenaran dalam Ketidakpastian: Sebuah Perjalanan Spiritual

 

Mencari Kebenaran dalam Ketidakpastian: Sebuah Perjalanan Spiritual

*Aziza Restu Febrianto


Sejak saya lahir dan tumbuh menjadi remaja, saya hidup dalam lingkungan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Islam bukan hanya agama yang saya anut, tapi juga identitas yang membentuk cara pandang saya terhadap dunia. Saat itu saya cukup rajin beribadah, baik wajib seperti sholat 5 waktu dan puasa Ramadhan maupun sunnah lainnya seperti sholat sebelum dan setelah sholat wajib 5 waktu, sholat dhuha, dan sholat malam. Saya juga sering menangis ketika sedang membaca Al-Qur’an dan terjemahannya. Selain itu, saya juga aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, dari remaja masjid, forum kajian Islam, hingga berbagai kegiatan dakwah. Keikutsertaan saya bukan sekadar formalitas. Saya benar-benar percaya bahwa pertolongan Allah akan selalu menyertai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.

Saya mungkin bisa menyimpulkan bahwa motivasi saya kala itu berpijak pada dua hal, yaitu harapan akan keselamatan di dunia dan di akhirat, serta ketakutan akan azab di hari pembalasan. Keduanya menjadi pondasi yang kuat bagi keyakinan saya bahwa Islam adalah satu-satunya jalan yang benar. Saat memasuki dunia perkuliahan, semangat itu tidak luntur, tetapi justru semakin menguat. Saya terlibat sangat aktif dalam organisasi kerohanian Islam (ROHIS), berdakwah ke berbagai jurusan dan fakultas, dan pada akhirnya dipercaya menjadi ketua organisasi dakwah di kampus. Saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari perjuangan dakwah yang saya anggap mulia.

Namun, seiring perjalanan waktu, ada kegelisahan yang tumbuh diam-diam dalam benak saya. Fase ini saya rasakan setelah beberapa tahun pasca saya lulus kuliah S-1, tepatnya tahun 2013. Saat itu saya sudah memiliki pengalaman kerja dan berinteraksi dengan berbagai macam orang dengan latar belakang berbeda - tidak hanya mereka yang berasal dari Jawa, tetapi juga luar jawa dan bahkan luar negeri. Seluruh pengalaman hidup, perjumpaan dengan beragam cara berpikir, serta kebiasaan saya membaca dan berpikir kritis mulai menggoyahkan fondasi keyakinan yang selama ini saya anggap kokoh. Tentunya itu semua didukung oleh keterbukaan akses informasi tanpa batas melalui internet dan media sosial. Saya mulai mempertanyakan hal-hal yang dulu saya terima begitu saja, khususnya tentang konsep Tuhan, keadilan ilahi, penderitaan manusia, ketidakpastian dalam hidup, fenomena fenomena yang random dan tak terprediksi, serta kebenaran absolut yang diusung masing-masing agama di dunia.

Bagi saya, semua pertanyaan itu tidak bisa saya jawab hanya dengan ayat atau hadis. Saya pada akhirnya merasakan adanya ruang hampa antara keimanan dan realitas. Saya kemudian mencoba berdialog, membaca lagi, mencari jawaban yang lebih masuk akal. Namun semakin saya mencari, semakin saya sadar bahwa banyak dari keyakinan keagamaan saya dahulu ternyata dibentuk bukan oleh pengetahuan empiris, melainkan oleh doktrin yang telah lama diterima begitu saja. Pandangan ini mengingatkan saya pada pemikiran Carl Sagan dalam The Demon-Haunted World (1997), yang menyatakan bahwa manusia harus mampu memilah kepercayaan dari kenyataan menggunakan cahaya sains dan skeptisisme. Sagan menekankan pentingnya berpikir kritis untuk membebaskan diri dari "dunia yang dihantui oleh setan"—sebuah metafora untuk kepercayaan buta tanpa dasar rasional. Akan tetapi, saya juga tidak ingin mengingkari masa lalu saya, karena pengalaman itu adalah bagian dari proses pembentukan diri saya. Saya juga tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa keyakinan saya perlahan mulai luntur, bukan karena pengaruh buruk, melainkan karena dorongan untuk berpikir jujur dan terbuka.

Saya tidak beralih menjadi ateis. Menjadi ateis, menurut saya, juga menuntut pembuktian yang belum bisa saya terima sepenuhnya. Hingga saat ini, saya juga belum menemukan argumen kuat yang dapat membuktikan bahwa Tuhan benar-benar tidak ada. Karena itu, saya mengambil posisi tengah, mungkin ini yang dimaksud dengan Agnostisme. Sebuah sikap intelektual yang mengakui bahwa saat ini, saya belum bisa memastikan apakah Tuhan itu benar-benar ada atau tidak. Seperti halnya yang dikatakan Huxley (1825-1895), dibahas oleh Harvey (2013), agnostisme adalah sikap epistemologis yang menekankan bahwa manusia tidak boleh mengklaim mengetahui sesuatu, terutama dalam hal metafisika seperti keberadaan Tuhan, jika tidak ada dasar rasional dan empiris yang kuat. Dalam hal ini, saya menerima ketidakpastian itu sebagai bagian dari proses pencarian yang terus berjalan. Sikap ini sangat selaras dengan yang dijelaskan William James dalam esainya The Will to Believe (1896), di mana ia menegaskan bahwa dalam kondisi di mana bukti empiris tidak memadai, seseorang tetap sah untuk mengambil keputusan atas dasar kebutuhan emosional dan eksistensial. Bagi James, keyakinan bisa bersifat sah meskipun tanpa bukti absolut, asalkan ia memiliki nilai eksistensial dalam hidup seseorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Agnostisme adalah pandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui (Setiawan, 2024)

Bagi saya, Agnostisme bukanlah bentuk keputusasaan, melainkan keberanian untuk mengakui keterbatasan manusia dalam memahami hal-hal metafisik. Ini bukan bentuk pemberontakan terhadap agama, melainkan sebuah usaha untuk terus mencari kebenaran tanpa dibatasi oleh doktrin yang sudah jadi. Pandangan ini juga sejalan dengan argumen Bertrand Russell dalam kuliah terkenalnya berjudul Why I Am Not a Christian (1927), yang menekankan bahwa kepercayaan religius sering kali dibangun bukan atas dasar bukti rasional, tetapi atas dasar dogma, kebiasaan budaya dan tekanan sosial. Russell tidak hanya mengkritisi dogma Kristen, tetapi juga menantang semua bentuk kepercayaan yang menolak untuk diuji dengan nalar. Namun, dengan memiliki pandangan Agnotisme, bukan berarti saya jauh dari jiwa spiritual. Saya tetap terbuka terhadap pengalaman spiritual, tetap menghargai ajaran agama, dan tidak menutup kemungkinan untuk berubah jika kelak saya menemukan jawaban yang meyakinkan. Dalam buku The Future of God (1995), Karen Armstrong menekankan bahwa spiritualitas bukanlah perkara iman dogmatis, tetapi bagaimana manusia merespon rasa kagum dan misteri kehidupan. Bagi Armstrong, bahkan keraguan bisa menjadi bagian dari perjalanan spiritual yang otentik. Dalam konteks saya, keraguan bukanlah musuh, tapi justru penanda bahwa saya terus hidup dan berpikir. Pilihan ini tentu tidak mudah. Dalam masyarakat yang masih menilai keyakinan sebagai identitas mutlak, menjadi agnostik sering dianggap sebagai penyimpangan. Tapi bagi saya, kejujuran terhadap diri sendiri lebih penting daripada kenyamanan dalam keyakinan yang tidak lagi saya yakini. Saya percaya bahwa mencari kebenaran adalah proses panjang, dan setiap orang punya jalannya masing-masing. 

Pencarian kebenaran versi saya tidak berhenti pada tataran intelektual saja. Kehidupan nyata saya justru memperumit dinamika batin ini. Saya sudah berkeluarga: memiliki seorang istri dan anak yang saya cintai. Istri saya dibesarkan dalam lingkungan Islam yang taat. Anak saya yang kini berusia tujuh tahun juga tumbuh di lingkungan masyarakat yang mayoritas memeluk Islam secara kultural dan spiritual. Disini lah dilema itu sering muncul. Di satu sisi, saya merasa "harus" menjalani berbagai ritual keagamaan yang telah saya warisi sejak lahir. Saya sholat, saya puasa, saya mengajarkan anak saya surat-surat dalam Al-Qur'an dan doa-doa yang dulu juga saya hafal sejak kecil. Tapi di sisi lain, saya menyadari bahwa batin saya tidak lagi berada di frekuensi yang sama. Banyak ajaran dan praktik yang saya jalani terasa tidak lagi sejalan dengan hati nurani dan spiritualitas saya yang sekarang. Saya tidak merasa tenang, tapi juga tidak bisa lepas begitu saja. Rasanya seperti terus mengenakan baju yang sudah sempit, tetapi tetap harus dipakai karena orang-orang di sekitar saya menganggapnya pantas.

Saya juga sadar bahwa anak saya belum cukup umur dan jelas belum mampu berpikir sejauh saya. Maka saya pun memilih untuk tetap menyesuaikan diri, mengajarkannya nilai-nilai Islam sebagaimana mestinya. Saya tidak ingin dia merasa terasing atau bahkan dijauhi dari lingkungan sosialnya hanya karena pandangan ayahnya. Saya ingin dia tumbuh dengan rasa aman dan diterima. Dalam banyak hal, saya merasa perlu "bermain peran", menjadi seseorang yang bisa diterima oleh keluarga dan masyarakat, meskipun peran itu terasa asing dalam hati saya sendiri. Hidup ini, pada akhirnya, memang seperti lagu “Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan oleh almarhumah Nike Ardila. Kita mengenakan topeng, memainkan peran, dan menyampaikan dialog yang kadang tidak datang dari suara hati kita sendiri. Dalam kasus saya, saya memainkan peran sebagai Muslim yang taat di hadapan orang lain, sementara batin saya masih terus bergulat dalam ketidakpastian.

Namun saya tidak ingin terus larut dalam konflik batin ini. Sekarang saya sudah berusia 39 tahun, atau berarti mendekati 40 tahun, yang kata orang merupakan usia penentu arah hidup—masa dimana seseorang mulai menoleh ke belakang untuk menilai apa yang telah dijalani, sekaligus menatap ke depan dengan lebih realistis dan apa adanya. Saat ini, saya hanya ingin berdamai dengan diri saya sendiri. Saya mulai menerima bahwa takdir lahiriah saya adalah sebagai seseorang yang terlahir dan tumbuh dalam tradisi Islam. Saya tidak ingin terus-menerus terbebani oleh pertanyaan besar yang kadang tak kunjung mendapat jawaban. Ada saatnya saya harus berhenti bertanya, bukan karena menyerah, tetapi karena ingin merawat kewarasan. Saya mungkin saat ini mulai melihat praktik-praktik agama secara lebih fungsional. Misalnya, saya menganggap sholat sebagai bentuk meditasi, walaupun saya tidak lagi menghayatinya sebagai bentuk komunikasi vertikal sebagaimana diajarkan Islam. Saya tetap berpuasa, selain karena itu adalah ekspektasi sosial terhadap saya sebagai seorang Muslim, juga karena saya merasakan manfaat kesehatannya. Saya tidak lagi menjalani ritual karena rasa takut atau keyakinan absolut, melainkan sebagai bentuk adaptasi dan rekonsiliasi diri terhadap kenyataan hidup yang saya jalani.

Refleksi ini mungkin akan dianggap aneh, atau bahkan menyimpang, oleh sebagian orang. Tapi saya percaya bahwa setiap manusia punya jalan spiritual masing-masing. Saya tidak memaksa orang lain memahami posisi saya, sebagaimana saya juga tidak ingin memaksakan apa pun kepada mereka. Saya hanya ingin hidup sebagai manusia yang jujur terhadap batinnya sendiri—meskipun untuk itu saya harus terus berakting dalam dunia yang penuh ekspektasi dan tuntutan peran. Dan mungkin, itulah cara saya menemukan kedamaian.

Banyak sekali sebenarnya yang ingin saya keluarkan dari isi kepala dan batin saya ini. Tetapi jika saya melakukannya, mungkin akan membutuhkan ribuan halaman di blog ini. Dan pastinya itu akan sangat membosankan untuk dibaca. Sehingga cukup saya tulis dalam refleksi singkat ini saja. Yang penting adalah substansi isinya...hehe.

Referensi

Armstrong, K. (1995). The future of god. Sounds True Audio.

Harvey, V. A. (2013). Huxley’s agnosticism. Philosophy Now: a magazine of ideas. https://philosophynow.org/issues/99/Huxleys_Agnosticism

James, William (1896). The Will to Believe And Other Essays in Popular Philosophy. Longman's.

Russell, B. (1927). Why I am not a Christian by Bertrand Russell - the bertrand russell society. https://users.drew.edu/~jlenz/whynot.html

Sagan, C. (1997). The demon-haunted world: Science as a candle in the dark. Headline.

Setiawan, E. (2024). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti kata agnostisisme - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. https://kbbi.web.id/agnostisisme

Sabtu, 09 November 2024

Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

 

image generated by perchance.org

Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

*Aziza Restu Febrianto

Tulisan ini merupakan sebuah hasil renungan dan refleksi selama 3 tahun terakhir sejak pertama kalinya saya menggunakan ChatGPT sebagai platform kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) paling populer pertama di Indonesia. Ternyata pasca kepopuleran ChatGPT, berbagai macam platform serupa bermunculan, dan bahkan lebih beraneka ragam dengan variasi tujuan dan kegunaannya. AI saat ini juga tidak hanya bisa digunakan untuk menciptakan tulisan, tetapi juga gambar, animasi, video, suara, dan musik beserta liriknya (multimodal). Dan tentunya teknologi ini tidak akan berhenti sampai disini karena akan terus berkembang dan memasuki spektrum yang baru secara terus menerus seperti yang sudah terjadi selama ini. Sungguh luar biasa. Namun, perkembangan AI tidak luput dari dilema pro kontra. Faktanya banyak pihak resah mengingat dampak yang disebabkan oleh AI yang telah merambah hampir semua sektor kehidupan, termasuk dunia industri dan pendidikan. Di sektor usaha dan industri tertentu, AI telah banyak menggantikan posisi karyawan manusia. Misalnya di industri kreativititas seni seperti desain komunikasi visual dan musik, tenaga manusia sudah tergantikan oleh AI, yang bahkan bisa bekerja secara lebih menarik, efektif dan efisien.

Sektor pendidikan juga mengalami kondisi yang tidak kalah meresahkan. Bagaimana tidak? Banyak siswa telah memanfaatkan AI untuk membuat tugas sekolah mereka (Cheating). Di satu sisi, AI sangat membantu mereka mempelajari banyak hal dengan cara instan dan cepat, tetapi di sisi lainnya, AI juga membuat mereka mengalami ketergantungan, dan proses pembelajaran menjadi terganggu. Jika dulu orang mengandalkan mesin pencari informasi (seperti Google), saat ini mereka cukup menggunakan AI yang dapat memberikan  informasi secara direct atau spontan dengan bertanya langsung kepada AI. Jawabannya pun sudah sangat sesuai dengan yang diharapkan – mostly accurate. Memang jawaban dari AI itu tidak 100% akurat, tetapi hampir semuanya akurat, khususnya terkait hal-hal yang umum. Ketika saya menjadi salah satu narasumber di sebuah acara rutin MGMP Jawa Tengah, hampir semua peserta yang merupakan guru sekolah, sudah sangat familiar dengan AI. Yang mereka pikirkan tentang alat itupun juga sama, yaitu AI memiliki 2 mata pisau: sangat membantu pembelajaran, tetapi juga mengancam pembelajaran. Dilema ini ternyata juga dirasakan oleh para dosen dan peneliti di bidang pendidikan. Pada 7-8 November lalu, saya dan rekan saya mengikuti sebuah konferensi internasional pada bidang English Language Teaching (ELT) atau pengajaran bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Salah satu pembicara utama (Keynote Speaker), Prof. Paul Kei Matsuda menekankan bahwa “Jangan anggap AI sebagai sebuah ancaman dan musuh, tetapi bertemanlah dengannya. Itu adalah (compliment) atau pelengkap hidup kita.”

Meskipun demikian, masih banyak guru dan dosen yang masih mengkhawatirkan penggunaan AI karena berbagai macam isu yang diawal saya sebutkan. Menurut saya, kekhawatiran itu normal karena mereka, sebagai pendidik, harus memikirkan strategi mengajar yang tentu harus berbeda dengan yang selama ini mereka terapkan. Mereka harus terus belajar banyak hal baru. Tanpa henti..iya..belajar tanpa henti, karena teknologi akan selalu berkembang dengan sangat pesat. Jika para pendidik tidak terus belajar sebagai Lifelong Learners, maka pasti akan tertinggal dan terlindas oleh perubahan, dan cara mengajarnyapun tidak akan mudah diterima oleh peserta didiknya. Mungkin ini adalah konsekuensi sekaligus hikmah dari perkembangan teknologi itu sendiri. Mungkin pembelajaran bahasa sudah bergeser dengan sangat signifikan: jika dulu siswa diajarkan mengenai Grammar dan bagaimana menyusun kalimat, paragraf, dan esai secara mendalam, saat ini pembelajaran akan berfokus pada peningkatan literacy, critical thinking dan problem solving melalui keterampilan komunikasi bahasa. Prof. Paul Kei Matsuda juga menyampaikan bahwa jika pembelajaran itu berfokus pada komunikasi, khususnya komunikasi lisan, maka pengetahuan Grammar tidak perlu perfect atau sempurna. Sehingga semua akan kembali pada substansi dan esensi belajar bahasa itu sendiri, yaitu bahasa hanyalah alat untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan dunia, berkomunikasi dengan dunia, dan turut serta dalam mencari solusi permasalahan dunia melalui keterampilan komunikasi. Saya kira konteks pembelajaran bahasa ini juga tidak jauh berbeda dengan ruang lingkup bidang ilmu lainnya. Pandangan ini juga pernah saya sampaikan di sebuah Podcast pada Channel YouTube resmi Universitas Nasional Karangturi, yang bisa ditonton disini ->  Menjadi Pengajar di Zaman AI

Teknologi AI faktanya juga memungkinkan pendidik untuk bisa mengidentifikasi dan mengklasifikasi karakteristik peserta didik mereka. Dengan begitu, pendidik bisa mengetahui bagaimana cara mendidik dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan konteks kebutuhan mereka. Masifnya penggunaan AI ini juga membuat para pendidik tahu manakah peserta didik yang serius dalam belajar dan tidak bergairah dalam belajar. Mereka yang tidak serius belajar akan selalu mengandalkan AI dalam mengerjakan semua tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Sedangkan mereka yang serius akan memanfaatkan AI sebagai alat untuk mengakselerasi pengetahuan dan keterampilan mereka. Perbedaan kedua jenis peserta didik ini dapat dilihat dari 2 (dua) aspek dalam diri mereka, yaitu Orientasi hidup (Self-orientation) dan Rasa penasaran (Curiosity). Peserta didik yang baik pasti secara kuat memiliki kedua aspek ini dalam hidupnya, sehingga dia secara otomatis tidak akan mudah percaya pada hasil kerja AI dan justru mempelajari terus kinerja AI tersebut serta menantang keakuratannya melalui perbandingan dengan sumber lain yang dia dapatkan. Peserta didik semacam inilah yang sesungguhnya kita harapkan, karena mereka telah memiliki kesadaran autonomous learning atau pembelajaran mandiri, yang memang sejatinya merupakan akhir dari tujuan pendidikan itu sendiri (the ultimate goal of education). Nah, at the end of the day, tugas pendidik (guru dan dosen) tentu saja tidak hanya sebagai seorang learning facilitator saja, tetapi juga seorang coach: memberikan motivasi dan inspirasi agar peserta didiknya memiliki kesadaran autonomous learning dan independent learning dalam dirinya. Pemikiran ini juga sejalan dengan substansi presentasi yang disampaikan oleh Prof. Paul Kei Matsuda tentang peran guru di abad 21 pada acara konferensi yang saya ikuti tersebut.  

Minggu, 02 April 2023

Janji Palsu (Part 1)

 

https://www.hukumonline.com/

Janji Palsu (Part 1)

*Aziza Restu Febrianto

 

Ini adalah sebuah pengalaman. Sebuah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan selamanya. Dalam hidup, baru kali ini saya mengalami kejadian yang unik tapi menyakitkan. Ini semua tentang sebuah profesi dan pengabdian sekaligus cinta kepada orang tua dan keluarga. Semuanya berawal dari sebuah postingan lowongan dosen resmi pada sebuah story facebook dan instagram sebuah universitas swasta (satu-satunya universitas)  di Magetan tahun 2022. Dan kampus inilah yang saya maksud “Kampus Gak Jelas” pada jurul artikel ini. Namun, alangkah baiknya cerita ini saya awali dengan latar belakang kondisi awal karir dan pilihan profesi saya di Part 1 ini, agar pembaca bisa memahami kenapa pengalaman yang tidak diharapkan itu bisa terjadi. Pada Part 2 nanti, saya akan berbagi mengenai detail cerita inti di kampus gak jelas dan biadab itu sekaligus hikmah dan pelajaran yang bisa diambil.

Profesi dosen memang sudah menjadi pilihan hidup saya sejak lulus kuliah S-2. Sehingga jenis kampus seperti apa tempat saya bekerja kelak tentu menjadi pertimbangan serius bagi saya. Walaupun kalau bisa memilih, ya tentu saja saya akan memilih bekerja di sebuah kampus yang besar dan memiliki nama terkenal. Tapi apa mau dikata, setelah mengikuti rangkaian seleksi penerimaan dosen di beberapa kampus besar tersebut, saya masih belum beruntung. Mengikuti tes CPNS pun saya juga selalu gagal. Mungkin memang sudah menjadi takdir saya untuk tidak menjadi dosen PNS. Namun, ketika usia bertambah, pola pikir mengenai jenis kampus tempat kerja ini menjadi tidak penting. Apalagi ketika muncul keinginan kuat untuk bekerja di daerah sendiri, dekat dengan orang tua dan anak istri. Bagi saya, kampus itu bukanlah tempat untuk  menggantungkan diri, tetapi kampus itu menjadi tempat saya untuk bisa bekerja pada bidang yang saya tekuni dan berkembang secara keilmuwan dan kompetensi, serta saya bisa bekerja keras untuk membangun kampus tersebut. Dan jauh lebih penting lagi adalah kampus tempat saya bekerja ini lokasinya dekat dengan orang tua dan keluarga. Saya tidak peduli jumlah nominal gaji itu berapa, karena uang itu bisa dicari di pekerjaan lain sambi berprofesi sebagai dosen.

Pencarian peluang untuk bekerja di kampus yang dekat dengan keluarga ini sebenarnya sudah saya lakukan sejak tahun 2011 ketika saya mengikuti seleksi penerimaan dosen di sebuah IKIP yang cukup terkenal di Madiun (sekarang statusnya berubah menjadi universitas). Waktu itu saya sebenarnya sudah keterima, walaupun akhirnya tidak jadi dan di-PHP. Tidak jelas juga alasan kenapa saya tidak jadi bekerja di kampus tersebut, padahal sudah jelas saya lolos seleksi dan diminta mengajar salah satu mata kuliah, yaitu Writing 4. Mungkin alasannya karena waktu itu sudah ada perubahan kebijakan bahwa semua dosen harus berkualifikasi minimal S-2, sedangkan saat itu saya masih lulusan S-1. Padahal jika saya diterima, saya berjanji akan melanjutkan studi S-2, baik dengan biaya sendiri ataupun beasiswa. Namun, kemudian perjuangan ini tidak saya teruskan karena saya memilih untuk mencari pengalaman menjadi guru di daerah 3T dan akhirnya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah S-2 di luar negeri. Mumpung masih muda, cari pengalaman sebanyak-banyaknya..begitulah prinsip hidup saya waktu itu..hehe. Sayapun akhirnya menikah tepat ketika saya akan berangkat kuliah.

Singkat cerita, seusai kuliah S-2, saya memutuskan untuk kembali bekerja di Semarang, karena peluang kerja yang pasti memang ada disana. Karena mendapatkan tawaran, saya waktu itu memutuskan untuk bekerja sebagai pengajar di sebuah akademi pelayaran swasta dan lembaga konsultan pendidikan luar negeri. Bagi saya, bekerja di kedua lembaga tersebut adalah pilihan yang sangat realistis disaat peluang menjadi dosen tetap universitas belum ada saat itu. Kebetulan juga, selain mendapatkan tawaran,  sebelum kuliah S-2, saya memang sudah bekerja di Akademi pelayaran tersebut. Saya juga tidak mengalami kesulitan untuk bekerja di lembaga konsultan pendidikan luar negeri, karena saya mempunyai pengalaman mengambil tes internasional bahasa Inggris selama beberapa kali dan saya juga merupakan lulusan universitas luar negeri. Sembari bekerja, saya tentu mencoba mencari peluang untuk bisa menjadi dosen. Saya ingin sekali bekerja penuh sebagai dosen dan diakui secara resmi oleh pemerintah dan masyarakat melalui kepemilikan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Waktu itu, memang ada beberapa universitas swasta yang saya lamar, tetapi setelah semua upaya ini berujung pada kegagalan. Setelah bekerja di akademi pelayaran selama lebih dari 5 tahun, saya kemudian mendapatkan tawaran untuk menjadi dosen tetap disana.  Tetapi tidak tahu kenapa tawaran tersebut akhirnya tidak terealisasi. Pada awalnya saya diminta mengajar dengan SK Dosen tetap kontrak, tetapi entah kenapa kontrak tersebut tiba-tiba dihentikan. Bahkan tanpa pemberitahuan.

Pandemi COVID-19 pun tiba. Semua aktivitas pembelajaran dan pekerjaan dilakukan di rumah secara daring. Saya kemudian pulang ke Magetan dan mengajar secara daring di rumah. Status saya waktu itu masih bekerja sebagai pengajar di kampus pelayaran dan lembaga konsultasi pendidikan luar negeri. Selama pandemi ini, saya juga mendapatkan tawaran bekerja di sebuah lembaga kursus daring yang cukup terkenal saat itu. Setelah beberapa kali mengajar, saya kemudian diminta untuk memegang jabatan sebagai Chief Academic Officer (CAO). Sayapun senang dan bangga menerima tawaran tersebut, karena saya juga ingin berkiprah dalam merintis sebuah start up di bidang pendidkan. Namun, tentu saja saat itu saya bekerja dengan sangat keras, karena harus bekerja di tiga tempat sekaligus secara daring. Meskupun di rumah, saya hampir tidak mempunyai waktu luang. Setelah menikmati pekerjaan yang sangat menguras waktu ini di rumah, tiba-tiba saya tidak sengaja membaca sebuah lowongan dosen tetap di Universitas Nasional Karangturi (UNKARTUR) Semarang, tepatnya di Program Studi S-1 Pendidikan Bahasa Inggris. “Ini adalah impian,” pikir saya. Tanpa berfikir panjang, saya pun akhirnya mendaftar, mengikuti seleksi, dan Alhamdulillah, diterima. Cerita lengkap mengenai diterimanya saya di UNKARTUR ini bisa dibaca melalui tulisan saya di tautan ini Rezeki Dibalik Pandemi 2020. Akhirnya impian saya menjadi dosen benar-benar terwujud. Bahkan, saat membuat KTP dan SIM, saya tidak segan-segan memakai nama dosen sebagai pekerjaan atau profesi saya. Saya sangat menikmati profesi ini karena memang sesuai dengan passion dan keinginan saya selama ini. Dan setelah menekuninya selama 2 tahun, akhirnya saya mendapatkan jabatan fungsional pertama, yaitu Asisten Ahli.

Minggu, 01 Januari 2023

Refleksi dan Resolusi Tahun Baru 2023

 

Semarang, 7 Juli 2022

Refleksi dan Resolusi Tahun Baru 2023

 

*Aziza Restu Febrianto

 

Tepat setahun yang lalu pada 31 Desember 2021, saya menulis sebuah resolusi yang harus dicapai pada tahun 2022 di blog ini. Sebagai seseorang yang telah memutuskan untuk berkarir sebagai dosen, berikut kira-kira resolusi yang saya tulis saat itu. Pada tahun 2022, saya harus bisa: 1) Mendapatkan Jabatan Fungsional Asisten Ahli;  2) Menerbitkan 2 artikel ilmiah di jurnal terakreditasi baik nasional maupun internasional; dan 3) Mempersiapkan beasiswa untuk melanjutkan studi S-3.

Sebenarnya resolusi ini tidaklah begitu neko-neko, karena hanya meliputi 3 target saja. Namun, setelah menjalani dunia perdosenan hingga akhir tahun 2022 ini, ternyata merealisasikan ketiga target resolusi itu benar-benar tidaklah mudah. Banyak upaya telah saya lakukan, tetapi tetap saja ketiga target tersebut sulit untuk direalisasikan. Namun saya tetap berusaha bersyukur karena paling tidak ada 1 atau 2 dari target tersebut telah terpenuhi di tahun 2022 ini. Salah satunya adalah Jabatan Fungsional pertama, Asisten Ahli.

1) Mendapatkan Jabatan Fungsional Asisten Ahli

Target resolusi pertama ini menurut saya paling mudah dan terukur pencapaiannya dibandingkan kedua target lainnya, karena syaratnya hanyalah pemberkasan dokumen saja. Saya secara resmi menerima Surat Keputusan (SK) Jabatan Fungsional pertama Asisten Ahli dari DIKTI pada tanggal 23 September 2022 setelah sebelumnya harus mengurus pengajuan yang sangat administratif. Sebenarnya saya termasuk dosen yang terlambat menerima Jabatan Fungsional pertama ini karena seharusnya jabatan Asisten Ahli ini bisa diperoleh setelah 1 tahun bekerja sebagai dosen tetap.

FYI, sejak saya diterima sebagai dosen hingga SK ini keluar, saya telah bekerja kurang lebih 2 tahun. Apa mau dikata? Selama bekerja, saya harus banyak berkutat pada pekerjaan yang tidak terduga dan cukup menyita waktu, yaitu menyusun borang dan menyiapkan dokumen-dokumen untuk akreditasi Program Studi tempat saya bekerja. Karena Prodi yang masih baru, banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan untuk melengkapi bukti borang akreditasi tersebut. Selain itu, tentu saja saya juga harus melakukan kegiatan Tridarma yang memang merupakan tugas wajib seorang dosen.

2) Menerbitkan 2 artikel ilmiah di jurnal terakreditasi baik nasional maupun internasional

Salah satu impian dalam hidup saya adalah dapat menerbitkan artikel pada jurnal terakreditasi secara nasional dan internasional apapun profesi saya. Menurut saya, pekerjaan yang paling sulit dari seorang dosen adalah menerbitkan karya tulis ilmiah penelitian pada jurnal terakreditasi. Secara, setelah melakukan penelitian dan membuat laporan yang cukup membutuhkan waktu dan energi, seorang dosen harus memaparkannya dalam bentuk tulisan dengan kaidah-kaidah dan gaya bahasa akademis yang tepat dan akurat agar dapat diterima oleh jurnal penerbit yang dituju. Tidak sedikit karya tulis itu hanya berakhir pada hard disk laptop, karena ditolak oleh jurnal penerbit.

Pada bulan April 2022 lalu, saya mendapati informasi mengenai sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh TEFLIN, Asia TEFL, dan Universitas Negeri Malang. Tanpa berfikir panjang, saya langsung tertarik untuk mendaftar. Melalui konferensi itu, para penyaji makalah juga mendapatkan kesempatan untuk mengirimkan makalahnya untuk diterbitakn pada 3 (tiga) buah jurnal bereputasi, salah satunya adalah Asia TEFL Journal, yang sudah terindeks Scopus dan berperingkat Q1. 

Setelah merampungkan penelitian, saya kemudian mengirimkan manuskrip hasil penelitian tersebut pada Open Journal System (OJS) Asia TEFL Journal pada tanggal 9 Mei 2022. Pada pesan email yang saya terima, proses peninjauan (Reviewing) oleh Mitra Bestari (Reviewers) Namun, sejak proses revisi pada bulan Oktober 2022, saya belum mendapatkan kabar mengenai manuskrip ini. Saya berharap, meskipun harus melalui proses revisi yang sangat panjang, manuskrip ini akhirnya tetap diterima dan dipublikasikan pada tahun 2023.

3) Mempersiapkan beasiswa untuk lanjut studi S-3

Menurut saya, ini adalah resolusi yang paling dilematis.  Melanjutkan studi S-3 ke luar negeri dengan beasiswa tentu masih menjadi keinginan dan impian saya hingga saat ini. Mungkin terkesan sangat idealis ketika seorang alumni sebuah universitas di negara Inggris ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri lagi. Saya tentu memiliki alasan logis kenapa memilih studi ke luar negeri ini. Keinginan ini semakin kuat apalagi saya sempat mendaftar sebuah program persiapan studi S-3 luar negeri yang diselenggarakan oleh Indonesia Mengglobal.

Namun, keinginan kuat ini mungkin agak semakin memudar, mempertimbangkan beberapa hal yang terjadi dalam hidup saya... so sad.. . Pertama, saya jadi ingat perkataan ibu saat pertama kali saya menyampaikan keinginan ini, dan respon beliau cukup mengejutkan. Intinya, jika saya harus tinggal cukup lama di luar negeri, siapa yang nanti akan menemani beliau. Kedua, pada bulan September 2022 lalu, ibu divonis menderita sakit bernama Glaukoma atau sakit mata yang menyebabkan gangguan penglihatan. Sejak saat itu, saya harus mengantar ibu untuk operasi dan kontrol berkala ke Rumah Sakit di Solo. Sejak saat itu, saya akhirnya merasa bahwa sepertinya ibu memerlukan pendampingan untuk kedepannya, khususnya ketika harus bepergian keluar rumah.

Resolusi Tahun Baru 2023

Mempertimbangkan sulitnya merealisasikan 3 target resolusi tahun 2022, saya juga tidak akan membuat resolusi yang muluk-muluk di tahun baru 2023 ini. Saya ingat sebuah postingan teman bahwa resolusi itu harus SMART yaitu Specific (spesifik), Measurable (terukur), Attainable (realistis untuk dicapai), Relevant (relevan dengan kondisi kita), dan Time-based (jelas jangka waktunya).

Berikut ini kira-kira resolusi saya di tahun 2023:

  1. Mendirikan dan mengembangkan sebuah usaha jasa di bidang bahasa: LinguaTera.com
  2. Menerbitkan 2 artikel di jurnal terindeks SINTA dan SCOPUS
  3. Mempersiapkan beasiswa studi S-3

Saya memahami bahwa tidak semua rencana dan target bisa terealisasi. Tetapi paling tidak merencanakan sesuatu itu jauh lebih baik daripada tidak merencanakan sama sekali. Saya juga meyakini bahwa target resolusi yang tidak tercapai pasti akan diganti dengan hal-hal positif lain, asalkan kita selalu berfikiran positif dan melakukan aktivitas yang produktif untuk mendukung karir kita kedepan.  

Magetan, 1 Januari 2023

Jumat, 30 Desember 2022

2022 Career Recap!

 


2022 Career Recap!

 

*Aziza Restu Febrianto

 

Tidak terasa waktu cepat sekali berlalu, dan sekarang kita menuju ke penghujung tahun 2022. Saya meyakini bahwa mengabadikan momen dengan menulis juga merupakan salah satu cara untuk melakukan refleksi dan perencanaan yang baik untuk masa depan. Apalagi momen tersebut berhubungan erat dengan pencapaian karir dan profesi kita. Berikut adalah beberapa kegiatan yang saya ikuti serta pencapaian kecil di tahun 2022, yang harapannya dapat mendukung karir saya di tahun 2023 dan seterusnya.

1. Mengikuti Kegiatan “KUI Semarang Gathering 2022” oleh Kantor Urusan Internasional (KUI) UNISSULA.

Di acara ini, saya bertemu dengan teman lama, Eko Heriyanto (adik tingkat di UNNES) yang bekerja sebagai dosen di Universitas AKI (UNAKI) Semarang. Melalui pertemuan ini, saya kemudian menjadi akrab dengan Eko dan hikmahnya 2 manuskrip artikel mahasiswa UNAKI bisa masuk ke jurnal ELECTRUM, yang merupakan sebuah jurnal hasil inisiasi dan kerja keras saya dan kolega di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Nasional Karangturi (UNKARTUR), Semarang.



2. Mengikuti Acara Penandatanganan MoU dengan PT. Intan Pariwara di Klaten.

Melalui penandatangan MoU dengan Intan Pariwara ini, saya bisa berkenalan dengan pimpinan maupun staf PT. Intan Pariwara. Saya dan kolega saya akhirnya juga bisa menerbitkan sebuah buku bahasa Inggris untuk siswa kelas 4 SD. Dan pada tahun 2023, buku kelas 5 SD yang saya dan kolega saya tulis akan diterbitkan. Saya berharap, semoga kedepannya lagi saya bisa terus menjadi penulis buku melalui PT. Intan Pariwara.

Penandatanganan MoU oleh Dekan FKIP UNKARTUR dan Direktur PT. Intan Pariwara
di Klaten

3. Mengikuti Webinar tentang Akreditasi LAM-PT untuk bidang ilmu Kependidikan.

Webinar ini memberikan kesempatan bagi saya untuk mendapatkan Ilmu tentang akreditasi Program Studi Pendidikan kedepan. Note: Mulai tahun 2023 kedepan, akreditasi Prodi Kependidikan sudah tidak dilakukan oleh BAN-PT lagi, tetapi melalui Lembaga Akreditas Mandiri bernama LAM-PT. Banyak persyaratan yang harus disiapkan, dan tentu saja membutuhkan kerja keras dan uang..hehe.

Tangkapan Layar via Zoom

4. Mengikuti Webinar dari British Council dengan topik ELT Today: Opportunities and Challenges.

Webinar ini memberikan wawasan tentang isu-isu kekinian di bidang pengajaran bahasa Inggris dan bagaimana para pengajar, peneliti dan praktisi menghadapi tantangan-tantangan kedepan.

5. Mengikuti Pelatihan EMI Pathfinder selama hampir 10 bulan (Daring via Moodle & Zoom dan Luring selama 5 hari di kampus UI Depok) .

Kegiatan ini tentu memberikan banyak sekali manfaat bagi saya. Mungkin bisa dikatakan kegiatan ini merupakan kegiatan terpanjang dan terbaik yang pernah saya ikuti di tahun 2022. Melalui kegiatan ini, saya tidak hanya mendapatkan ilmu dan pengalaman khususnya dalam bidang pengajaran bahasa Inggris sebagai pengantar perkuliahan, tetapi saya juga dapat bertemu dan berkenalan dengan peserta lain dari berbagai institusi yang akhirnya dapat membantu saya memperluas networking.

Pelatihan Luring di Kampus UI Depok
Sesi pelatihan Daring via Zoom

6. Presentasi Makalah pada Konferensi internasional Asia TEFL dan TEFLIN di Universitas Negeri Malang.

Menyampaikan makalah hasil penelitian pada sebuah konferensi internasional tentu merupakan kegiatan yang selalu saya nantikan sebagai seorang dosen. Selain menambah poin angka kredit, kegiatan ini tentu saja juga sangat berguna bagi pengembangan kompetensi dan karir saya. Melalui kegiatan ini, saya bisa berinteraksi dan diskusi dengan para pemakalah dan peneliti lain yang memiliki ketertarikan pada bidang yang sama. Sehingga saya dapat membangun jaringan pertemanan profesi saya, yang harapannya bisa berguna bagi saya sendiri di masa depan. Manfaat lain dari mengikuti ini juga kesempatan yang diberikan untuk dapat menerbitkan karya tulis yang dipresentasikan pada sebuah jurnal internasional. Well, tetapi proses penerbitan ini tidak mudah sih. Sejak proses pengiriman manuskrip pada bulan Mei 2022 dan proses revisi pada bulan Oktober 2022, hingga sekarang tulisan ini dibuat, belum ada kabar kelanjutannya. 

Berpose di Pelataran Venue @UM Malang

Presenter's Name Tag

7. Mendapatkan kesempatan untuk menjadi salah satu penulis buku Bahasa Inggris Kelas 4 SD yang diterbitkan oleh Intan Pariwara.

Menulis dan menerbitkan sebuah buku pelajaran di sekolah tentu merupakan kegiatan yang memiliki banyak manfaat. Selain dapat menularkan ilmu kepada para generasi muda masa depan, saya juga mendapatkan sebuah rekognisi karya serta menambah jaringan. Sebuah karya tulis seperti buku yang diterbitkan oleh penerbit ternama dapat menunjukkan tingkat ilmu dan kapasitas seseorang dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Saya juga bisa mendapatkan kenalan dan networking baru melalui buku tersebut, baik dari pembeli buku maupun pihak penerbit.

Buku Cetak di Gramedia Semarang

8. Mengikuti Webinar “Narrative Inquiry” dan mendapatkan kesempatan untuk menjadi salah satu kontributor buku (Book Chapter) berjudul “Narrative Inquiry for Teacher Education” yang diterbitkan oleh UNS Press.

Saya sangat bersyukur mendapatkan kesempatan ini secara tidak sengaja melalui sebuah webinar. Bersama beberapa peserta webinar lain, saya kemudian menuliskan pengalaman saya melakukan penelitian dengan menggunakan Narrative Inquiry untuk project Book Chapter. Kebetulan penelitian ini saya gunakan untuk menulis disertasi S2 saya. Dengan publikasi Book Chapter ini, saya berharap poin kredit Beban Kinerja Dosen (BKD) dapat meningkat dan portofolio saya juga menjadi lebih baik.

Book Chapter Published by UNS Press

9. Mendapatkan Jabatan Fungsional pertama, Asisten Ahli (AA).

Setelah bekerja sebagai dosen tetap selama 2 tahun, akhirnya saya dapat mengurus Jabatan Fungsional pertama, Asisten Ahli (AA). Sudah menjadi perbincangan banyak dosen bahwa Jabatan Fungsional ini akan membantu seorang dosen mendapatkan hak dalam profesinya. Terhitung 2 tahun sejak diberikannya Surat Keterangan (SK) Asisten Ahli dan Inpassing nya, seorang dosen dapat menggunakannya sebagai salah satu syarat wajib dalam mengajukan Sertifikasi Dosen (Serdos). Dengan Serdos, seorang dosen akan mendapatkan hak tunjangan profesi dari pemerintah.  Selain itu, Jabatan Fungsional Asisten Ahli ini juga akan sangat berguna untuk mendukung jenjang karir baik struktural maupun fungsional kedepannya.

SK Jabatan Fungsional Asisten Ahli (AA)

10. Mengikuti Sarasehan Kerja sama oleh LLDIKTI Wilayah VI.

Sebagai koordinator Kerja sama dan Hubungan Internasional, kegiatan ini tentu sangat bermanfaat sekali. Menurut saya, target kerja sama yang paling sulit dan menantang adalah networking dengan Perguruan Tinggi dan perusahaan luar negeri. Untuk mencapai target ini, kemampuan berbahasa Inggris dan negosiasi saja tidaklah cukup. Yang paling menentukan adalah keterampilan dan seni dalam membangun jaringan, dan proses ini bisa memakan waktu yang cukup panjang. Karena alasan inilah, saya kemudian mengikuti sesi “Membangun Kerja Sama Internasional Perguruan Tinggi.” Pada acara yang diselenggarakan di  Harris Hotel & Convention Surakarta ini, paling tidak saya bisa mendapatkan wawasan mengenai strategi Perguruan Tinggi lain dalam membangun kerja sama dengan pihak lain di luar negeri.


11. Mendapatkan pengalaman mengajar pelatihan Translation Boothcamp oleh Media Maz.

Kesempatan ini tentu sangat berharga bagi saya walaupun perlu kerja keras untuk menjalaninya. Melalui kesempatan ini, saya yakin akan mendapatkan wawasan dan keilmuwan  pada bidang Translation dan pengajarannya. Sebenarnya jika ditanya mengenai pengalaman bekerja di bidang penerjemahan, masih sedikit yang saya punya. Sejak mengalami kejadian tidak mengenakkan saat bekerja sebagai penerjemah untuk pertama kalinya, saya merasakan trauma. Saat itu kompetensi saya seolah diperah dan dimanfaatkan seperti mesin pabrik dengan upah yang tidak layak. Ketika mendapatkan tawaran untuk menjadi pemateri pelatihan Translation, pada awalnya saya tidak cukup percaya diri. Tetapi dengan bekal kemampuan dan pengalaman dalam berbahasa Inggris, sayapun meyakinkan diri untuk menerima tawaran tersebut. Saya yakin pengalaman ini akan berguna bagi saya kedepan ketika mendapatkan pekerjaan yang berhubungan dengan penerjemahan.

Menjadi pemateri di Media Maz Translation Boothcamp

Sesi terakhir Media Maz Translation Boothcamp

Materi Bootcamp Luring via Zoom

12. Mendapatkan tawaran menjadi Mitra Bestari (Reviewer) jurnal Mahakarya: Jurnal Mahasiswa Ilmu Budaya, IAIN Surakarta.

Ketika mendapatkan tawaran menjadi Mitra Bestari jurnal ini, jujur saya cukup kaget. Tapi saya pastinya juga bersyukur, karena saya masih dipercaya dengan kompetensi menulis dan pengetahuan akademik yang saya miliki. Dengan menjadi Mitra Bestari sebuah jurnal, setidaknya saya bisa mendapatkan 3 manfaat: memperoleh pengakuan kompetensi, meningkatkan personal branding, dan membangun jaringan.

SK Mitra Bestari
 


Semoga tulisan ini membuat saya khususnya untuk semakin bersemangat melakukan pencapaian-pencapaian lain yang lebih baik di tahun baru 2023.

 

Mari berlomba-lomba dalam kebaikan!

                                                                                                                    

                                                                                                                        Magetan, 31 Desember 2022