Assalaamualaykum, wr, wb...
Pada artikel ini saya ingin bercerita tentang pengalaman saya
sebagai seorang muslim ketika sedang menjalani pendidikan S2 di London, Inggris
pada tahun 2017 silam. Seperti yang kita ketahui, Inggris atau Britania Raya (dalam
Bahasa Inggris: United Kingdom) adalah
negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Meskipun begitu, ada sumber
yang menginformasikan bahwa akhir-akhir ini banyak orang kristen di Inggris
yang mulai enggan melaksanakan ajaran kristiani secara utuh atau yang dilakukan
hanya sekedar formalitas saja. Sebelum berangkat ke negara itu, saya selalu
membayangkan bagaimana hidup saya nantinya sebagai seorang muslim atau sebagai
bagian dari minoritas disana. Sama sekali bukan kekhawatiran sih yang dirasakan,
tapi justru bagi saya ini tantangan karena saya akan merasakan suasana berbeda dalam hidup.
Setibanya disana, apa yang selama ini saya bayangkan itu ternyata jauh berbeda dari
kenyataannya. Kampus tempat saya belajar kebetulan terletak tepat di tengah
kota besar. Sebagai ibu kota negara sekaligus pusat ekonomi, London tentu
menjadi sentra masuknya berbagai macam orang dari seluruh dunia dengan latar
belakang yang berbeda-beda.
Pada masa awal perkuliahan, saya tinggal di sebuah flat mahasiswa
milik kampus UCL bernama Hawkridge House. Flat ini cukup murah dibandingkan dengan Flat kampus lainnya, tapi fasilitasnya sudah sangat standar (menurut saya sih sudah bagus banget). FYI,
flat (istilah British) adalah nama
lain dari apartment (American). Di
flat itu saya bertemu dan berkenalan dengan mahasiswa lain dari berbagai
negara. Namun, saya sama sekali tidak menemukan mahasiswa muslim di disana.
Bahkan teman Indonesia yang satu kamar dengan saya beragama Hindu. Setelah itu
mulai terbesit di pikiran saya tentang dimana saya akan melaksanakan sholat
berjamaah, terutama sholat jum’at. Jika tidak ada satupun teman beragama islam
di flat ini, berarti saya harus mencari masjid sendiri. Pada saat saya keluar
untuk belanja kebutuhan makanan, saya sengaja mencari masjid. Saya merasa
beruntung karena lokasi tempat tinggal saya dekat sekali dengan kompleks
pertokoan. Untuk kesana, saya hanya perlu jalan kaki beberapa menit. Yang membuat
saya terkejut, ketika sampai di kompleks itu, saya menemukan banyak sekali
muslim yang rata-rata berasal dari Asia Selatan dengan busana takwa yang khas.
Bahkan banyak juga diantara mereka yang mempunyai toko disana. Saya kemudian
membeli barang di salah satu toko itu dan mencoba mengobrol dengan penjaga
tokonya. Ketika saya cerita bahwa saya dari Indonesia dan muslim, mereka
terlihat sangat senang.
|
Flat Kampus UCL, Hawkridge House |
|
Pemandangan dari Lantai 9 Flat Hawkridge House |
Penjaga toko dan pemilik toko itu ternyata adalah orang
Bangladesh dan sudah lama sekali tinggal di London. Toko itu adalah warisan
turun-temurun keluarganya. Dia juga cerita bahwa banyak sekali orang muslim yang
bisa saya temukan di London. Sekolah dan komunitas muslim juga banyak tersebar
di London. Selesai berbincang-bincang, saya kemudian bertanya kepada penjaga
toko itu tentang lokasi masjid terdekat, dan diapun dengan senang hati
menunjukannya. Saya langsung bergegas mencari masjid itu karena sebentar lagi
hari jumat. Alhamdulillah, lokasinya ternyata dekat sekali dengan flat tempat
tinggal saya. Bersyukur sekali...apalagi saya juga tidak kesulitan mencari
makanan halal di sekitar karena banyak pertokoan yang pemiliknya muslim, gumam
saya dalam hati. Sepulang dari masjid, karena penasaran, saya langsung mencari
informasi lebih banyak tentang islam di London. Kesimpulannya, dilihat dari
sejarahnya, Inggris adalah salah satu negara yang memiliki wilayah jajahan yang
sangat luas. Akibatnya banyak sekali negara koloni dan persemakmuran Inggris di
dunia termasuk negara yang pemeluk islamnya banyak seperti India, Pakistan,
Malaysia, Afrika Selatan, Mesir, dsb. Sebagai negara koloni, tentu saja
transportasi penduduk yang pergi ke Inggris dan pulang dari Inggris sering
terjadi. Pergerakan manusia yang berlangsung cukup lama ini berdampak pada
semakin munculnya pemukiman-pemukiman imigran, terutama di kota-kota besar di
Inggris.
Faktor kedua adalah revolusi industri yang terjadi di Inggris
pada abad ke- 18 atau antara tahun 1760-1840. Revolusi industri ini tentu
menjadi daya tarik tersendiri bagi manusia untuk mencari peluang. Banyak sekali
orang dari penjuru dunia yang kemudian datang dan berinvestasi di Inggris, dan
yang paling banyak berpusat di ibu kotanya, yaitu London. Jumlah
pemukiman-pemukiman para pendatang itu jelas semakin meningkat. Para saudagar
dan investor tidak terkecuali yang beragama islam juga banyak yang akhirnya
menetap di London. Kemajuan ekonomi dan industri memunculkan kemajuan di bidang
lainnya termasuk ilmu pengetahuan, kesehatan dan pendidikan. Universitas Oxford
dan Cambridge yang merupakan kampus tertua di dunia juga menjadi pusat
pendidikan dan penelitian. Kampus-kampus lain juga mulai didirikan termasuk
berbagai universitas dan institut di kota London. Orang dari penjuru dunia
kemudian datang ke Inggris dengan tujuan tidak hanya untuk mencari peluang
kerja atau usaha, akan tetapi juga pendidikan. Pendidikan bergengsi di Inggris
menjadi magnet tersendiri karena keyakinan orang akan kemajuan ilmu pengetahuan
dan kesuksesan. Banyak sekali tokoh-tokoh di berbagai negara yang akhirnya juga
mengenyam pendidikan di Inggris.
|
Kantor Pusat Komunitas Muslim London |
Pada akhir abad ke-18 atau tepatnya pada tahun 1866, Inggris
mengalami revolusi sosial yang signifikan. Berawal dari negara agama (Kristen
dan Katolik), berubah menjadi sekuler. Dengan pondasi sekuler, Inggris akhirnya
menjadi negara yang lebih terbuka dengan menerima para pendatang dari latar
belakang yang beragam untuk masuk dan tinggal di Inggris tanpa adanya
diskriminasi. Pondasi inilah yang akhirnya juga membuat posisi masyarakat
dengan keyakinan agama yang berbeda bisa hidup rukun bersama, termasuk
islam. Masyarakat islam di Inggris
akhirnya hidup membaur bersama masyarakat lainnya termasuk orang lokal selama
berpuluh-puluh tahun hingga sekarang. Lembaga pendidikan islam dan komunitas
muslim juga banyak yang berkembang disana. Ketika sedang berjalan-jalan di
berbagai tempat, saya selalu saja bertemu dengan orang islam. Saya juga selalu mencoba
mencari masjid atau mushola dimanapun saya berada dengan menggunakan Google
maps. Herannya, di hampir semua area kota London, saya selalu menemukan tempat
sholat walaupun hanya berbentuk ruangan kecil bertuliskan Prayer room. Di kampus sayapun juga disediakan ruangan khusus yang
cukup besar untuk sholat meskipun lebih ditujukan untuk semua pemeluk agama dan
keyakinan yang berbeda (Multifaith room).
Tapi kalau saya perhatikan ruangan ini lebih sering dipakai orang muslim untuk
sholat. Semua ini benar-benar diluar dugaan saya. Alhamdulillah.
|
Di Depan Masjid Ar-Rahman dan Sekretariat Komunitas Muslim di Pusat Kota |
|
Penunjuk Arah Prayer Room Kampus UCL |
|
London Central Mosque: Salah Satu Masjid Terbesar |
|
Mushola Institute of Education, UCL |
Pengalaman yang cukup berkesan saya dapatkan ketika
melaksanakan sholat jum’at untuk pertama kalinya di masjid yang dekat dengan
tempat tinggal saya. Masjid yang bernama Baitul Aman itu ternyata hanya dikhususkan bagi orang muslim
Bangladesh. Ketika masuk masjid, mata saya tentu langsung tertuju pada para
jamaah yang ada. Jamaahnya cukup banyak. Saya berusaha mencari wajah Asia
Tenggara di masjid itu dan sama sekali tidak menemukannya. Saya berharap ada mahasiswa
Indonesia yang juga sholat disitu. Ternyata juga tidak ada. Sehingga hanya sayalah
satu-satunya orang Indonesia yang sholat jum’at di masjid itu. Tidak masalah,
yang penting bisa berkumpul dengan orang islam untuk sholat berjamaah sudah
merupakan keberuntungan, gumamku. Setelah wudhu, saya mengambil posisi di
barisan tengah karena saya berangkat agak telat. Setelah sholat sunnah, saya
kemudian duduk dan tidak sabar ingin mendengarkan khotib berceramah karena
sebelumnya belum pernah mendengarkan ceramah agama dari orang berkebangsaan
lain. Diluar dugaan, ternyata khutbah itu seluruhnya disampaikan dalam bahasa
Bengali (bahasa nasional Bangladesh) tanpa ada penerjemahan dalam Bahasa
Inggris sedikitpun. Waduh, gimana ini gumam saya..haha. ya sudah lah, yang
penting sholat jum’at.
|
Masjid Baitul Aman Komunitas Muslim Bangladesh |
|
Suasana di dalam Baitul Aman yang dekat Flat |
Setelah selesai sholat jumat, saya kemudian
berbincang-bincang dengan salah satu jamaah. Dia heran kepada saya kenapa melaksanakan
sholat jum’at disini. Rupanya dia mencurigai saya yang memiliki muka berbeda
dengan jamaah lainnya...hihi. Dia mengatakan bahwa masjid itu hanya khusus
diperuntukkan untuk komunitas orang Bangladesh. Awalnya saya sempat suudzon dan
bergumam, kok masjid di kota besar yang multikultural kaya gini hanya untuk
orang tertentu saja. Tapi dia kemudian melanjutkan penjelasannya dan
menyarankan saya untuk sholat di sebuah gedung di seberang jalan. Gedung itu memang
dikhususkan untuk mereka yang ingin sholat jum’at dengan khutbah berbahasa
Inggris. Dalam hati saya berkata, Yah...saya salah tempat..haha. Pada hari Jum’at
berikutnya, saya mencoba sholat di gedung seberang jalan dan sesampainya
disana, saya kaget karena bertemu dengan beberapa orang Indonesia. Masih muda..
Pasti mereka adalah mahasiswa, pikir saya. Saya kemudian menyapa salah satu
diantara mereka. Dengan senyum, dia kemudian menyapa balik saya. Dia ternyata
adalah mahasiswa dari kampus yang sama dan tinggal di flat yang sama juga
dengan saya. Hanya saja waktu itu dia datang beberapa hari setelah saya.
Namanya Dinar, dan ini adalah momen pertama kalinya saya bertemu dengan sahabat
saya yang berasal dari Tangerang itu. Seusai sholat, Dinar pun mengajak saya
untuk bertemu dengan teman-teman Indonesia lainnya. Dan disitulah kita merasa
seperti keluarga.
|
Suasana Tempat Sholat dengan Khutbah berbahasa Inggris |
Di flat yang saya tinggali itu, selain saya, ada 7 orang
mahasiswa Indonesia lain dengan jurusan yang berbeda-beda. Selama tinggal bersama,
kita banyak melakukan aktivitas bersama termasuk jalan-jalan meng-eksplor kota.
Pengalaman yang tak terlupa adalah ketika kita berencana menyewa mobil untuk
berkeliling di wilayah pedesaan Inggris seperti Bibury, Gloucestershire, Derbyshire, Edensor
(Sebuah desa yang ada di novel karya Andrea Hirata) dan tempat indah lainnya di
sekitar Leeds dan York. Namun, rencana itu berujung gagal karena ketika berada
di kota Manchester atau tempat kita menyewa mobil, diantara kita yang bisa
menyetir ternyata lupa membawa SIM. So sad... Nyesel banget waktu itu...haha.
Akhirnya kita hanya bisa mengunjungi daerah-daerah yang bisa diakses dengan menggunakan
kereta dan bus. Kita juga sempat mengunjungi stadion klub sepak bola Manchester
United, Old Trafford, Menchester City, Etihad di Manchester, Anfield di Liverpool
dan museum group band legend, the
Beattles. Untuk urusan sholat, pada waktu itu kita memutuskan untuk
melakukannya di hotel saja karena padatnya aktivitas dan perbedaan keyakinan
diantara kita. Jadi tidak ada pengalaman mencari masjid selama perjalanan
ini...hehe.
Setelah tinggal selama sekitar 3 bulan di flat kampus, saya
akhirnya memutuskan pindah ke flat lain karena istri saya akan segera datang ke
London untuk menyusul saya. Alasan yang lebih tepatnya adalah flat kampus memang
tidak diperuntukkan bagi mahasiswa yang berpasangan. Mencari flat baru ini
sangat melelahkan bagi saya karena harus dihadapkan pada beberapa peristiwa dan
negosiasi yang cukup alot. Pengalaman ini akan saya ceritakan di artikel lainnya
nanti. Singkat cerita, saya menemukan sebuah flat yang sangat jauh dari kampus.
Berbeda dengan flat sebelumnya yang berada di zona 2, flat baru ini terletak di
zona 5 dari pusat lokasi kampus. Jika ditempuh dengan kereta bawah tanah (biasa
disebut Tube), waktu yang dihabiskan
sekitar setengah jam. Jika ditempuh dengan bus umum merah (double dekker), waktu yang diperlukan adalah sekitar satu jam. Saya
lebih sering menggunakan transportasi bus daripada Tube karena pertimbangan
harga tiket yang lebih murah (Bus: £1.5 sedangkan Tube: £2.5) dan kenyamanannya
sambil melihat pemandangan kota di dek atas.
|
Saya dan Istri, Ketika jalan-jalan di Ikonnya London, Beg Ben |
Meskipun lokasinya sangat jauh, saya tetap mantab memilih
flat itu karena letaknya berada di lingkungan pemukiman muslim, bernama Whitechapel
dan pemukiman elit terkenal bernama, Canary Whalf. Selain tidak kesulitan
mencari masjid untuk sholat jumat, saya juga bisa dengan mudah mencari makanan
halal tanpa harus melakukan perjalanan jauh. Ketika memasuki area Whitechappel,
saya seperti dibawa ketempat yang mirip dengan Pakistan atau Timur Tengah. Di
sepanjang jalan, saya banyak menemui orang yang memakai jilbab dan peci, bahkan
ada juga yang memakai cadar. Saya juga menemukan sekolah islam, lembaga pendidikan
tahfidz Al-quran, lembaga pendidikan tahsin, dan komunitas islam lainnya di
sepanjang perjalanan. Bahkan di daerah ini juga terdapat salah satu masjid
terbesar di London bernama the East
London Mosque. Masjid ini sangat terkenal hingga namanya juga dijadikan
sebuah nama halte bus. Whitechappel juga memiliki pasar tradisional yang para
penjualnya kebanyakan merupakan keturuan dari Asia Selatan dan Timur Tengah.
Saya sering sekali belanja disini bersama istri. Jenis makanan yang dijual juga
sangat khas dengan rempah-rempah yang aromanya kuat. Para penjualnya juga
sangat ramah dan suka mengajak ngobrol dengan kita. Kebanyakan dari mereka
selalu mengira kita adalah orang Malaysia. Kadang heran juga kenapa Malaysia
lebih terkenal dibanding Indonesia disini...hehe. Tapi mereka juga tahu
Indonesia sih.
|
Flat baru di daerah Mile End |
|
Di Flat Baru: Saya Sedang Membuka Jendela |
|
|
Suasana Jalan Di Sepanjang Whitechapel |
|
Pemandangan Dari Dalam Flat |
Karena tinggal di area muslim, saya jelas tidak khawatir
bagaimana saya sholat jum’at nanti. Alhamdulillah, ternyata terdapat masjid yang
lokasinya tepat berada di dekat flat yang saya tinggali. Saya hanya cukup berjalan
kaki untuk menuju kesana. Alhamdulillah, kali ini khutbahnya disampaikan dalam
Bahasa Inggris meskipun kebanyakan jamaahnya adalah orang Bangladesh juga. Saya
sering heran kenapa banyak sekali orang Bangladesh di London...haha. Ketika
luang, saya sesekali mengunjungi masjid besar. Walaupun jaraknya cukup jauh
dari tempat tinggal saya, saya biasanya tetap menempuhnya dengan jalan kaki. Menurut
saya dengan berjalan kaki, kita bisa melihat sekeliling dengan lebih dekat.
Ketika memasuki masjid, saya benar-benar takjub. Masjid itu sungguh besar
sekali - terdiri dari 3 lantai: lantai bawah, lantai 1 dan 2. Desain arsitek
dan ornamennya juga bagus. Saya juga menyempatkan diri melihat papan informasi
yang ada untuk mengetahui program apa saja yang bisa diikuti di masjid. Ternyata banyak sekali program yang
dilaksanakan, mulai dari pendidikan, ekonomi hingga sosial. Saat melaksanakan
sholat, saya juga heran kenapa tidak ada kotak infaq yang berjalan seperti di
Indonesia..haha. Setelah saya pelajari, ternyata infaq itu disampaikan melalui
rekening yang diumumkan di berbagai tempat publik dan media daring seperti website
dan media sosial.
|
The East London Mosque |
|
Ujung Jalan: Masjid di Lingkungan Tempat Tinggal yang Baru |
|
Suasana Sholat Jum'at di the East London Mosque |
|
Bulan Ramadhan pun tiba. Inilah momen yang saya dan istri
selalu nanti. Kita benar-benar ingin merasakan bagaimana melaksanakan ibadah
puasa di kota London. Mungkin melewati masa puasa dengan jauh dari keluarga
pernah saya alami ketika saya tinggal di Nusa Tenggara Timur selama satu tahun.
Tapi menurut istri saya ini adalah pengalaman pertama kali baginya. Pengalaman
yang paling berkesan selama bulan Ramadhan di London adalah berpuasa selama 19
jam. Karena perbedaan posisi bumi dan matahari, kita harus mengalami kondisi
siang yang berlangsung jauh lebih lama dibandingkan malam. Pukul 9 malam saja
masih seperti pukul 5 sore. Pada jam inipun kita masih bisa berjalan-jalan
keluar apartemen. Mungkin saya tidak begitu merasakan lamanya berpuasa karena
disibukkan dengan kegiatan kuliah yang cukup padat dan tugas yang menguras
pikiran. Tapi sepertinya istri cukup merasakan perbedaan itu karena kegiatan
yang dia lakukan tidak sebanyak saya.
Untuk keperluan buka puasa dan sahur, kita hanya cukup belanja
bahan-bahan mentah di supermarket terdekat. Untuk daging, kita membelinya di
toko muslim terdekat atau pergi ke pasar Whitechappel sambil jalan-jalan.
Terkadang kita juga membeli ayam goreng dan kentang crispy favorit kita di warung terdekat, yang pemiliknya juga
muslim. Terkadang kita juga ngabuburit dengan membawa bekal untuk disantap di
lokasi tujuan. Yang paling berkesan adalah ngabuburit di Chinatown atau pecinan
dan di taman Royal Observatory Greenwich (ROG), yang merupakan lokasi sudut acuan
waktu dunia berasal atau yang biasa dikenal dengan Greenwich Mean Time (GMT). |
|
Buka Puasa Kita di Flat |
|
Buka Puasa Kita di Taman ROG |
|
Pukul 20.25 Sore atau Malam? |
|
Ayam dan Kentang Crispy Favorit |
|
Di taman Royal Observatory Greenwich (ROG) |
Dari semua pengalaman Ramadhan di London, ada satu momen yang
paling menyenangkan dan saya yakin, teman-teman kuliah saya pasti juga
merasakan hal yang sama. Pengalaman itu adalah ngabuburit dan berbuka puasa
bersama dengan para Londoners atau
penduduk London. Jadi setiap bulan puasa, selalu diadakan sebuah acara buka
bersama bernama Ramadhan Tent (karena
acaranya di dalam tenda yang besar) yang mana pesertanya tidak hanya muslim,
tetapi juga semua orang dari lintas agama, ras dan etnis untuk menikmati
hidangan berbuka bersama-sama. Acara ini diawali dengan sambutan dari ketua
panitia atau perwakilan, tokoh masyarakat setempat dan tausyiah. Pada momen
ini, saya merasakan bahwa kebahagiaan berpuasa dan berbuka itu tidak hanya
dirasakan oleh umat muslim, akan tetapi orang non-muslimpun juga ikut
berbahagia. Ramadhan Tent ini
dilaksanakan dua hari sekali selama bulan puasa dan para pengunjung sama sekali
tidak dipungut biaya untuk semua hidangan berbuka. Kebetulan lokasi diadakannya
Ramadhan tent ini juga sangat dekat
dengan kampus. Sehingga saya biasanya ikut acara ini sepulang dari kampus atau
sebelum ke kampus. Dari informasi yang saya dapat, dana yang dipakai untuk
acara ini berasal dari donasi atau sponsor dari berbagai kalangan masyarakat
dan pengusaha. Acara ini juga pernah disiarkan oleh TV dan surat kabar.
Walikota London, Sadiq Khan yang juga merupakan seorang muslim keturunan
Pakistan pernah memberikan sambutan secara khusus di TV dan akun media
sosialnya tentang acara ini. Momen yang tak terlupa lainnya di acara ini adalah ketika kita pernah menjadi saksi seorang non-muslim yang memutuskan untuk menjadi muslim (Mu'alaf).
|
Suasana Ramadhan Tent 1 |
|
Susana Ramadhan Tent 2 |
|
Pesan Ramadhan di Papan Reklame Pinggir Jalan |
Tulisan ini saya tutup dengan pengalaman lebaran di kota
London. Setelah menjalani puasa sebulan, saya tidak menyangka bahwa ternyata KBRI
yang berkantor di London selalu mengadakan sholat ied bersama. KBRI berharap
momen lebaran di Inggris bisa dijadikan sebagai sarana silaturahmi bersama
seluruh WNI yang ada di Inggris khususnya yang tinggal di London. Sehingga
khusus lebaran ini, saya tidak melaksanakan sholat ied di masjid sekitar tempat
tinggal saya dan bersilaturahim dengan para jamaah setempat. Saya bersama
dengan teman-teman Indonesia lainnya sepakat untuk melaksanakan sholat ied di
lokasi yang telah disiapkan oleh KBRI. Sholat ied ini diberlangsungkan di teras
rumah kediaman Bapak duta besar dan keluarganya yang cukup luas bernama Wisma Nusantara. Lokasi Wisma Nusantara cukup jauh dari tempat tinggal saya: untuk kesana,
saya harus naik bus selama satu jam. Ketika sampai di lokasi, saya kaget karena
ternyata jamaahnya banyak banget dan mayoritas itu adalah orang Indonesia. Saya
benar-benar merasakan nuansa Indonesia banget disini. Kaya di kampung
sendiri..haha. Kegiatan sholat ied ini kemudian dilanjutkan dengan bersalam-salaman
dan makan bersama di taman yang dekat dengan tempat sholat. Disana banyak
sekali menu hidangan yang tersedia dan kita bisa memilihnya sampai puas. Di
momen ini pula saya dan istri juga bertemu dengan seorang artis nasional,
Kimberly Ryder dan tidak lupa mengajaknya untuk berfoto bersama...hehe.
|
Suasana Sholat Ied di Wisma Nusantara |
|
Di Depan Wisma Nusantara |
|
Bertemu dengan Kimberly Ryder |
|
Buka Bersama Mahasiswa Indonesia di London |
Begitulah garis besar pengalaman saya sebagai seorang muslim
yang sempat tinggal di kota London selama satu tahun. Menurut saya, bagi
siapapun yang ingin berkunjung ke kota London, tidak perlu khawatir atau
bingung bagaimana hidup disana sebagai muslim karena banyak sekali saudara yang
seiman disana. Banyak juga makanan halal yang bisa didapatkan dengan mudah
disana serta banyak sekali masjid dan tempat sholat di berbagai sudut kota.
Dari segi keamanan, kota London, sebagai ibu kota negara
kerajaan, masih relatif aman. Saya sering sekali pulang dini hari ketika harus
mengerjakan tugas dan disertasi di perpustakaan kampus, tapi Alhamdulillah saya
tidak pernah mendapatkan gangguan dari orang asing di jalan yang sampai mengancam
nyawa saya. Memang saya pernah juga sekali diganggu oleh seorang wanita mabuk
bertato di sebuah halte yang dekat dengan tempat tinggal saat pulang dari
kampus waktu dini hari. Waktu itu dia menginginkan uang dari saya sebesar £10
dengan alasan untuk digunakan pulang ke kampung di London selatan. Tentu saja
saya menolak dan dengan tegas saya bilang ke wanita itu bahwa saya mahasiswa
dan jelas tidak punya uang. Dia sempat mengejar saya dan saya marah sambil
berjalan cepat. Dia kemudian memaki-maki saya dengan kata-kata kotor. Alhamdulillah,
istri saya juga selalu dalam kondisi aman selama saya tinggal untuk kuliah di
kampus terutama pada akhir-akhir masa kuliah karena harus mengerjakan disertasi
secara intensif. Tapi saya akui sistem keamanan flat benar-benar sungguh ketat.
Selain pintu kamar yang terkunci, area cluster
(2 kamar lain, dapur & kamar mandi) juga bisa dikunci. Pada bagian pintu
utama flat juga terdapat kunci otomatis yang hanya bisa dibuka dengan electric key.
Terkait dengan islamofobia, saya sebenarnya pernah melakukan
riset kecil-kecilan mengenai islamofobia di Inggris dan menemukan bahwa
kelompok semacam ini memang ada dan mereka sangat lantang menyuarakan aspirasi
dan kebenciannya terhadap umat islam, akan tetapi jumlah mereka ternyata tidak
banyak. Mereka juga sering berdemonstrasi terutama saat terjadi insiden
penembakan di dekat Big Ben atau area Westminster pada 22 Maret 2017 dan bom
bunuh diri di Manchester arena pada Mei 2017 yang mana pelakunya masih berhubungan
dengan jaringan ISIS. Tetapi argumen mereka bisa dipatahkan karena selang satu
bulan kemudian terdapat juga dua insiden yang korbannya adalah umat islam. Yang
pertama adalah teror pembakaran sebuah apartemen yang dihuni oleh umat islam
pada 15 Juni 2017 dan berikutnya adalah insiden penabrakan oleh orang tak
dikenal terhadap sejumlah jamaah masjid di London utara pada 19 Juni 2017.
Semua insiden ini membuktikan bahwa terorisme itu bukan berasal dari ajaran
islam, tapi semua berawal dari pola pikir seseorang yang tercuci otaknya oleh
kebencian. Apapun latar belakag agamanya.
Oh ya, last but not
least, meskipun London itu relatif aman, kita juga harus tetap berhati-hati
dan waspada. Sebagai kota multikultural yang besar, kejahatan itu pasti tetap ada
di kota London. Yang paling harus kita waspadai adalah kejahatan terselubung
melalui transaksi jual beli barang atau persewaan yang memerlukan banyak uang.
Kejahatan ini pernah menimpa saya dan teman saya saat menyewa flat baru.
Insiden ini akan saya ceritakan di artikel lainnya di blog ini... InshaAllah.
Sekian cerita dari saya...Terimakasih telah membaca. Semoga
bermanfaat.
Bagus sekali tulisannya...terima kasih mas
BalasHapusSama-sama...Terimakasih telah berkunjung..Semoga bermanfaat
BalasHapusmantap...semoga tidak salah kostum waktu sholat jumat..ups..
BalasHapus