Minggu, 24 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 12) - Serangkaian Refleksi

Saya, foto bersama teman-teman sekelas PPG
Ujian Tulis Nasional (UTN): Drama kelulusan PPG

*Aziza Restu Febrianto

Di ujung masa kuliah PPG, semua peserta diwajibkan untuk mengikuti ujian tulis sebagai persyaratan paling utama untuk lulus dan mendapatkan sertifikat pendidik profesional dari UNNES yang disahkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi. Ujian tulis ini dibagi menjadi dua, yaitu ujian tulis lembaga dan ujian tulis nasional.

Ujian tulis yang pertama atau ujian tulis lembaga dilakukan di kelas dan bentuknya sangat sederhana. Setiap peserta PPG diberikan 10 soal dan harus memberikan jawaban dalam bentuk uraian berbahasa Inggris di kertas. Materi yang diujikan tidak jauh dari bidang profesi dan pekerjaan, yaitu bidang pendidikan dan keguruan yang selama ini kita tekuni. Namun, yang membedakan adalah kita harus menjawab semua soal dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah, saya tidak mengalami masalah sedikitpun dalam ujian ini atau dengan kata lain lulus dengan sempurna. Namun, saya merasa heran bahwa ternyata dari semua peserta (23 orang) dalam satu jurusan, hanya 4 orang. Jadi saya adalah 1 diantara 3 orang lain yang lulus.

Setelah ujian tulis yang pertama selesai, saya harus mengikuti ujian tulis yang kedua. Ujian tulis yang kedua ini biasa dikenal dengan Ujian Tulis Nasional (UTN). Ujian ini diselenggarakan secara online dengan server yang berpusat di Jakarta. Bagi saya, UTN adalah ujian tertulis online pertama yang tentu saja harus saya persiapkan dengan sungguh-sungguh. Meskipun materi yang diujikan dalam UTN adalah bidang yang saya tekuni, yaitu Bahasa Inggris, kebiasaan dan keterampilan mengerjakan soal melalui komputer juga menjadi tantangan tersendiri bagi saya.

Saya mempunyai kenangan yang tak terlupakan saat mengikuti UTN ini. Saat itu saya tidak membayangkan bahwa soal yang diujikan dalam UTN ternyata sangat luar biasa susahnya. Materi yang diujikan itu berkaitan dengan High Order Thinking Skill (HOTS) dan banyak diambil dari surat kabar dan majalah internasional. Saya sangat tahu betuh darimana materi itu diambil karena saya pernah membaca sebuah majalah online dan menemukan sebuah artikel yang sama persis dengan materi pada soal UTN yang saya kerjakan. Bentuk pertanyaan dalam soal adalah pilihan ganda dengan jumlah total 100 buah. Namun, hampir semua soal dan pilihan jawabannya itu diseleksi dengan sangat teliti dan ketat sesuai dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Namanya saja soal HOTS, sehingga untuk mengerjakan setiap soalnya, dibutuhkan waktu yang cukup.

Setelah mengikuti UTN, semua peserta harus menunggu sekitar satu minggu untuk mengetahui hasilnya. Saya pada awalnya memang sudah mempunyai firasat bahwa saya mungkin saja tidak akan lulus UTN. Semua pertanyaan yang saya kerjakan saat itu benar-benar membuat saya harus berfikir keras. Sungguh saya belum pernah mengerjakan soal sesulit itu sebelumnya. Saya akui tingkat kesulitan soal UTN bisa dikatakan melebihi soal Reading di TOEFL ataupun IELTS.

Firasat saya ternyata benar adanya. Saya tidak lulus bersama mayoritas teman saya di kelas. Waktu itu hanya 3 orang yang lulus. Saya cukup sedih karena saya harus belajar dan berlatih lagi untuk mengambil ujian ulang. Mengetahui ketidaklulusan saya di UTN, tidak sedikit teman-teman dari jurusan lain yang menyindir saya. Dan saya sangat sakit hati oleh sindiran itu, hingga terkenang sampai sekarang. Kira-kira beginilah sindiran mereka, “Masa Profesor TOEFL kok gak lulus UTN...haha.” Sewaktu PPG, saya memang dikenal dengan julukan Profesor TOEFL karena saya terbiasa mengajar les atau kelompok ketika tidak ada kegiatan asrama di malam hari. Sehingga saya merasa malu sekali waktu itu.

Karena rasa malu itu, saya kemudian bekerja lebih keras lagi untuk mempersiapkan ujian ulang ke-2. Saya banyak mencari materi di internet dan mencoba membuat soal-soal yang paling sulit. Alhamdulillah, usaha saya tidak sia-sia. Akhirnya saya lulus walaupun nilainya tidak seberapa. Namun diantara teman sekelas yang mengambil ujian ulang, masih ada 5 orang yang tidak lulus saat itu. Menurut saya, soal yang diujikan dalam UTN memang benar-benar susah sekali. Sejak saat itu saya berkesimpulan bahwa PPG memang merupakan sebuah program yang luar biasa dan ideal untuk menggembleng para peserta menjadi guru yang profesional. Ujian kelulusannya saja susahnya bukan main.


PPG ini akhirnya membuat saya melakukan refleksi diri bahwa setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Saya misalnya, memang bisa dikatakan sangat baik dan terampil dalam menulis atau membuat uraian terutama dalam Bahasa Inggris, namun saya ternyata juga memiliki kelemahan di bidang yang lain, yaitu keterampilan membaca (Reading), yang dibuktikan dengan kegagalan saya pada saat mengikuti UTN pertama. Menurut saya, memahami akan kelebihan dan kekurangan diri itu sangat penting untuk kehidupan saya kelak di masa yang akan datang. 

Bersambung.... (Bagian 13)

Selasa, 19 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 11) - Serangkaian Refleksi

Saya, foto bersama dengan peserta PPL lainnya di SMKN 2 Semarang
Mengikuti PPL ...Lagi?

*Aziza Restu Febrianto

Salah satu komponen yang paling penting dalam pendidikan keguruan adalah Pengalaman Praktik Lapangan (PPL). Begitupula dengan PPG yang mana PPL merupakan sebuah bagian integral, bahkan variasi kegiatan dan masa durasinya jauh lebih lama dibandingkan PPL pada pendidikan S1. PPL dalam program PPG berlangsung selama kurang lebih 4 bulan atau dua kali PPL di kuliah pendidikan S1. Seperti biasa, PPL diawali dengan observasi lingkungan sekolah beserta perangkat dan programnya. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan semua perangkat pembelajaran seperti kurikulum, silabus, materi, RPP dan  semua perlengkapan lainnya dengan didampingi oleh dosen pembimbing dan guru pamong. Pendampingan ini bertujuan untuk penyusunan perangkat yang harus disesuaikan dengan kondisi siswa di sekolah tersebut. Jika semua perangkat sudah dipersiapkan, baru semua peserta PPG dipersilahkan untuk mengajar di kelas-kelas yang telah ditentukan.

Pada waktu itu saya ditempatkan di SMKN 2 Semarang (dulunya SMEA) dimana mayoritas siswanya adalah perempuan. Kelas dibagi menjadi 3 macam jurusan, sesuai dengan pilihan siswa. Saya mendapatkan kesempatan mengajar di kelas jurusan Pemasaran, yang terkenal dengan keramaian dan kebandelan siswanya. Guru pamong tentu saja menceritakan semua tentang kelas itu kepada saya sebelum saya mulai mengajar. Saya jadi teringat waktu PPL S1 dulu yang mana saya juga mendapatkan jatah mengajar di kelas yang bandel (IPS), walaupun saya sendiri waktu SMA dulu juga anak IPS...haha. Tapi karena sudah terbiasa dengan mengajar siswa bandel, saya malah menjadi banyak belajar tentang mengajar di sekolah menengah.

Saya sempat bergumam dalam hati, “Untung saya sudah sering mengajar siswa bandel di kelas selama ini, bahkan siswa yang sangat rendah motivasinya di NTT sana. So, saya siap dengan tantangan ini!” Setelah masuk di kelas, saya memang menemukan banyak diantara siswa yang cerewet atau dalam bahasa jawa dikenal dengan sebutan “cewawakan”. Namun, hampir semua siswa adalah perempuan dan di kebanyakan kelas, hanya terdapat 2 atau 3 orang laki-laki. Sehingga saya merasa tidak begitu kualahan mengatur mereka. Tapi walaupun mereka masih bisa diatur, saya tetap tidak yakin mereka benar-benar bisa menangkap materi yang saya sampaikan. Rata-rata siswa yang saya ajar di kelas itu tidak memiliki latar belakang kompetensi Bahasa Inggris yang bagus. Motivasi mereka dalam belajar Bahasa asing ini juga tidak terlalu tinggi. Mereka juga kebanyakan tidak begitu memiliki cita-cita akademis yang tinggi. Menurut mereka yang penting setelah lulus sekolah, mereka bisa bekerja di bagian marketing perusahaan. Begitu saja sudah cukup.

Saya tidak tahu atas pertimbangan apa, waktu itu saya ditunjuk sebagai koordinator PPL. Sebagai konsekuensi, saya harus selalu bisa mewakili teman-teman lain untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak di sekolah seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan beberapa guru lain untuk segala urusan penting di sekolah. Saya juga harus mengikuti rapat koordinasi antara pihak kampus penyelenggara PPG dengan sekolah tempat PPL. Kesibukan ini akhirnya berdampak pada jadwal mengajar saya. Seringkali tugas mengajar itu saya limpahkan ke teman PPL lain. Sungguh sangat kebetulan, dosen pembimbing dari UNNES adalah seorang dosen yang sudah mengenal saya dengan baik. Memang sudah menjadi takdir Tuhan, beliau jugalah yang dulu membimbing saya ketika PPL pendidikan S1. Sehingga walaupun saya sering meninggalkan tugas mengajar, semuanya tetap berjalan dengan lancar.

Sebagai seorang koordinator, saya juga sering diminta memberikan sambutan di beberapa acara yang melibatkan mahasiswa PPL. Saya bahkan pernah ditunjuk sebagai khotib sholat jum’at di masjid sekolah. Karena kebiasaan organisasi, mengajar dan berbicara di depan umum selama kuliah S1 dulu, saya sama sekali tidak mempunyai masalah dengan semua tugas itu. Bahkan saya sangat senang menjalaninya. Bagi saya Public speaking itu adalah bagian yang paling penting dan integral dalam dunia mengajar.

Dalam PPL PPG, semua peserta diwajibkan untuk membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yang memang sudah menjadi salah satu tugas seorang guru di sekolah. Menurut aturan yang saya baca, PTK ini secara signifikan bisa membantu guru meningkatkan karir mereka dan bahkan bisa mengajukan sertifikasi guru. Dengan pembuatan PTK, guru diharapkan mampu membuat sebuah karya ilmiah yang hasilnya bisa sangat berguna bagi kebijakan pendidikan Alasan itu sangat masuk akal karena merekalah yang secara langsung mengetahui dan memahami permasalahan di kelas. Pembuatan PTK inilah yang menjadi salah satu pembeda antara PPL PPG dengan PPL S1. Saya masih ingat bahwa hasil karya PTK ini akhirnya saya jadikan sebuah paper untuk dipresentasikan di sebuah konferensi internasional pendidikan Bahasa Inggris di Semarang.

Nilai PPL PPG tidak hanya ditentukan oleh laporan selama kegiatan di sekolah saja, tapi juga dari beberapa komponen seperti ujian kinerja mengajar selama 3 kali, PTK dan laporan PPL. Semua komponen inilah yang juga membedakan antara PPL PPG dengan PPL S1, yang nilainya hanya ditentukan oleh laporan PPL dan praktik mengajar saja. Selain mengajar, membuat PTK dan laporan PPL, kita juga diharapkan bisa ikut membantu memperlancar atau menaktifkan kegiatan Pramuka di sekolah karena semua peserta PPG juga mendapatkan pembekalan Pramuka seperti Kursus Orientasi Lengkap (KOL), Kursus Menengah Dasar (KMD) dan Kursus Menengah Lanjutan (KML) di kampus. Pokoknya lengkap deh. Jadi lulusan PPG ini kelak diharapkan bisa menjadi guru yang juga mampu membina semua kegiatan pramuka di sekolah tempat mereka bekerja.

Sebagai penilaian akhir PPL, semua peserta diwajibkan untuk mengikuti Ujian Kinerja Guru (UKG) atau penilaian mengajar di kelas selama 3 kali. Dengan dilaksanakannya UKG selama 3 kali ini, para peserta sebagai calon guru profesional dapat melakukan refleksi dan evaluasi diri. Pada setiap UKG, ada 3 orang yang menguji, yaitu dosen pembimbing, guru pamong dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Seperti peserta PPG lainnya, saya tentu merasakan grogi ketika akan mengikuti UKG meskipun saya sudah terbiasa dengan public speaking dan mengajar. Sayapun menyiapkan UKG dengan semaksimal mungkin. Semua perangkat, materi dan media pembelajaran harus saya siapkan semenarik mungkin. Saya masih ingat, ketika mengikuti UKG tahap terakhir, saya mengajar Recount Text (Kurikulum KTSP) di kelas 10 jurusan pemasaran. 

Setelah praktik mengajar dalam rangka UKG, tentu saja para penilai diberikan kesempatan untuk memberikan komentar. Beginilah komentar yang disampaikan oleh guru pamong dan wakil kepala sekolah waktu itu,

“Sudah bagus mengajarnya mas, hanya saja mas perlu jalan-jalan ke belakang, memastikan bahwa siswa yang duduk di belakang itu paham.” Kata guru pamong. Sedangkan wakil kepala sekolah bidang kurikulum menyampaikan, “Ya memang sudah bagus sih, hanya saja tolong kalau berbicara Bahasa Inggris jangan terlalu cepat. Anak-anak nanti bingung mas.”
Karena dosen pembimbing saya sudah mengenal dan mengerti cara mengajar saya seperti apa, beliau meng-iyakan saja apa yang disampaikan oleh penguji lainnya. 

Rabu, 13 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 10) - Serangkaian Refleksi


Menjadi Peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG)

*Aziza Restu Febrianto

Setahun cepat sekali berlalu. Ilmu dan pengalaman telah cukup saya dapatkan di tanah rantauan selama program SM-3T, yang memang berlangsung hanya satu tahun. Itu artinya Saya dan peserta lainnya harus siap dipulangkan kembali ke tanah Jawa. Sebagai reward atau penghargaan atas tugas yang telah kita laksanakan selama satu tahun itu, pemerintah memberikan beasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) kepada semua peserta untuk jangka waktu satu tahun pula. Waktu itu saya mengikuti PPG di almamater saya, UNNES, sehingga saya harus kembali ke Semarang. Menurut subjektif saya, secara keseluruhan, PPG merupakan sebuah program yang sangat luar biasa dan ideal untuk melatih, mendidik dan menggembleng para calon guru untuk menjadi profesional. PPG jugalah yang akhirnya membuat saya membuka mata dan jatuh cinta pada dunia pendidikan yang kemudian saya tekuni hingga sekarang.

PPG ini mengingatkan saya pada sebuah program pendidikan guru di Inggris bernama Postgraduate Certificate in Education (PGCE/PGCertEd) yang durasinya juga satu tahun. Siapa saja yang mengambil dan menyelesaikan pendidikan ini akan berpeluang besar untuk menjadi guru. Secara esensi, memang ada kesamaan antara PPG dan PGCE. Namun, secara teknis, kedua program itu tentu saja memiliki banyak perbedaan. Informasi lebih lanjut mengenai PGCE bisa dilihat di laman ini https://www.prospects.ac.uk/. PPG sebenarnya juga merupakan program perbaikan dari jenis pendidikan yang ada sebelumnya, yaitu pendidikan Akta 4. Namun, setelah melalui rangkaian evaluasi dan dikeluarkannya undang-undang  profesi guru dan dosen, pendidikan Akta 4 ini kemudian dihapus dan digantikan oleh PPG.  

Selama PPG, semua peserta (alumni SM-3T) diwajibkan untuk tinggal di asrama. Semua peserta juga diharuskan untuk mengikuti berbagai macam kegiatan pengembangan diri di asrama. Perkuliahan dilaksanakan setiap hari senin sampai dengan sabtu di kampus mulai dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 17.00. Sungguh luar biasa padatnya jadwal PPG itu, sehingga kita harus mengosongkan semua agenda yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Pada hari minggupun kita juga harus mengikuti kegiatan olahraga dan kreativitas kesenian. Kita dilarang meninggalkan asrama kecuali atas ijin dari lurah asrama. Itu saja kalau memang ada keperluan penting. Yang jelas PPG itu adalah sebuah program yang sangat padat sekali. Semua peserta diwajibkan untuk berada di lingkungan kampus dan asrama selama 24 jam setiap hari dalam jangka waktu satu tahun.

Dalam pelaksanaannya, PPG dibagi menjadi dua sesi. Sesi yang pertama adalah kegiatan perkuliahan seperti biasa, yaitu semua peserta harus mengikuti perkuliahan di kampus dari pagi hingga sore hari, diajar dan didampingi oleh beberapa dosen. Sedangkan sesi yang kedua adalah PPL seperti halnya yang pernah saya dapatkan ketika masih kuliah S1 dulu. Hanya saja PPL pada saat PPG sangatlah berbeda baik dari sisi durasi maupun variasi kegiatannya. Pada kegiatan pertama di kampus, yang kita lakukan adalah membedah semua kurikulum dan silabus SMP dan SMA/ MA/ SMK. Tapi untuk melakukannya, kita dibagi menjadi beberapa tim agar semua perangkat itu bisa dikerjakan dengan diskusi kelompok untuk semua jenjang dalam waktu yang terbatas. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan materi pembelajaran yang diakhiri dengan memilih salah satu materi untuk digunakan dalam membuat Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP).

Ketika semua komponen kurikulum dan silabus telah dibedah, materi sudah dipersiapkan dan RPP juga sudah dibuat, kegiatan selanjutnya yaitu kita harus mempersiapkan praktik mengajar di kelas atau yang biasa dikenal dengan Peer teaching. Dengan semua perangkat dan perlengkapan pembelajaran yang sudah kita siapkan, kita harus melakukan praktik mengajar didepan teman sekelas atau kolega kita. Praktik mengajar ini tentu saja dilakukan secara bergiliran dengan diperhatikan dan dievaluasi oleh dosen. Terkadang kegiatan perkuliahan termauk Peer teaching ini juga dihadiri oleh seorang guru senior yang terkenal berprestasi, baik dari SMP, SMA maupun SMK. Para dosen, guru sekolah yang diundang serta semua peserta PPG diberikan kesempatan untuk memberikan masukan kepada setiap dari kita yang tampil. Saya masih cukup ingat beberapa masukan dari dosen, guru sekolah maupun teman sekelas ketika saya mendapatkan giliran Peer teaching.

Beberapa kolega atau teman kelas tampaknya memiliki pendapat yang sama dengan para dosen dan guru sekolah ketika melihat saya mengajar di kelas. Mereka mengatakan,

“Mas, keterampilan Bahasa Inggris anda sudah bagus. Tapi ketika menjelaskan materi, anda terlalu cepat. Ingat yang anda ajar ini adalah anak SMP.” Saking antusiasnya mengajar, saya memang terkadang tidak menyadari bahwa konteks latar belakang siswa yang saya ajar adalah SMP, yang tentu saja baru belajar Bahasa Inggris pada tingkat dasar. Mungkin kondisi Peer teaching yang mana siswanya merupakan kolega saya sendiri ini sangat mempengaruhi bagaimana saya mengajar.
Bahkan dua orang teman saya juga sempat berkata kepada saya, “Mas Restu jadi dosen saja. Lebih cocok.” Masukan lainnya yang saya terima dari peserta PPG lain adalah yang berkaitan dengan manajemen waktu, “Tadi itu mas seharusnya jangan terlalu banyak dan terlalu lama di pembukaan mengajar atau penyampaian apersepsinya, sehingga waktu untuk kegiatan inti jadi berkurang. ”

Begitulah kira-kira feedback yang diberikan oleh para kolega, dosen dan guru sekolah. Meunurut saya kegiatan seperti ini itu luar biasa. Peserta calon guru diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk membedah materi, mempersiapkan RPP dan melakukan praktik mengajar di kelas dengan berbagai masukan dari orang lain yang tentu membuat mereka semakin memperbaiki diri melalui evaluasi dan refleksi. Dan kegiatan semacam ini kita lakukan setiap hari hingga mendekati waktu PPL tiba. Sungguh luar biasa, walaupun saya juga berfikir bahwa semua pelatihan dalam perkuliahan ini belum tentu akan benar-benar bisa diterapkan sempurna di kelas yang sebenarnya karena pertimbangan pengalaman mengajar peserta yang cukup lama di sekolah.  Kita benar-benar paham betul betapa tentatifnya kondisi siswa di ruang kelas yang nyata. 

Bersambung.....(Bagian 11)

Kamis, 07 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 9) - Serangkaian Refleksi

Pulang sekolah bersama siswa
Lokasi: Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende,
Nusa Tenggara Timur (NTT)
Menjadi Guru di Pedalaman

*Aziza Restu Febrianto

4 bulan setelah keputusan berhenti bekerja dan menganggur, saya akhirnya mendapatkan informasi yang sangat menarik perhatian saya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI), membuka lowongan guru yang akan ditempatkan di daerah terpencil selama satu tahun, bernama Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T). Program ini adalah pioneer atau rintisan dari pemerintah karena sebelumnya sudah ada program yang serupa yaitu Gerakan Indonesia Mengajar dari pihak swasta. Saya sangat antusias sekali untuk mendaftar program ini karena pengalaman yang akan diperoleh peserta ketika ditempatkan di daerah 3T.

Pada awalnya ibu tidak merestui, namun, setelah saya jelaskan, beliau akhirnya mantab dan merelakan keputusan saya. Setelah mempersiapkan semua persyaratannya, sayapun mendaftar secara online. Jujur saja, ketertarikan saya untuk mengikuti program ini sekali lagi bukanlah karena alasan keinginan pribadi untuk menjadi guru, tapi karena jiwa petualangan dan rasa ingin tahu yang tinggi untuk mengeksplorasi tempat-tempat baru. Kebetulan program ini hanya diperuntukkan bagi para lulusan S1 kependidikan atau keguruan seperti saya.

Saya kemudian mengikuti semua proses seleksi dengan baik, mulai dari administrasi secara online maupun offline, tes tertulis berupa Tes Potensi Akademik (TPA) dan Tes Kompetensi Bidang (TKB), hingga yang terakhir, yaitu wawancara. Alhamdulillah, saya mampu melewati semua tahapan seleksi secara sempurna. Saya bahkan tidak terlalu menghabiskan waktu lama untuk melewati proses wawancara karena pewawancara dengan cepat mendapatkan kesan yang baik mengenai saya.

“Sepertinya anda punya banyak wawasan dan matang. Saya yakin anda siap ditempatkan di Nusa Tenggara Timur (NTT).”
Seperti itulah kesan yang beliau tunjukkan kepada saya pada saat wawancara. Sebenarnya jawaban yang saya sampaikan hanya mengalir begitu saja. Tidak ada yang dibuat-buat. Tapi saya yakin kesan itu muncul karena beliau pastinya membandingkan performa saya dengan peserta lain yang kebanyakan berusia 3 tahun lebih muda dari saya (baru saja lulus kuliah). Pola pikir orang dengan jarak usia seperti itu tentu saja sangat berbeda, ditambah lagi dengan pengalaman hidup yang dimiliki.

Setelah dinyatakan lolos sebagai peserta SM-3T, saya kemudian mengikuti kegiatan pra-kondisi atau pembekalan selama seminggu di Semarang dalam rangka persiapan untuk menghadapi tantangan hidup dan mengajar selama tinggal di daerah 3T. Selama kegiatan ini, semua peserta dibekali dengan beberapa keterampilan seperti membuat perangkat pembelajaran, teknik mengajar yang menarik sesuai dengan daerah 3T, ketahanmalangan, dan kepramukaan. Khusus untuk materi ketahanmalangan, kita semua secara langsung dibimbing oleh para anggota TNI dari Ringdam Diponegoro, Magelang.

Serangkaian latihan dalam membuat perangkat pembelajaran dan teknik mengajar selama kegiatan pra-kondisi inilah yang akhirnya membuat saya mulai menemukan semangat dan ketertarikan untuk menjadi guru. Pada kegiatan ini, semua peserta diberikan bimbingan tentang cara mengajar, mulai dari membuat materi hingga permainan menarik yang disesuaikan dengan kondisi di daerah 3T, yang tentu tidak lepas dari keterbatasan sarana dan prasarana.

Kegiatan pra-kondisi dan pembekalanpun akhirnya selesai. Sehari kemudian, saya dan peserta lainnya diberangkatkan menuju lokasi tujuan. Beberapa peserta diberangkatkan menuju provinsi Aceh, sedangkan saya dan beberapa teman lainnya dikirim ke Kabupaten Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten ini sangat terkenal, terutama karena merupakan tempat dimana presiden pertama RI, Soekarno pernah diasingkan. Perjalanan saya menuju Kabupaten Ende adalah pengalaman saya naik pesawat untuk pertama kalinya..hehe. Sungguh, yang rasakan waktu itu adalah kebahagiaan yang luar biasa: melakukan perjalanan dengan naik pesawat dan mengunjungi tempat-tempat indah di NTT.

Sesampainya di Ende, tentu saja saya dan teman-teman lain tidak ingin melewatkan kunjungan ke rumah Bung Karno saat diasingkan pada tahun 1943 dulu. Alhamdulillah, selama program SM-3T, saya telah mengunjungi banyak tempat di semua pulau besar di NTT, hidup bersama masyarakat dan mempelajari kebudayaan setempat. Sungguh, saya sangat bersyukur sekali mendapatkan kesempatan ini.

Saya ditugaskan di sebuah SMP Katolik yang lokasinya sangat jauh dari kota Ende. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor, kira-kira bisa menghabiskan waktu sekitar 4 jam untuk menuju ke sekolah dari kota. Sebagai seoarang guru baru dengan latar belakang yang berbeda dengan penduduk setempat, tentu saja saya mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pengalaman selama mengajar di sekolah ini. Pertama, saya harus belajar banyak perbedaan terutama mengenai kebiasaan, budaya, dan adat-istiadat lokal. Saya belajar bagaimana mengajar siswa dengan memiliki latar belakang suku, budaya, agama serta wawasan yang sangat berbeda. Kedua, saya juga harus belajar bagaimana cara berinteraksi dengan para guru yang cara mengajar dan mendidiknya sangat berbeda dari kebanyakan guru yang selama ini saya temui di pulau Jawa.

Motivasi belajar kebanyakan siswa di sekolah tempat saya bertugas ini bisa dikatakan masih sangat rendah. Kesimpulan ini bisa dilihat dari tingkat partisipasi siswa di sekolah serta perhatian mereka pada pembelajaran yang saya berikan di kelas. Ketika mengajar, saya sering sekali mengalokasikan waktu untuk bercerita. Tujuannya tentu adalah agar mereka semakin terinspirasi melalui cerita saya dan semangat belajar Bahasa Inggris mereka menjadi semakin meningkat. Namun, semakin saya sering bercerita, yang terjadi malah mereka ternyata menjadi ketagihan mendengarkan cerita dan kurang antusias saat saya memulai pembelajaran. Beginilah kira-kira dialog saya dengan siswa di kelas setelah saya selesai bercerita:

“Nah sekarang saatnya kita mulai mencintai Bahasa Inggris dengan mempelajari materi kita pada hari ini, okay?” Mereka kemudian malah berteriak, “Cerita lagi pak guru…….. Cerita lagi!!”
Dalam hati saya bergumam, “Gawat, kalau saya bercerita terus, kapan masuk materinya?” Akhirnya saya hanya bisa bilang kepada mereka, “Ceritanya kita lanjutkan lain kali saja ya…….. Okay?” Merekapun merenyutkan dahi, tanda sebuah rasa kekecewaan.
Saya kemudian mencoba menerapkan beberapa permainan di kelas, berharap siswa saya secara tidak langsung menjadi antusias dengan pembelajaran yang saya berikan. Namun yang terjadi lagi-lagi mereka malah menjadi ketagihan dengan permainan itu. Kejadian ini persis seperti apa yang saya alami ketika saya selesai bercerita di kelas.

“Main lagi aja pak guru….main lagi…..” celoteh beberapa orang siswa. Berharap memiliki waktu untuk penjelasan materi, saya hanya bisa bilang,
“Permainannya kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya aja ya….”  “Kita kembali ke materi dulu…okay?”

Kejadian semacam ini sering sekali terjadi di kelas saya, sehingga saya harus selalu memutar otak untuk mencari kreativitas mengajar yang menarik dan sekaligus juga membuat siswa belajar sesuatu di kelas. Setelah setahun saya mengajar di sekolah itu, akhirnya saya menemukan satu kesimpulan tentang siswa disana. Motivasi belajar Bahasa Inggris siswa di sekolah itu sangat rendah karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan keluarga. Mereka merasa senang dan antusias dalam belajar saja sudah merupakan sebuah pencapaian yang bagus. Tapi konsekuensinya, target pembelajaran yang seharusnya mengikuti kurikulum tidak pernah tercapai.

Diantara semua pengalaman yang saya dapatkan selama mengajar di SMP terpencil ini, menurut saya ada satu yang paling berkesan. Semua berawal dari penemuan saya tentang beberapa siswa di kelas yang tidak memiliki motivasi sama sekali untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Saya mengetahuinya ketika rasa penasaran saya begitu memuncak terutama pada siswa yang selalu saja acuh, tidak peduli dengan pelajaran saya dan suka membuat kegaduhan di kelas. Di luar pelajaran, mereka juga sering sekali dihukum oleh guru lainnya. Sayapun akhirnya berinisiatif untuk mewawancari mereka satu persatu. Berikut ini adalah cuplikan salah satu dialog saya dengan salah seorang diantara mereka:
Saya bertanya kepada salah satu siswa, “Samuel, kamu sadar kan kegaduhan yang kamu buat sangat menganggu temanmu lain yang sedang belajar?”
Sambil tersenyum, Samuel pun menjawab, “Iya pak guru.” “Kamu itu sebenarnya cerdas…. Kalau lulus nanti, kamu masih ingin melanjutkan sekolah lagi kan?”
Dengan santainya dia menjawab, “Malas pak guru. Saya mau cari ikan di laut saja. Di sekolah banyak aturan, tugas dan disuruh bekerja pula.”
Mendengar jawaban dari Samuel ini, saya berkesimpulan bahwa sekolah menurut dia adalah tempat yang tidak nyaman. Di percakapan lain, dia juga berpendapat bahwa percuma dia melanjutkan sekolah jika akhirnya harus menjadi nelayan di kampung. Sepertinya memang ada yang salah dengan cara orang tua Samuel dalam mendidik Samuel selama ini.

Pengalaman lain yang tidak kalah menariknya adalah melihat bagaimana guru memperlakukan siswa, yang menurut saya kurang beradab. Kebiasaan memukul siswa sudah menjadi hal yang lumrah di sekolah itu. Bahkan orang tua siswapun mendukung kebiasaan itu. Kebiasaan ini mengingatkan saya pada budaya guru menghukum pada jaman dulu di kampung saya di Jawa. Tapi menurut saya cara menghukum yang dilakukan oleh guru di sekolah ini jauh lebih keras. Saya sempat berdialog dengan salah seorang guru yang dengan sangat keras menghukum siswanya pada saat apel pagi.

Saya bilang kepada guru itu, “Ibu, menurut saya ibu tadi terlalu kasar pada siswa. Harusnya jangan seperti itu memperlakukan mereka.”
Dengan tersenyum simpul beliau menjawab, “hehe…..itu sudah biasa pak disni. Disini jangan dibandingkan dengan di jawa atau di kota. Anak – anak kalau tidak dikasih kasar dan keras, mereka tidak akan merubah sikap. Mereka itu kepala batu. Mereka juga sudah terbiasa diperlakukan sama oleh mereka punya orang tua di rumah.”
Sedikit kecewa dengan tanggapannya, kemudian saya menyanggah, “Terus bagaimana kalau nanti ada keluhan atau protes dari orang tua mereka?” Beliau malah menambahkan, “justru mereka punya orang tua sangat mendukung tindakan kami. Mereka bilang, kalau anak mereka nakal, pukul saja.”

Pengalaman selama mengikuti program SM-3T ini membuat saya semakin belajar. Di tempat tugas, saya belajar banyak tentang bagaimana menumbuhkan sikap toleransi terhadap banyaknya perbedaan. Tidak hanya perbedaan berdasarkan suku, agama dan ras saja, tapi juga pandangan serta pola pikir manusia yang sangat beragam. Saya akhirnya juga semakin mantab memilih guru sebagai profesi saya walaupun di kemudian hari, pandangan saya itu bisa saja berubah. 

Sabtu, 02 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 8) - Serangkaian Refleksi

Saya, mandi di sungai: Melepas penat setelah keluar dari pekerjaan..hehe :)

Mengundurkan Diri dari Pekerjaan dan Menjadi Pengangguran

*Aziza Restu Febrianto

Semua kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan selama bekerja di kantor tidak membuat saya patah semangat untuk bekerja. Saya harus tetap bekerja keras dan mencoba berbagai peruntungan lain lagi ketika kesempatan itu datang. Tugas demi tugas saya nikmati hingga akhirnya membawa saya pada sebuah insiden yang menjadi ujung berakhirnya karir saya sebagai kepala cabang di sebuah kantor lembaga bimbingan belajar. Semuanya berawal dari ketidakprofesionalitasan pemilik usaha (owner) yang selalu menunda pembayaran investasi (goodwill) dan dana operasional kepada kantor pusat. Sikap pemilik usaha ini akhirnya berdampak pada sarana dan prasarana pembelajaran yang tidak sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP).

Beberapa bulan berjalan, semua kegiatan pembelajaran dan pekerjaan lainnya masih berjalan dengan normal. Namun si pemilik usaha ternyata telah mendapatkan beberapa peringatan terkait dengan penundaan pembayaran. Akibatnya kantor pusat enggan mengirimkan sarana dan prasarananya ke kantor cabang Salatiga. Karena semua pembelajaran harus berjalan dengan lancar, maka si pemilik usaha harus mencari cara agar usahanya tetap berjalan dengan lancar. Beberapa sarana dipaksakan ada dan semua buku lama digandakan dengan biaya yang jauh lebih murah. Akhirnya hal yang tidak diinginkan terjadi. Pihak pusat melaukan kunjungan sekaligus meninjau kantor cabang, yang berujuang pada pemanggilan saya sebagai kepala cabang ke kantor pusat.

Dengan ditemani si pemilik usaha, sayapun berangkat ke kantor pusat, yang berlokasi di Yogyakarta. Hal yang paling tidak saya suka adalah bos saya (pemilik usaha) tidak mau datang ke pertemuan, sehingga sayalah yang harus sendirian menghadapi pihak kedisiplinan kantor pusat. Sedangkan bos hanya menunggu diluar. Pertemuan yang saya ikuti itu ternyata adalah sebuah persidangan. Saya ditegur dan bahkan dimarahi terkait semua fasilitas di kantor cabang yang tidak sesuai dengan SOP. Beginilah kira-kira perkataan bernada keras dari pihak pusat yang tidak pernah saya lupa.

“Mas Restu ya..Kepala cabang Osamaliki Salatiga....kamu tahu pekerjaan itu adalah ibadah. Bagaimana bisa kamu memanipulasi data dan menggandakan semua sarana dan prasarana yang ada tanpa SOP. Mbok kamu itu belajar dari mas Bayu di Semarang itu. Dia itu kerjanya bagus banget. Tidak kayak kamu, payah!.”

Mendengar kalimat itu dari mereka membuat saya kaget dan sangat kecewa...sangat kecewa sekali. Saya sedih bahwa selama ini saya telah masuk dalam lingkaran fitnah. Pemilik usaha ternyata tidak amanah dalam menjalankan usaha lembaga. Meskipun posisi saya adalah kepala cabang, semua keputusan tentu harus atas ijin pemilik usaha. Jadi selama ini saya telah ditipu. Keesokan harinya (tepat 2 tahun sejak saya pertama kali bekerja), dengan berat hati saya harus memutuskan untuk keluar dari pekerjaan. Namun, akibat keputusan saya ini, akhirnya saya menganggur cukup lama di rumah.

Bersambung... (Bagian 9)