Tampilkan postingan dengan label Teaching English. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teaching English. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 November 2024

Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

 

image generated by perchance.org

Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

*Aziza Restu Febrianto

Tulisan ini merupakan sebuah hasil renungan dan refleksi selama 3 tahun terakhir sejak pertama kalinya saya menggunakan ChatGPT sebagai platform kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) paling populer pertama di Indonesia. Ternyata pasca kepopuleran ChatGPT, berbagai macam platform serupa bermunculan, dan bahkan lebih beraneka ragam dengan variasi tujuan dan kegunaannya. AI saat ini juga tidak hanya bisa digunakan untuk menciptakan tulisan, tetapi juga gambar, animasi, video, suara, dan musik beserta liriknya (multimodal). Dan tentunya teknologi ini tidak akan berhenti sampai disini karena akan terus berkembang dan memasuki spektrum yang baru secara terus menerus seperti yang sudah terjadi selama ini. Sungguh luar biasa. Namun, perkembangan AI tidak luput dari dilema pro kontra. Faktanya banyak pihak resah mengingat dampak yang disebabkan oleh AI yang telah merambah hampir semua sektor kehidupan, termasuk dunia industri dan pendidikan. Di sektor usaha dan industri tertentu, AI telah banyak menggantikan posisi karyawan manusia. Misalnya di industri kreativititas seni seperti desain komunikasi visual dan musik, tenaga manusia sudah tergantikan oleh AI, yang bahkan bisa bekerja secara lebih menarik, efektif dan efisien.

Sektor pendidikan juga mengalami kondisi yang tidak kalah meresahkan. Bagaimana tidak? Banyak siswa telah memanfaatkan AI untuk membuat tugas sekolah mereka (Cheating). Di satu sisi, AI sangat membantu mereka mempelajari banyak hal dengan cara instan dan cepat, tetapi di sisi lainnya, AI juga membuat mereka mengalami ketergantungan, dan proses pembelajaran menjadi terganggu. Jika dulu orang mengandalkan mesin pencari informasi (seperti Google), saat ini mereka cukup menggunakan AI yang dapat memberikan  informasi secara direct atau spontan dengan bertanya langsung kepada AI. Jawabannya pun sudah sangat sesuai dengan yang diharapkan – mostly accurate. Memang jawaban dari AI itu tidak 100% akurat, tetapi hampir semuanya akurat, khususnya terkait hal-hal yang umum. Ketika saya menjadi salah satu narasumber di sebuah acara rutin MGMP Jawa Tengah, hampir semua peserta yang merupakan guru sekolah, sudah sangat familiar dengan AI. Yang mereka pikirkan tentang alat itupun juga sama, yaitu AI memiliki 2 mata pisau: sangat membantu pembelajaran, tetapi juga mengancam pembelajaran. Dilema ini ternyata juga dirasakan oleh para dosen dan peneliti di bidang pendidikan. Pada 7-8 November lalu, saya dan rekan saya mengikuti sebuah konferensi internasional pada bidang English Language Teaching (ELT) atau pengajaran bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Salah satu pembicara utama (Keynote Speaker), Prof. Paul Kei Matsuda menekankan bahwa “Jangan anggap AI sebagai sebuah ancaman dan musuh, tetapi bertemanlah dengannya. Itu adalah (compliment) atau pelengkap hidup kita.”

Meskipun demikian, masih banyak guru dan dosen yang masih mengkhawatirkan penggunaan AI karena berbagai macam isu yang diawal saya sebutkan. Menurut saya, kekhawatiran itu normal karena mereka, sebagai pendidik, harus memikirkan strategi mengajar yang tentu harus berbeda dengan yang selama ini mereka terapkan. Mereka harus terus belajar banyak hal baru. Tanpa henti..iya..belajar tanpa henti, karena teknologi akan selalu berkembang dengan sangat pesat. Jika para pendidik tidak terus belajar sebagai Lifelong Learners, maka pasti akan tertinggal dan terlindas oleh perubahan, dan cara mengajarnyapun tidak akan mudah diterima oleh peserta didiknya. Mungkin ini adalah konsekuensi sekaligus hikmah dari perkembangan teknologi itu sendiri. Mungkin pembelajaran bahasa sudah bergeser dengan sangat signifikan: jika dulu siswa diajarkan mengenai Grammar dan bagaimana menyusun kalimat, paragraf, dan esai secara mendalam, saat ini pembelajaran akan berfokus pada peningkatan literacy, critical thinking dan problem solving melalui keterampilan komunikasi bahasa. Prof. Paul Kei Matsuda juga menyampaikan bahwa jika pembelajaran itu berfokus pada komunikasi, khususnya komunikasi lisan, maka pengetahuan Grammar tidak perlu perfect atau sempurna. Sehingga semua akan kembali pada substansi dan esensi belajar bahasa itu sendiri, yaitu bahasa hanyalah alat untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan dunia, berkomunikasi dengan dunia, dan turut serta dalam mencari solusi permasalahan dunia melalui keterampilan komunikasi. Saya kira konteks pembelajaran bahasa ini juga tidak jauh berbeda dengan ruang lingkup bidang ilmu lainnya. Pandangan ini juga pernah saya sampaikan di sebuah Podcast pada Channel YouTube resmi Universitas Nasional Karangturi, yang bisa ditonton disini ->  Menjadi Pengajar di Zaman AI

Teknologi AI faktanya juga memungkinkan pendidik untuk bisa mengidentifikasi dan mengklasifikasi karakteristik peserta didik mereka. Dengan begitu, pendidik bisa mengetahui bagaimana cara mendidik dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan konteks kebutuhan mereka. Masifnya penggunaan AI ini juga membuat para pendidik tahu manakah peserta didik yang serius dalam belajar dan tidak bergairah dalam belajar. Mereka yang tidak serius belajar akan selalu mengandalkan AI dalam mengerjakan semua tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Sedangkan mereka yang serius akan memanfaatkan AI sebagai alat untuk mengakselerasi pengetahuan dan keterampilan mereka. Perbedaan kedua jenis peserta didik ini dapat dilihat dari 2 (dua) aspek dalam diri mereka, yaitu Orientasi hidup (Self-orientation) dan Rasa penasaran (Curiosity). Peserta didik yang baik pasti secara kuat memiliki kedua aspek ini dalam hidupnya, sehingga dia secara otomatis tidak akan mudah percaya pada hasil kerja AI dan justru mempelajari terus kinerja AI tersebut serta menantang keakuratannya melalui perbandingan dengan sumber lain yang dia dapatkan. Peserta didik semacam inilah yang sesungguhnya kita harapkan, karena mereka telah memiliki kesadaran autonomous learning atau pembelajaran mandiri, yang memang sejatinya merupakan akhir dari tujuan pendidikan itu sendiri (the ultimate goal of education). Nah, at the end of the day, tugas pendidik (guru dan dosen) tentu saja tidak hanya sebagai seorang learning facilitator saja, tetapi juga seorang coach: memberikan motivasi dan inspirasi agar peserta didiknya memiliki kesadaran autonomous learning dan independent learning dalam dirinya. Pemikiran ini juga sejalan dengan substansi presentasi yang disampaikan oleh Prof. Paul Kei Matsuda tentang peran guru di abad 21 pada acara konferensi yang saya ikuti tersebut.  

Rabu, 07 Juni 2023

Haruskah Bahasa Inggris (Tidak) Wajib Diajarkan di Sekolah?

 

https://metrobali.com/langkah-mundur-hapus-bahasa-inggris-sd/


Haruskah Bahasa Inggris (Tidak) Wajib Diajarkan di Sekolah?


*Aziza Restu Febrianto


Beberapa waktu lalu, banyak pihak membicarakan tentang RUU Sisdiknas yang masih dianggap penuh kontroversi. Salah satu bagian kontroversial yang dikhawatirkan oleh publik adalah penghapusan pasal Tunjangan Profesi Guru (TPG), meskipun pihak Kemendikbud telah menyampaikan bahwa RUU ini sudah terintegrasi dengan undang-undang dan peratuaran terkait lain yang mengatur tunjangan dan kesejahteraan guru dan dosen. Bagian kontroversial lainnya adalah tidak adanya mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib pada jenjang sekolah dasar dan menengah. Bagian ini terlihat jelas pada Pasal 81 ayat 1. Isu kedua ini telah mengundang kegelisahan para guru, dosen, dan pakar pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Mereka bahkan telah menandatangani petisi yang dipelopori oleh Asosiasi Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia, TEFLIN melalui change.or.id (lihat petisi https://chng.it/jcNwbwWZ). Setelah mendapatkan lebih dari 22,000 tandatangan dan adanya upaya peninjauan ulang di Mahkamah Konstitusi (MK), perumusan draf RUU tersebut akhirnya tidak jadi dilanjutkan.

Penghapusan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib (khususnya di sekolah dasar) sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2013 yang lalu. Memang sebelumnya tidak ada peraturan yang menyebutkan mata pelajaran apa saja yang wajib dipelajari, tetapi dengan adanya bahasa Inggris yang masuk dalam Ujian Nasional di sekolah menengah pada waktu itu, sudah sangat jelas akan kewajiban akan mempelajari bahasa tersebut. Meskipun penghapusan ini hanya terjadi pada jenjang pendidikan dasar, banyak pihak yang mempertanyakan keputusan ini. Saat itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan bahwa mata pelajaran ini memang tidak wajib, tetapi bukan berarti dihapuskan sehingga menjadi tidak ada. Dengan kata lain, bahasa Inggris dijadikan sebagai mata pelajaran pilihan di sekolah dasar, dan pihak sekolah boleh memasukkannya sebagai mata pelajaran atau memilih untuk tidak mengajarkannya. Mohammad Nuh menyampaikan alasan utama kenapa keputusan ini dibuat, yaitu sebagai upaya dalam rangka memprioritaskan bahasa Indonesia sebagai bahasa jati diri bangsa yang harus diajarkan sejak dini. Ternyata sekarang keputusan ini berlanjut hingga pada RUU Sisdiknas yang saat ini sedang dalam proses uji publik. Bahkan penghilangan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib ini tidak hanya akan dilakukan pada jenjang sekolah dasar, tetapi juga pada jenjang pendidikan menengah.

Keinginan kuat untuk menghapuskan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib ini membuat banyak pihak bertanya apakah bahasa Inggris masih perlu diajarkan secara formal di sekolah atau tidak. Untuk menjawabnya, diperlukan telaah beberapa referensi dan penelitian empiris untuk mengukur seberapa penting bahasa asing ini untuk diajarkan di sekolah. Referensi pertama adalah undang-undang yang mengatur status dan penggunaan bahasa di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 24 tahun  2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Tampaknya undang-undang ini juga dijadikan sebagai salah satu alasan dasar kenapa pelajaran bahasa Inggris menjadi tidak wajib di sekolah dalam RUU Sisdiknas yang baru. Di dalam undang-undang ini, sangat jelas ditekankan mengenai pentingnya pelajaran dan penggunaan bahasa Indonesia, tidak hanya dalam forum atau pertemuan penting di dalam negeri, tetapi juga konferensi tingkat internasional. Mengacu pada peraturan ini, para pejabat negara bahkan diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pendapat di berbagai pertemuan penting di luar negeri. Sehingga tidak heran jika presiden Joko Widodo, pada berbagai kesempatan di luar negeri, banyak berpidato dalam bahasa Indonesia, seperti halnya beberapa pemimpin negara lainnya yang berpidato dengan bahasa nasional mereka. Kita memang seharusnya mengapresiasi upaya pemerintah dalam meningkatkan jiwa nasionalisme bangsa dan pelestarian bahasa Indonesia melalui Undang-undang No.24 tahun 2009. Namun, jika undang-undang ini dijadikan sebagai salah satu alasan kenapa bahasa Inggris tidak wajib diajarkan di sekolah, sepertinya yang membuat keputusan tersebut belum memahami esensi isi dari undang-undang tersebut.

Pada pasal 29, disebutkan dengan jelas bahwa untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik pada satuan pendidikan, negara harus menjamin kesempatan dan fasilitas yang menunjang pembelajaran bahasa tersebut. Pasal ini menunjukkan pentingnya pelajaran bahasa asing untuk menunjang proses pendidikan. Pada beberapa pasal lainnya juga disebutkan adanya situasi dimana penulisan berbagai macam dokumen seperti nota kesepemahaman, informasi publik dan publikasi ilmiah perlu dilakukan dalam bahasa asing yang dipahami oleh pihak yang bersangkutan (Pasal 35, 37, dan 38). Dalam hal ini, faktanya hingga saat ini bahasa asing yang bisa dipahami dan diterima oleh hampir semua masyarakat dunia adalah bahasa Inggris. Selain itu, menurut undang-undang ini, dalam rangka peningkatan daya saing bangsa, negara juga wajib memfasilitasi warganya untuk mendapatkan pelatihan bahasa asing yang mana faktanya juga bahasa Inggris telah menjadi alat komunikasi untuk berbagai macam pengembangan diri. Menurut pasal 31, bahasa Inggris sendiri pada kenyataannya juga merupakan satu-satunya bahasa asing yang menjadi bahasa alternatif selain bahasa Indonesia. Jika memahami tujuan dan kepentingan-kepentingan yang disebutkan dalam UU No.24 Tahun 2009, sesungguhnya dalam konteks pendidikan, pembelajaran bahasa Inggris di sekolah masih sangat dibutuhkan dan hendaknya difasilitasi dan diawasi oleh negara. Para pejabat publik dan guru di sekolah memang wajib menekankan akan pentingnya menjunjung tinggi bahasa Indonesia dalam berbagai macam kondisi, tetapi penguasaan bahasa asing khususnya bahasa Inggris tetap merupakan tanggung jawab pendidikan nasional.

Terkait dengan urgensi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah, telah ada banyak studi yang membahas korelasi antara kompetensi bahasa Inggris terhadap pengembangan diri dan kesuksesan karir individu serta kemajuan bangsa, bahkan di negara maju dimana bahasa Inggris merupakan bahasa asing seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Pada tahun 2017, misalnya, World Economic Forum mengeluarkan sebuah review studi mengenai hubungan antara kompetensi bahasa Inggris dengan kemajuan ekonomi suatu bangsa. Mengutip data dari PBB dan English First (EF) English Proficiency Index (EPI), review studi ini menunjukkan bahwa kompetensi bahasa Inggris ini secara langsung dapat menunjang peningkatan Gross Demestic Product (GDP) atau jumlah nilai tambah produksi barang dan jasa serta Gross National Income (GDI) atau peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat di suatu negara. Kompetensi bahasa Inggris ini juga berkorelasi secara sangat kuat dengan kualitas hidup masyarakat dan indeks pengembangan kualitas manusia atau Human Development Index yang mengukur tingkat pendidikan, literasi dan harapan hidup masyarakat. Hasil studi ini selaras dengan sebuah temuan riset yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari Zheizang University, Cina. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2021 yang lalu dengan melibatkan 14,811 responden dari 14 negara di Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Penelitian tersebut membuktikan bahwa tingkat kompetensi dalam berbahasa Inggris sangat berpengaruh kuat pada kebahagiaan dan kepercayaan diri seseorang, karena kepuasan yang dia peroleh dari penghasilan yang meningkat dan aktivitas selama libur kerja. Kepuasan individu ini pada akhirnya berdampak signifikan terhadap peningkatan perekonomian negara.   

Melihat temuan dari kedua studi diatas, terlihat jelas bahwa dampak positif dari penguasaan bahasa Inggris masih sangat menakjubkan hingga saat ini, dan bahkan di masa yang akan datang. Sehingga sudah sewajarnya jika negara harus terus hadir dan mendorong masyarakatnya untuk mengembangkan kompetensinya melalui penguasaan bahasa Inggris dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat mungkin telah memiliki kesadaran akan manfaat dan pentingnya belajar bahasa Inggris, tetapi peran negara dalam memberikan fasilitas belajar yang maksimal pastinya akan memberikan hasil dan dampak yang jauh lebih signifikan. Dengan kata lain, jika kewajiban belajar bahasa Inggris ditekankan secara formal di sekolah, maka akan semakin banyak generasi muda yang memiliki tingkat pendidikan, literasi, dan kepercayaan diri yang tinggi, serta pendapatan yang memuaskan, sehingga mereka secara tidak langsung dapat membantu meningkatkan pembangunan dan kemajuan bangsa.

Senin, 06 Februari 2023

Bahasa Inggris dan Literasi

 

https://blogs.glowscotland.org.uk/er/Literacy/

Bahasa Inggris dan Literasi

 

*Aziza Restu Febrianto

 

Tulisan ini saya buat setelah mendapatkan inspirasi dari kegiatan belajar dan mengajar online saya saat ini. Kebetulan siswa yang saya ajar tergolong cerdas. Meskipun masih berusia sangat muda, siswa ini sebentar lagi menamatkan pendidikan pascasarjana pada bidang hukum di Universitas Dippnegoro Semarang. Skor TOEFL ITP nya juga sangat tinggi, yaitu 620. Pada awalnya, dia mengambil kursus bahasa Inggris untuk meningkatkan skor TOEFL nya, yang saat itu masih 530. Alhamdulillah, setelah saya dampingi selama sekitar 3 bulan, skornya naik secara signifikan. Menurut saya, skor ini sudah bisa dipakai untuk banyak keperluan baik pekerjaan maupun beasiswa luar negeri. Karena saya rasa dia sudah mencapai puncak pencapaian, saya kemudian menawarkan apakah dia masih melanjutkan kursus atau tidak. Jika dia memutuskan untuk lanjut, materinya tentu sudah tidak TOEFL lagi, tetapi IELTS karena format kedua tes ini sangatlah berbeda. Karena dia belum ada rencana mengambil tes IELTS dalam waktu dekat, dia kemudian memutuskan untuk fokus pada Speaking dan Writing. Saya juga menyarankan agar dia sangat memprioritaskan Writing (khususnya Academic Writing), karena selain penting, skill ini juga sangat rumit dan perlu banyak pembiasaan. Singkat cerita, pembelajaranpun berlanjut pada materi IELTS Speaking dan Writing yang akhirnya berlangsung selama sekitar 2 bulan.

Setelah menjalani pembelajaran IELTS Speaking dan Writing dengan berbagai macam simulasi dan feedback, saya kemudian menyadari bahwa kegiatan ini masih kurang efektif dalam membantu dia meningkatkan kompetensi bahasa Inggris. Setelah kursus IELTS bersama saya selama 2 bulan ini, level dia bisa dibilang sudah layak masuk kategori advanced atau mahir. Sehingga, menurut saya, pembelajaran IELTS saja tidak cukup, karena pada dasarnya IELTS preparation ini hanya berfokus pada keterampilan dan strategi dalam mengerjakan tes. Jika pembelajaran semacam ini diteruskan, pengetahuan dan penguasaan dia dalam aspek penting lainnya seperti perbendaharaan kata, variasi pola kalimat, ungkapan, chunks dan styles bahasa untuk berbagai macam konteks akan sulit berkembang. Selain itu dia juga perlu mengembangkan keterampilan dan ilmu pengetahuan lain melalui kegiatan belajar bahasa Inggris. Intinya, selain belajar bahasa, dia juga bisa belajar banyak hal serta meningkatkan kompetensi lain, termasuk Critical thinking and literacy. Keputusan ini tentu saja didasarkan pada pilihannya, dan mungkin ceritanya akan lain jika dia memang berencana mengambil tes IELTS dalam waktu dekat.

Singkat cerita, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti mengajarkan IELTS dan memilih kegiatan pembelajaran lain yang saya namai “Read and Present.” Sesuai dengan namanya, kegiatan pembelajaran ini berpusat pada penyerapan ilmu pengetahuan dan menyampaikan ilmu pengetahuan tersebut dalam aktivitas Speaking dan Writing. Namun, untuk topik dan materi dalam pembelajaran ini, siswa tidak bebas memilih karena saya yang menentukan. Materi ini harus diambil dari sumber yang autentik dan kredibel, yaitu lembaga-lembaga penyiaran dan riset resmi di negara-negara berbahasa Inggris (English Speaking Countries) seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Dan Thanks to the internet, saat ini kita sudah mendapatkan banyak kemudahan dalam akses yang luas terhadap berbagai macam sumber informasi dan ilmu pengetahuan melalui Google. Sehingga untuk mencari materi, saya cukup googling dengan mengetik kata kunci yang saya inginkan. Tidak cukup hanya mencari materi autentik, saya juga harus memastikan adanya diskusi setelah sesi presentasi. Sehingga topik yang saya pilih harus mengandung sisi perdebatan atau topics that provoke further questions. Tahapan pembelajaran “Read and Present” ini secara teknis bisa dilihat pada diagram berikut ini:

Seperti yang ditunjukkan pada diagram diatas, kegiatan pembelajaran ini berawal dari penentuan topik dan materi bacaan sebelum pertemuan di kelas (flipped teaching) yang diikuti dengan kegiatan membaca di rumah. Kenapa materi yang dipilih adalah materi bacaan dan bukan video (dari YouTube misalnya)? Alasannya adalah pertama, materi bacaan biasanya mengandung pembahasan yang jauh lebih mendalam dibandingkan video dengan durasi tayang yang cukup panjang. Selain itu, materi bacaan juga memungkinkan siswa untuk membaca dengan kecepatan waktu yang dia bisa perkirakan sendiri. Sementara menonton sebuah presentasi atau podcast dengan satu topik pembahasan di video YouTube bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Melalui materi bacaan, siswa juga dengan lebih mudah mempelajari variasi pola kalimat, perbendaharaan kata dan istilah baru, serta style alami penulisan. Website ini https://thebestschools.org/magazine/controversial-topics-research-starter/adalah salah satu contoh sumber materi bacaan autentik yang saya pakai diantara semua website, jurnal ilmiah, dan buku yang ada di internet.

Kegiatan membaca ini kemudian dilanjutkan dengan membuat rangkuman (summary) dengan menggunakan kata-kata sendiri di rumah. Kosa kata dan istilah-istilah baru juga perlu digunakan dalam penulisan rangkuman ini agar bisa dengan mudah dipelajari dan selalu diingat. Tidak hanya itu, rangkuman tersebut juga harus dalam bentuk sebuah esai yang terdiri dari minimal 250 kata, seperti halnya esai di IELTS Writing Task 2. Karena siswa yang saya ajar sudah mendapatkan materi IELTS sebelumnya, saya berasumsi bahwa dia tidak kesulitan dalam mengerjakan rangkuman ini. Esai rangkuman ini kemudian dipresentasikan secara oral di dalam kelas dengan tambahan elaborasi berupa penjelasan dan argumen pribadi. Pada saat presentasi, tugas dan peran saya sebagai pengajar adalah mendengarkan, mengamati dan memikirkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang materi yang dipresentasikan tersebut. Presentasi ini kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, yang pada akhirnya akan memunculkan sebuah diskusi. Kegiatan ini diharapkan bisa menstimulus Critical thinking dan Literacy, karena baik siswa dan pengajar akan merasa tertantang untuk berfikir dan berargumen secara logis dan rasional. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika pengajar juga membaca materinya secara mendalam sebelum bertemu siswa di kelas.

Kegiatan selanjutnya adalah pemberian feedback mengenai presentasi dan esai rangkuman yang telah dibuat oleh siswa. Sebagai pengajar, peran saya selanjutnya tentunya adalah memberikan feedback. Menurut saya, feedback ini wajib diberikan pada setiap kegiatan dan tugas yang dilakukan oleh siswa. Sesibuk apapun guru, dan sebanyak berapapun siswa, guru harus menyempatkan diri untuk memberikan feedback, walaupun hanya komentar umum. Dengan feedback yang konstruktif (Constructive Feedback), siswa akan mengetahui dimana letak kekurangan dan kelebihannya pada saat mengerjakan tugas dan menunjukkan performanya. Siswa juga akan semakin bersemangat setelah diberikan feedback, karena pada dasarnya tugas yang dia kerjakan itu diperhatikan oleh gurunya. Oleh karena itu, feedback itu harus konstruktif, artinya feedbak harus disampaikan secara logis, rasional dan positif dengan bahasa yang dapat membangun sugesti positif siswa. Disini, pengajar harus memastikan bahwa feedback yang disampaikan tidak membuat siswa kecil hati dan kurang percaya diri, tetapi justru harus sebaliknya, yaitu dapat membuat siswa tersebut lebih percaya diri dan semangat untuk memperbaiki diri. Sebagai pengajar bahasa, tentu saja feedback utama yang saya berikan adalah tata bahasa dan style siswa dalam melakukan presentasi dan menulis esai rangkuman, seperti koherensi dan kohesi, grammar, pola kalimat, pilihan kata, dan style bahasa. Namun, tidak berhenti disitu, saya juga memberikan feedback mengenai konten dan kedalaman materi yang disampaikan agar siswa dapat lebih meningkatkan keterampilan analisis isu dan pemikiran kritisnya. Dengan begini, literasinya juga diharapkan meningkat.

Menurut saya, kegiatan "Read and Present" ini adalah salah satu cara yang efektif untuk membantu siswa meningkatkan literacy nya disaat Indonesia masih mengalami krisis literasi (PISA, 2018).

Literacy is the ability to identify, understand, interpret, create, communicate, and compute, using printed and written materials associated with varying contexts (UNESCO).


Sesi Pemberian Feedback untuk Esai Rangkuman Materi


 

 

Rabu, 16 November 2022

6 Karakteristik Guru Ideal Kekinian

Foto: Saya dan Mahasiswa/i di Sebuah Ruang Kelas


6 Karakteristik Guru Ideal Kekinian 


*Aziza Restu Febrianto

 

Pada tanggal 11 November 2022 lalu, saya mengikuti sebuah Webinar dengan pembicara tunggal, yaitu Dr. Willy A. Renandya dari National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapura. Pada webinar tersebut, beliau memaparkan ciri-ciri guru di abad ke-21. Seperti biasa, cara beliau menyampaikan materi selalu memukau dengan gaya bicaranya yang khas: artikulasi yang jelas dan tidak terlalu cepat. Sebenarnya sebelum mengikuti webinar ini, saya sudah membaca beberapa karya beliau mengenai topik yang sama serta lebih lanjut lagi menelaah beberapa karya lain yang menjadi rujukan beliau. Melalui artikel ini, saya akan berusaha memaparkan apa yang saya tangkap dari penemuan beliau dan beberapa kajian para ilmuwan lain mengenai 6 karakteristik guru ideal kekinian atau guru yang selalu relevan dengan perkembangan zaman.

Guru yang kekinian itu harus:

1. Kompeten dalam profesinya (Professionally Competent)

Karakter ini tentu wajib dimiliki oleh seorang guru. Namun, kompeten dalam profesi guru bukan berarti hanya bisa melakukan dan mengerjakan sesuatu yang diajarkan saja, tetapi juga dapat menunjukkan efektivitas kerja yang membawa kesuksesan para siswanya. Sehingga seorang guru harus memiliki kompetensi mengenai apa yang diajarkan (Subject Knowledge) secara cukup dan tentang bagaimana cara mengajarkannya (Pedagogy). Guru bahasa Inggris, misalnya diharapkan memiliki kompetensi berbahasa Inggris (English proficiency) yang jauh diatas siswanya. Jika skor TOEFL siswanya adalah antara 400-500, maka gurunya harus memiliki skor 550 keatas. Dengan kompetensi yang tinggi ini, guru akan dapat memberikan input dan menjawab pertanyaan siswa secara instan dan akurat serta menjadi contoh (Role model) yang baik bagi semua siswanya. Menurut Dr. Willy, para ilmuwan dan praktisi di bidang pengajaran bahasa Inggris menyepakati bahwa level standar kompetensi bahasa target yang harus dimiliki oleh seorang guru bahasa Inggris adalah antara B2 (Menengah atas) dan C1 (Mahir bawah) berdasarkan CEFR.

Namun, Dr. Willy juga menyebutkan bahwa kompetensi pada Subject Knowledge untuk saat ini bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam profesi guru. Alasan pertama adalah karena para guru bisa melakukan persiapan secara matang jauh hari sebelum mengajar. Guru juga bisa mengandalkan berbagai materi autentik yang tersedia di internet untuk dijadikan sebagai sumber Subejct Knowledge utama untuk siswa. Guru, dengan keterampilan pedagogiknya, juga terkadang perlu menggunakan bahasa pertama atau bahasa ibu siswa yang disebut dengan strategi Translanguaging  agar tujuan pembelajaran bisa sepenuhnya tercapai. Oleh karena itu, seorang guru harus selalu memastikan dan berkomitmen untuk terus mengembangkan kedua kompetensi Subject Knowledge dan Pedagogy secara seimbang agar dapat membantu siswanya untuk berkembang sesuai dengan target pembelajaran yang diinginkan.

2. Reflektif (Reflective)

Reflektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya bersifat mendalam dan hati-hati (tentang pemikiran) yang terutama diarahkan kepada diri sendiri dan biasanya bersifat spiritual. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki sifat reflektif atau selalu melakukan perenungan diri dalam segala kegiatan kesehariannya. Setiap selesai melakukan kegiatan dalam pekerjaannya, dia harus selalu mengevaluasi diri dan merenungkan apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Setiap keputusan yang diambil oleh guru dan apa yang disampaikannya di dalam kelas tentu sangat berdampak pada kondisi perkembangan siswa. Sehingga setiap keputusan yang berwujud tindakan dalam sebuah kelas harus selalu dievaluasi. Seorang guru juga hendaknya selalu memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan kompetensinya baik, dalam bidang Subject Knowledge maupun Pedagogy.

Menurut teachthought.com, ada 10 cara agar seorang guru selalu memiliki sifat reflektif, yaitu:

1)   Merekam (video) diri sendiri ketika mengajar dan menonton video tersebut untuk melihat apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.

2)    Membagikan video rekaman mengajar kepada rekan belajar (Community of Practice) untuk mendapatkan masukan dari mereka.

3)   Mengundang rekan kerja guru (Colleagues) untuk mengamati dan mengobservasi kegiatan belajar dan mengajar yang sedang dilaksanakan di kelas.

4)    Bertanya kepada siswa untuk mendapatkan masukan (Feedback).

5) Bertanya kepada diri sendiri tentang 2 jenis pertanyaan: “Bagaimana kegiatan belajar mengajar itu terlaksana?” dan “Bagaimana saya tahu itu dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkannya?”

6)    Membuat sebuah jurnal aktivitas mengajar pribadi. Jurnal ini bisa dalam bentuk diary atau personal blog.

7)    Jujur pada diri sendiri dan bereaksi positif terhadap kritikan.

8)    Memastikan untuk selalu antusias terhadap segala sesuatu yang positif.

9) Merayakan keberhasilan dari semua aktivitas profesi yang telah dicapai. Merayakan keberhasilan ini dapat menumbuhkan sifat optimisme dan percaya diri untuk selalu melakukan perbaikan.

10) Mencari dan membuka diri untuk belajar dari siapapun (Openmindedness), seperti belajar melalui obrolan dengan siswa, orang tua siswa, rekan kerja, pimpinan sekolah, dsb.

3. Menerapkan Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa (Student-centered Learning)

Dulu dalam mengajar, guru dianggap sebagai sumber utama dari materi yang diajarkan. Dengan cara ini, metode pengajaran kemudian cenderung pada aktivitas ceramah, yang akhirnya kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung berpusat pada guru (Teacher-centered Learning). Kini, pola berfikir seperti ini mulai berubah karena banyaknya penelitian dan pengetahuan mengenai pembelajaran yang efektif di kelas. Salah satunya adalah Student-centered Learning. Student-centered Learning berpondasi pada pemahaman bahwa setiap individu termasuk siswa memiliki potensi bawaan yang berbeda-beda, dan potensi dasar ini hanya cukup memerlukan fasilitas dan dukungan untuk berkembang agar dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa bagi siswa itu sendiri. Dengan demikian, jika aktivitas siswa hanya berkutat pada mendengarkan ceramah guru, maka potensi itu tidak akan mendapatkan tempat aktualisasi dan akibatnya akan menjadi jalan di tempat.  Dengan kata lain, guru tidak bisa hanya berperan sebagai pemberi dan pentransfer ilmu pengetahuan saat mengajar, tetapi siswa itu sendiri yang harusnya membangun pengetahuan untuk dirinya secara sadar dan mandiri.

Tujuan utama Student-centered Learning adalah memfasilitasi siswa agar dapat secara sadar mengembangkan kompetensinya sesuai dengan potensi dasar, bakat, minat, dan ketertarikan mereka, sehingga mereka akan terus dengan senang hati (passionate) meningkatkan kompetensi itu sebagai pembelajar sepanjang hayat yang mandiri (Lifelong autonomous learners). Dalam hal ini, kualitas aktivitas dan interaksi antara guru dan siswa benar-benar sangat krusial, dan guru harus memastikan bahwa aktivitas dan interaksi tersebut selalu bermakna dalam rangka mendorong siswa untuk aktif terlibat penuh secara kognitif, afektif, kinestetik, dan sosial di kelas. Jacob dan Dr. Willy, dalam karya tulisnya menyebut 10 prinsip yang menjadi ciri khas penerapan Student-centered Learning, antara lain:

1)    Guru dan siswa adalah rekan belajar

2)    Interaksi bermakna yang berlangsung antara guru dan siswa

3)    Siswa sebagai pembelajar mandiri (Independent learners)

4)    Segala pembelajaran berfokus pada makna dan kesadaran penuh

5)     Siswa dapat menghubungkan antara pembelajaran di kelas dan kehidupan nyata diluar kelas

6)    Kebhinekaan antar siswa sebagai sumber ilmu pengetahuan

7)    Pengembangan kemampuan berfikir kritis

8)    Penilaian proses yang variatif

9)    Atmosfir pembelajaran kelas yang positif, dan

10) Motivasi sebagai penggerak utama aktivitas yang positif

      4. Mahir dalam Menggunakan Teknologi (Digitally Savvy)

Saat ini teknologi merupakan suatu hal yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia termasuk dunia pendidikan. Adanya fenomena Internet of Things memungkinkan guru dan siswa mengakses limpahan informasi dan layanan belajar melalui gawai dan komputer mereka baik secara gratis maupun berbayar. Guru kemudian bisa memanfaatkan teknologi digital yang ada untuk merencanakan pembelajaran, menyampaikan materi, memberikan tugas, melaksanakan dan memonitor proses pembelajaran, serta memberikan penilaian dan evaluasi kepada siswa mereka. Salah satu contoh teknologi digital itu adalah Learning Management System (LMS) seperti Microsoft Team, Google Classroom, Moodle, dsb dan aplikasi video conference lain seperti Zoom, Microsoft Team dan Google Meet. Melalui LMS dan aplikasi pembelajaran tersebut, guru diharapkan dapat melaksanakan pembelajaran yang interaktif dan menarik (engaging) baik secara luring maupun daring serta secara langsung (syncronous) ataupun tidak langsung (asynchronous).

Namun, dalam menggunakan teknologi digital, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh guru adalah teknologi tersebut bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang bisa menggantikan posisi guru, karena itu semua hanyalah alat pendukung pembelajaran. Keberadaan guru di dalam ruang kelas masih tetap tak tergantikan ketika alat tersebut digunakan. Selain itu, guru juga harus selektif terhadap alat teknologi seperti apa yang akan dipakai - apakah relevan dengan materi yang sedang dibahas di kelas. Dalam hal ini, Dr. Willy memberikan sebuah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai panduan dan pertimbangan sebelum guru memutuskan untuk menggunakan sebuah alat teknologi dalam pembelajaran kelas:

·         Apakah alat tersebut menyediakan konten yang kaya, menarik dan bermakna untuk siswa?

·         Apakah alat tersebut dapat membantu siswa dalam menemukan materi penting yang perlu dikembangkan?

·         Apakah alat tersebut memberikan latihan-latihan yang bermakna bagi siswa?

·         Apakah alat tersebut mendukung pembelajaran multimodal bagi siswa?

·         Apakah alat tersebut dapat memfasilitasi siswa untuk belajar secara berkelompok dan berkolaborasi?

·         Apakah alat tersebut dapat menumbuhkan kesadaran akan tujuan mempelajari materi yang dibahas?

·         Apakah alat tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berhadapan dan berinteraksi dengan berbagai macam pihak dan sumber materi?

Kesimpulannya, guru menggunakan teknologi bukan hanya karena teknologi tersebut keren atau sedang menjadi trend sesaat atau karena teknologi tersebut direkomendasikan oleh sekolah atau pemerintah, tetapi mereka menggunakan alat tersebut karena memang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan tujuan pembelajaran di kelas.

      5. Belajar Terus Menerus Sepanjang Masa (Continuous and Lifelong Learning)

Kehidupan terus berubah, dan perubahan tersebut terjadi dengan sangat cepat karena adanya penemuan baru dan inovasi. Akibat perubahan ini, manusia kemudian dituntut untuk terus mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru agar dapat menyesuaikan diri dan bertahan hidup secara efektif dan efisien. Demikian pula guru yang juga harus terus mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru di bidangnya. Jika tidak melakukannya, maka keputusan dan aktivitas guru dalam mengajar tidak akan sinkron dan relevan dengan kebutuhan baru di masyarakat. Salah satu trend yang dibutuhkan saat ini adalah penerapan Student-centered Learning yang diharapkan dapat memberikan fasilitas kepada siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan belajarnya di masa kini dan masa yang akan datang. Sehingga guru harus peka dan berkomitmen untuk mempelajari bagaimana Student-centered Learning ini bisa diterapkan di kelas.

Selain pengembangan pengetahuan dan keterampilan, guru juga perlu merenungkan kembali tentang keyakinan akan metode dan teknik pembelajaran yang efektif di masa lalu, tetapi belum tentu bisa diterapkan di masa kini dan masa depan. Misalnya, menurut keyakinan lama, penggunaan 100% Bahasa Inggris dalam kegiatan belajar dan mengajar dianggap sangat penting karena dapat membantu siswa untuk menguasai bahasa tersebut secara efektif. Padahal para ahli dalam bidang pengajaran Bahasa Inggris saat ini lebih meyakini bahwa pada konteks pembelajaran tertentu, siswa akan belajar lebih efektif jika bahasa instruksi yang digunakan adalah bahasa ibu mereka. Sehingga saat ini justru guru bahasa Inggris didorong untuk menggunakan pendekatan mengajar yang melibatkan instruksi multibahasa dalam pembelajaran di kelas (Translanguaging).

6. Gigih (Gritty)

Karekteristik terakhir yang perlu dimiliki oleh guru ideal kekinian adalah kegigihan (grit). Semua karakter yang sebelumnya dibahas tidak akan ada jika seorang guru tidak memiliki kegigihan untuk terus berkomitmen dalam mengembangkan kompetensi profesinya. Menurut Dr. Willy, seorang guru yang gigih biasanya memiliki 4 hal dalam dirinya, yaitu:

1)    Tujuan (Purpose)

Dalam hidupnya termasuk profesinya sebagai pendidik, seorang guru harus selalu mempunyai tujuan yang jelas, baik untuk dirinya maupun siswanya. Sehingga dia akan selalu melakukan banyak usaha agar tujuan tersebut tercapai.

2)    Gairah (Passion)

Jika sebuah profesi merupakan sebuah gairah atau passion, maka sekeras apapun dan sesulit apapun pekerjaan yang dilakukan pasti tidak akan terasa berat dan melelahkan. Semua dijalani dengan senang hati. Gairah inilah yang merupakan penggerak dalam diri seseorang untuk terus mencintai dan setia pada profesinya.

3)    Ketekunan (Perseverence)

Setiap profesi dan pekerjaan pasti tidak terlepas dari resiko dan konsekuensi, termasuk profesi mendidik. Namun, yang paling penting adalah bagaimana seorang guru bisa bereaksi positif ketika sedang menghadapi permasalahan dalam pekerjaannya. Orang yang memiliki ketekunan tidak akan begitu mudah terjebak dalam kesedihan dan kekecewaan, tetapi mereka selalu bisa mengambil sisi positif (hikmah) dari setiap permasalahan. Mereka tidak terlalu memperdulikan masalah yang terjadi dan terus melangkah tanpa kenal lelah.

4)    Pola Pikir untuk Terus Berkembang (Growth Mindset)

Seorang individu yang maju adalah dia yang memiliki pola pikir untuk selalu terbuka pada berbagai macam perubahan dan terus belajar ilmu-ilmu dan melatih keterampilan baru untuk menghadapinya. Guru ini tidak akan pernah takut untuk mengambil resiko karena dia tahu bahwa dengan resiko tersebut, dia akan selalu dapat mengembangkan ilmu dan keterampilannya. Dia juga akan menjadi pribadi yang  selalu terbuka dan bijaksana. Guru semacam ini yakin bahwa dia bisa tumbuh asalkan dia selalu terbuka terhadap hal-hal baru dan menerima segala tantangan yang mengikutinya.

 

Referensi

Jacobs, G. M., & Renandya, W. A. (2019). Student-centered Cooperative Learning. Springer Nature. https://link.springer.com/book/10.1007/978-981-13-7213-1

Mercer, S. (2019). The foundations of engagement: A positive classroom culture. https://www.youtube.com/watch?v=lsODNoIbbVY&t=2s.

Mercer, S., & Dörnyei, Z. (2020). Engaging language learners in contemporary classrooms. Cambridge: Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/9781009024563

Renandya, W. A., & Jacobs, G. M. (2021). What makes a good language teacher in a changing world. Journal of English Language and Linguistics2(2), 1-16. http://hdl.handle.net/10497/23629

Renandya, W. A., Hamied, F. A., & Nurkamto, J. (2018). English language proficiency in Indonesia: Issues and prospects. Journal of Asia TEFL, 15(3), 618. http://dx.doi.org/10.18823/asiatefl.2018.15.3.4.618

Sadeghi, K., Richards, J. C., & Ghaderi, F. (2020). Perceived versus Measured Teaching Effectiveness: Does Teacher Proficiency Matter? RELC Journal, 51(2), 280–293. https://doi.org/10.1177/0033688219845933.

Teachtought.(n). 10 Ways to be a More Reflective Teacher. https://www.teachthought.com/pedagogy/ways-to-be-a-more-reflective-teacher/

Vogel, S., & García, O. (2017). Translanguaging. In Oxford research encyclopedia of education, Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190264093.013.181

 

Minggu, 03 Februari 2019

Being a Teacher (Bagian 3) - Serangkaian Refleksi



Semangat Baru

*Aziza Restu Febrianto

Pada awal perkuliahan, saya masih merasakan beban karena memang menjadi guru sejak dari awal bukanlah cita-cita saya. Beban ini menjadi terasa setelah mengetahui bahwa menjadi guru pada jaman sekarang itu susah. Untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak, guru harus memiliki status PNS atau mengajar di sekolah swasta yang memang peduli akan gaji guru. Padahal seleksi untuk menjadi guru PNS itu susah sekali, berbeda dengan jaman ibu saya dulu.

Waktu itu saya harus selalu berusaha mencari alasan agar tetap bersemangat dan optimis akan masa depan saya meskipun kuliah di bidang keguruan. Dalam benak saya, saya masih muda, dan saya yakin semuanya pasti bisa berubah asalkan saya dapat mengambil hikmah dari semua keputusan dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Fokus saya pada saat itu adalah keterampilan Bahasa Inggris saya. Jika profesi guru bukanlah tujuan saya, kemampuan berbahasa saya harus tetap terus meningkat. Saya tidak ingin semangat untuk mengembangkan keterampilan bahasa saya menjadi menurun karena harus memikirkan masa depan.

Ketika menjalani kuliah, saya bertemu dengan berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda, baik yang kuliah di pendidikan maupun di non-kependidikan. Diantara teman yang saya kenal, kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, dan jumlah mahasiswa yang berasal dari Jawa Timur seperti saya bisa dihitung dengan jari. Saya banyak belajar dari mereka, terutama dari orang yang memang berkuliah di jurusan keguruan. Saya melihat betapa semangatnya mereka menjalani perkuliahan yang sudah mereka ambil dengan banyak berdiskusi dan mengerjakan tugas. Namun, pada saat itu saya masih belum tergugah untuk menekuni bidang keguruan.

Saya justru lebih antusias lagi ketika melihat mahasiswa yang tidak hanya aktif berkuliah, tapi juga berorganisasi namun prestasi akademiknya juga tidak kalah bagusnya.  Saya berkeyakinan bahwa suatu saat nanti nasib saya akan berubah. Saya bisa saja tidak menjadi guru ketika lulus nanti asalkan saya mau mengembangkan keterampilan saya diluar perkuliahan seperti mereka. Walaupun begitu, tidak ada satupun terbesit pemikiran untuk pindah kuliah atau jurusan. Saya merasa kuliah di kampus ini adalah amanah dari orang tua yang memang sudah mantab dengan pilihan ini.

Beberapa bulan kemudian saya bertekad bahwa saya harus tetap maksimal dalam kuliah. Maksimal disini saya artikan bahwa kuliah itu tidak hanya fokus pada kegiatan akademik saja. Bagi saya kuliah yang benar itu adalah memastikan bahwa semua peran dan tanggung jawab saya sebagai seorang mahasiswa itu memang saya  ambil. Waktu itu saya sudah memahami bahwa mahasiswa itu seharusnya tidak hanya berkutat pada kuliah, kantin dan kos (3K), tapi mereka seharusnya juga mengembangkan keterampilan lain diluar bidangnya. Selain itu mereka hendaknya juga memiliki daya kritis dan peka terhadap isu-isu yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.

Menyadari bahwa saya tidak begitu aktif organisasi di sekolah dulu, dalam hati saya berjanji untuk tidak hanya perkuliahan saja yang saya ikuti selama di kampus. Dari awal kuliah hingga lulus, saya sudah mengikuti berbagai macam organisasi seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat fakultas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Paduan suara dan Kerohanian Islam (Rohis) baik di tingkat jurusan, fakultas maupun universitas. Bahkan pada saat semester 5, saya sempat terpilih menjadi ketua Rohis Fakultas Bahasa dan Seni.

Keaktifan saya dalam banyak organisasi ini yang membuat saya disibukkan dengan kegiatan non-akademik seperti rapat, kegiatan-kegiatan kampus dan latihan paduan suara. Sebenarnya kegiatan ini cukup menyita perhatian dan waktu saya terhadap tugas perkuliahan. Namun saya merasa tidak memiliki masalah dalam kegiatan kuliah dan tugas akademik. Modal keterampilan dan kebiasaan berbahasa Inggris sejak sekolah cukup menjadi modal saya untuk survive di bidang akademik. Sehingga waktu itu saya tidak terlalu memberikan prioritas pada urusan kuliah.


Saya bersyukur semua kegiatan non-akademik itu sama sekali tidak mempengaruhi nilai akademik saya. Waktu itu memang saya juga berusaha belajar membagi waktu. Pernah juga saya lembur mengerjakan tugas semalaman di kampus karena memang siangnya harus mengikuti banyak kegiatan organisasi. Dengan keaktifan di organisasi dan performa akademik yang masih aman, saya sangat beruntung bisa mendapatkan beasiswa dari pemerintah yang bisa meringankan biaya kuliah. Melalui kegiatan berorganisasi, saya juga belajar keterampilan berbicara di depan umum (public speaking), negosiasi, dan membangun jaringan (networking). 

Kunjungan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Bahasa dan Seni, UNNES ke Universitas Negeri Malang (UM)
Periode 2007/ 2008

Rabu, 30 Januari 2019

Being a Teacher (Bagian 2) - Serangkaian Refleksi


Terpaksa Memilih

*Aziza Restu Febrianto

Saya kemudian sadar bahwa bakat, keterampilan dan pengalaman saja sebenarnya tidaklah cukup untuk dijadikan sebagai alasan dasar memilih jurusan untuk kuliah. Waktu itu saya sudah paham bahwa pertimbangan selain faktor bakat dan keterampilan adalah prospek kerja. Artinya bagaimana pilihan jurusan yang saya ambil itu kedepan akan memudahkan saya untuk mendapatkan pekerjaan. Setelah merenung cukup lama, akhirnya saya memilih jurusan Ilmu Komunikasi di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta dengan pertimbangan ketertarikan saya di bidang bahasa serta lokasi kampus yang tidak terlalu jauh dari rumah. Selain itu jika dilihat dari prospek untuk mendapatkan pekerjaan, lulusan jurusan ini bisa bekerja di berbagai macam bidang, seperti wartawan, pembawa acara, atau humas di berbagai macam perusahaan.

Setelah pengumunan kelulusan SMA, saya memutuskan pergi ke kota Yogyakarta untuk mengambil les bimbingan belajar dalam rangka mempersiapkan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN). Ketika mengikuti SMPTN, untuk pilihan kedua, keputusan saya jatuh pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Alasan memilih jurusan ini tentunya karena bekal keterampilan dan minat. Beberapa minggu setelah mengikuti seleksi, hasilnyapun diumumkan. Namun, ternyata saya tidak lulus. Sedih sekali rasanya karena semua usaha yang sudah saya lakukan ternyata sia-sia.

Singkat cerita, saya akhirnya mendaftar di sebuah PTS terkenal di Surakarta. Namun, beberapa hari kemudian, saya mendapatkan informasi bahwa sebuah kampus negeri di Semarang, yaitu Universitas Negeri Semarang (UNNES) masih memberikan peluang bagi lulusan SMA yang tidak lulus SMPTN untuk mendaftar. Mendengar kabar tersebut, saya langsung berkonsultasi dengan ibu. Tentu saja beliau sangat senang mendengarnya dan mendukung saya untuk mendaftar. Beliau meminta saya untuk pindah kuliah ke UNNES. Seperti biasa, saya mengikuti proses seleksi masuk UNNES, dan alhamdulillah kemudian diterima pada jurusan yang sama, Pendidkan Bahasa Inggris. Ibu saya terlihat sangat bahagia sekali mendengarnya.

Ibu saya sebenarnya memang sudah sangat berharap bahwa saya mengambil kuliah di bidang pendidikan dan keguruan. Dalam benak ibu, pekerjaan guru itu mulia dan penuh dengan ladang ibadah. Selain itu beliau juga sangat mewanti-wanti anaknya untuk tidak bekerja di bank atau menjadi polisi karena menurut beliau, pekerjaan itu kurang bisa membawa keberkahan. Namun pemikiran ibu sangat berbeda dengan bapak yang justru mendorong saya masuk polisi. Bapak sebenarnya sangat menginginkan anaknya untuk bisa diterima di pendidikan militer seperti tentara (TNI), polisi atau pendidikan semi militer ikatan dinas lainnya seperti IPDN. Keinginan bapak itu bisa dipahami karena memang menjadi tentara adalah cita-cita beliau sejak masih muda dulu. Namun ketika mengikuti seleksi, beliau selalu gagal dan akhirnya memutuskan untuk menjadi petani sampai sekarang.

Latar belakang orang tua saya (ibu: guru dan bapak:petani) tentu sangat mempengaruhi pola pikir dan keputusan mereka mendukung apa yang sudah menjadi takdir saya waktu itu: berkuliah di bidang keguruan. Saya harus menyadari bahwa mereka memang belum memiliki wawasan yang luas tentang lapangan kerja, yang sebenarnya sangatlah luas: tidak harus menjadi guru ataupun pegawai PNS. Mungkin mereka berfikiran bahwa guru atau pegawai PNS adalah salah satu pekerjaan yang paling aman. Menurut mereka setelah menjalani pendidikan guru, saya sudah dipastikan akan diangkat sebagai pegawai negeri seperti halnya lulusan sekolah kedinasan lainnya. Yang jelas pola pikir mereka masih sama dengan kebanyakan orang lain di kampung, yang masih berfikiran bahwa pekerjaan yang paling layak itu ya Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Walaupun jurusan kuliah tidak sesuai dengan harapan, saya harus tetap menjalaninya. Dukungan orang tua dan biaya kuliah yang lebih murah dibandingkan dengan kampus swasta adalah energi terbesar saya untuk tetap move on. Saya masih ingat kata-kata ibu ketika saya mengatakan sedikit keraguan padanya,

Ibu wis manteb le yen awakmu kuliah ning UNNES. Aku ngerti kowe ki duwe bakat ngajar. Kowe iki anak ibu sing ketok’e iso ngayomi lan mbimbing. Kampuse yo negeri. Mengko lak gampang golek gawean.” (dalam Bahasa Jawa)
Dalam Bahasa Indonesia kira-kira seperti ini artinya:
“Ibu sudah mantab nak kalau kamu kuliah di UNNES. Aku mengerti kalau kamu itu punya bakat mengajar. Kamu ini anak ibu yang kelihatannya bisa mengayomi dan membimbing. Kampusnya itu juga negeri. Nanti pasti gampang mencari pekerjaan.”

Sepertinya ibu merasa lebih bangga jika saya kuliah di kampus negeri daripada swasta. Beliau juga berkeyakinan bahwa lulusan PTN tentu lebih dipandang dan dihargai di tempat kerja. Bahkan beliau tidak segan-segan mengantar saya pada saat pendaftaran ulang di Semarang waktu itu. Sekali lagi... pola pikir ibu tentang ini juga sama saja dengan kebanyakan orang di Indonesia. 

Bersambung......(Bagian 3)