Kamis, 20 Juni 2019

Sekolah Membuatmu Pintar?

https://news.okezone.com

*Aziza Restu Febrianto

Pada dasarnya sekolah memang dibuat dan dirancang sebagai tempat belajar, mencari ilmu dan mengembangkan diri. Atas dasar amanat undang-undang, negara kemudian hadir menjadi agen utama atas kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.  Negara juga harus memastikan para siswa di sekolah mendapatkan ilmu pengetahuan yang luas dan keterampilan yang berguna dan relevan dengan kondisi masa kini serta masa yang akan datang melalui sebuah kurikulum. Ilmu pengetahuan dan keterampilan itu diharapkan mampu membantu mereka memecahkan berbagai macam tantangan dan masalah baik masalah pribadi, lingkungan masyarakat maupun negara itu sendiri. Untuk dapat memecahkan masalah, para lulusan sekolah tentu harus diberikan tempat atau lapangan pekerjaan untuk menyalurkan semua ilmu dan keterampilan yang didapat. Mereka kemudian dianugerahi sebuah ijazah atau tanda kelulusan sebagai bukti bahwa mereka memang telah menyelesaikan pendidikan sekolah pada periode yang telah ditentukan. Ijazah dan tanda kelulusan ini bisa digunakan ketika para lulusan ketika sedang melamar sebuah pekerjaan. Dengan tanda ini, mereka kemudian dianggap sudah memiliki kualifikasi yang memenuhi syarat untuk bisa bekerja dengan baik.

Bersekolah dan mendapat tanda kualifikasi pendidikan formal memang penting. Namun pertanyaannya adalah apakah dengan itu semua, kita lantas sudah benar-benar menjadi orang yang pintar, cakap dan sukses? Hal yang dikhawatirkan sebenarnya justru jangan-jangan sistem pendidikan formal semacam ini membuat pemahaman masyarakat tentang sekolah menjadi bergeser, yaitu sebagai tempat untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi, bukan pengembangan kualitas pribadi. Dengan kata lain, tujuan orang bersekolah adalah mendapatkan ijazah formal untuk mempermudah mendapatkan kesempatan kerja. Bahkan mereka yang tergolong berduit atau kaya rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar anaknya bisa bersekolah di lembaga terkenal dan bergengsi. Menjadi hal yang tidak masalah jika pendidikan yang berkualitas ini memang benar-benar berdampak juga pada perkembangan kompetensi anak mereka. Tapi tidak jarang niat mereka memasukkan anak mereka di sekolah itu hanyalah karena sekedar mencari nama; nama besar sekolah yang membuat nama anak mereka besar pula. Tentu saja dengan nama besar yang disandang, mereka akan terlihat lebih dipercaya memiliki kualitas yang sama dengan almamaternya ketika melamar sebuah pekerjaan.

Fakta dan sejarah ternyata membuktikan kenyataan yang jauh berbeda dari apa yang dipikirkan oleh banyak orang tentang peran sekolah. Satu-satunya faktor yang membuat orang menjadi pintar, cakap dan berhasil dalam hidupnya selama ini ternyata bukanlah sekolah atau pendidikan formal, melainkan karakter dan kepribadian kuat orang itu sendiri dalam mengarungi hidupnya. Banyak sekali orang sukses di dunia ini yang keberhasilannya tidak dipengaruhi secara langsung oleh pendidikan formal mereka. Bill Gates, misalnya, justru mengalami dropped out karena terlalu fokus pada usaha di bidang perangkat lunak komputer meskipun dia bersekolah pada bidang yang sama di sekolah atau kampus yang sangat bergengsi. Dia kemudian baru bisa menyelesaikan pendidikan formal S1 nya ketika dia sudah berusia 40 tahun atau setelah dia menjadi orang yang kaya raya. Contoh orang sukses lain yang mengalami hal serupa seperti Bill gates juga banyak seperti pencipta perangkat keras dan lunak komputer, Apple, Steve Jobs, pendiri Facebook, Mark Zuckerburg, CEO e-commerce Alibaba, Jack Ma, dsb. Mereka semua adalah orang-orang hebat dan cerdas yang mengalami masalah dengan sekolahnya.

Peran sekolah bagi kesuksesan orang memang ada, tapi pengaruhnya mungkin tidak signifikan atau porsinya biasa saja. Jika melihat contoh orang-orang sukses seperti yang disebutkan, karakter dan kepribadian orang sukses itu ternyata banyak ditentukan oleh bagaimana mereka menentukan pilihan atau memilih jalan hidupnya sendiri sesuai dengan ketertarikan atau passion mereka. Semua keputusan penting yang mereka ambil lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal individu itu sendiri atau bisa jadi atas dasar nilai, pola pikir atau budaya yang diterapkan dalam keluarga. Mereka justru menganggap sekolah adalah sebuah penjara. Menurut mereka, sekolah terlalu banyak menerapkan banyak aturan serta rutinitas yang cenderung membatasi ruang imajinasi berfikir mereka. Seorang Fisikawan yang terkenal akan kejeniusannya, Albert Einstein pernah menyebut bahwa “Imajinasi itu lebih penting daripada ilmu pengetahuan.” Pernyataan ini bisa diartikan bahwa ilmu pengetahuan yang biasanya secara terstruktur diperoleh di sekolah tidak akan pernah membuat seseorang itu menjadi besar jika dia sendiri secara personal tidak memiliki imajinasi yang luas. Pernyataan ini masuk akal karena setiap individu memiliki cara dan waktu berimajinasi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dan kondisi ini tidak bisa diatur atau didekte dengan sistem atau peraturan yang sama di sekolah.

Selain memilih cara pandang yang tepat, orang-orang besar itu juga sangat menghargai Self-learning atau belajar mandiri. Mereka tidak pernah mengandalkan ilmu pengetahuan yang sudah pernah diajarkan di sekolah, tapi selalu berfikiran bahwa banyak hal di dunia ini yang belum dieksplorasi. Mereka kemudian berusaha mencari tahu hal-hal yang belum pernah terpecahkan itu dengan rasa penasaran yang tidak terbatas. Mereka tidak pernah membatasi diri mereka dengan pengetahuan yang sudah ada, apalagi yang hanya berkutat pada pembelajaran di kelas dengan tugas-tugas rutinnya. Orang-orang semacam ini juga banyak dijumpai di Indonesia. Presiden pertama kita, Bapak Soekarno misalnya, dalam sejarahnya, memiliki kebiasaan suka membaca buku sejak remaja. Beliau suka sekali mencari buku dan membacanya dari berbagai macam tempat termasuk sekolahnya. Kebiasaan ini tidak dilakukan oleh teman-teman sebayanya yang juga bersekolah di tempat yang sama. Kebiasaan inilah yang membuatnya menjadi orang besar dan memiliki pemikiran yang luas, hingga melampaui jamannya. Pemikiran-pemikiran beliau pun akhirnya banyak diakui dan diikuti oleh banyak orang di dunia sampai sekarang. Tokoh inspiratif lainnya adalah Buya Hamka, seorang tokoh islam dan ulama berpengaruh yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD), padahal karya-karyanya memiliki andil besar pada dunia literasi Indonesia.

Tidak kalah dengan para pendahulunya, para tokoh nasional masa kini seperti Dahlan Iskan, Susi Pujiastuti, dan Muhammad Jusuf Kalla juga melakukan hal yang sama. Tanpa memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, mereka mampu membuktikan pada dunia bahwa mereka bisa menjadi orang yang pintar dan sukses. Mereka bahkan tidak hanya sukses untuk dirinya sendiri, tapi mampu memberikan manfaat bagi orang banyak. Membaca biografi mereka dan melihat semua pencapainnya yang luar biasa, bisa disimpulkan bahwa cara dan gaya belajar mereka pasti sangat berbeda dari kebanyakan orang, padahal mereka juga sama-sama mengenyam pendidikan sekolah. Yang membedakan adalah mereka tidak pernah mengandalkan ilmu yang mereka dapatkan di sekolah. Mereka membebaskan diri mereka mencari wawasan dan banyak peluang di luar sekat pendidikan formal dengan belajar sendiri dan mengambil semua keputusan dengan mandiri sesuai dengan bidang yang telah mereka pilih dan tekuni. Seorang pengusaha dan motivator sukses asal Amerika, Jim Rohn pernah mengatakan bahwa, “Pendidikan formal akan membuatmu hidup, tapi pendidikan mandiri akan membuatmu jauh lebih beruntung.” Adapun kutipan dari Bill Gates yang perlu kita jadikan sebuah refleksi bersama, “Saya pernah gagal ujian pada banyak mata pelajaran, tapi ada salah seorang teman saya yang lulus dengan baik pada semua mata pelajaran itu. Sekarang, dia adalah seorang ahli teknisi Microsoft, dan saya adalah pemilik Microsoft.”

Artikel ini ditulis sebagai kritikan atau refleksi bagi sekolah dan pendidikan formal kita. Seharusnya sekolah hadir sebagai tempat yang memberikan pendidikan sesuai dengan esensinya. Artinya sekolah mampu memberikan ruang bagi setiap individu untuk suka bermimpi, berimajinasi, dan bekerja keras sesuai dengan bakat dan kelebihannya masing-masing. Sekolah bukanlah tempat penghasil orang-orang terdidik yang hanya berkutat pada khasanah ilmu yang sudah ada (status quo), tapi memfasilitasi dan menyiapkan para generasi inovatif dan kreatif yang dapat menjadi solusi berbagai macam masalah dan tantangan masa depan.

Penulis adalah seorang guru yang telah mengajar di lembaga pendidikan formal selama lebih dari 10 tahun dan menginginkan para muridnya menjadi orang luar biasa sebagai agen andalan utama perubahan bangsa.  

Artikel ini pernah diunggah di laman kompasiana pada tanggal 24 Februari 2019. Berikut link nya:

Jumat, 14 Juni 2019

Rahasia Pernikahan Bahagia Yang Jarang Diajarkan


Foto Lebaran Kemarin....Bahagia! 😊
Idul Fitri 1440

*Oleh Aziza Restu Febrianto


Pada artikel kali ini, saya ingin berusaha menuliskan beberapa pelajaran etika dan adab hubungan Pasangan suami istri (Pasutri) yang (mungkin) jarang sekali diajarkan di sekolah maupun keluarga. Karena jarang diajarkan, saya kira judul diatas sudah cukup pas untuk artikel ini. Saya berharap siapapun yang membacanya dapat melakukan refleksi dan evaluasi diri untuk selalu belajar menjadi individu yang lebih baik, khususnya dalam mengarungi kehidupan pernikahan dan berkeluarga. Tulisan juga saya khususkan untuk diri saya sendiri yang memang masih terus belajar untuk menjadi seorang suami dan ayah yang baik dalam membina sebuah rumah tangga.

  • Pernikahan itu Keputusan yang Agung
Pernikahan adalah sebuah keputusan yang sangat besar dalam kehidupan manusia sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Bahkan dalam islam, pernikahan itu merupakan salah satu dari tiga perjanjian agung, luhur dan suci yang disebut dengan “Mitsaqan Ghaliza” atau perjanjian yang amat kukuh. Perjanjian ini bahkan telah disebutkan di dalam kitab suci Al-Quran sebanyak tiga kali. Yang pertama menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7), kedua menjelaskan perjanjianNya dengan umatNya dalam melaksanakan pesan-pesan agama (QS An-Nisa 4:154) dan ketiga menyangkut perjanjian suami dan istri (QS An-Nisa 4:21).

Begitu besarnya nilai dari sebuah pernikahan, sehingga kita tidak boleh meremehkannya. Mungkin banyak yang mengira (terutama bagi yang belum menikah atau yang akan menikah) bahwa pernikahan adalah sebuah awal kebahagiaan. Tapi jangan salah, justru perjalanan hidup yang sebenarnya baru dimulai di awal pernikahan. Yang namanya hidup pasti banyak ujiannya. Hidup sendiri saja ujiannya sudah banyak, apalagi berdua dengan pasangan. Belum lagi ketika dikaruniani anak, yang pastinya masalah demi masalah akan terus kita hadapi dalam berumah tangga.

Namun, dengan semakin banyaknya masalah yang dihadapi, bukan berarti kita kemudian menjadi takut untuk memutuskan menikah. InshaAllah, banyak sekali manfaat dan berkah yang bisa diperoleh melalui pernikahan. Masalah itu hanyalah sebagian kecil dari kehidupan pernikahan. Masalah ibaratnya hanyalah sebuah bumbu agar kehidupan pernikahan yang kita jalani itu menjadi luar biasa indah. Jika kita mampu mengelola semua permasalahan itu dengan pasangan, maka kebahagiaan yang kita dapatkan akan jauh lebih banyak daripada ketika kita belum menikah.

  • Dua Orang Berbeda Menjadi Satu
Yang harus kita pahami terlebih dahulu adalah sebelum menikah, pasangan kita itu adalah 100% orang lain atau bukan merupakan bagian anggota dari keluarga kita. Dia adalah orang asing yang berasal dari keluarga lain dengan latar belakang budaya dan tradisi yang tentu saja sangat berbeda dengan kita. Ketika menikahinya, kita memang harus sudah siap lahir dan batin untuk hidup bersamanya dengan segala perbedaan yang dimilikinya, baik pola pikir, kebiasaan, hobi dan karakter atau wataknya.

Semua perbedaan yang ada antara kamu dan pasanganmu itu bisa sangat berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya, ketika kamu ingin menata ruang kamar yang sesuai dengan keinginanmu. Jangan berfikir bahwa pasanganmu akan memiliki pandangan yang sama dan semua keputusanmu akan berjalan dengan lancar. Tanpa ada penjelasan darimu tentang alasan kenapa kamu ingin menata ruang kamar, pasangan kamu bisa saja merasa kecewa ataupun marah mengenai keputusanmu itu. Namun masalah itu tidak akan muncul jika kamu terlebih dahulu mengkomunikasikan maksud keputusanmu itu kepada pasanganmu sebelum melakukannya. Tidak hanya menyampaikan maksud, tetapi kamu juga harus meminta pendapatnya sebagai tanda bahwa kamu memahami perasaannya dan menghargainya sebagai pasangan dan belahan jiwamu.

Hal lain tentang pernikahan yang perlu kita pahami adalah bahwa ketika kita sudah menikah, maka kita sudah tidak hidup sendiri lagi. Setelah menikah, hidup kita tentu tidak akan seperti dulu lagi ketika masih single. Saat masih single, kita bisa dengan bebas melakukan apa saja yang kita sukai. Misalnya, bagi mereka yang dulunya suka naik gunung, kumpul bersama teman, main band, dsb harus mulai mengurangi semua kegiatan hobinya itu ketika sudah menikah. Alasannya karena setelah memutuskan untuk menikah, sejatinya kita harus sudah siap untuk membagi waktu, tenaga dan pikiran kita dengan orang lain. Sehingga konsekuensinya adalah waktu dan kegiatan yang berkaitan dengan pribadi (me time) pasti akan berkurang. Dengan kata lain, di dalam waktu dan perhatian kita terdapat hak orang lain disitu, yaitu pasangan dan anak kita.

  • Menikahinya = Menikahi Keluarganya
Jangan berfikir bahwa ketika kamu menikahi seseorang pujaanmu, lantas dunia hanya milik kamu berdua dan yang lainnya hanya ikut ngontrak saja. Ingat, kita ini hidup di negara Indonesia yang sangat kental dengan tradisi dan adat ketimuran. Salah satu ciri khas adat ketimuran adalah kebiasaan komunal atau berkumpul. Artinya, dalam tradisi Indonesia, setelah menikah, pasangan masih diharuskan untuk menjaga hubungan yang erat dengan orang tua serta menjaga tradisi sosial keluarga yang diturunkan melalui mereka. Sehingga kondisi ini membutuhkan keterampilan tersendiri dari kita untuk dapat memahami dan menjaga hubungan yang baik dengan keluarga pasangan kita.

Kondisi yang biasanya sangat berpotensi menimbulkan masalah adalah intervensi orang tua terhadap urusan rumah tangga anaknya. Kebanyakan orang tua mungkin berfikiran bahwa setelah anaknya menikah, mereka merasa telah kehilangan perhatian dari anaknya yang selama ini hidup bersamanya. Sehingga mereka terkadang masih menganggap dan memperlakukan anaknya yang telah menikah itu dengan cara seperti dulu ketika dia belum menikah. Orang tua terkadang masih merasa bertanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap anaknya dan lupa bahwa anaknya itu sudah memiliki pasangan dan keluarga baru.

Memang sudah menjadi hal yang wajar jika orang tua kita sangat peduli dengan urusan dan kehidupan kita.... selamanya. Itu sudah naluri dan alamiah. Namanya juga orang tua. Bagian dari darah dan daging kita. Orang yang melahirkan dan membesarkan kita selama puluhan tahun sebelum akhirnya kita bertemu dengan pasangan kita. Namun, ketika kita sudah menikah, maka sejatinya kita sedang membangun keluarga yang baru. Membangun generasi baru yang tentu harus lebih baik dari generasi sebelumnya. Sehingga setiap keluarga baru harus memiliki prinsip dan pondasi mandiri secara kuat tentang akan dibawa kemana bahtera rumah tangga mereka. Demi masa depan keturunan-keturunan mereka.

Perhatian orang tua yang berujung pada intervensi urusan keluarga memang tidak bisa terhindarkan. Namun, bagi orang tua yang mengerti, pasti akan tahu akan batasan memberikan perhatian pada anaknya itu. Sehingga kehidupan rumah tangga sang anak juga akan menjadi baik-baik saja. Namun tidak semua orang tua itu mengerti. Jika kita menghadapi orang tua yang kedua ini, maka tidak ada cara lain kecuali dengan tetap saling percaya dan mendukung antar pasangan. Jika salah satu tidak nyaman dengan pengaruh orang tua, maka yang satunya harus menghargai perasaannya dan memberikan pengertian, kepercayaan serta dukungan penuh kepadanya. Bukan malah justru membela orang tua dan menjatuhkan pasanganya.

Sebenarnya yang paling berat menerima intervensi keluarga adalah menantu, yaitu pasangan kita terhadap orang tua kita atau kita terhadap mertua kita. Hubungan antara menantu dan mertua ini sangat rawan akan kesalahpahaman dan konflik. Alasan logisnya adalah karena pada dasarnya menantu adalah orang asing baru di rumah mertua. Pada sudut pandang menantu, mertua itu adalah raja atau ratu baginya. Bagaimana tidak, mereka adalah orang yang sudah merelakan anak yang paling mereka kasihi selama ini untuk diambil oleh orang seperti kita dan hidup bersama dengan kita selamanya. Bagaimanapun juga, mereka pasti akan selalu ingin memastikan bahwa anaknya itu hidup bahagia bersama kita.

Perasaan itu tentu saja akan mempengaruhi sikap menantu terhadap mertuanya. Sikap kikuk atau kurang nyaman akan selalu ia rasakan, terutama ketika harus terus-terusan bersama mertua. Dia akan selalu merasa bahwa apa yang dia lakukan itu selalu diawasi oleh mertuanya. Walaupun itu mungkin hanya sekedar perasaannya saja. Sedangkan dari sudut pandang mertua, menantu merupakan orang lain yang hidup bersama anaknya dengan usia yang jauh lebih muda. Bagi mertua yang mengerti, kepercayaan akan diberikan penuh kepadanya untuk mengelola keluarga baru bersama anaknya. Tapi bagi mereka yang kurang mengerti, perasaan khawatir atau cemburu terhadap menantunya bisa saja muncul. Mereka merasa bahwa setelah menikah, perhatian anaknya telah banyak tercurah kepada menantunya, bukan kepada mereka lagi.

Orang tua yang khawatir dan cemburu dengan anak dan menantunya ini akan berujung pada sikap intervensi, apalagi ketika mengetahui kekurangan yang ada di dalam keluarga anaknya. Orang tua kemudian merasa bahwa karena usianya jauh lebih tua, mereka memiliki banyak pengalaman dalam mengelola keluarga. Melihat kekurangan pada keluarga anaknya, orang tua semacam ini akan sering memberikan masukan dan nasihat (yang paling sering dikaitkan dengan pengalamannya). Memang tidak ada salahnya mempertimbangkan masukan dari orang tua, terutama jika memang itu benar adanya. Namun, kenyataannya masukan itu banyak yang tidak sepenuhnya benar dan bahkan sering disampaikan pada waktu yang kurang tepat. Jika kondisi ini terus berkembang, maka di dalam keluarga si anak akan terdapat double kepemimpinan atau dua pemimpin dalam satu keluarga. Padahal untuk menciptakan estafet generasi keturunan yang lebih baik, diperlukan kepemimpinan yang terpusat dan mandiri di dalam keluarga baru itu.

Tipe orang tua seperti itu mungkin lupa bahwa dengan perkembangan teknologi informasi yang terus menerus berkembang, anaknya bisa memperoleh banyak informasi dan pengalaman  berkeluarga melalui berbagai macam sumber di internet. Dalam hal ini, anak bisa saja lebih bijaksana karena mendapatkan lebih banyak informasi dari berbagai macam perspektif daripada orang tuanya, yang hanya mengandalkan ppengalaman dan pengetahuan dari sudut pandangnya saja. Orang tua juga hendaknya mengerti bahwa ketika memberikan keleluasaan kepada anak dan menantunya dalam menentukan arah rumah tangganya secara mandiri, mereka sebenarnya juga secara tidak langsung menjamin kebahagiaan anaknya.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pihak yang akan mendapatkan beban lebih ketika ada intervensi orang tua adalah menantu. Hubungan canggung antara mertua dan menantu inilah yang sering menyebabkan kesalahpahaman. Dan bisa saja menjadi pemicu renggangnya hubungan antara kedua belah pihak. Sikap legawa dan pengertian memang seharusnya dimiliki oleh keduanya jika terdapat perbedaan pandangan. Namun, tidak semua mau dan bisa mengerti. Satu-satunya cara yang paling efektif untuk menengahi masalah ini adalah keterampilan pasangan dari menantu (anak kandung mertua) dalam meluruskan kesalahpahaman. Tentu saja dengan cara yang bijaksana dan akhsan, sehingga tidak menyinggung perasaan salah satu atau kedua belah pihak. Hanya anak kandung dari mertua yang bisa. Kenapa? Karena namanya anak kandung, apapun yang dia lakukan, meskipun salah, orang tuanya pasti akan banyak memakluminya. Sedangkan jika menantu yang berbuat salah, bisa terjadi kesalahpahaman yang lebih mendalam dari kedua belah pihak.

  • Pernikahan itu Satu Tubuh
Pada poin pertama sudah disampaikan bahwa pernikahan itu adalah bersatunya dua orang yang berbeda dalam sebuah ikatan agung. Sebagai konsekuensinya, masing-masing harus saling memahami perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi memahami perbedaan itu saja tidaklah cukup. Setiap individu baik suami maupun istri harus saling menopang, saling mendukung dan saling merasakan. Karena dalam kehidupan rumah tangganya, mereka akan menghadapi berbagai macam tantangan dan masalah, yang tentunya membutuhkan banyak tenaga dan pikiran untuk menyelesaikannya.

Seperti kebanyakan orang bilang, pasangan itu adalah belahan jiwa. Pasangan itu ibaratnya adalah satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh kita itu sakit, maka pasti anggota tubuh yang lainnya akan merasakan sakit pula. Sehingga ketika salah satu pasangan mendapatkan masalah, sudah seharusnya yang satunya juga merasakan masalah yang sama. Akhirnya keduanya menganggap masalah salah satu pihak adalah masalah mereka berdua, yang harus dicarikan solusi secara bersama-sama. Hanya saja yang membedakan antara tubuh dan pernikahan adalah cara penyembuhan saat salah satu anggota tubuh sakit. Jika salah satu anggota tubuh kita sakit, kita bisa mengobatinya di rumah sakit. Namun dalam pernikahan, rasa sakit itu tidak bisa dan tidak boleh disembuhkan di tempat lain. Jika disembuhkan di tempat lain, maka rasa sakit itu justru akan semakin parah dan bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga.

Karena pasangan kita adalah bagian tubuh kita dan tidak ada tempat lain untuk menyembuhkan suatu penyakit yang diderita, maka sudah menjadi suatu kebutuhan kita untuk melindungi dan merawatnya. Sakit yang dirasakan oleh pasangan akan berdampak pada terganggunya kenyamanan dan kedamaian dalam keluarga jika dibiarkan. Merasakan apa yang dialami pasangan memang membutuhkan keterampilan tersendiri, yaitu rasa empati dan kepekaan yang baik. Tapi jika kita benar-benar mencintai pasangan kita dan memikirkan masa depan keluarga serta keturunan-keturunan kita, kenapa kita tidak belajar dan berlatih mengembangkan keterampilan ini. Semuanya demi ketenteraman, kebahagiaan dan keberlangsungan hidup berkeluarga.

Cara lain untuk mengembangkan keterampilan ini sebenarnya mudah, yaitu dengan keterbukaan. Setiap pasangan hendaknya saling terbuka tentang urusan apapun bahkan sekecil apapun itu. Setiap kali memiliki pemikiran, ide, masalah ataupun kepentingan, hendaknya kita menceritakan semuanya kepada pasangan. Bercerita tentang semua hal tidak akan menjadi masalah bagi kita dan pasangan, justru itulah yang seharusnya dilakukan dan dibutuhkan. Bahkan di dalam Islam, pasangan itu ibarat pakaian kita, dan sebaliknya kita adalah pakaian bagi pasangan kita. Sehingga setiap detail tentang tubuh dan hidup kita sudah sepantasnya diketahui oleh pasangan.

Mungkin ada orang yang enggan menceritakan beberapa hal ke pasangannya karena pertimbangan tertentu. Misalnya, mereka berfikir bahwa ada urusan tertentu yang hanya mereka tahu atau percuma jika urusan itu diceritakan kepada pasangan. Toh pasangan juga tidak akan tahu atau bahkan tidak bisa memberikan solusi. Menurut saya pandangan seperti ini salah. Justru ketika kita menceritakan semua urusan kita kepada pasangan, pasangan bisa merasa dihargai perannya. Tidak peduli apakah dia paham atau tidak.

Hendaknya pasangan juga jangan enggan mendengarkan cerita kita ketika tidak memahaminya atau tidak dapat memberikan solusi akan masalah yang mungkin ada. Bisa dibayangkan, jika salah satu tidak peduli dengan cerita pasangannya, selain yang lain akan merasa kecewa, dia juga tidak akan mempunyai tempat untuk bercerita. Coba dibayangkan. Siapa lagi tempat kita bercerita tentang semua hal (curhat), selain kepada pasangan kita.  Jangan sampai karena pasangan tidak mau mendengarkan kita, kemudian kita mencari tempat lain untuk bercerita. Itu bisa sangat berbahaya. Sehingga walaupun tidak tahu akan permasalahan yang diceritakan oleh pasangan, hendaknya kita tetap antusias memperhatikan meskipun hanya sekedar mendengar.

Pada dasarnya setiap orang itu memiliki ego atau keinginan dan hasrat untuk kebahagiaan hidupnya sendiri. Akan tetapi ketika orang itu sudah memutuskan untuk menikah dan membangun rumah tangga baru, maka ego pribadi itu harus disatukan dengan pasangannya. Melawan ego pribadi memang pastinya tidak mudah. Tapi menurut saya ego itu bisa diubah bentuknya menjadi ego bersama. Nah, untuk membentuk dan menyatukan ego bersama dengan pasangan, diperlukan pemahaman bersama akan pernikahan seperti 4 (empat) poin yang saya sebutkan diatas.

Jika disimpulkan, kunci dari semua permasalahan dalam rumah tangga adalah kesamaan visi, kepekaan, keterbukaan dan komunikasi dari masing-masing pasangan. Tentu saja semua disesuaikan dengan kondisi dan peran kita masing-masing dalam keluarga kita: sebagai suami atau istri, anak atau menantu, dan karir atau rumah tangga. Terimakasih telah membaca artikel ini. Semoga bermanfaat.



Semarang, 14 Juni 2019