Kamis, 20 Juni 2019

Sekolah Membuatmu Pintar?

https://news.okezone.com

*Aziza Restu Febrianto

Pada dasarnya sekolah memang dibuat dan dirancang sebagai tempat belajar, mencari ilmu dan mengembangkan diri. Atas dasar amanat undang-undang, negara kemudian hadir menjadi agen utama atas kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.  Negara juga harus memastikan para siswa di sekolah mendapatkan ilmu pengetahuan yang luas dan keterampilan yang berguna dan relevan dengan kondisi masa kini serta masa yang akan datang melalui sebuah kurikulum. Ilmu pengetahuan dan keterampilan itu diharapkan mampu membantu mereka memecahkan berbagai macam tantangan dan masalah baik masalah pribadi, lingkungan masyarakat maupun negara itu sendiri. Untuk dapat memecahkan masalah, para lulusan sekolah tentu harus diberikan tempat atau lapangan pekerjaan untuk menyalurkan semua ilmu dan keterampilan yang didapat. Mereka kemudian dianugerahi sebuah ijazah atau tanda kelulusan sebagai bukti bahwa mereka memang telah menyelesaikan pendidikan sekolah pada periode yang telah ditentukan. Ijazah dan tanda kelulusan ini bisa digunakan ketika para lulusan ketika sedang melamar sebuah pekerjaan. Dengan tanda ini, mereka kemudian dianggap sudah memiliki kualifikasi yang memenuhi syarat untuk bisa bekerja dengan baik.

Bersekolah dan mendapat tanda kualifikasi pendidikan formal memang penting. Namun pertanyaannya adalah apakah dengan itu semua, kita lantas sudah benar-benar menjadi orang yang pintar, cakap dan sukses? Hal yang dikhawatirkan sebenarnya justru jangan-jangan sistem pendidikan formal semacam ini membuat pemahaman masyarakat tentang sekolah menjadi bergeser, yaitu sebagai tempat untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi, bukan pengembangan kualitas pribadi. Dengan kata lain, tujuan orang bersekolah adalah mendapatkan ijazah formal untuk mempermudah mendapatkan kesempatan kerja. Bahkan mereka yang tergolong berduit atau kaya rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar anaknya bisa bersekolah di lembaga terkenal dan bergengsi. Menjadi hal yang tidak masalah jika pendidikan yang berkualitas ini memang benar-benar berdampak juga pada perkembangan kompetensi anak mereka. Tapi tidak jarang niat mereka memasukkan anak mereka di sekolah itu hanyalah karena sekedar mencari nama; nama besar sekolah yang membuat nama anak mereka besar pula. Tentu saja dengan nama besar yang disandang, mereka akan terlihat lebih dipercaya memiliki kualitas yang sama dengan almamaternya ketika melamar sebuah pekerjaan.

Fakta dan sejarah ternyata membuktikan kenyataan yang jauh berbeda dari apa yang dipikirkan oleh banyak orang tentang peran sekolah. Satu-satunya faktor yang membuat orang menjadi pintar, cakap dan berhasil dalam hidupnya selama ini ternyata bukanlah sekolah atau pendidikan formal, melainkan karakter dan kepribadian kuat orang itu sendiri dalam mengarungi hidupnya. Banyak sekali orang sukses di dunia ini yang keberhasilannya tidak dipengaruhi secara langsung oleh pendidikan formal mereka. Bill Gates, misalnya, justru mengalami dropped out karena terlalu fokus pada usaha di bidang perangkat lunak komputer meskipun dia bersekolah pada bidang yang sama di sekolah atau kampus yang sangat bergengsi. Dia kemudian baru bisa menyelesaikan pendidikan formal S1 nya ketika dia sudah berusia 40 tahun atau setelah dia menjadi orang yang kaya raya. Contoh orang sukses lain yang mengalami hal serupa seperti Bill gates juga banyak seperti pencipta perangkat keras dan lunak komputer, Apple, Steve Jobs, pendiri Facebook, Mark Zuckerburg, CEO e-commerce Alibaba, Jack Ma, dsb. Mereka semua adalah orang-orang hebat dan cerdas yang mengalami masalah dengan sekolahnya.

Peran sekolah bagi kesuksesan orang memang ada, tapi pengaruhnya mungkin tidak signifikan atau porsinya biasa saja. Jika melihat contoh orang-orang sukses seperti yang disebutkan, karakter dan kepribadian orang sukses itu ternyata banyak ditentukan oleh bagaimana mereka menentukan pilihan atau memilih jalan hidupnya sendiri sesuai dengan ketertarikan atau passion mereka. Semua keputusan penting yang mereka ambil lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal individu itu sendiri atau bisa jadi atas dasar nilai, pola pikir atau budaya yang diterapkan dalam keluarga. Mereka justru menganggap sekolah adalah sebuah penjara. Menurut mereka, sekolah terlalu banyak menerapkan banyak aturan serta rutinitas yang cenderung membatasi ruang imajinasi berfikir mereka. Seorang Fisikawan yang terkenal akan kejeniusannya, Albert Einstein pernah menyebut bahwa “Imajinasi itu lebih penting daripada ilmu pengetahuan.” Pernyataan ini bisa diartikan bahwa ilmu pengetahuan yang biasanya secara terstruktur diperoleh di sekolah tidak akan pernah membuat seseorang itu menjadi besar jika dia sendiri secara personal tidak memiliki imajinasi yang luas. Pernyataan ini masuk akal karena setiap individu memiliki cara dan waktu berimajinasi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dan kondisi ini tidak bisa diatur atau didekte dengan sistem atau peraturan yang sama di sekolah.

Selain memilih cara pandang yang tepat, orang-orang besar itu juga sangat menghargai Self-learning atau belajar mandiri. Mereka tidak pernah mengandalkan ilmu pengetahuan yang sudah pernah diajarkan di sekolah, tapi selalu berfikiran bahwa banyak hal di dunia ini yang belum dieksplorasi. Mereka kemudian berusaha mencari tahu hal-hal yang belum pernah terpecahkan itu dengan rasa penasaran yang tidak terbatas. Mereka tidak pernah membatasi diri mereka dengan pengetahuan yang sudah ada, apalagi yang hanya berkutat pada pembelajaran di kelas dengan tugas-tugas rutinnya. Orang-orang semacam ini juga banyak dijumpai di Indonesia. Presiden pertama kita, Bapak Soekarno misalnya, dalam sejarahnya, memiliki kebiasaan suka membaca buku sejak remaja. Beliau suka sekali mencari buku dan membacanya dari berbagai macam tempat termasuk sekolahnya. Kebiasaan ini tidak dilakukan oleh teman-teman sebayanya yang juga bersekolah di tempat yang sama. Kebiasaan inilah yang membuatnya menjadi orang besar dan memiliki pemikiran yang luas, hingga melampaui jamannya. Pemikiran-pemikiran beliau pun akhirnya banyak diakui dan diikuti oleh banyak orang di dunia sampai sekarang. Tokoh inspiratif lainnya adalah Buya Hamka, seorang tokoh islam dan ulama berpengaruh yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD), padahal karya-karyanya memiliki andil besar pada dunia literasi Indonesia.

Tidak kalah dengan para pendahulunya, para tokoh nasional masa kini seperti Dahlan Iskan, Susi Pujiastuti, dan Muhammad Jusuf Kalla juga melakukan hal yang sama. Tanpa memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, mereka mampu membuktikan pada dunia bahwa mereka bisa menjadi orang yang pintar dan sukses. Mereka bahkan tidak hanya sukses untuk dirinya sendiri, tapi mampu memberikan manfaat bagi orang banyak. Membaca biografi mereka dan melihat semua pencapainnya yang luar biasa, bisa disimpulkan bahwa cara dan gaya belajar mereka pasti sangat berbeda dari kebanyakan orang, padahal mereka juga sama-sama mengenyam pendidikan sekolah. Yang membedakan adalah mereka tidak pernah mengandalkan ilmu yang mereka dapatkan di sekolah. Mereka membebaskan diri mereka mencari wawasan dan banyak peluang di luar sekat pendidikan formal dengan belajar sendiri dan mengambil semua keputusan dengan mandiri sesuai dengan bidang yang telah mereka pilih dan tekuni. Seorang pengusaha dan motivator sukses asal Amerika, Jim Rohn pernah mengatakan bahwa, “Pendidikan formal akan membuatmu hidup, tapi pendidikan mandiri akan membuatmu jauh lebih beruntung.” Adapun kutipan dari Bill Gates yang perlu kita jadikan sebuah refleksi bersama, “Saya pernah gagal ujian pada banyak mata pelajaran, tapi ada salah seorang teman saya yang lulus dengan baik pada semua mata pelajaran itu. Sekarang, dia adalah seorang ahli teknisi Microsoft, dan saya adalah pemilik Microsoft.”

Artikel ini ditulis sebagai kritikan atau refleksi bagi sekolah dan pendidikan formal kita. Seharusnya sekolah hadir sebagai tempat yang memberikan pendidikan sesuai dengan esensinya. Artinya sekolah mampu memberikan ruang bagi setiap individu untuk suka bermimpi, berimajinasi, dan bekerja keras sesuai dengan bakat dan kelebihannya masing-masing. Sekolah bukanlah tempat penghasil orang-orang terdidik yang hanya berkutat pada khasanah ilmu yang sudah ada (status quo), tapi memfasilitasi dan menyiapkan para generasi inovatif dan kreatif yang dapat menjadi solusi berbagai macam masalah dan tantangan masa depan.

Penulis adalah seorang guru yang telah mengajar di lembaga pendidikan formal selama lebih dari 10 tahun dan menginginkan para muridnya menjadi orang luar biasa sebagai agen andalan utama perubahan bangsa.  

Artikel ini pernah diunggah di laman kompasiana pada tanggal 24 Februari 2019. Berikut link nya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar