Foto Lebaran Kemarin....Bahagia! 😊 Idul Fitri 1440 |
*Oleh
Aziza Restu Febrianto
Pada artikel
kali ini, saya ingin berusaha menuliskan beberapa pelajaran etika dan adab
hubungan Pasangan suami istri (Pasutri) yang (mungkin) jarang sekali diajarkan
di sekolah maupun keluarga. Karena jarang diajarkan, saya kira judul diatas sudah cukup
pas untuk artikel ini. Saya berharap siapapun yang membacanya dapat melakukan
refleksi dan evaluasi diri untuk selalu belajar menjadi individu yang lebih
baik, khususnya dalam mengarungi kehidupan pernikahan dan berkeluarga. Tulisan
juga saya khususkan untuk diri saya sendiri yang memang masih terus belajar
untuk menjadi seorang suami dan ayah yang baik dalam membina sebuah rumah
tangga.
- Pernikahan itu Keputusan yang Agung
Pernikahan
adalah sebuah keputusan yang sangat besar dalam kehidupan manusia sebagai
pembeda dengan makhluk lainnya. Bahkan dalam islam, pernikahan itu merupakan
salah satu dari tiga perjanjian agung, luhur dan suci yang disebut dengan
“Mitsaqan Ghaliza” atau perjanjian yang amat kukuh. Perjanjian ini bahkan telah
disebutkan di dalam kitab suci Al-Quran sebanyak tiga kali. Yang pertama
menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7), kedua
menjelaskan perjanjianNya dengan umatNya dalam melaksanakan pesan-pesan agama
(QS An-Nisa 4:154) dan ketiga menyangkut perjanjian suami dan istri (QS An-Nisa
4:21).
Begitu
besarnya nilai dari sebuah pernikahan, sehingga kita tidak boleh meremehkannya.
Mungkin banyak yang mengira (terutama bagi yang belum menikah atau yang akan
menikah) bahwa pernikahan adalah sebuah awal kebahagiaan. Tapi jangan salah,
justru perjalanan hidup yang sebenarnya baru dimulai di awal pernikahan. Yang
namanya hidup pasti banyak ujiannya. Hidup sendiri saja ujiannya sudah banyak,
apalagi berdua dengan pasangan. Belum lagi ketika dikaruniani anak, yang
pastinya masalah demi masalah akan terus kita hadapi dalam berumah tangga.
Namun,
dengan semakin banyaknya masalah yang dihadapi, bukan berarti kita kemudian
menjadi takut untuk memutuskan menikah. InshaAllah, banyak sekali manfaat dan
berkah yang bisa diperoleh melalui pernikahan. Masalah itu hanyalah sebagian
kecil dari kehidupan pernikahan. Masalah ibaratnya hanyalah sebuah bumbu agar
kehidupan pernikahan yang kita jalani itu menjadi luar biasa indah. Jika kita
mampu mengelola semua permasalahan itu dengan pasangan, maka kebahagiaan yang
kita dapatkan akan jauh lebih banyak daripada ketika kita belum menikah.
- Dua Orang Berbeda Menjadi Satu
Yang
harus kita pahami terlebih dahulu adalah sebelum menikah, pasangan kita itu
adalah 100% orang lain atau bukan merupakan bagian anggota dari keluarga kita.
Dia adalah orang asing yang berasal dari keluarga lain dengan latar belakang
budaya dan tradisi yang tentu saja sangat berbeda dengan kita. Ketika
menikahinya, kita memang harus sudah siap lahir dan batin untuk hidup
bersamanya dengan segala perbedaan yang dimilikinya, baik pola pikir,
kebiasaan, hobi dan karakter atau wataknya.
Semua
perbedaan yang ada antara kamu dan pasanganmu itu bisa sangat berpotensi
menimbulkan masalah. Misalnya, ketika kamu ingin menata ruang kamar yang sesuai
dengan keinginanmu. Jangan berfikir bahwa pasanganmu akan memiliki pandangan
yang sama dan semua keputusanmu akan berjalan dengan lancar. Tanpa ada
penjelasan darimu tentang alasan kenapa kamu ingin menata ruang kamar, pasangan
kamu bisa saja merasa kecewa ataupun marah mengenai keputusanmu itu. Namun
masalah itu tidak akan muncul jika kamu terlebih dahulu mengkomunikasikan
maksud keputusanmu itu kepada pasanganmu sebelum melakukannya. Tidak hanya
menyampaikan maksud, tetapi kamu juga harus meminta pendapatnya sebagai tanda
bahwa kamu memahami perasaannya dan menghargainya sebagai pasangan dan belahan
jiwamu.
Hal
lain tentang pernikahan yang perlu kita pahami adalah bahwa ketika kita sudah
menikah, maka kita sudah tidak hidup sendiri lagi. Setelah menikah, hidup kita
tentu tidak akan seperti dulu lagi ketika masih single. Saat masih single,
kita bisa dengan bebas melakukan apa saja yang kita sukai. Misalnya, bagi
mereka yang dulunya suka naik gunung, kumpul bersama teman, main band, dsb
harus mulai mengurangi semua kegiatan hobinya itu ketika sudah menikah. Alasannya
karena setelah memutuskan untuk menikah, sejatinya kita harus sudah siap untuk
membagi waktu, tenaga dan pikiran kita dengan orang lain. Sehingga
konsekuensinya adalah waktu dan kegiatan yang berkaitan dengan pribadi (me time) pasti akan berkurang. Dengan
kata lain, di dalam waktu dan perhatian kita terdapat hak orang lain disitu,
yaitu pasangan dan anak kita.
- Menikahinya = Menikahi Keluarganya
Jangan
berfikir bahwa ketika kamu menikahi seseorang pujaanmu, lantas dunia hanya
milik kamu berdua dan yang lainnya hanya ikut ngontrak saja. Ingat, kita ini
hidup di negara Indonesia yang sangat kental dengan tradisi dan adat ketimuran.
Salah satu ciri khas adat ketimuran adalah kebiasaan komunal atau berkumpul.
Artinya, dalam tradisi Indonesia, setelah menikah, pasangan masih diharuskan
untuk menjaga hubungan yang erat dengan orang tua serta menjaga tradisi sosial
keluarga yang diturunkan melalui mereka. Sehingga kondisi ini membutuhkan
keterampilan tersendiri dari kita untuk dapat memahami dan menjaga hubungan yang
baik dengan keluarga pasangan kita.
Kondisi
yang biasanya sangat berpotensi menimbulkan masalah adalah intervensi orang tua
terhadap urusan rumah tangga anaknya. Kebanyakan orang tua mungkin berfikiran
bahwa setelah anaknya menikah, mereka merasa telah kehilangan perhatian dari
anaknya yang selama ini hidup bersamanya. Sehingga mereka terkadang masih
menganggap dan memperlakukan anaknya yang telah menikah itu dengan cara seperti
dulu ketika dia belum menikah. Orang tua terkadang masih merasa bertanggung
jawab untuk memberikan perhatian terhadap anaknya dan lupa bahwa anaknya itu
sudah memiliki pasangan dan keluarga baru.
Memang
sudah menjadi hal yang wajar jika orang tua kita sangat peduli dengan urusan
dan kehidupan kita.... selamanya. Itu sudah naluri dan alamiah. Namanya juga
orang tua. Bagian dari darah dan daging kita. Orang yang melahirkan dan membesarkan
kita selama puluhan tahun sebelum akhirnya kita bertemu dengan pasangan kita.
Namun, ketika kita sudah menikah, maka sejatinya kita sedang membangun keluarga
yang baru. Membangun generasi baru yang tentu harus lebih baik dari generasi
sebelumnya. Sehingga setiap keluarga baru harus memiliki prinsip dan pondasi
mandiri secara kuat tentang akan dibawa kemana bahtera rumah tangga mereka.
Demi masa depan keturunan-keturunan mereka.
Perhatian
orang tua yang berujung pada intervensi urusan keluarga memang tidak bisa
terhindarkan. Namun, bagi orang tua yang mengerti, pasti akan tahu akan batasan
memberikan perhatian pada anaknya itu. Sehingga kehidupan rumah tangga sang
anak juga akan menjadi baik-baik saja. Namun tidak semua orang tua itu
mengerti. Jika kita menghadapi orang tua yang kedua ini, maka tidak ada cara
lain kecuali dengan tetap saling percaya dan mendukung antar pasangan. Jika
salah satu tidak nyaman dengan pengaruh orang tua, maka yang satunya harus
menghargai perasaannya dan memberikan pengertian, kepercayaan serta dukungan
penuh kepadanya. Bukan malah justru membela orang tua dan menjatuhkan
pasanganya.
Sebenarnya
yang paling berat menerima intervensi keluarga adalah menantu, yaitu pasangan
kita terhadap orang tua kita atau kita terhadap mertua kita. Hubungan antara
menantu dan mertua ini sangat rawan akan kesalahpahaman dan konflik. Alasan
logisnya adalah karena pada dasarnya menantu adalah orang asing baru di rumah
mertua. Pada sudut pandang menantu, mertua itu adalah raja atau ratu baginya.
Bagaimana tidak, mereka adalah orang yang sudah merelakan anak yang paling
mereka kasihi selama ini untuk diambil oleh orang seperti kita dan hidup
bersama dengan kita selamanya. Bagaimanapun juga, mereka pasti akan selalu
ingin memastikan bahwa anaknya itu hidup bahagia bersama kita.
Perasaan
itu tentu saja akan mempengaruhi sikap menantu terhadap mertuanya. Sikap kikuk
atau kurang nyaman akan selalu ia rasakan, terutama ketika harus terus-terusan
bersama mertua. Dia akan selalu merasa bahwa apa yang dia lakukan itu selalu
diawasi oleh mertuanya. Walaupun itu mungkin hanya sekedar perasaannya saja.
Sedangkan dari sudut pandang mertua, menantu merupakan orang lain yang hidup
bersama anaknya dengan usia yang jauh lebih muda. Bagi mertua yang mengerti,
kepercayaan akan diberikan penuh kepadanya untuk mengelola keluarga baru
bersama anaknya. Tapi bagi mereka yang kurang mengerti, perasaan khawatir atau
cemburu terhadap menantunya bisa saja muncul. Mereka merasa bahwa setelah
menikah, perhatian anaknya telah banyak tercurah kepada menantunya, bukan
kepada mereka lagi.
Orang
tua yang khawatir dan cemburu dengan anak dan menantunya ini akan berujung pada
sikap intervensi, apalagi ketika mengetahui kekurangan yang ada di dalam
keluarga anaknya. Orang tua kemudian merasa bahwa karena usianya jauh lebih
tua, mereka memiliki banyak pengalaman dalam mengelola keluarga. Melihat
kekurangan pada keluarga anaknya, orang tua semacam ini akan sering memberikan
masukan dan nasihat (yang paling sering dikaitkan dengan pengalamannya). Memang
tidak ada salahnya mempertimbangkan masukan dari orang tua, terutama jika
memang itu benar adanya. Namun, kenyataannya masukan itu banyak yang tidak
sepenuhnya benar dan bahkan sering disampaikan pada waktu yang kurang tepat.
Jika kondisi ini terus berkembang, maka di dalam keluarga si anak akan terdapat
double kepemimpinan atau dua pemimpin
dalam satu keluarga. Padahal untuk menciptakan estafet generasi keturunan yang
lebih baik, diperlukan kepemimpinan yang terpusat dan mandiri di dalam keluarga
baru itu.
Tipe
orang tua seperti itu mungkin lupa bahwa dengan perkembangan teknologi
informasi yang terus menerus berkembang, anaknya bisa memperoleh banyak
informasi dan pengalaman berkeluarga
melalui berbagai macam sumber di internet. Dalam hal ini, anak bisa saja lebih
bijaksana karena mendapatkan lebih banyak informasi dari berbagai macam
perspektif daripada orang tuanya, yang hanya mengandalkan ppengalaman dan
pengetahuan dari sudut pandangnya saja. Orang tua juga hendaknya mengerti bahwa
ketika memberikan keleluasaan kepada anak dan menantunya dalam menentukan arah
rumah tangganya secara mandiri, mereka sebenarnya juga secara tidak langsung
menjamin kebahagiaan anaknya.
Seperti
yang disebutkan sebelumnya, pihak yang akan mendapatkan beban lebih ketika ada
intervensi orang tua adalah menantu. Hubungan canggung antara mertua dan
menantu inilah yang sering menyebabkan kesalahpahaman. Dan bisa saja menjadi
pemicu renggangnya hubungan antara kedua belah pihak. Sikap legawa dan
pengertian memang seharusnya dimiliki oleh keduanya jika terdapat perbedaan pandangan.
Namun, tidak semua mau dan bisa mengerti. Satu-satunya cara yang paling efektif
untuk menengahi masalah ini adalah keterampilan pasangan dari menantu (anak
kandung mertua) dalam meluruskan kesalahpahaman. Tentu saja dengan cara yang
bijaksana dan akhsan, sehingga tidak menyinggung perasaan salah satu atau kedua
belah pihak. Hanya anak kandung dari mertua yang bisa. Kenapa? Karena namanya
anak kandung, apapun yang dia lakukan, meskipun salah, orang tuanya pasti akan
banyak memakluminya. Sedangkan jika menantu yang berbuat salah, bisa terjadi
kesalahpahaman yang lebih mendalam dari kedua belah pihak.
- Pernikahan itu Satu Tubuh
Pada
poin pertama sudah disampaikan bahwa pernikahan itu adalah bersatunya dua orang
yang berbeda dalam sebuah ikatan agung. Sebagai konsekuensinya, masing-masing
harus saling memahami perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi
memahami perbedaan itu saja tidaklah cukup. Setiap individu baik suami maupun
istri harus saling menopang, saling mendukung dan saling merasakan. Karena
dalam kehidupan rumah tangganya, mereka akan menghadapi berbagai macam
tantangan dan masalah, yang tentunya membutuhkan banyak tenaga dan pikiran
untuk menyelesaikannya.
Seperti
kebanyakan orang bilang, pasangan itu adalah belahan jiwa. Pasangan itu
ibaratnya adalah satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh kita itu sakit, maka
pasti anggota tubuh yang lainnya akan merasakan sakit pula. Sehingga ketika
salah satu pasangan mendapatkan masalah, sudah seharusnya yang satunya juga
merasakan masalah yang sama. Akhirnya keduanya menganggap masalah salah satu
pihak adalah masalah mereka berdua, yang harus dicarikan solusi secara
bersama-sama. Hanya saja yang membedakan antara tubuh dan pernikahan adalah
cara penyembuhan saat salah satu anggota tubuh sakit. Jika salah satu anggota
tubuh kita sakit, kita bisa mengobatinya di rumah sakit. Namun dalam
pernikahan, rasa sakit itu tidak bisa dan tidak boleh disembuhkan di tempat
lain. Jika disembuhkan di tempat lain, maka rasa sakit itu justru akan semakin
parah dan bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga.
Karena
pasangan kita adalah bagian tubuh kita dan tidak ada tempat lain untuk
menyembuhkan suatu penyakit yang diderita, maka sudah menjadi suatu kebutuhan
kita untuk melindungi dan merawatnya. Sakit yang dirasakan oleh pasangan akan
berdampak pada terganggunya kenyamanan dan kedamaian dalam keluarga jika
dibiarkan. Merasakan apa yang dialami pasangan memang membutuhkan keterampilan
tersendiri, yaitu rasa empati dan kepekaan yang baik. Tapi jika kita
benar-benar mencintai pasangan kita dan memikirkan masa depan keluarga serta keturunan-keturunan
kita, kenapa kita tidak belajar dan berlatih mengembangkan keterampilan ini.
Semuanya demi ketenteraman, kebahagiaan dan keberlangsungan hidup berkeluarga.
Cara
lain untuk mengembangkan keterampilan ini sebenarnya mudah, yaitu dengan
keterbukaan. Setiap pasangan hendaknya saling terbuka tentang urusan apapun
bahkan sekecil apapun itu. Setiap kali memiliki pemikiran, ide, masalah ataupun
kepentingan, hendaknya kita menceritakan semuanya kepada pasangan. Bercerita
tentang semua hal tidak akan menjadi masalah bagi kita dan pasangan, justru
itulah yang seharusnya dilakukan dan dibutuhkan. Bahkan di dalam Islam,
pasangan itu ibarat pakaian kita, dan sebaliknya kita adalah pakaian bagi pasangan
kita. Sehingga setiap detail tentang tubuh dan hidup kita sudah sepantasnya
diketahui oleh pasangan.
Mungkin
ada orang yang enggan menceritakan beberapa hal ke pasangannya karena
pertimbangan tertentu. Misalnya, mereka berfikir bahwa ada urusan tertentu yang
hanya mereka tahu atau percuma jika urusan itu diceritakan kepada pasangan. Toh
pasangan juga tidak akan tahu atau bahkan tidak bisa memberikan solusi. Menurut
saya pandangan seperti ini salah. Justru ketika kita menceritakan semua urusan
kita kepada pasangan, pasangan bisa merasa dihargai perannya. Tidak peduli
apakah dia paham atau tidak.
Hendaknya
pasangan juga jangan enggan mendengarkan cerita kita ketika tidak memahaminya
atau tidak dapat memberikan solusi akan masalah yang mungkin ada. Bisa
dibayangkan, jika salah satu tidak peduli dengan cerita pasangannya, selain
yang lain akan merasa kecewa, dia juga tidak akan mempunyai tempat untuk
bercerita. Coba dibayangkan. Siapa lagi tempat kita bercerita tentang semua hal
(curhat), selain kepada pasangan kita.
Jangan sampai karena pasangan tidak mau mendengarkan kita, kemudian kita
mencari tempat lain untuk bercerita. Itu bisa sangat berbahaya. Sehingga
walaupun tidak tahu akan permasalahan yang diceritakan oleh pasangan, hendaknya
kita tetap antusias memperhatikan meskipun hanya sekedar mendengar.
Pada dasarnya setiap orang itu memiliki ego atau keinginan dan hasrat
untuk kebahagiaan hidupnya sendiri. Akan tetapi ketika orang itu sudah
memutuskan untuk menikah dan membangun rumah tangga baru, maka ego pribadi itu
harus disatukan dengan pasangannya. Melawan ego pribadi memang pastinya tidak
mudah. Tapi menurut saya ego itu bisa diubah bentuknya menjadi ego bersama. Nah,
untuk membentuk dan menyatukan ego bersama dengan pasangan, diperlukan pemahaman
bersama akan pernikahan seperti 4 (empat) poin yang saya sebutkan diatas.
Jika disimpulkan, kunci dari semua permasalahan dalam rumah tangga
adalah kesamaan visi, kepekaan, keterbukaan dan komunikasi dari masing-masing
pasangan. Tentu saja semua disesuaikan dengan kondisi dan peran kita
masing-masing dalam keluarga kita: sebagai suami atau istri, anak atau menantu,
dan karir atau rumah tangga. Terimakasih telah membaca artikel ini. Semoga
bermanfaat.
Semarang, 14 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar