Tampilkan postingan dengan label Professional Teacher. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Professional Teacher. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 November 2024

Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

 

image generated by perchance.org

Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

*Aziza Restu Febrianto

Tulisan ini merupakan sebuah hasil renungan dan refleksi selama 3 tahun terakhir sejak pertama kalinya saya menggunakan ChatGPT sebagai platform kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) paling populer pertama di Indonesia. Ternyata pasca kepopuleran ChatGPT, berbagai macam platform serupa bermunculan, dan bahkan lebih beraneka ragam dengan variasi tujuan dan kegunaannya. AI saat ini juga tidak hanya bisa digunakan untuk menciptakan tulisan, tetapi juga gambar, animasi, video, suara, dan musik beserta liriknya (multimodal). Dan tentunya teknologi ini tidak akan berhenti sampai disini karena akan terus berkembang dan memasuki spektrum yang baru secara terus menerus seperti yang sudah terjadi selama ini. Sungguh luar biasa. Namun, perkembangan AI tidak luput dari dilema pro kontra. Faktanya banyak pihak resah mengingat dampak yang disebabkan oleh AI yang telah merambah hampir semua sektor kehidupan, termasuk dunia industri dan pendidikan. Di sektor usaha dan industri tertentu, AI telah banyak menggantikan posisi karyawan manusia. Misalnya di industri kreativititas seni seperti desain komunikasi visual dan musik, tenaga manusia sudah tergantikan oleh AI, yang bahkan bisa bekerja secara lebih menarik, efektif dan efisien.

Sektor pendidikan juga mengalami kondisi yang tidak kalah meresahkan. Bagaimana tidak? Banyak siswa telah memanfaatkan AI untuk membuat tugas sekolah mereka (Cheating). Di satu sisi, AI sangat membantu mereka mempelajari banyak hal dengan cara instan dan cepat, tetapi di sisi lainnya, AI juga membuat mereka mengalami ketergantungan, dan proses pembelajaran menjadi terganggu. Jika dulu orang mengandalkan mesin pencari informasi (seperti Google), saat ini mereka cukup menggunakan AI yang dapat memberikan  informasi secara direct atau spontan dengan bertanya langsung kepada AI. Jawabannya pun sudah sangat sesuai dengan yang diharapkan – mostly accurate. Memang jawaban dari AI itu tidak 100% akurat, tetapi hampir semuanya akurat, khususnya terkait hal-hal yang umum. Ketika saya menjadi salah satu narasumber di sebuah acara rutin MGMP Jawa Tengah, hampir semua peserta yang merupakan guru sekolah, sudah sangat familiar dengan AI. Yang mereka pikirkan tentang alat itupun juga sama, yaitu AI memiliki 2 mata pisau: sangat membantu pembelajaran, tetapi juga mengancam pembelajaran. Dilema ini ternyata juga dirasakan oleh para dosen dan peneliti di bidang pendidikan. Pada 7-8 November lalu, saya dan rekan saya mengikuti sebuah konferensi internasional pada bidang English Language Teaching (ELT) atau pengajaran bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Salah satu pembicara utama (Keynote Speaker), Prof. Paul Kei Matsuda menekankan bahwa “Jangan anggap AI sebagai sebuah ancaman dan musuh, tetapi bertemanlah dengannya. Itu adalah (compliment) atau pelengkap hidup kita.”

Meskipun demikian, masih banyak guru dan dosen yang masih mengkhawatirkan penggunaan AI karena berbagai macam isu yang diawal saya sebutkan. Menurut saya, kekhawatiran itu normal karena mereka, sebagai pendidik, harus memikirkan strategi mengajar yang tentu harus berbeda dengan yang selama ini mereka terapkan. Mereka harus terus belajar banyak hal baru. Tanpa henti..iya..belajar tanpa henti, karena teknologi akan selalu berkembang dengan sangat pesat. Jika para pendidik tidak terus belajar sebagai Lifelong Learners, maka pasti akan tertinggal dan terlindas oleh perubahan, dan cara mengajarnyapun tidak akan mudah diterima oleh peserta didiknya. Mungkin ini adalah konsekuensi sekaligus hikmah dari perkembangan teknologi itu sendiri. Mungkin pembelajaran bahasa sudah bergeser dengan sangat signifikan: jika dulu siswa diajarkan mengenai Grammar dan bagaimana menyusun kalimat, paragraf, dan esai secara mendalam, saat ini pembelajaran akan berfokus pada peningkatan literacy, critical thinking dan problem solving melalui keterampilan komunikasi bahasa. Prof. Paul Kei Matsuda juga menyampaikan bahwa jika pembelajaran itu berfokus pada komunikasi, khususnya komunikasi lisan, maka pengetahuan Grammar tidak perlu perfect atau sempurna. Sehingga semua akan kembali pada substansi dan esensi belajar bahasa itu sendiri, yaitu bahasa hanyalah alat untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan dunia, berkomunikasi dengan dunia, dan turut serta dalam mencari solusi permasalahan dunia melalui keterampilan komunikasi. Saya kira konteks pembelajaran bahasa ini juga tidak jauh berbeda dengan ruang lingkup bidang ilmu lainnya. Pandangan ini juga pernah saya sampaikan di sebuah Podcast pada Channel YouTube resmi Universitas Nasional Karangturi, yang bisa ditonton disini ->  Menjadi Pengajar di Zaman AI

Teknologi AI faktanya juga memungkinkan pendidik untuk bisa mengidentifikasi dan mengklasifikasi karakteristik peserta didik mereka. Dengan begitu, pendidik bisa mengetahui bagaimana cara mendidik dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan konteks kebutuhan mereka. Masifnya penggunaan AI ini juga membuat para pendidik tahu manakah peserta didik yang serius dalam belajar dan tidak bergairah dalam belajar. Mereka yang tidak serius belajar akan selalu mengandalkan AI dalam mengerjakan semua tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Sedangkan mereka yang serius akan memanfaatkan AI sebagai alat untuk mengakselerasi pengetahuan dan keterampilan mereka. Perbedaan kedua jenis peserta didik ini dapat dilihat dari 2 (dua) aspek dalam diri mereka, yaitu Orientasi hidup (Self-orientation) dan Rasa penasaran (Curiosity). Peserta didik yang baik pasti secara kuat memiliki kedua aspek ini dalam hidupnya, sehingga dia secara otomatis tidak akan mudah percaya pada hasil kerja AI dan justru mempelajari terus kinerja AI tersebut serta menantang keakuratannya melalui perbandingan dengan sumber lain yang dia dapatkan. Peserta didik semacam inilah yang sesungguhnya kita harapkan, karena mereka telah memiliki kesadaran autonomous learning atau pembelajaran mandiri, yang memang sejatinya merupakan akhir dari tujuan pendidikan itu sendiri (the ultimate goal of education). Nah, at the end of the day, tugas pendidik (guru dan dosen) tentu saja tidak hanya sebagai seorang learning facilitator saja, tetapi juga seorang coach: memberikan motivasi dan inspirasi agar peserta didiknya memiliki kesadaran autonomous learning dan independent learning dalam dirinya. Pemikiran ini juga sejalan dengan substansi presentasi yang disampaikan oleh Prof. Paul Kei Matsuda tentang peran guru di abad 21 pada acara konferensi yang saya ikuti tersebut.  

Senin, 06 Februari 2023

Bahasa Inggris dan Literasi

 

https://blogs.glowscotland.org.uk/er/Literacy/

Bahasa Inggris dan Literasi

 

*Aziza Restu Febrianto

 

Tulisan ini saya buat setelah mendapatkan inspirasi dari kegiatan belajar dan mengajar online saya saat ini. Kebetulan siswa yang saya ajar tergolong cerdas. Meskipun masih berusia sangat muda, siswa ini sebentar lagi menamatkan pendidikan pascasarjana pada bidang hukum di Universitas Dippnegoro Semarang. Skor TOEFL ITP nya juga sangat tinggi, yaitu 620. Pada awalnya, dia mengambil kursus bahasa Inggris untuk meningkatkan skor TOEFL nya, yang saat itu masih 530. Alhamdulillah, setelah saya dampingi selama sekitar 3 bulan, skornya naik secara signifikan. Menurut saya, skor ini sudah bisa dipakai untuk banyak keperluan baik pekerjaan maupun beasiswa luar negeri. Karena saya rasa dia sudah mencapai puncak pencapaian, saya kemudian menawarkan apakah dia masih melanjutkan kursus atau tidak. Jika dia memutuskan untuk lanjut, materinya tentu sudah tidak TOEFL lagi, tetapi IELTS karena format kedua tes ini sangatlah berbeda. Karena dia belum ada rencana mengambil tes IELTS dalam waktu dekat, dia kemudian memutuskan untuk fokus pada Speaking dan Writing. Saya juga menyarankan agar dia sangat memprioritaskan Writing (khususnya Academic Writing), karena selain penting, skill ini juga sangat rumit dan perlu banyak pembiasaan. Singkat cerita, pembelajaranpun berlanjut pada materi IELTS Speaking dan Writing yang akhirnya berlangsung selama sekitar 2 bulan.

Setelah menjalani pembelajaran IELTS Speaking dan Writing dengan berbagai macam simulasi dan feedback, saya kemudian menyadari bahwa kegiatan ini masih kurang efektif dalam membantu dia meningkatkan kompetensi bahasa Inggris. Setelah kursus IELTS bersama saya selama 2 bulan ini, level dia bisa dibilang sudah layak masuk kategori advanced atau mahir. Sehingga, menurut saya, pembelajaran IELTS saja tidak cukup, karena pada dasarnya IELTS preparation ini hanya berfokus pada keterampilan dan strategi dalam mengerjakan tes. Jika pembelajaran semacam ini diteruskan, pengetahuan dan penguasaan dia dalam aspek penting lainnya seperti perbendaharaan kata, variasi pola kalimat, ungkapan, chunks dan styles bahasa untuk berbagai macam konteks akan sulit berkembang. Selain itu dia juga perlu mengembangkan keterampilan dan ilmu pengetahuan lain melalui kegiatan belajar bahasa Inggris. Intinya, selain belajar bahasa, dia juga bisa belajar banyak hal serta meningkatkan kompetensi lain, termasuk Critical thinking and literacy. Keputusan ini tentu saja didasarkan pada pilihannya, dan mungkin ceritanya akan lain jika dia memang berencana mengambil tes IELTS dalam waktu dekat.

Singkat cerita, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti mengajarkan IELTS dan memilih kegiatan pembelajaran lain yang saya namai “Read and Present.” Sesuai dengan namanya, kegiatan pembelajaran ini berpusat pada penyerapan ilmu pengetahuan dan menyampaikan ilmu pengetahuan tersebut dalam aktivitas Speaking dan Writing. Namun, untuk topik dan materi dalam pembelajaran ini, siswa tidak bebas memilih karena saya yang menentukan. Materi ini harus diambil dari sumber yang autentik dan kredibel, yaitu lembaga-lembaga penyiaran dan riset resmi di negara-negara berbahasa Inggris (English Speaking Countries) seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Dan Thanks to the internet, saat ini kita sudah mendapatkan banyak kemudahan dalam akses yang luas terhadap berbagai macam sumber informasi dan ilmu pengetahuan melalui Google. Sehingga untuk mencari materi, saya cukup googling dengan mengetik kata kunci yang saya inginkan. Tidak cukup hanya mencari materi autentik, saya juga harus memastikan adanya diskusi setelah sesi presentasi. Sehingga topik yang saya pilih harus mengandung sisi perdebatan atau topics that provoke further questions. Tahapan pembelajaran “Read and Present” ini secara teknis bisa dilihat pada diagram berikut ini:

Seperti yang ditunjukkan pada diagram diatas, kegiatan pembelajaran ini berawal dari penentuan topik dan materi bacaan sebelum pertemuan di kelas (flipped teaching) yang diikuti dengan kegiatan membaca di rumah. Kenapa materi yang dipilih adalah materi bacaan dan bukan video (dari YouTube misalnya)? Alasannya adalah pertama, materi bacaan biasanya mengandung pembahasan yang jauh lebih mendalam dibandingkan video dengan durasi tayang yang cukup panjang. Selain itu, materi bacaan juga memungkinkan siswa untuk membaca dengan kecepatan waktu yang dia bisa perkirakan sendiri. Sementara menonton sebuah presentasi atau podcast dengan satu topik pembahasan di video YouTube bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Melalui materi bacaan, siswa juga dengan lebih mudah mempelajari variasi pola kalimat, perbendaharaan kata dan istilah baru, serta style alami penulisan. Website ini https://thebestschools.org/magazine/controversial-topics-research-starter/adalah salah satu contoh sumber materi bacaan autentik yang saya pakai diantara semua website, jurnal ilmiah, dan buku yang ada di internet.

Kegiatan membaca ini kemudian dilanjutkan dengan membuat rangkuman (summary) dengan menggunakan kata-kata sendiri di rumah. Kosa kata dan istilah-istilah baru juga perlu digunakan dalam penulisan rangkuman ini agar bisa dengan mudah dipelajari dan selalu diingat. Tidak hanya itu, rangkuman tersebut juga harus dalam bentuk sebuah esai yang terdiri dari minimal 250 kata, seperti halnya esai di IELTS Writing Task 2. Karena siswa yang saya ajar sudah mendapatkan materi IELTS sebelumnya, saya berasumsi bahwa dia tidak kesulitan dalam mengerjakan rangkuman ini. Esai rangkuman ini kemudian dipresentasikan secara oral di dalam kelas dengan tambahan elaborasi berupa penjelasan dan argumen pribadi. Pada saat presentasi, tugas dan peran saya sebagai pengajar adalah mendengarkan, mengamati dan memikirkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang materi yang dipresentasikan tersebut. Presentasi ini kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, yang pada akhirnya akan memunculkan sebuah diskusi. Kegiatan ini diharapkan bisa menstimulus Critical thinking dan Literacy, karena baik siswa dan pengajar akan merasa tertantang untuk berfikir dan berargumen secara logis dan rasional. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika pengajar juga membaca materinya secara mendalam sebelum bertemu siswa di kelas.

Kegiatan selanjutnya adalah pemberian feedback mengenai presentasi dan esai rangkuman yang telah dibuat oleh siswa. Sebagai pengajar, peran saya selanjutnya tentunya adalah memberikan feedback. Menurut saya, feedback ini wajib diberikan pada setiap kegiatan dan tugas yang dilakukan oleh siswa. Sesibuk apapun guru, dan sebanyak berapapun siswa, guru harus menyempatkan diri untuk memberikan feedback, walaupun hanya komentar umum. Dengan feedback yang konstruktif (Constructive Feedback), siswa akan mengetahui dimana letak kekurangan dan kelebihannya pada saat mengerjakan tugas dan menunjukkan performanya. Siswa juga akan semakin bersemangat setelah diberikan feedback, karena pada dasarnya tugas yang dia kerjakan itu diperhatikan oleh gurunya. Oleh karena itu, feedback itu harus konstruktif, artinya feedbak harus disampaikan secara logis, rasional dan positif dengan bahasa yang dapat membangun sugesti positif siswa. Disini, pengajar harus memastikan bahwa feedback yang disampaikan tidak membuat siswa kecil hati dan kurang percaya diri, tetapi justru harus sebaliknya, yaitu dapat membuat siswa tersebut lebih percaya diri dan semangat untuk memperbaiki diri. Sebagai pengajar bahasa, tentu saja feedback utama yang saya berikan adalah tata bahasa dan style siswa dalam melakukan presentasi dan menulis esai rangkuman, seperti koherensi dan kohesi, grammar, pola kalimat, pilihan kata, dan style bahasa. Namun, tidak berhenti disitu, saya juga memberikan feedback mengenai konten dan kedalaman materi yang disampaikan agar siswa dapat lebih meningkatkan keterampilan analisis isu dan pemikiran kritisnya. Dengan begini, literasinya juga diharapkan meningkat.

Menurut saya, kegiatan "Read and Present" ini adalah salah satu cara yang efektif untuk membantu siswa meningkatkan literacy nya disaat Indonesia masih mengalami krisis literasi (PISA, 2018).

Literacy is the ability to identify, understand, interpret, create, communicate, and compute, using printed and written materials associated with varying contexts (UNESCO).


Sesi Pemberian Feedback untuk Esai Rangkuman Materi


 

 

Rabu, 16 November 2022

6 Karakteristik Guru Ideal Kekinian

Foto: Saya dan Mahasiswa/i di Sebuah Ruang Kelas


6 Karakteristik Guru Ideal Kekinian 


*Aziza Restu Febrianto

 

Pada tanggal 11 November 2022 lalu, saya mengikuti sebuah Webinar dengan pembicara tunggal, yaitu Dr. Willy A. Renandya dari National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapura. Pada webinar tersebut, beliau memaparkan ciri-ciri guru di abad ke-21. Seperti biasa, cara beliau menyampaikan materi selalu memukau dengan gaya bicaranya yang khas: artikulasi yang jelas dan tidak terlalu cepat. Sebenarnya sebelum mengikuti webinar ini, saya sudah membaca beberapa karya beliau mengenai topik yang sama serta lebih lanjut lagi menelaah beberapa karya lain yang menjadi rujukan beliau. Melalui artikel ini, saya akan berusaha memaparkan apa yang saya tangkap dari penemuan beliau dan beberapa kajian para ilmuwan lain mengenai 6 karakteristik guru ideal kekinian atau guru yang selalu relevan dengan perkembangan zaman.

Guru yang kekinian itu harus:

1. Kompeten dalam profesinya (Professionally Competent)

Karakter ini tentu wajib dimiliki oleh seorang guru. Namun, kompeten dalam profesi guru bukan berarti hanya bisa melakukan dan mengerjakan sesuatu yang diajarkan saja, tetapi juga dapat menunjukkan efektivitas kerja yang membawa kesuksesan para siswanya. Sehingga seorang guru harus memiliki kompetensi mengenai apa yang diajarkan (Subject Knowledge) secara cukup dan tentang bagaimana cara mengajarkannya (Pedagogy). Guru bahasa Inggris, misalnya diharapkan memiliki kompetensi berbahasa Inggris (English proficiency) yang jauh diatas siswanya. Jika skor TOEFL siswanya adalah antara 400-500, maka gurunya harus memiliki skor 550 keatas. Dengan kompetensi yang tinggi ini, guru akan dapat memberikan input dan menjawab pertanyaan siswa secara instan dan akurat serta menjadi contoh (Role model) yang baik bagi semua siswanya. Menurut Dr. Willy, para ilmuwan dan praktisi di bidang pengajaran bahasa Inggris menyepakati bahwa level standar kompetensi bahasa target yang harus dimiliki oleh seorang guru bahasa Inggris adalah antara B2 (Menengah atas) dan C1 (Mahir bawah) berdasarkan CEFR.

Namun, Dr. Willy juga menyebutkan bahwa kompetensi pada Subject Knowledge untuk saat ini bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam profesi guru. Alasan pertama adalah karena para guru bisa melakukan persiapan secara matang jauh hari sebelum mengajar. Guru juga bisa mengandalkan berbagai materi autentik yang tersedia di internet untuk dijadikan sebagai sumber Subejct Knowledge utama untuk siswa. Guru, dengan keterampilan pedagogiknya, juga terkadang perlu menggunakan bahasa pertama atau bahasa ibu siswa yang disebut dengan strategi Translanguaging  agar tujuan pembelajaran bisa sepenuhnya tercapai. Oleh karena itu, seorang guru harus selalu memastikan dan berkomitmen untuk terus mengembangkan kedua kompetensi Subject Knowledge dan Pedagogy secara seimbang agar dapat membantu siswanya untuk berkembang sesuai dengan target pembelajaran yang diinginkan.

2. Reflektif (Reflective)

Reflektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya bersifat mendalam dan hati-hati (tentang pemikiran) yang terutama diarahkan kepada diri sendiri dan biasanya bersifat spiritual. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki sifat reflektif atau selalu melakukan perenungan diri dalam segala kegiatan kesehariannya. Setiap selesai melakukan kegiatan dalam pekerjaannya, dia harus selalu mengevaluasi diri dan merenungkan apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Setiap keputusan yang diambil oleh guru dan apa yang disampaikannya di dalam kelas tentu sangat berdampak pada kondisi perkembangan siswa. Sehingga setiap keputusan yang berwujud tindakan dalam sebuah kelas harus selalu dievaluasi. Seorang guru juga hendaknya selalu memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan kompetensinya baik, dalam bidang Subject Knowledge maupun Pedagogy.

Menurut teachthought.com, ada 10 cara agar seorang guru selalu memiliki sifat reflektif, yaitu:

1)   Merekam (video) diri sendiri ketika mengajar dan menonton video tersebut untuk melihat apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.

2)    Membagikan video rekaman mengajar kepada rekan belajar (Community of Practice) untuk mendapatkan masukan dari mereka.

3)   Mengundang rekan kerja guru (Colleagues) untuk mengamati dan mengobservasi kegiatan belajar dan mengajar yang sedang dilaksanakan di kelas.

4)    Bertanya kepada siswa untuk mendapatkan masukan (Feedback).

5) Bertanya kepada diri sendiri tentang 2 jenis pertanyaan: “Bagaimana kegiatan belajar mengajar itu terlaksana?” dan “Bagaimana saya tahu itu dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkannya?”

6)    Membuat sebuah jurnal aktivitas mengajar pribadi. Jurnal ini bisa dalam bentuk diary atau personal blog.

7)    Jujur pada diri sendiri dan bereaksi positif terhadap kritikan.

8)    Memastikan untuk selalu antusias terhadap segala sesuatu yang positif.

9) Merayakan keberhasilan dari semua aktivitas profesi yang telah dicapai. Merayakan keberhasilan ini dapat menumbuhkan sifat optimisme dan percaya diri untuk selalu melakukan perbaikan.

10) Mencari dan membuka diri untuk belajar dari siapapun (Openmindedness), seperti belajar melalui obrolan dengan siswa, orang tua siswa, rekan kerja, pimpinan sekolah, dsb.

3. Menerapkan Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa (Student-centered Learning)

Dulu dalam mengajar, guru dianggap sebagai sumber utama dari materi yang diajarkan. Dengan cara ini, metode pengajaran kemudian cenderung pada aktivitas ceramah, yang akhirnya kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung berpusat pada guru (Teacher-centered Learning). Kini, pola berfikir seperti ini mulai berubah karena banyaknya penelitian dan pengetahuan mengenai pembelajaran yang efektif di kelas. Salah satunya adalah Student-centered Learning. Student-centered Learning berpondasi pada pemahaman bahwa setiap individu termasuk siswa memiliki potensi bawaan yang berbeda-beda, dan potensi dasar ini hanya cukup memerlukan fasilitas dan dukungan untuk berkembang agar dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa bagi siswa itu sendiri. Dengan demikian, jika aktivitas siswa hanya berkutat pada mendengarkan ceramah guru, maka potensi itu tidak akan mendapatkan tempat aktualisasi dan akibatnya akan menjadi jalan di tempat.  Dengan kata lain, guru tidak bisa hanya berperan sebagai pemberi dan pentransfer ilmu pengetahuan saat mengajar, tetapi siswa itu sendiri yang harusnya membangun pengetahuan untuk dirinya secara sadar dan mandiri.

Tujuan utama Student-centered Learning adalah memfasilitasi siswa agar dapat secara sadar mengembangkan kompetensinya sesuai dengan potensi dasar, bakat, minat, dan ketertarikan mereka, sehingga mereka akan terus dengan senang hati (passionate) meningkatkan kompetensi itu sebagai pembelajar sepanjang hayat yang mandiri (Lifelong autonomous learners). Dalam hal ini, kualitas aktivitas dan interaksi antara guru dan siswa benar-benar sangat krusial, dan guru harus memastikan bahwa aktivitas dan interaksi tersebut selalu bermakna dalam rangka mendorong siswa untuk aktif terlibat penuh secara kognitif, afektif, kinestetik, dan sosial di kelas. Jacob dan Dr. Willy, dalam karya tulisnya menyebut 10 prinsip yang menjadi ciri khas penerapan Student-centered Learning, antara lain:

1)    Guru dan siswa adalah rekan belajar

2)    Interaksi bermakna yang berlangsung antara guru dan siswa

3)    Siswa sebagai pembelajar mandiri (Independent learners)

4)    Segala pembelajaran berfokus pada makna dan kesadaran penuh

5)     Siswa dapat menghubungkan antara pembelajaran di kelas dan kehidupan nyata diluar kelas

6)    Kebhinekaan antar siswa sebagai sumber ilmu pengetahuan

7)    Pengembangan kemampuan berfikir kritis

8)    Penilaian proses yang variatif

9)    Atmosfir pembelajaran kelas yang positif, dan

10) Motivasi sebagai penggerak utama aktivitas yang positif

      4. Mahir dalam Menggunakan Teknologi (Digitally Savvy)

Saat ini teknologi merupakan suatu hal yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia termasuk dunia pendidikan. Adanya fenomena Internet of Things memungkinkan guru dan siswa mengakses limpahan informasi dan layanan belajar melalui gawai dan komputer mereka baik secara gratis maupun berbayar. Guru kemudian bisa memanfaatkan teknologi digital yang ada untuk merencanakan pembelajaran, menyampaikan materi, memberikan tugas, melaksanakan dan memonitor proses pembelajaran, serta memberikan penilaian dan evaluasi kepada siswa mereka. Salah satu contoh teknologi digital itu adalah Learning Management System (LMS) seperti Microsoft Team, Google Classroom, Moodle, dsb dan aplikasi video conference lain seperti Zoom, Microsoft Team dan Google Meet. Melalui LMS dan aplikasi pembelajaran tersebut, guru diharapkan dapat melaksanakan pembelajaran yang interaktif dan menarik (engaging) baik secara luring maupun daring serta secara langsung (syncronous) ataupun tidak langsung (asynchronous).

Namun, dalam menggunakan teknologi digital, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh guru adalah teknologi tersebut bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang bisa menggantikan posisi guru, karena itu semua hanyalah alat pendukung pembelajaran. Keberadaan guru di dalam ruang kelas masih tetap tak tergantikan ketika alat tersebut digunakan. Selain itu, guru juga harus selektif terhadap alat teknologi seperti apa yang akan dipakai - apakah relevan dengan materi yang sedang dibahas di kelas. Dalam hal ini, Dr. Willy memberikan sebuah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai panduan dan pertimbangan sebelum guru memutuskan untuk menggunakan sebuah alat teknologi dalam pembelajaran kelas:

·         Apakah alat tersebut menyediakan konten yang kaya, menarik dan bermakna untuk siswa?

·         Apakah alat tersebut dapat membantu siswa dalam menemukan materi penting yang perlu dikembangkan?

·         Apakah alat tersebut memberikan latihan-latihan yang bermakna bagi siswa?

·         Apakah alat tersebut mendukung pembelajaran multimodal bagi siswa?

·         Apakah alat tersebut dapat memfasilitasi siswa untuk belajar secara berkelompok dan berkolaborasi?

·         Apakah alat tersebut dapat menumbuhkan kesadaran akan tujuan mempelajari materi yang dibahas?

·         Apakah alat tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berhadapan dan berinteraksi dengan berbagai macam pihak dan sumber materi?

Kesimpulannya, guru menggunakan teknologi bukan hanya karena teknologi tersebut keren atau sedang menjadi trend sesaat atau karena teknologi tersebut direkomendasikan oleh sekolah atau pemerintah, tetapi mereka menggunakan alat tersebut karena memang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan tujuan pembelajaran di kelas.

      5. Belajar Terus Menerus Sepanjang Masa (Continuous and Lifelong Learning)

Kehidupan terus berubah, dan perubahan tersebut terjadi dengan sangat cepat karena adanya penemuan baru dan inovasi. Akibat perubahan ini, manusia kemudian dituntut untuk terus mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru agar dapat menyesuaikan diri dan bertahan hidup secara efektif dan efisien. Demikian pula guru yang juga harus terus mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru di bidangnya. Jika tidak melakukannya, maka keputusan dan aktivitas guru dalam mengajar tidak akan sinkron dan relevan dengan kebutuhan baru di masyarakat. Salah satu trend yang dibutuhkan saat ini adalah penerapan Student-centered Learning yang diharapkan dapat memberikan fasilitas kepada siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan belajarnya di masa kini dan masa yang akan datang. Sehingga guru harus peka dan berkomitmen untuk mempelajari bagaimana Student-centered Learning ini bisa diterapkan di kelas.

Selain pengembangan pengetahuan dan keterampilan, guru juga perlu merenungkan kembali tentang keyakinan akan metode dan teknik pembelajaran yang efektif di masa lalu, tetapi belum tentu bisa diterapkan di masa kini dan masa depan. Misalnya, menurut keyakinan lama, penggunaan 100% Bahasa Inggris dalam kegiatan belajar dan mengajar dianggap sangat penting karena dapat membantu siswa untuk menguasai bahasa tersebut secara efektif. Padahal para ahli dalam bidang pengajaran Bahasa Inggris saat ini lebih meyakini bahwa pada konteks pembelajaran tertentu, siswa akan belajar lebih efektif jika bahasa instruksi yang digunakan adalah bahasa ibu mereka. Sehingga saat ini justru guru bahasa Inggris didorong untuk menggunakan pendekatan mengajar yang melibatkan instruksi multibahasa dalam pembelajaran di kelas (Translanguaging).

6. Gigih (Gritty)

Karekteristik terakhir yang perlu dimiliki oleh guru ideal kekinian adalah kegigihan (grit). Semua karakter yang sebelumnya dibahas tidak akan ada jika seorang guru tidak memiliki kegigihan untuk terus berkomitmen dalam mengembangkan kompetensi profesinya. Menurut Dr. Willy, seorang guru yang gigih biasanya memiliki 4 hal dalam dirinya, yaitu:

1)    Tujuan (Purpose)

Dalam hidupnya termasuk profesinya sebagai pendidik, seorang guru harus selalu mempunyai tujuan yang jelas, baik untuk dirinya maupun siswanya. Sehingga dia akan selalu melakukan banyak usaha agar tujuan tersebut tercapai.

2)    Gairah (Passion)

Jika sebuah profesi merupakan sebuah gairah atau passion, maka sekeras apapun dan sesulit apapun pekerjaan yang dilakukan pasti tidak akan terasa berat dan melelahkan. Semua dijalani dengan senang hati. Gairah inilah yang merupakan penggerak dalam diri seseorang untuk terus mencintai dan setia pada profesinya.

3)    Ketekunan (Perseverence)

Setiap profesi dan pekerjaan pasti tidak terlepas dari resiko dan konsekuensi, termasuk profesi mendidik. Namun, yang paling penting adalah bagaimana seorang guru bisa bereaksi positif ketika sedang menghadapi permasalahan dalam pekerjaannya. Orang yang memiliki ketekunan tidak akan begitu mudah terjebak dalam kesedihan dan kekecewaan, tetapi mereka selalu bisa mengambil sisi positif (hikmah) dari setiap permasalahan. Mereka tidak terlalu memperdulikan masalah yang terjadi dan terus melangkah tanpa kenal lelah.

4)    Pola Pikir untuk Terus Berkembang (Growth Mindset)

Seorang individu yang maju adalah dia yang memiliki pola pikir untuk selalu terbuka pada berbagai macam perubahan dan terus belajar ilmu-ilmu dan melatih keterampilan baru untuk menghadapinya. Guru ini tidak akan pernah takut untuk mengambil resiko karena dia tahu bahwa dengan resiko tersebut, dia akan selalu dapat mengembangkan ilmu dan keterampilannya. Dia juga akan menjadi pribadi yang  selalu terbuka dan bijaksana. Guru semacam ini yakin bahwa dia bisa tumbuh asalkan dia selalu terbuka terhadap hal-hal baru dan menerima segala tantangan yang mengikutinya.

 

Referensi

Jacobs, G. M., & Renandya, W. A. (2019). Student-centered Cooperative Learning. Springer Nature. https://link.springer.com/book/10.1007/978-981-13-7213-1

Mercer, S. (2019). The foundations of engagement: A positive classroom culture. https://www.youtube.com/watch?v=lsODNoIbbVY&t=2s.

Mercer, S., & Dörnyei, Z. (2020). Engaging language learners in contemporary classrooms. Cambridge: Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/9781009024563

Renandya, W. A., & Jacobs, G. M. (2021). What makes a good language teacher in a changing world. Journal of English Language and Linguistics2(2), 1-16. http://hdl.handle.net/10497/23629

Renandya, W. A., Hamied, F. A., & Nurkamto, J. (2018). English language proficiency in Indonesia: Issues and prospects. Journal of Asia TEFL, 15(3), 618. http://dx.doi.org/10.18823/asiatefl.2018.15.3.4.618

Sadeghi, K., Richards, J. C., & Ghaderi, F. (2020). Perceived versus Measured Teaching Effectiveness: Does Teacher Proficiency Matter? RELC Journal, 51(2), 280–293. https://doi.org/10.1177/0033688219845933.

Teachtought.(n). 10 Ways to be a More Reflective Teacher. https://www.teachthought.com/pedagogy/ways-to-be-a-more-reflective-teacher/

Vogel, S., & García, O. (2017). Translanguaging. In Oxford research encyclopedia of education, Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190264093.013.181

 

Senin, 14 November 2022

Pelatihan EMI Pathfinder 2022

 

English as a Medium of Instruction (EMI) Pathfinder Project
Lecturer Professional Development Programme
18 April 2022 – 27 Januari 2023

 

*Aziza Restu Febrianto

 

Tahun 2022 ini, saya mengikuti rangkaian kegiatan pelatihan pengembangan kompetensi dosen bernama English as a Medium of Instruction (EMI) Pathfinder Project yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia (UI) bekerja sama dengan British Council, UK-ID, English Digital Innovation Grants, dan the University of Sheffield, Inggris. Kegiatan ini sepenuhnya dibiayai oleh The British Council Indonesia dan dilaksanakan secara Blended atau kombinasi daring dan luring selama 10 bulan, yaitu 18 April 2022 s/d 27 Januari 2023. Peserta pelatihan ini adalah dosen dari berbagai bidang keilmuwan yang merupakan perwakilan dari Perguruan Tinggi masing-masing dan dipilih melalui seleksi administrasi yang ditentukan oleh panitia. Berikut adalah rincian kegiatan pelatihan dan jadwalnya:

Jadwal Kursus dan Kegiatan EMI Pathfinder

Selama pelatihan ini, peserta mendapatkan berbagai macam materi yang berkaitan dengan EMI atau pengajaran mata kuliah dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pembekalan bagi dosen perwakilan untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri, pengetahuan, dan keterampilan mereka dalam mengajar dengan menggunakan Bahasa Inggris sekaligus membantu mereka dalam mendesain sebuah pembelajaran EMI yang sesuai dengan kebutuhan Perguruan Tinggi tempat mereka bekerja. Semua materi, kegiatan dan tugas terfasilitasi melalui sebuah platform Learning Management System (LMS) Moodle yang bisa diakses disini https://emi-pathfinder.education/. Rangkaian pelatihan ini meliputi kegiatan Part-time, kursus online melalui LMS Moodle dan zoom, serta kursus tatap muka selama 5 hari di kampus UI Depok yang difasilitasi oleh pelatih dari the University of Sheffield, Inggris. Terhitung sejak 18 April 2022 yang lalu, saya sudah hampir merampungkan pelatihan ini sepenuhnya.

Pelatihan Daring Melalui Moodle dan Zoom

Pelatihan Daring Melalui Zoom

Setelah menjalani pelatihan dan kursus EMI ini, tentu saya mendapatkan banyak manfaat. Materi yang diberikan sangat memberikan banyak bekal bagi saya untuk bisa melanjutkan kegiatan ini sebagai pelatih EMI di Perguruan Tinggi tempat saya bekerja. Materi tersebut juga bisa diakses kapanpun oleh peserta walaupun program ini sudah selesai. Sehingga mereka bisa menggunakan materi tersebut untuk memberikan pelatihan EMI kepada rekan kerjanya di Perguruan Tinggi asal melalui kegiatan diseminasi. Dari semua materi dan kegiatan kursus yang telah saya ikuti, tinggal kegiatan diseminasi inilah yang belum terlaksana. Tantangan terbesar dari kegiatan diseminasi adalah bagaimana meyakinkan pimpinan Perguruan Tinggi bahwa program ini sangat penting dan dibutuhkan. Kegiatan diseminasi ini tentu saja tidak didanai lagi oleh penyelenggara utama, tetapi dikembalikan kepada lembaga masing-masing. Jika para pimpinan Perguruan Tinggi menganggap program ini penting, tentu semua akan bisa terlaksana dengan lancar karena pendanaannya sudah ada yang menanggung..hehe.

Untuk mengatasi tantangan ini, pihak penyelenggara utama kemudian berinisiatif untuk melakukan sosialisasi secara langsung kepada perwakilan pimpinan Perguruan Tinggi tempat peserta berasal. Kegiatan ini akan diselenggarakan pada 1 Desember 2022 secara daring melalui Zoom. Sebagai peserta, tentu saya sangat berharap akan respon positif dari pimpinan Perguruan Tinggi, dan mereka juga menunjukkan komitmennya untuk mendukung pendanaan kegiatan diseminasi EMI yang merupakan bagian dari keseluruhan kegiatan EMI Pathfinder Project 2022.

Pelatih, David Read memimpin kegiatan Warming Up

Kegiatan Brainstorming Kelompok

Foto Bersama Peserta dan Pelatih EMI Pathfinder di kampus UI


Foto bersama salah satu pelatih utama EMI Pathfinder, David Read


 Penyerahan Sertifikat



Semarang, 14 November 2022





Minggu, 24 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 12) - Serangkaian Refleksi

Saya, foto bersama teman-teman sekelas PPG
Ujian Tulis Nasional (UTN): Drama kelulusan PPG

*Aziza Restu Febrianto

Di ujung masa kuliah PPG, semua peserta diwajibkan untuk mengikuti ujian tulis sebagai persyaratan paling utama untuk lulus dan mendapatkan sertifikat pendidik profesional dari UNNES yang disahkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi. Ujian tulis ini dibagi menjadi dua, yaitu ujian tulis lembaga dan ujian tulis nasional.

Ujian tulis yang pertama atau ujian tulis lembaga dilakukan di kelas dan bentuknya sangat sederhana. Setiap peserta PPG diberikan 10 soal dan harus memberikan jawaban dalam bentuk uraian berbahasa Inggris di kertas. Materi yang diujikan tidak jauh dari bidang profesi dan pekerjaan, yaitu bidang pendidikan dan keguruan yang selama ini kita tekuni. Namun, yang membedakan adalah kita harus menjawab semua soal dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah, saya tidak mengalami masalah sedikitpun dalam ujian ini atau dengan kata lain lulus dengan sempurna. Namun, saya merasa heran bahwa ternyata dari semua peserta (23 orang) dalam satu jurusan, hanya 4 orang. Jadi saya adalah 1 diantara 3 orang lain yang lulus.

Setelah ujian tulis yang pertama selesai, saya harus mengikuti ujian tulis yang kedua. Ujian tulis yang kedua ini biasa dikenal dengan Ujian Tulis Nasional (UTN). Ujian ini diselenggarakan secara online dengan server yang berpusat di Jakarta. Bagi saya, UTN adalah ujian tertulis online pertama yang tentu saja harus saya persiapkan dengan sungguh-sungguh. Meskipun materi yang diujikan dalam UTN adalah bidang yang saya tekuni, yaitu Bahasa Inggris, kebiasaan dan keterampilan mengerjakan soal melalui komputer juga menjadi tantangan tersendiri bagi saya.

Saya mempunyai kenangan yang tak terlupakan saat mengikuti UTN ini. Saat itu saya tidak membayangkan bahwa soal yang diujikan dalam UTN ternyata sangat luar biasa susahnya. Materi yang diujikan itu berkaitan dengan High Order Thinking Skill (HOTS) dan banyak diambil dari surat kabar dan majalah internasional. Saya sangat tahu betuh darimana materi itu diambil karena saya pernah membaca sebuah majalah online dan menemukan sebuah artikel yang sama persis dengan materi pada soal UTN yang saya kerjakan. Bentuk pertanyaan dalam soal adalah pilihan ganda dengan jumlah total 100 buah. Namun, hampir semua soal dan pilihan jawabannya itu diseleksi dengan sangat teliti dan ketat sesuai dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Namanya saja soal HOTS, sehingga untuk mengerjakan setiap soalnya, dibutuhkan waktu yang cukup.

Setelah mengikuti UTN, semua peserta harus menunggu sekitar satu minggu untuk mengetahui hasilnya. Saya pada awalnya memang sudah mempunyai firasat bahwa saya mungkin saja tidak akan lulus UTN. Semua pertanyaan yang saya kerjakan saat itu benar-benar membuat saya harus berfikir keras. Sungguh saya belum pernah mengerjakan soal sesulit itu sebelumnya. Saya akui tingkat kesulitan soal UTN bisa dikatakan melebihi soal Reading di TOEFL ataupun IELTS.

Firasat saya ternyata benar adanya. Saya tidak lulus bersama mayoritas teman saya di kelas. Waktu itu hanya 3 orang yang lulus. Saya cukup sedih karena saya harus belajar dan berlatih lagi untuk mengambil ujian ulang. Mengetahui ketidaklulusan saya di UTN, tidak sedikit teman-teman dari jurusan lain yang menyindir saya. Dan saya sangat sakit hati oleh sindiran itu, hingga terkenang sampai sekarang. Kira-kira beginilah sindiran mereka, “Masa Profesor TOEFL kok gak lulus UTN...haha.” Sewaktu PPG, saya memang dikenal dengan julukan Profesor TOEFL karena saya terbiasa mengajar les atau kelompok ketika tidak ada kegiatan asrama di malam hari. Sehingga saya merasa malu sekali waktu itu.

Karena rasa malu itu, saya kemudian bekerja lebih keras lagi untuk mempersiapkan ujian ulang ke-2. Saya banyak mencari materi di internet dan mencoba membuat soal-soal yang paling sulit. Alhamdulillah, usaha saya tidak sia-sia. Akhirnya saya lulus walaupun nilainya tidak seberapa. Namun diantara teman sekelas yang mengambil ujian ulang, masih ada 5 orang yang tidak lulus saat itu. Menurut saya, soal yang diujikan dalam UTN memang benar-benar susah sekali. Sejak saat itu saya berkesimpulan bahwa PPG memang merupakan sebuah program yang luar biasa dan ideal untuk menggembleng para peserta menjadi guru yang profesional. Ujian kelulusannya saja susahnya bukan main.


PPG ini akhirnya membuat saya melakukan refleksi diri bahwa setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Saya misalnya, memang bisa dikatakan sangat baik dan terampil dalam menulis atau membuat uraian terutama dalam Bahasa Inggris, namun saya ternyata juga memiliki kelemahan di bidang yang lain, yaitu keterampilan membaca (Reading), yang dibuktikan dengan kegagalan saya pada saat mengikuti UTN pertama. Menurut saya, memahami akan kelebihan dan kekurangan diri itu sangat penting untuk kehidupan saya kelak di masa yang akan datang. 

Bersambung.... (Bagian 13)

Selasa, 19 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 11) - Serangkaian Refleksi

Saya, foto bersama dengan peserta PPL lainnya di SMKN 2 Semarang
Mengikuti PPL ...Lagi?

*Aziza Restu Febrianto

Salah satu komponen yang paling penting dalam pendidikan keguruan adalah Pengalaman Praktik Lapangan (PPL). Begitupula dengan PPG yang mana PPL merupakan sebuah bagian integral, bahkan variasi kegiatan dan masa durasinya jauh lebih lama dibandingkan PPL pada pendidikan S1. PPL dalam program PPG berlangsung selama kurang lebih 4 bulan atau dua kali PPL di kuliah pendidikan S1. Seperti biasa, PPL diawali dengan observasi lingkungan sekolah beserta perangkat dan programnya. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan semua perangkat pembelajaran seperti kurikulum, silabus, materi, RPP dan  semua perlengkapan lainnya dengan didampingi oleh dosen pembimbing dan guru pamong. Pendampingan ini bertujuan untuk penyusunan perangkat yang harus disesuaikan dengan kondisi siswa di sekolah tersebut. Jika semua perangkat sudah dipersiapkan, baru semua peserta PPG dipersilahkan untuk mengajar di kelas-kelas yang telah ditentukan.

Pada waktu itu saya ditempatkan di SMKN 2 Semarang (dulunya SMEA) dimana mayoritas siswanya adalah perempuan. Kelas dibagi menjadi 3 macam jurusan, sesuai dengan pilihan siswa. Saya mendapatkan kesempatan mengajar di kelas jurusan Pemasaran, yang terkenal dengan keramaian dan kebandelan siswanya. Guru pamong tentu saja menceritakan semua tentang kelas itu kepada saya sebelum saya mulai mengajar. Saya jadi teringat waktu PPL S1 dulu yang mana saya juga mendapatkan jatah mengajar di kelas yang bandel (IPS), walaupun saya sendiri waktu SMA dulu juga anak IPS...haha. Tapi karena sudah terbiasa dengan mengajar siswa bandel, saya malah menjadi banyak belajar tentang mengajar di sekolah menengah.

Saya sempat bergumam dalam hati, “Untung saya sudah sering mengajar siswa bandel di kelas selama ini, bahkan siswa yang sangat rendah motivasinya di NTT sana. So, saya siap dengan tantangan ini!” Setelah masuk di kelas, saya memang menemukan banyak diantara siswa yang cerewet atau dalam bahasa jawa dikenal dengan sebutan “cewawakan”. Namun, hampir semua siswa adalah perempuan dan di kebanyakan kelas, hanya terdapat 2 atau 3 orang laki-laki. Sehingga saya merasa tidak begitu kualahan mengatur mereka. Tapi walaupun mereka masih bisa diatur, saya tetap tidak yakin mereka benar-benar bisa menangkap materi yang saya sampaikan. Rata-rata siswa yang saya ajar di kelas itu tidak memiliki latar belakang kompetensi Bahasa Inggris yang bagus. Motivasi mereka dalam belajar Bahasa asing ini juga tidak terlalu tinggi. Mereka juga kebanyakan tidak begitu memiliki cita-cita akademis yang tinggi. Menurut mereka yang penting setelah lulus sekolah, mereka bisa bekerja di bagian marketing perusahaan. Begitu saja sudah cukup.

Saya tidak tahu atas pertimbangan apa, waktu itu saya ditunjuk sebagai koordinator PPL. Sebagai konsekuensi, saya harus selalu bisa mewakili teman-teman lain untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak di sekolah seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan beberapa guru lain untuk segala urusan penting di sekolah. Saya juga harus mengikuti rapat koordinasi antara pihak kampus penyelenggara PPG dengan sekolah tempat PPL. Kesibukan ini akhirnya berdampak pada jadwal mengajar saya. Seringkali tugas mengajar itu saya limpahkan ke teman PPL lain. Sungguh sangat kebetulan, dosen pembimbing dari UNNES adalah seorang dosen yang sudah mengenal saya dengan baik. Memang sudah menjadi takdir Tuhan, beliau jugalah yang dulu membimbing saya ketika PPL pendidikan S1. Sehingga walaupun saya sering meninggalkan tugas mengajar, semuanya tetap berjalan dengan lancar.

Sebagai seorang koordinator, saya juga sering diminta memberikan sambutan di beberapa acara yang melibatkan mahasiswa PPL. Saya bahkan pernah ditunjuk sebagai khotib sholat jum’at di masjid sekolah. Karena kebiasaan organisasi, mengajar dan berbicara di depan umum selama kuliah S1 dulu, saya sama sekali tidak mempunyai masalah dengan semua tugas itu. Bahkan saya sangat senang menjalaninya. Bagi saya Public speaking itu adalah bagian yang paling penting dan integral dalam dunia mengajar.

Dalam PPL PPG, semua peserta diwajibkan untuk membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yang memang sudah menjadi salah satu tugas seorang guru di sekolah. Menurut aturan yang saya baca, PTK ini secara signifikan bisa membantu guru meningkatkan karir mereka dan bahkan bisa mengajukan sertifikasi guru. Dengan pembuatan PTK, guru diharapkan mampu membuat sebuah karya ilmiah yang hasilnya bisa sangat berguna bagi kebijakan pendidikan Alasan itu sangat masuk akal karena merekalah yang secara langsung mengetahui dan memahami permasalahan di kelas. Pembuatan PTK inilah yang menjadi salah satu pembeda antara PPL PPG dengan PPL S1. Saya masih ingat bahwa hasil karya PTK ini akhirnya saya jadikan sebuah paper untuk dipresentasikan di sebuah konferensi internasional pendidikan Bahasa Inggris di Semarang.

Nilai PPL PPG tidak hanya ditentukan oleh laporan selama kegiatan di sekolah saja, tapi juga dari beberapa komponen seperti ujian kinerja mengajar selama 3 kali, PTK dan laporan PPL. Semua komponen inilah yang juga membedakan antara PPL PPG dengan PPL S1, yang nilainya hanya ditentukan oleh laporan PPL dan praktik mengajar saja. Selain mengajar, membuat PTK dan laporan PPL, kita juga diharapkan bisa ikut membantu memperlancar atau menaktifkan kegiatan Pramuka di sekolah karena semua peserta PPG juga mendapatkan pembekalan Pramuka seperti Kursus Orientasi Lengkap (KOL), Kursus Menengah Dasar (KMD) dan Kursus Menengah Lanjutan (KML) di kampus. Pokoknya lengkap deh. Jadi lulusan PPG ini kelak diharapkan bisa menjadi guru yang juga mampu membina semua kegiatan pramuka di sekolah tempat mereka bekerja.

Sebagai penilaian akhir PPL, semua peserta diwajibkan untuk mengikuti Ujian Kinerja Guru (UKG) atau penilaian mengajar di kelas selama 3 kali. Dengan dilaksanakannya UKG selama 3 kali ini, para peserta sebagai calon guru profesional dapat melakukan refleksi dan evaluasi diri. Pada setiap UKG, ada 3 orang yang menguji, yaitu dosen pembimbing, guru pamong dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Seperti peserta PPG lainnya, saya tentu merasakan grogi ketika akan mengikuti UKG meskipun saya sudah terbiasa dengan public speaking dan mengajar. Sayapun menyiapkan UKG dengan semaksimal mungkin. Semua perangkat, materi dan media pembelajaran harus saya siapkan semenarik mungkin. Saya masih ingat, ketika mengikuti UKG tahap terakhir, saya mengajar Recount Text (Kurikulum KTSP) di kelas 10 jurusan pemasaran. 

Setelah praktik mengajar dalam rangka UKG, tentu saja para penilai diberikan kesempatan untuk memberikan komentar. Beginilah komentar yang disampaikan oleh guru pamong dan wakil kepala sekolah waktu itu,

“Sudah bagus mengajarnya mas, hanya saja mas perlu jalan-jalan ke belakang, memastikan bahwa siswa yang duduk di belakang itu paham.” Kata guru pamong. Sedangkan wakil kepala sekolah bidang kurikulum menyampaikan, “Ya memang sudah bagus sih, hanya saja tolong kalau berbicara Bahasa Inggris jangan terlalu cepat. Anak-anak nanti bingung mas.”
Karena dosen pembimbing saya sudah mengenal dan mengerti cara mengajar saya seperti apa, beliau meng-iyakan saja apa yang disampaikan oleh penguji lainnya.