Minggu, 24 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 12) - Serangkaian Refleksi

Saya, foto bersama teman-teman sekelas PPG
Ujian Tulis Nasional (UTN): Drama kelulusan PPG

*Aziza Restu Febrianto

Di ujung masa kuliah PPG, semua peserta diwajibkan untuk mengikuti ujian tulis sebagai persyaratan paling utama untuk lulus dan mendapatkan sertifikat pendidik profesional dari UNNES yang disahkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi. Ujian tulis ini dibagi menjadi dua, yaitu ujian tulis lembaga dan ujian tulis nasional.

Ujian tulis yang pertama atau ujian tulis lembaga dilakukan di kelas dan bentuknya sangat sederhana. Setiap peserta PPG diberikan 10 soal dan harus memberikan jawaban dalam bentuk uraian berbahasa Inggris di kertas. Materi yang diujikan tidak jauh dari bidang profesi dan pekerjaan, yaitu bidang pendidikan dan keguruan yang selama ini kita tekuni. Namun, yang membedakan adalah kita harus menjawab semua soal dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah, saya tidak mengalami masalah sedikitpun dalam ujian ini atau dengan kata lain lulus dengan sempurna. Namun, saya merasa heran bahwa ternyata dari semua peserta (23 orang) dalam satu jurusan, hanya 4 orang. Jadi saya adalah 1 diantara 3 orang lain yang lulus.

Setelah ujian tulis yang pertama selesai, saya harus mengikuti ujian tulis yang kedua. Ujian tulis yang kedua ini biasa dikenal dengan Ujian Tulis Nasional (UTN). Ujian ini diselenggarakan secara online dengan server yang berpusat di Jakarta. Bagi saya, UTN adalah ujian tertulis online pertama yang tentu saja harus saya persiapkan dengan sungguh-sungguh. Meskipun materi yang diujikan dalam UTN adalah bidang yang saya tekuni, yaitu Bahasa Inggris, kebiasaan dan keterampilan mengerjakan soal melalui komputer juga menjadi tantangan tersendiri bagi saya.

Saya mempunyai kenangan yang tak terlupakan saat mengikuti UTN ini. Saat itu saya tidak membayangkan bahwa soal yang diujikan dalam UTN ternyata sangat luar biasa susahnya. Materi yang diujikan itu berkaitan dengan High Order Thinking Skill (HOTS) dan banyak diambil dari surat kabar dan majalah internasional. Saya sangat tahu betuh darimana materi itu diambil karena saya pernah membaca sebuah majalah online dan menemukan sebuah artikel yang sama persis dengan materi pada soal UTN yang saya kerjakan. Bentuk pertanyaan dalam soal adalah pilihan ganda dengan jumlah total 100 buah. Namun, hampir semua soal dan pilihan jawabannya itu diseleksi dengan sangat teliti dan ketat sesuai dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Namanya saja soal HOTS, sehingga untuk mengerjakan setiap soalnya, dibutuhkan waktu yang cukup.

Setelah mengikuti UTN, semua peserta harus menunggu sekitar satu minggu untuk mengetahui hasilnya. Saya pada awalnya memang sudah mempunyai firasat bahwa saya mungkin saja tidak akan lulus UTN. Semua pertanyaan yang saya kerjakan saat itu benar-benar membuat saya harus berfikir keras. Sungguh saya belum pernah mengerjakan soal sesulit itu sebelumnya. Saya akui tingkat kesulitan soal UTN bisa dikatakan melebihi soal Reading di TOEFL ataupun IELTS.

Firasat saya ternyata benar adanya. Saya tidak lulus bersama mayoritas teman saya di kelas. Waktu itu hanya 3 orang yang lulus. Saya cukup sedih karena saya harus belajar dan berlatih lagi untuk mengambil ujian ulang. Mengetahui ketidaklulusan saya di UTN, tidak sedikit teman-teman dari jurusan lain yang menyindir saya. Dan saya sangat sakit hati oleh sindiran itu, hingga terkenang sampai sekarang. Kira-kira beginilah sindiran mereka, “Masa Profesor TOEFL kok gak lulus UTN...haha.” Sewaktu PPG, saya memang dikenal dengan julukan Profesor TOEFL karena saya terbiasa mengajar les atau kelompok ketika tidak ada kegiatan asrama di malam hari. Sehingga saya merasa malu sekali waktu itu.

Karena rasa malu itu, saya kemudian bekerja lebih keras lagi untuk mempersiapkan ujian ulang ke-2. Saya banyak mencari materi di internet dan mencoba membuat soal-soal yang paling sulit. Alhamdulillah, usaha saya tidak sia-sia. Akhirnya saya lulus walaupun nilainya tidak seberapa. Namun diantara teman sekelas yang mengambil ujian ulang, masih ada 5 orang yang tidak lulus saat itu. Menurut saya, soal yang diujikan dalam UTN memang benar-benar susah sekali. Sejak saat itu saya berkesimpulan bahwa PPG memang merupakan sebuah program yang luar biasa dan ideal untuk menggembleng para peserta menjadi guru yang profesional. Ujian kelulusannya saja susahnya bukan main.


PPG ini akhirnya membuat saya melakukan refleksi diri bahwa setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Saya misalnya, memang bisa dikatakan sangat baik dan terampil dalam menulis atau membuat uraian terutama dalam Bahasa Inggris, namun saya ternyata juga memiliki kelemahan di bidang yang lain, yaitu keterampilan membaca (Reading), yang dibuktikan dengan kegagalan saya pada saat mengikuti UTN pertama. Menurut saya, memahami akan kelebihan dan kekurangan diri itu sangat penting untuk kehidupan saya kelak di masa yang akan datang. 

Bersambung.... (Bagian 13)

2 komentar:

  1. Halo mas, saya gak sengaja ketemu blog ini, dan saya suka isinya hehe. Untuk masalah UTN, saya sangat setuju kalau soal kebahasaannya entah kenapa lebih sulit dari TOEFL atau IELTS. Di soal UTN ada beberapa idiom yang belum pernah saya dengar sama sekali, dan jarang dipakai kayaknya. Uniknya adalah soal kebahasaan UTN ini merepresentasikan apa yang kita akan ajar ke murid (dengan kerangka kurikulum nasional), dan idiom advanced spt ini kecilkemungkinan muncul di bahan ajaran kita kan haha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah membaca tulisan saya mas. Yup, memang soal UTN PPG didesain sesuai dengan Higher Order Thinking skill (HOTs), yang tidak hanya menguji kemampuan bahasa saja, tetapi juga logika kognitif :)

      Hapus