Kamis, 07 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 9) - Serangkaian Refleksi

Pulang sekolah bersama siswa
Lokasi: Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende,
Nusa Tenggara Timur (NTT)
Menjadi Guru di Pedalaman

*Aziza Restu Febrianto

4 bulan setelah keputusan berhenti bekerja dan menganggur, saya akhirnya mendapatkan informasi yang sangat menarik perhatian saya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI), membuka lowongan guru yang akan ditempatkan di daerah terpencil selama satu tahun, bernama Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T). Program ini adalah pioneer atau rintisan dari pemerintah karena sebelumnya sudah ada program yang serupa yaitu Gerakan Indonesia Mengajar dari pihak swasta. Saya sangat antusias sekali untuk mendaftar program ini karena pengalaman yang akan diperoleh peserta ketika ditempatkan di daerah 3T.

Pada awalnya ibu tidak merestui, namun, setelah saya jelaskan, beliau akhirnya mantab dan merelakan keputusan saya. Setelah mempersiapkan semua persyaratannya, sayapun mendaftar secara online. Jujur saja, ketertarikan saya untuk mengikuti program ini sekali lagi bukanlah karena alasan keinginan pribadi untuk menjadi guru, tapi karena jiwa petualangan dan rasa ingin tahu yang tinggi untuk mengeksplorasi tempat-tempat baru. Kebetulan program ini hanya diperuntukkan bagi para lulusan S1 kependidikan atau keguruan seperti saya.

Saya kemudian mengikuti semua proses seleksi dengan baik, mulai dari administrasi secara online maupun offline, tes tertulis berupa Tes Potensi Akademik (TPA) dan Tes Kompetensi Bidang (TKB), hingga yang terakhir, yaitu wawancara. Alhamdulillah, saya mampu melewati semua tahapan seleksi secara sempurna. Saya bahkan tidak terlalu menghabiskan waktu lama untuk melewati proses wawancara karena pewawancara dengan cepat mendapatkan kesan yang baik mengenai saya.

“Sepertinya anda punya banyak wawasan dan matang. Saya yakin anda siap ditempatkan di Nusa Tenggara Timur (NTT).”
Seperti itulah kesan yang beliau tunjukkan kepada saya pada saat wawancara. Sebenarnya jawaban yang saya sampaikan hanya mengalir begitu saja. Tidak ada yang dibuat-buat. Tapi saya yakin kesan itu muncul karena beliau pastinya membandingkan performa saya dengan peserta lain yang kebanyakan berusia 3 tahun lebih muda dari saya (baru saja lulus kuliah). Pola pikir orang dengan jarak usia seperti itu tentu saja sangat berbeda, ditambah lagi dengan pengalaman hidup yang dimiliki.

Setelah dinyatakan lolos sebagai peserta SM-3T, saya kemudian mengikuti kegiatan pra-kondisi atau pembekalan selama seminggu di Semarang dalam rangka persiapan untuk menghadapi tantangan hidup dan mengajar selama tinggal di daerah 3T. Selama kegiatan ini, semua peserta dibekali dengan beberapa keterampilan seperti membuat perangkat pembelajaran, teknik mengajar yang menarik sesuai dengan daerah 3T, ketahanmalangan, dan kepramukaan. Khusus untuk materi ketahanmalangan, kita semua secara langsung dibimbing oleh para anggota TNI dari Ringdam Diponegoro, Magelang.

Serangkaian latihan dalam membuat perangkat pembelajaran dan teknik mengajar selama kegiatan pra-kondisi inilah yang akhirnya membuat saya mulai menemukan semangat dan ketertarikan untuk menjadi guru. Pada kegiatan ini, semua peserta diberikan bimbingan tentang cara mengajar, mulai dari membuat materi hingga permainan menarik yang disesuaikan dengan kondisi di daerah 3T, yang tentu tidak lepas dari keterbatasan sarana dan prasarana.

Kegiatan pra-kondisi dan pembekalanpun akhirnya selesai. Sehari kemudian, saya dan peserta lainnya diberangkatkan menuju lokasi tujuan. Beberapa peserta diberangkatkan menuju provinsi Aceh, sedangkan saya dan beberapa teman lainnya dikirim ke Kabupaten Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten ini sangat terkenal, terutama karena merupakan tempat dimana presiden pertama RI, Soekarno pernah diasingkan. Perjalanan saya menuju Kabupaten Ende adalah pengalaman saya naik pesawat untuk pertama kalinya..hehe. Sungguh, yang rasakan waktu itu adalah kebahagiaan yang luar biasa: melakukan perjalanan dengan naik pesawat dan mengunjungi tempat-tempat indah di NTT.

Sesampainya di Ende, tentu saja saya dan teman-teman lain tidak ingin melewatkan kunjungan ke rumah Bung Karno saat diasingkan pada tahun 1943 dulu. Alhamdulillah, selama program SM-3T, saya telah mengunjungi banyak tempat di semua pulau besar di NTT, hidup bersama masyarakat dan mempelajari kebudayaan setempat. Sungguh, saya sangat bersyukur sekali mendapatkan kesempatan ini.

Saya ditugaskan di sebuah SMP Katolik yang lokasinya sangat jauh dari kota Ende. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor, kira-kira bisa menghabiskan waktu sekitar 4 jam untuk menuju ke sekolah dari kota. Sebagai seoarang guru baru dengan latar belakang yang berbeda dengan penduduk setempat, tentu saja saya mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pengalaman selama mengajar di sekolah ini. Pertama, saya harus belajar banyak perbedaan terutama mengenai kebiasaan, budaya, dan adat-istiadat lokal. Saya belajar bagaimana mengajar siswa dengan memiliki latar belakang suku, budaya, agama serta wawasan yang sangat berbeda. Kedua, saya juga harus belajar bagaimana cara berinteraksi dengan para guru yang cara mengajar dan mendidiknya sangat berbeda dari kebanyakan guru yang selama ini saya temui di pulau Jawa.

Motivasi belajar kebanyakan siswa di sekolah tempat saya bertugas ini bisa dikatakan masih sangat rendah. Kesimpulan ini bisa dilihat dari tingkat partisipasi siswa di sekolah serta perhatian mereka pada pembelajaran yang saya berikan di kelas. Ketika mengajar, saya sering sekali mengalokasikan waktu untuk bercerita. Tujuannya tentu adalah agar mereka semakin terinspirasi melalui cerita saya dan semangat belajar Bahasa Inggris mereka menjadi semakin meningkat. Namun, semakin saya sering bercerita, yang terjadi malah mereka ternyata menjadi ketagihan mendengarkan cerita dan kurang antusias saat saya memulai pembelajaran. Beginilah kira-kira dialog saya dengan siswa di kelas setelah saya selesai bercerita:

“Nah sekarang saatnya kita mulai mencintai Bahasa Inggris dengan mempelajari materi kita pada hari ini, okay?” Mereka kemudian malah berteriak, “Cerita lagi pak guru…….. Cerita lagi!!”
Dalam hati saya bergumam, “Gawat, kalau saya bercerita terus, kapan masuk materinya?” Akhirnya saya hanya bisa bilang kepada mereka, “Ceritanya kita lanjutkan lain kali saja ya…….. Okay?” Merekapun merenyutkan dahi, tanda sebuah rasa kekecewaan.
Saya kemudian mencoba menerapkan beberapa permainan di kelas, berharap siswa saya secara tidak langsung menjadi antusias dengan pembelajaran yang saya berikan. Namun yang terjadi lagi-lagi mereka malah menjadi ketagihan dengan permainan itu. Kejadian ini persis seperti apa yang saya alami ketika saya selesai bercerita di kelas.

“Main lagi aja pak guru….main lagi…..” celoteh beberapa orang siswa. Berharap memiliki waktu untuk penjelasan materi, saya hanya bisa bilang,
“Permainannya kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya aja ya….”  “Kita kembali ke materi dulu…okay?”

Kejadian semacam ini sering sekali terjadi di kelas saya, sehingga saya harus selalu memutar otak untuk mencari kreativitas mengajar yang menarik dan sekaligus juga membuat siswa belajar sesuatu di kelas. Setelah setahun saya mengajar di sekolah itu, akhirnya saya menemukan satu kesimpulan tentang siswa disana. Motivasi belajar Bahasa Inggris siswa di sekolah itu sangat rendah karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan keluarga. Mereka merasa senang dan antusias dalam belajar saja sudah merupakan sebuah pencapaian yang bagus. Tapi konsekuensinya, target pembelajaran yang seharusnya mengikuti kurikulum tidak pernah tercapai.

Diantara semua pengalaman yang saya dapatkan selama mengajar di SMP terpencil ini, menurut saya ada satu yang paling berkesan. Semua berawal dari penemuan saya tentang beberapa siswa di kelas yang tidak memiliki motivasi sama sekali untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Saya mengetahuinya ketika rasa penasaran saya begitu memuncak terutama pada siswa yang selalu saja acuh, tidak peduli dengan pelajaran saya dan suka membuat kegaduhan di kelas. Di luar pelajaran, mereka juga sering sekali dihukum oleh guru lainnya. Sayapun akhirnya berinisiatif untuk mewawancari mereka satu persatu. Berikut ini adalah cuplikan salah satu dialog saya dengan salah seorang diantara mereka:
Saya bertanya kepada salah satu siswa, “Samuel, kamu sadar kan kegaduhan yang kamu buat sangat menganggu temanmu lain yang sedang belajar?”
Sambil tersenyum, Samuel pun menjawab, “Iya pak guru.” “Kamu itu sebenarnya cerdas…. Kalau lulus nanti, kamu masih ingin melanjutkan sekolah lagi kan?”
Dengan santainya dia menjawab, “Malas pak guru. Saya mau cari ikan di laut saja. Di sekolah banyak aturan, tugas dan disuruh bekerja pula.”
Mendengar jawaban dari Samuel ini, saya berkesimpulan bahwa sekolah menurut dia adalah tempat yang tidak nyaman. Di percakapan lain, dia juga berpendapat bahwa percuma dia melanjutkan sekolah jika akhirnya harus menjadi nelayan di kampung. Sepertinya memang ada yang salah dengan cara orang tua Samuel dalam mendidik Samuel selama ini.

Pengalaman lain yang tidak kalah menariknya adalah melihat bagaimana guru memperlakukan siswa, yang menurut saya kurang beradab. Kebiasaan memukul siswa sudah menjadi hal yang lumrah di sekolah itu. Bahkan orang tua siswapun mendukung kebiasaan itu. Kebiasaan ini mengingatkan saya pada budaya guru menghukum pada jaman dulu di kampung saya di Jawa. Tapi menurut saya cara menghukum yang dilakukan oleh guru di sekolah ini jauh lebih keras. Saya sempat berdialog dengan salah seorang guru yang dengan sangat keras menghukum siswanya pada saat apel pagi.

Saya bilang kepada guru itu, “Ibu, menurut saya ibu tadi terlalu kasar pada siswa. Harusnya jangan seperti itu memperlakukan mereka.”
Dengan tersenyum simpul beliau menjawab, “hehe…..itu sudah biasa pak disni. Disini jangan dibandingkan dengan di jawa atau di kota. Anak – anak kalau tidak dikasih kasar dan keras, mereka tidak akan merubah sikap. Mereka itu kepala batu. Mereka juga sudah terbiasa diperlakukan sama oleh mereka punya orang tua di rumah.”
Sedikit kecewa dengan tanggapannya, kemudian saya menyanggah, “Terus bagaimana kalau nanti ada keluhan atau protes dari orang tua mereka?” Beliau malah menambahkan, “justru mereka punya orang tua sangat mendukung tindakan kami. Mereka bilang, kalau anak mereka nakal, pukul saja.”

Pengalaman selama mengikuti program SM-3T ini membuat saya semakin belajar. Di tempat tugas, saya belajar banyak tentang bagaimana menumbuhkan sikap toleransi terhadap banyaknya perbedaan. Tidak hanya perbedaan berdasarkan suku, agama dan ras saja, tapi juga pandangan serta pola pikir manusia yang sangat beragam. Saya akhirnya juga semakin mantab memilih guru sebagai profesi saya walaupun di kemudian hari, pandangan saya itu bisa saja berubah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar