Rabu, 16 November 2022

6 Karakteristik Guru Ideal Kekinian

Foto: Saya dan Mahasiswa/i di Sebuah Ruang Kelas


6 Karakteristik Guru Ideal Kekinian 


*Aziza Restu Febrianto

 

Pada tanggal 11 November 2022 lalu, saya mengikuti sebuah Webinar dengan pembicara tunggal, yaitu Dr. Willy A. Renandya dari National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapura. Pada webinar tersebut, beliau memaparkan ciri-ciri guru di abad ke-21. Seperti biasa, cara beliau menyampaikan materi selalu memukau dengan gaya bicaranya yang khas: artikulasi yang jelas dan tidak terlalu cepat. Sebenarnya sebelum mengikuti webinar ini, saya sudah membaca beberapa karya beliau mengenai topik yang sama serta lebih lanjut lagi menelaah beberapa karya lain yang menjadi rujukan beliau. Melalui artikel ini, saya akan berusaha memaparkan apa yang saya tangkap dari penemuan beliau dan beberapa kajian para ilmuwan lain mengenai 6 karakteristik guru ideal kekinian atau guru yang selalu relevan dengan perkembangan zaman.

Guru yang kekinian itu harus:

1. Kompeten dalam profesinya (Professionally Competent)

Karakter ini tentu wajib dimiliki oleh seorang guru. Namun, kompeten dalam profesi guru bukan berarti hanya bisa melakukan dan mengerjakan sesuatu yang diajarkan saja, tetapi juga dapat menunjukkan efektivitas kerja yang membawa kesuksesan para siswanya. Sehingga seorang guru harus memiliki kompetensi mengenai apa yang diajarkan (Subject Knowledge) secara cukup dan tentang bagaimana cara mengajarkannya (Pedagogy). Guru bahasa Inggris, misalnya diharapkan memiliki kompetensi berbahasa Inggris (English proficiency) yang jauh diatas siswanya. Jika skor TOEFL siswanya adalah antara 400-500, maka gurunya harus memiliki skor 550 keatas. Dengan kompetensi yang tinggi ini, guru akan dapat memberikan input dan menjawab pertanyaan siswa secara instan dan akurat serta menjadi contoh (Role model) yang baik bagi semua siswanya. Menurut Dr. Willy, para ilmuwan dan praktisi di bidang pengajaran bahasa Inggris menyepakati bahwa level standar kompetensi bahasa target yang harus dimiliki oleh seorang guru bahasa Inggris adalah antara B2 (Menengah atas) dan C1 (Mahir bawah) berdasarkan CEFR.

Namun, Dr. Willy juga menyebutkan bahwa kompetensi pada Subject Knowledge untuk saat ini bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam profesi guru. Alasan pertama adalah karena para guru bisa melakukan persiapan secara matang jauh hari sebelum mengajar. Guru juga bisa mengandalkan berbagai materi autentik yang tersedia di internet untuk dijadikan sebagai sumber Subejct Knowledge utama untuk siswa. Guru, dengan keterampilan pedagogiknya, juga terkadang perlu menggunakan bahasa pertama atau bahasa ibu siswa yang disebut dengan strategi Translanguaging  agar tujuan pembelajaran bisa sepenuhnya tercapai. Oleh karena itu, seorang guru harus selalu memastikan dan berkomitmen untuk terus mengembangkan kedua kompetensi Subject Knowledge dan Pedagogy secara seimbang agar dapat membantu siswanya untuk berkembang sesuai dengan target pembelajaran yang diinginkan.

2. Reflektif (Reflective)

Reflektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya bersifat mendalam dan hati-hati (tentang pemikiran) yang terutama diarahkan kepada diri sendiri dan biasanya bersifat spiritual. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki sifat reflektif atau selalu melakukan perenungan diri dalam segala kegiatan kesehariannya. Setiap selesai melakukan kegiatan dalam pekerjaannya, dia harus selalu mengevaluasi diri dan merenungkan apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Setiap keputusan yang diambil oleh guru dan apa yang disampaikannya di dalam kelas tentu sangat berdampak pada kondisi perkembangan siswa. Sehingga setiap keputusan yang berwujud tindakan dalam sebuah kelas harus selalu dievaluasi. Seorang guru juga hendaknya selalu memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan kompetensinya baik, dalam bidang Subject Knowledge maupun Pedagogy.

Menurut teachthought.com, ada 10 cara agar seorang guru selalu memiliki sifat reflektif, yaitu:

1)   Merekam (video) diri sendiri ketika mengajar dan menonton video tersebut untuk melihat apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.

2)    Membagikan video rekaman mengajar kepada rekan belajar (Community of Practice) untuk mendapatkan masukan dari mereka.

3)   Mengundang rekan kerja guru (Colleagues) untuk mengamati dan mengobservasi kegiatan belajar dan mengajar yang sedang dilaksanakan di kelas.

4)    Bertanya kepada siswa untuk mendapatkan masukan (Feedback).

5) Bertanya kepada diri sendiri tentang 2 jenis pertanyaan: “Bagaimana kegiatan belajar mengajar itu terlaksana?” dan “Bagaimana saya tahu itu dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkannya?”

6)    Membuat sebuah jurnal aktivitas mengajar pribadi. Jurnal ini bisa dalam bentuk diary atau personal blog.

7)    Jujur pada diri sendiri dan bereaksi positif terhadap kritikan.

8)    Memastikan untuk selalu antusias terhadap segala sesuatu yang positif.

9) Merayakan keberhasilan dari semua aktivitas profesi yang telah dicapai. Merayakan keberhasilan ini dapat menumbuhkan sifat optimisme dan percaya diri untuk selalu melakukan perbaikan.

10) Mencari dan membuka diri untuk belajar dari siapapun (Openmindedness), seperti belajar melalui obrolan dengan siswa, orang tua siswa, rekan kerja, pimpinan sekolah, dsb.

3. Menerapkan Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa (Student-centered Learning)

Dulu dalam mengajar, guru dianggap sebagai sumber utama dari materi yang diajarkan. Dengan cara ini, metode pengajaran kemudian cenderung pada aktivitas ceramah, yang akhirnya kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung berpusat pada guru (Teacher-centered Learning). Kini, pola berfikir seperti ini mulai berubah karena banyaknya penelitian dan pengetahuan mengenai pembelajaran yang efektif di kelas. Salah satunya adalah Student-centered Learning. Student-centered Learning berpondasi pada pemahaman bahwa setiap individu termasuk siswa memiliki potensi bawaan yang berbeda-beda, dan potensi dasar ini hanya cukup memerlukan fasilitas dan dukungan untuk berkembang agar dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa bagi siswa itu sendiri. Dengan demikian, jika aktivitas siswa hanya berkutat pada mendengarkan ceramah guru, maka potensi itu tidak akan mendapatkan tempat aktualisasi dan akibatnya akan menjadi jalan di tempat.  Dengan kata lain, guru tidak bisa hanya berperan sebagai pemberi dan pentransfer ilmu pengetahuan saat mengajar, tetapi siswa itu sendiri yang harusnya membangun pengetahuan untuk dirinya secara sadar dan mandiri.

Tujuan utama Student-centered Learning adalah memfasilitasi siswa agar dapat secara sadar mengembangkan kompetensinya sesuai dengan potensi dasar, bakat, minat, dan ketertarikan mereka, sehingga mereka akan terus dengan senang hati (passionate) meningkatkan kompetensi itu sebagai pembelajar sepanjang hayat yang mandiri (Lifelong autonomous learners). Dalam hal ini, kualitas aktivitas dan interaksi antara guru dan siswa benar-benar sangat krusial, dan guru harus memastikan bahwa aktivitas dan interaksi tersebut selalu bermakna dalam rangka mendorong siswa untuk aktif terlibat penuh secara kognitif, afektif, kinestetik, dan sosial di kelas. Jacob dan Dr. Willy, dalam karya tulisnya menyebut 10 prinsip yang menjadi ciri khas penerapan Student-centered Learning, antara lain:

1)    Guru dan siswa adalah rekan belajar

2)    Interaksi bermakna yang berlangsung antara guru dan siswa

3)    Siswa sebagai pembelajar mandiri (Independent learners)

4)    Segala pembelajaran berfokus pada makna dan kesadaran penuh

5)     Siswa dapat menghubungkan antara pembelajaran di kelas dan kehidupan nyata diluar kelas

6)    Kebhinekaan antar siswa sebagai sumber ilmu pengetahuan

7)    Pengembangan kemampuan berfikir kritis

8)    Penilaian proses yang variatif

9)    Atmosfir pembelajaran kelas yang positif, dan

10) Motivasi sebagai penggerak utama aktivitas yang positif

      4. Mahir dalam Menggunakan Teknologi (Digitally Savvy)

Saat ini teknologi merupakan suatu hal yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia termasuk dunia pendidikan. Adanya fenomena Internet of Things memungkinkan guru dan siswa mengakses limpahan informasi dan layanan belajar melalui gawai dan komputer mereka baik secara gratis maupun berbayar. Guru kemudian bisa memanfaatkan teknologi digital yang ada untuk merencanakan pembelajaran, menyampaikan materi, memberikan tugas, melaksanakan dan memonitor proses pembelajaran, serta memberikan penilaian dan evaluasi kepada siswa mereka. Salah satu contoh teknologi digital itu adalah Learning Management System (LMS) seperti Microsoft Team, Google Classroom, Moodle, dsb dan aplikasi video conference lain seperti Zoom, Microsoft Team dan Google Meet. Melalui LMS dan aplikasi pembelajaran tersebut, guru diharapkan dapat melaksanakan pembelajaran yang interaktif dan menarik (engaging) baik secara luring maupun daring serta secara langsung (syncronous) ataupun tidak langsung (asynchronous).

Namun, dalam menggunakan teknologi digital, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh guru adalah teknologi tersebut bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang bisa menggantikan posisi guru, karena itu semua hanyalah alat pendukung pembelajaran. Keberadaan guru di dalam ruang kelas masih tetap tak tergantikan ketika alat tersebut digunakan. Selain itu, guru juga harus selektif terhadap alat teknologi seperti apa yang akan dipakai - apakah relevan dengan materi yang sedang dibahas di kelas. Dalam hal ini, Dr. Willy memberikan sebuah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai panduan dan pertimbangan sebelum guru memutuskan untuk menggunakan sebuah alat teknologi dalam pembelajaran kelas:

·         Apakah alat tersebut menyediakan konten yang kaya, menarik dan bermakna untuk siswa?

·         Apakah alat tersebut dapat membantu siswa dalam menemukan materi penting yang perlu dikembangkan?

·         Apakah alat tersebut memberikan latihan-latihan yang bermakna bagi siswa?

·         Apakah alat tersebut mendukung pembelajaran multimodal bagi siswa?

·         Apakah alat tersebut dapat memfasilitasi siswa untuk belajar secara berkelompok dan berkolaborasi?

·         Apakah alat tersebut dapat menumbuhkan kesadaran akan tujuan mempelajari materi yang dibahas?

·         Apakah alat tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berhadapan dan berinteraksi dengan berbagai macam pihak dan sumber materi?

Kesimpulannya, guru menggunakan teknologi bukan hanya karena teknologi tersebut keren atau sedang menjadi trend sesaat atau karena teknologi tersebut direkomendasikan oleh sekolah atau pemerintah, tetapi mereka menggunakan alat tersebut karena memang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan tujuan pembelajaran di kelas.

      5. Belajar Terus Menerus Sepanjang Masa (Continuous and Lifelong Learning)

Kehidupan terus berubah, dan perubahan tersebut terjadi dengan sangat cepat karena adanya penemuan baru dan inovasi. Akibat perubahan ini, manusia kemudian dituntut untuk terus mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru agar dapat menyesuaikan diri dan bertahan hidup secara efektif dan efisien. Demikian pula guru yang juga harus terus mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru di bidangnya. Jika tidak melakukannya, maka keputusan dan aktivitas guru dalam mengajar tidak akan sinkron dan relevan dengan kebutuhan baru di masyarakat. Salah satu trend yang dibutuhkan saat ini adalah penerapan Student-centered Learning yang diharapkan dapat memberikan fasilitas kepada siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan belajarnya di masa kini dan masa yang akan datang. Sehingga guru harus peka dan berkomitmen untuk mempelajari bagaimana Student-centered Learning ini bisa diterapkan di kelas.

Selain pengembangan pengetahuan dan keterampilan, guru juga perlu merenungkan kembali tentang keyakinan akan metode dan teknik pembelajaran yang efektif di masa lalu, tetapi belum tentu bisa diterapkan di masa kini dan masa depan. Misalnya, menurut keyakinan lama, penggunaan 100% Bahasa Inggris dalam kegiatan belajar dan mengajar dianggap sangat penting karena dapat membantu siswa untuk menguasai bahasa tersebut secara efektif. Padahal para ahli dalam bidang pengajaran Bahasa Inggris saat ini lebih meyakini bahwa pada konteks pembelajaran tertentu, siswa akan belajar lebih efektif jika bahasa instruksi yang digunakan adalah bahasa ibu mereka. Sehingga saat ini justru guru bahasa Inggris didorong untuk menggunakan pendekatan mengajar yang melibatkan instruksi multibahasa dalam pembelajaran di kelas (Translanguaging).

6. Gigih (Gritty)

Karekteristik terakhir yang perlu dimiliki oleh guru ideal kekinian adalah kegigihan (grit). Semua karakter yang sebelumnya dibahas tidak akan ada jika seorang guru tidak memiliki kegigihan untuk terus berkomitmen dalam mengembangkan kompetensi profesinya. Menurut Dr. Willy, seorang guru yang gigih biasanya memiliki 4 hal dalam dirinya, yaitu:

1)    Tujuan (Purpose)

Dalam hidupnya termasuk profesinya sebagai pendidik, seorang guru harus selalu mempunyai tujuan yang jelas, baik untuk dirinya maupun siswanya. Sehingga dia akan selalu melakukan banyak usaha agar tujuan tersebut tercapai.

2)    Gairah (Passion)

Jika sebuah profesi merupakan sebuah gairah atau passion, maka sekeras apapun dan sesulit apapun pekerjaan yang dilakukan pasti tidak akan terasa berat dan melelahkan. Semua dijalani dengan senang hati. Gairah inilah yang merupakan penggerak dalam diri seseorang untuk terus mencintai dan setia pada profesinya.

3)    Ketekunan (Perseverence)

Setiap profesi dan pekerjaan pasti tidak terlepas dari resiko dan konsekuensi, termasuk profesi mendidik. Namun, yang paling penting adalah bagaimana seorang guru bisa bereaksi positif ketika sedang menghadapi permasalahan dalam pekerjaannya. Orang yang memiliki ketekunan tidak akan begitu mudah terjebak dalam kesedihan dan kekecewaan, tetapi mereka selalu bisa mengambil sisi positif (hikmah) dari setiap permasalahan. Mereka tidak terlalu memperdulikan masalah yang terjadi dan terus melangkah tanpa kenal lelah.

4)    Pola Pikir untuk Terus Berkembang (Growth Mindset)

Seorang individu yang maju adalah dia yang memiliki pola pikir untuk selalu terbuka pada berbagai macam perubahan dan terus belajar ilmu-ilmu dan melatih keterampilan baru untuk menghadapinya. Guru ini tidak akan pernah takut untuk mengambil resiko karena dia tahu bahwa dengan resiko tersebut, dia akan selalu dapat mengembangkan ilmu dan keterampilannya. Dia juga akan menjadi pribadi yang  selalu terbuka dan bijaksana. Guru semacam ini yakin bahwa dia bisa tumbuh asalkan dia selalu terbuka terhadap hal-hal baru dan menerima segala tantangan yang mengikutinya.

 

Referensi

Jacobs, G. M., & Renandya, W. A. (2019). Student-centered Cooperative Learning. Springer Nature. https://link.springer.com/book/10.1007/978-981-13-7213-1

Mercer, S. (2019). The foundations of engagement: A positive classroom culture. https://www.youtube.com/watch?v=lsODNoIbbVY&t=2s.

Mercer, S., & Dörnyei, Z. (2020). Engaging language learners in contemporary classrooms. Cambridge: Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/9781009024563

Renandya, W. A., & Jacobs, G. M. (2021). What makes a good language teacher in a changing world. Journal of English Language and Linguistics2(2), 1-16. http://hdl.handle.net/10497/23629

Renandya, W. A., Hamied, F. A., & Nurkamto, J. (2018). English language proficiency in Indonesia: Issues and prospects. Journal of Asia TEFL, 15(3), 618. http://dx.doi.org/10.18823/asiatefl.2018.15.3.4.618

Sadeghi, K., Richards, J. C., & Ghaderi, F. (2020). Perceived versus Measured Teaching Effectiveness: Does Teacher Proficiency Matter? RELC Journal, 51(2), 280–293. https://doi.org/10.1177/0033688219845933.

Teachtought.(n). 10 Ways to be a More Reflective Teacher. https://www.teachthought.com/pedagogy/ways-to-be-a-more-reflective-teacher/

Vogel, S., & García, O. (2017). Translanguaging. In Oxford research encyclopedia of education, Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190264093.013.181

 

Senin, 14 November 2022

Pelatihan EMI Pathfinder 2022

 

English as a Medium of Instruction (EMI) Pathfinder Project
Lecturer Professional Development Programme
18 April 2022 – 27 Januari 2023

 

*Aziza Restu Febrianto

 

Tahun 2022 ini, saya mengikuti rangkaian kegiatan pelatihan pengembangan kompetensi dosen bernama English as a Medium of Instruction (EMI) Pathfinder Project yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia (UI) bekerja sama dengan British Council, UK-ID, English Digital Innovation Grants, dan the University of Sheffield, Inggris. Kegiatan ini sepenuhnya dibiayai oleh The British Council Indonesia dan dilaksanakan secara Blended atau kombinasi daring dan luring selama 10 bulan, yaitu 18 April 2022 s/d 27 Januari 2023. Peserta pelatihan ini adalah dosen dari berbagai bidang keilmuwan yang merupakan perwakilan dari Perguruan Tinggi masing-masing dan dipilih melalui seleksi administrasi yang ditentukan oleh panitia. Berikut adalah rincian kegiatan pelatihan dan jadwalnya:

Jadwal Kursus dan Kegiatan EMI Pathfinder

Selama pelatihan ini, peserta mendapatkan berbagai macam materi yang berkaitan dengan EMI atau pengajaran mata kuliah dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pembekalan bagi dosen perwakilan untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri, pengetahuan, dan keterampilan mereka dalam mengajar dengan menggunakan Bahasa Inggris sekaligus membantu mereka dalam mendesain sebuah pembelajaran EMI yang sesuai dengan kebutuhan Perguruan Tinggi tempat mereka bekerja. Semua materi, kegiatan dan tugas terfasilitasi melalui sebuah platform Learning Management System (LMS) Moodle yang bisa diakses disini https://emi-pathfinder.education/. Rangkaian pelatihan ini meliputi kegiatan Part-time, kursus online melalui LMS Moodle dan zoom, serta kursus tatap muka selama 5 hari di kampus UI Depok yang difasilitasi oleh pelatih dari the University of Sheffield, Inggris. Terhitung sejak 18 April 2022 yang lalu, saya sudah hampir merampungkan pelatihan ini sepenuhnya.

Pelatihan Daring Melalui Moodle dan Zoom

Pelatihan Daring Melalui Zoom

Setelah menjalani pelatihan dan kursus EMI ini, tentu saya mendapatkan banyak manfaat. Materi yang diberikan sangat memberikan banyak bekal bagi saya untuk bisa melanjutkan kegiatan ini sebagai pelatih EMI di Perguruan Tinggi tempat saya bekerja. Materi tersebut juga bisa diakses kapanpun oleh peserta walaupun program ini sudah selesai. Sehingga mereka bisa menggunakan materi tersebut untuk memberikan pelatihan EMI kepada rekan kerjanya di Perguruan Tinggi asal melalui kegiatan diseminasi. Dari semua materi dan kegiatan kursus yang telah saya ikuti, tinggal kegiatan diseminasi inilah yang belum terlaksana. Tantangan terbesar dari kegiatan diseminasi adalah bagaimana meyakinkan pimpinan Perguruan Tinggi bahwa program ini sangat penting dan dibutuhkan. Kegiatan diseminasi ini tentu saja tidak didanai lagi oleh penyelenggara utama, tetapi dikembalikan kepada lembaga masing-masing. Jika para pimpinan Perguruan Tinggi menganggap program ini penting, tentu semua akan bisa terlaksana dengan lancar karena pendanaannya sudah ada yang menanggung..hehe.

Untuk mengatasi tantangan ini, pihak penyelenggara utama kemudian berinisiatif untuk melakukan sosialisasi secara langsung kepada perwakilan pimpinan Perguruan Tinggi tempat peserta berasal. Kegiatan ini akan diselenggarakan pada 1 Desember 2022 secara daring melalui Zoom. Sebagai peserta, tentu saya sangat berharap akan respon positif dari pimpinan Perguruan Tinggi, dan mereka juga menunjukkan komitmennya untuk mendukung pendanaan kegiatan diseminasi EMI yang merupakan bagian dari keseluruhan kegiatan EMI Pathfinder Project 2022.

Pelatih, David Read memimpin kegiatan Warming Up

Kegiatan Brainstorming Kelompok

Foto Bersama Peserta dan Pelatih EMI Pathfinder di kampus UI


Foto bersama salah satu pelatih utama EMI Pathfinder, David Read


 Penyerahan Sertifikat



Semarang, 14 November 2022