Foto: Saya dan Mahasiswa/i di Sebuah Ruang Kelas |
6 Karakteristik Guru Ideal Kekinian
*Aziza Restu Febrianto
Pada
tanggal 11 November 2022 lalu, saya mengikuti sebuah Webinar dengan
pembicara tunggal, yaitu Dr. Willy A. Renandya dari National Institute of Education,
Nanyang Technological University, Singapura. Pada webinar tersebut, beliau
memaparkan ciri-ciri guru di abad ke-21. Seperti biasa, cara beliau menyampaikan
materi selalu memukau dengan gaya bicaranya yang khas: artikulasi yang jelas dan
tidak terlalu cepat. Sebenarnya sebelum mengikuti webinar ini, saya sudah
membaca beberapa karya beliau mengenai topik yang sama serta lebih lanjut lagi menelaah
beberapa karya lain yang menjadi rujukan beliau. Melalui artikel ini, saya akan berusaha memaparkan apa yang saya tangkap dari penemuan beliau dan beberapa kajian para
ilmuwan lain mengenai 6 karakteristik guru ideal kekinian atau guru yang selalu
relevan dengan perkembangan zaman.
Guru yang kekinian itu harus:
1. Kompeten dalam profesinya (Professionally Competent)
Karakter
ini tentu wajib dimiliki oleh seorang guru. Namun, kompeten dalam profesi guru bukan
berarti hanya bisa melakukan dan mengerjakan sesuatu yang diajarkan saja,
tetapi juga dapat menunjukkan efektivitas kerja yang membawa kesuksesan para
siswanya. Sehingga seorang guru harus memiliki kompetensi mengenai apa yang
diajarkan (Subject Knowledge) secara cukup dan tentang bagaimana cara
mengajarkannya (Pedagogy). Guru bahasa Inggris, misalnya diharapkan memiliki
kompetensi berbahasa Inggris (English proficiency) yang jauh diatas
siswanya. Jika skor TOEFL siswanya adalah antara 400-500, maka gurunya harus memiliki
skor 550 keatas. Dengan kompetensi yang tinggi ini, guru akan dapat memberikan
input dan menjawab pertanyaan siswa secara instan dan akurat serta menjadi
contoh (Role model) yang baik bagi semua siswanya. Menurut Dr. Willy,
para ilmuwan dan praktisi di bidang pengajaran bahasa Inggris menyepakati bahwa
level standar kompetensi bahasa target yang harus dimiliki oleh seorang guru
bahasa Inggris adalah antara B2 (Menengah atas) dan C1 (Mahir bawah)
berdasarkan CEFR.
Namun, Dr. Willy juga menyebutkan bahwa kompetensi pada Subject Knowledge untuk saat ini bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam profesi guru. Alasan pertama adalah karena para guru bisa melakukan persiapan secara matang jauh hari sebelum mengajar. Guru juga bisa mengandalkan berbagai materi autentik yang tersedia di internet untuk dijadikan sebagai sumber Subejct Knowledge utama untuk siswa. Guru, dengan keterampilan pedagogiknya, juga terkadang perlu menggunakan bahasa pertama atau bahasa ibu siswa yang disebut dengan strategi Translanguaging agar tujuan pembelajaran bisa sepenuhnya tercapai. Oleh karena itu, seorang guru harus selalu memastikan dan berkomitmen untuk terus mengembangkan kedua kompetensi Subject Knowledge dan Pedagogy secara seimbang agar dapat membantu siswanya untuk berkembang sesuai dengan target pembelajaran yang diinginkan.
2. Reflektif (Reflective)
Reflektif
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya bersifat mendalam dan
hati-hati (tentang pemikiran) yang terutama diarahkan kepada diri sendiri dan
biasanya bersifat spiritual. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki sifat
reflektif atau selalu melakukan perenungan diri dalam segala kegiatan
kesehariannya. Setiap selesai melakukan kegiatan dalam pekerjaannya, dia harus selalu
mengevaluasi diri dan merenungkan apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
Setiap keputusan yang diambil oleh guru dan apa yang disampaikannya di dalam
kelas tentu sangat berdampak pada kondisi perkembangan siswa. Sehingga setiap
keputusan yang berwujud tindakan dalam sebuah kelas harus selalu dievaluasi.
Seorang guru juga hendaknya selalu memikirkan apa yang harus dilakukan untuk
mengembangkan kompetensinya baik, dalam bidang Subject Knowledge maupun Pedagogy.
Menurut
teachthought.com, ada 10 cara agar seorang guru selalu memiliki sifat
reflektif, yaitu:
1) Merekam (video) diri sendiri ketika mengajar dan menonton
video tersebut untuk melihat apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
2) Membagikan video rekaman mengajar kepada rekan belajar
(Community of Practice) untuk mendapatkan masukan dari mereka.
3) Mengundang rekan kerja guru (Colleagues) untuk mengamati
dan mengobservasi kegiatan belajar dan mengajar yang sedang dilaksanakan di
kelas.
4) Bertanya kepada siswa untuk mendapatkan masukan
(Feedback).
5) Bertanya kepada diri sendiri tentang 2 jenis pertanyaan:
“Bagaimana kegiatan belajar mengajar itu terlaksana?” dan “Bagaimana saya tahu
itu dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkannya?”
6) Membuat sebuah jurnal aktivitas mengajar pribadi. Jurnal
ini bisa dalam bentuk diary atau personal blog.
7) Jujur pada diri sendiri dan bereaksi positif terhadap
kritikan.
8) Memastikan untuk selalu antusias terhadap segala sesuatu
yang positif.
9) Merayakan keberhasilan dari semua aktivitas profesi yang
telah dicapai. Merayakan keberhasilan ini dapat menumbuhkan sifat optimisme dan
percaya diri untuk selalu melakukan perbaikan.
10) Mencari dan membuka diri untuk belajar dari siapapun (Openmindedness), seperti belajar melalui obrolan dengan siswa, orang tua siswa, rekan kerja, pimpinan sekolah, dsb.
3. Menerapkan Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa (Student-centered Learning)Dulu
dalam mengajar, guru dianggap sebagai sumber utama dari materi yang diajarkan.
Dengan cara ini, metode pengajaran kemudian cenderung pada aktivitas ceramah,
yang akhirnya kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung berpusat pada guru
(Teacher-centered Learning). Kini, pola berfikir seperti ini mulai
berubah karena banyaknya penelitian dan pengetahuan mengenai pembelajaran yang
efektif di kelas. Salah satunya adalah Student-centered Learning.
Student-centered Learning berpondasi pada pemahaman bahwa setiap
individu termasuk siswa memiliki potensi bawaan yang berbeda-beda, dan potensi dasar
ini hanya cukup memerlukan fasilitas dan dukungan untuk berkembang agar dapat menghasilkan
sesuatu yang luar biasa bagi siswa itu sendiri. Dengan demikian, jika
aktivitas siswa hanya berkutat pada mendengarkan ceramah guru, maka potensi itu
tidak akan mendapatkan tempat aktualisasi dan akibatnya akan menjadi jalan di tempat. Dengan kata lain, guru tidak bisa hanya
berperan sebagai pemberi dan pentransfer ilmu pengetahuan saat mengajar, tetapi
siswa itu sendiri yang harusnya membangun pengetahuan untuk dirinya secara
sadar dan mandiri.
Tujuan
utama Student-centered Learning adalah memfasilitasi siswa agar dapat secara
sadar mengembangkan kompetensinya sesuai dengan potensi dasar, bakat, minat, dan
ketertarikan mereka, sehingga mereka akan terus dengan senang hati (passionate)
meningkatkan kompetensi itu sebagai pembelajar sepanjang hayat yang mandiri (Lifelong
autonomous learners). Dalam hal ini, kualitas aktivitas dan interaksi
antara guru dan siswa benar-benar sangat krusial, dan guru harus memastikan
bahwa aktivitas dan interaksi tersebut selalu bermakna dalam rangka mendorong siswa
untuk aktif terlibat penuh secara kognitif, afektif, kinestetik, dan sosial di kelas.
Jacob dan Dr. Willy, dalam karya tulisnya menyebut 10 prinsip yang menjadi ciri
khas penerapan Student-centered Learning, antara lain:
1) Guru dan siswa adalah rekan belajar
2) Interaksi bermakna yang berlangsung antara guru dan siswa
3) Siswa sebagai pembelajar mandiri (Independent learners)
4) Segala pembelajaran berfokus pada makna dan kesadaran
penuh
5) Siswa dapat
menghubungkan antara pembelajaran di kelas dan kehidupan nyata diluar kelas
6) Kebhinekaan antar siswa sebagai sumber ilmu pengetahuan
7) Pengembangan kemampuan berfikir kritis
8) Penilaian proses yang variatif
9) Atmosfir pembelajaran kelas yang positif, dan
10) Motivasi sebagai penggerak utama aktivitas yang positif
4. Mahir dalam Menggunakan
Teknologi (Digitally Savvy)
Saat
ini teknologi merupakan suatu hal yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan
manusia termasuk dunia pendidikan. Adanya fenomena Internet of Things
memungkinkan guru dan siswa mengakses limpahan informasi dan layanan belajar
melalui gawai dan komputer mereka baik secara gratis maupun berbayar. Guru kemudian
bisa memanfaatkan teknologi digital yang ada untuk merencanakan pembelajaran,
menyampaikan materi, memberikan tugas, melaksanakan dan memonitor proses
pembelajaran, serta memberikan penilaian dan evaluasi kepada siswa mereka.
Salah satu contoh teknologi digital itu adalah Learning Management System
(LMS) seperti Microsoft Team, Google Classroom, Moodle, dsb dan aplikasi video
conference lain seperti Zoom, Microsoft Team dan Google Meet. Melalui LMS
dan aplikasi pembelajaran tersebut, guru diharapkan dapat melaksanakan
pembelajaran yang interaktif dan menarik (engaging) baik secara luring
maupun daring serta secara langsung (syncronous) ataupun tidak langsung (asynchronous).
Namun,
dalam menggunakan teknologi digital, hal terpenting yang harus diperhatikan
oleh guru adalah teknologi tersebut bukanlah satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan yang bisa menggantikan posisi guru, karena itu semua hanyalah alat
pendukung pembelajaran. Keberadaan guru di dalam ruang kelas masih tetap tak
tergantikan ketika alat tersebut digunakan. Selain itu, guru juga harus
selektif terhadap alat teknologi seperti apa yang akan dipakai - apakah relevan
dengan materi yang sedang dibahas di kelas. Dalam hal ini, Dr. Willy memberikan
sebuah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai panduan dan pertimbangan
sebelum guru memutuskan untuk menggunakan sebuah alat teknologi dalam
pembelajaran kelas:
·
Apakah alat tersebut
menyediakan konten yang kaya, menarik dan bermakna untuk siswa?
·
Apakah alat tersebut dapat
membantu siswa dalam menemukan materi penting yang perlu dikembangkan?
·
Apakah alat tersebut
memberikan latihan-latihan yang bermakna bagi siswa?
·
Apakah alat tersebut
mendukung pembelajaran multimodal bagi siswa?
·
Apakah alat tersebut dapat
memfasilitasi siswa untuk belajar secara berkelompok dan berkolaborasi?
·
Apakah alat tersebut dapat
menumbuhkan kesadaran akan tujuan mempelajari materi yang dibahas?
·
Apakah alat tersebut
memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berhadapan dan berinteraksi
dengan berbagai macam pihak dan sumber materi?
Kesimpulannya, guru menggunakan teknologi bukan hanya karena teknologi tersebut keren atau sedang menjadi trend sesaat atau karena teknologi tersebut direkomendasikan oleh sekolah atau pemerintah, tetapi mereka menggunakan alat tersebut karena memang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan tujuan pembelajaran di kelas.
5. Belajar Terus Menerus Sepanjang Masa (Continuous and Lifelong Learning)
Kehidupan
terus berubah, dan perubahan tersebut terjadi dengan sangat cepat karena adanya
penemuan baru dan inovasi. Akibat perubahan ini, manusia kemudian dituntut
untuk terus mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru agar dapat
menyesuaikan diri dan bertahan hidup secara efektif dan efisien. Demikian pula guru yang juga harus terus
mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru di bidangnya. Jika tidak melakukannya,
maka keputusan dan aktivitas guru dalam mengajar tidak akan sinkron dan relevan
dengan kebutuhan baru di masyarakat. Salah satu
trend yang dibutuhkan saat ini adalah penerapan Student-centered Learning yang diharapkan dapat memberikan fasilitas kepada siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan
belajarnya di masa kini dan masa yang akan datang. Sehingga guru harus peka dan
berkomitmen untuk mempelajari bagaimana Student-centered Learning ini
bisa diterapkan di kelas.
Selain pengembangan pengetahuan dan keterampilan, guru juga perlu merenungkan kembali tentang keyakinan akan metode dan teknik pembelajaran yang efektif di masa lalu, tetapi belum tentu bisa diterapkan di masa kini dan masa depan. Misalnya, menurut keyakinan lama, penggunaan 100% Bahasa Inggris dalam kegiatan belajar dan mengajar dianggap sangat penting karena dapat membantu siswa untuk menguasai bahasa tersebut secara efektif. Padahal para ahli dalam bidang pengajaran Bahasa Inggris saat ini lebih meyakini bahwa pada konteks pembelajaran tertentu, siswa akan belajar lebih efektif jika bahasa instruksi yang digunakan adalah bahasa ibu mereka. Sehingga saat ini justru guru bahasa Inggris didorong untuk menggunakan pendekatan mengajar yang melibatkan instruksi multibahasa dalam pembelajaran di kelas (Translanguaging).
6. Gigih (Gritty)
Karekteristik
terakhir yang perlu dimiliki oleh guru ideal kekinian adalah kegigihan (grit).
Semua karakter yang sebelumnya dibahas tidak akan ada jika seorang guru tidak
memiliki kegigihan untuk terus berkomitmen dalam mengembangkan kompetensi
profesinya. Menurut Dr. Willy, seorang guru yang gigih biasanya memiliki 4 hal
dalam dirinya, yaitu:
1) Tujuan (Purpose)
Dalam hidupnya termasuk profesinya sebagai pendidik,
seorang guru harus selalu mempunyai tujuan yang jelas, baik untuk dirinya
maupun siswanya. Sehingga dia akan selalu melakukan banyak usaha agar tujuan
tersebut tercapai.
2) Gairah (Passion)
Jika sebuah profesi merupakan sebuah gairah atau passion,
maka sekeras apapun dan sesulit apapun pekerjaan yang dilakukan pasti tidak
akan terasa berat dan melelahkan. Semua dijalani dengan senang hati. Gairah
inilah yang merupakan penggerak dalam diri seseorang untuk terus mencintai dan
setia pada profesinya.
3) Ketekunan (Perseverence)
Setiap profesi dan pekerjaan pasti tidak terlepas dari resiko dan
konsekuensi, termasuk profesi mendidik. Namun, yang paling penting adalah
bagaimana seorang guru bisa bereaksi positif ketika sedang menghadapi
permasalahan dalam pekerjaannya. Orang yang memiliki ketekunan tidak akan
begitu mudah terjebak dalam kesedihan dan kekecewaan, tetapi mereka selalu bisa
mengambil sisi positif (hikmah) dari setiap permasalahan. Mereka tidak terlalu
memperdulikan masalah yang terjadi dan terus melangkah tanpa kenal lelah.
4) Pola Pikir untuk Terus Berkembang (Growth Mindset)
Seorang individu yang maju adalah dia yang memiliki pola
pikir untuk selalu terbuka pada berbagai macam perubahan dan terus belajar
ilmu-ilmu dan melatih keterampilan baru untuk menghadapinya. Guru ini tidak
akan pernah takut untuk mengambil resiko karena dia tahu bahwa dengan resiko
tersebut, dia akan selalu dapat mengembangkan ilmu dan keterampilannya. Dia juga
akan menjadi pribadi yang selalu terbuka
dan bijaksana. Guru semacam ini yakin bahwa dia bisa tumbuh asalkan dia selalu
terbuka terhadap hal-hal baru dan menerima segala tantangan yang mengikutinya.
Referensi
Jacobs,
G. M., & Renandya, W. A. (2019). Student-centered Cooperative Learning. Springer Nature. https://link.springer.com/book/10.1007/978-981-13-7213-1
Mercer,
S. (2019). The foundations of engagement: A positive classroom culture. https://www.youtube.com/watch?v=lsODNoIbbVY&t=2s.
Mercer,
S., & Dörnyei, Z. (2020). Engaging language learners in contemporary
classrooms. Cambridge: Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/9781009024563
Renandya, W. A., & Jacobs, G. M. (2021).
What makes a good language teacher in a changing world. Journal of
English Language and Linguistics, 2(2), 1-16. http://hdl.handle.net/10497/23629
Renandya,
W. A., Hamied, F. A., & Nurkamto, J. (2018). English language proficiency
in Indonesia: Issues and prospects. Journal of Asia TEFL, 15(3), 618. http://dx.doi.org/10.18823/asiatefl.2018.15.3.4.618
Sadeghi,
K., Richards, J. C., & Ghaderi, F. (2020). Perceived versus Measured
Teaching Effectiveness: Does Teacher Proficiency Matter? RELC Journal,
51(2), 280–293. https://doi.org/10.1177/0033688219845933.
Teachtought.(n). 10 Ways to be a More Reflective Teacher.
https://www.teachthought.com/pedagogy/ways-to-be-a-more-reflective-teacher/
Vogel,
S., & GarcÃa, O. (2017). Translanguaging. In Oxford research
encyclopedia of education, Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190264093.013.181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar