Senin, 28 Oktober 2019

Mutu Pendidikan Daerah 3T Belum Baik, Salah Siapa?

Gambar: https://news.okezone.com

Oleh Aziza Restu Febrianto 

Kondisi pendidikan di daerah 3T memang selalu menjadi topik perbincangan yang menarik oleh banyak pihak dan media massa karena kondisinya yang memang masih jauh berbeda dari daerah lainnya di Indonesia.  Ketika menjadi seorang guru di sebuah sekolah terpencil di pulau Flores melalui program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T) pada tahun 2012 silam, penulis merasakan betul bagaimana kondisi dan keterbatasan hidup yang dialami oleh masyarakat setempat termasuk para siswanya. Penulis melihat masih begitu banyak desa bahkan kecamatan yang belum mendapatkan akses aliran listrik, sinyal komunikasi telepon dan pastinya jaringan internet. Keterbatasan fasilitas dan prasarana umum ini tentu saja sangat menghambat segala aktivitas pembelajaran terutama para generasi muda di daerah tersebut. Akses distribusi fasilitas dan perangkat penunjang pembelajaran seperti buku, alat peraga dan komputer akhirnya juga menjadi terhambat. Kondisi ini ternyata masih belum banyak berubah ketika penulis melakukan penelitian untuk disertasi studi S-2nya tentang pendidikan di daerah ini pada akhir tahun 2017 yang lalu. Kemudian ketika penulis melakukan wawancara dengan beberapa rekannya yang merupakan guru PNS program Guru Garis Depan (GGD), kondisi itu juga masih belum begitu membaik secara signifikan di tahun 2019 ini.

Tantangan Geografis dan Demografis

Secara geografis dan demografis, Indonesia merupakan salah satu negara paling besar di dunia dengan kepulauan dan lautnya yang membentang luas dari Sabang hingga Merauke. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa, dan sekarang meningkat menjadi sekitar 265 juta jiwa (Bappenas, 2018). Jumlah ini membuat Indonesia menempati peringkat ke-4 dari negara yang paling banyak penduduknya. Selain jumlah penduduk yang besar, komposisi masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai macam suku dan etnis yang memiliki keragaman budaya dan adat istiadat. Seorang peneliti Australia, Graeme Hugo (2015), dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “The Demography of Race in Indonesia,” menyebutkan bahwa Indonesia dihuni oleh lebih dari 300 jenis suku dengan 700 bahasa daerah yang berbeda-beda. Melihat luasnya wilayah serta jumlah populasi yang besar dan beragam ini, tantangan terbesar bangsa Indonesia kemudian adalah memastikan bahwa semua warga negaranya dapat menikmati pembangunan termasuk pendidikan secara merata di seluruh wilayah kepulauan yang terpisah-pisah di nusantara, karena memang merupakan sebuah amanah konstitusi. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 45 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pasal ini kemudian dijelaskan secara lebih rinci dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003.

Fakta demografis lainnya menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia dan perekonomiannya masih terpusat di pulau Jawa, terbukti dengan banyaknya kota-kota besar disana. Hugo (2015) menyebutkan bahwa persebaran penduduk Indonesia itu tidak merata, dan lebih dari setengahnya tinggal di wilayah yang dia sebut sebagai “Inner Indonesia,” seperti Jawa, Madura dan Bali. BPS (2010) juga menunjukkan data yang sama, yaitu sekitar 51% penduduk di Indonesia hidup di daerah perkotaan, sedangkan 49% sisanya tersebar di berbagai pulau, termasuk pulau-pulau kecil yang terpencil dan tertinggal. Kondisi demografis yang tidak merata seperti ini terbukti telah membuat pemerintah mengalami kesulitan dalam merealisasikan semua program-programnya, terutama dalam hal pemerataan kualitas pendidikan. Beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia, Australian Development Bank (ADB) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pada tahun 2017, melaporkan secara khusus bahwa di bidang pendidikan, Indonesia memang sedang menghadapi tantangan yang serius terutama dalam hal ketimpangan dan kesenjangan kualitas pendidikan antara di daerah perkotaan dengan pedesaan.

Ketimpangan dan kesenjangan kualitas pendidikan ini utamanya disebabkan oleh infrastruktur yang terbatas dan jumlah distribusi tenaga pendidik yang tidak merata. Menurut Bank Dunia (2017), rasio rata-rata guru dan siswa di perkotaan  sebenarnya sudah sangat ideal, yaitu 1:17. Namun rasio ini jauh berbeda dengan sekolah-sekolah di daerah tertinggal, yang sebaliknya justru mengalami kekurangan guru. Para peneliti pendidikan seperti Heyward, dkk (2017) dalam studi mereka tentang Indonesia, melaporkan bahwa banyak sekali siswa khususnya di daerah miskin dan marginal di Indonesia diajar oleh guru yang tidak berkualifikasi atau memiliki ijazah yang tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Informasi ini senada dengan pernyataan ketua PGRI, Sulistyo  melalui lembaga Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia (2015) bahwa jumlah guru di daerah perkotaan mengalami surplus, sedangkan sekolah di wilayah pedesaan masih membutuhkan sekitar 520 ribu guru. Dari informasi tersebut, bisa disimpulkan bahwa akar ketimpangan jumlah guru ini disebabkan oleh kondisi dimana para guru terutama yang berkualitas menumpuk di daerah perkotaan. Jika kualitas pendidikan di daerah pedesaan terlihat begitu timpang dan memprihatinkan seperti ini, bisa dipastikan kondisi pendidikan di daerah 3T juga lebih parah lagi.

Upaya Pemerintah Selama Ini

Permasalahan akan keterbatasan fasilitas dan kekurangan guru berkualitas menurut berbagai survei dan penelitian yang ada tentu saja sangat berdampak pada tersendatnya akses dan rendahnya mutu pendidikan di daerah terpencil khususnya 3T. Menurut berbagai laporan baik dari pemerintah, media massa, organisasi nasional maupun internasional, pemerintah pusat sebenarnya sudah melakukan banyak upaya dan merealisasikan berbagai macam program strategis untuk menyeselesaikan permasalahan tersebut. Upaya ini juga sejalan dengan janji politik Presiden Joko Widodo yang ingin membangun negara dari pinggiran melalui visi dan misi Nawacitanya. Upaya yang pertama tentu saja adalah optimalisasi penyerapan alokasi dana 20% dari APBN untuk pendidikan yang sesuai dengan amanat undang-undang (Kemenkeu, 2019). Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani di berbagai media massa, dana ini sangatlah besar dan diharapkan dapat secara signifikan meningkatkan mutu dan akses pendidikan. Dengan dana yang besar ini, pemerintah akhirnya dapat melakukan pembiayaan, baik untuk perbaikan infrastruktur maupun operasional pendidikan seperti Biaya Operasional Sekolah (BOS), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),  dan sebagainya khususnya untuk sekolah-sekolah yang berada di wilayah 3T.

Pemerintah pusat juga telah merealisasikan beberapa program khusus pendidikan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah 3T. Salah satunya adalah program peningkatan kualitas tenaga pendidik yang dikenal dengan 5 (lima) program Afirmasi (Kemendikbud, 2017). Program pertama adalah SM-3T, yang bertujuan untuk mengisi kekurangan guru di berbagai sekolah di daerah 3T dengan mengirimkan lulusan sarjana melalui seleksi khusus sejak tahun 2011. Program SM-3T ini kemudian dilanjutkan dengan rekrutmen CPNS khusus bernama Guru Garis Depan (GGD). Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2017), melalui skema GGD yang berjalan sejak tahun 2015 ini, pemerintah telah mengirimkan sekitar 17.000 guru ke daerah 3T. Beberapa program lainnya adalah Program Sertifikasi Keahlian dan Sertifikasi Pendidik bagi Guru SMA/ SMK (Program Keahlian Ganda), Program Pemberian Subsidi Bantuan Pendidikan Konversi GTK PAUD dan DIKMAS, dan Program Diklat Berjenjang bagi Pendidik PAUD. Selain kelima program Afirmasi ini, pemerintah melalui Kemenristekdikti (2018), juga telah membuka Pendidikan Profesi Guru (PPG) berasrama yang ditujukan secara khusus bagi para lulusan sarjana dari daerah 3T yang ingin menjadi guru.

Tidak hanya berfokus pada perbaikan infrastruktur dan pengembangan kualitas guru, pemerintah ternyata juga telah menyediakan beberapa bantuan khusus pendidikan kepada para putera dan puteri daerah 3T melalui Program Indonesia Pintar (PIP), Bidikmisi, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), dan program beasiswa Afirmasi seperti Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) untuk siswa sekolah menengah pertama dan atas (Kemendikbud, 2019). Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (2017), sejak diresmikan pada tahun 2013, program ADEM telah memberangkatkan sekitar 1.047 pelajar dari Papua ke beberapa daerah seperti Jawa dan Bali untuk bersekolah.  Sedangkan bagi para lulusan sekolah menengah yang ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tingi disediakan beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik), Bidikmisi dan BPI (Kemenristekdikti, 2019). Menurut laporan Kemendikbud, sejak tahun 2013 hingga 2017 terdapat 1.693 anak di Papua khususnya yang berasal dari daerah 3T telah mengikuti program beasiswa ADik (Kemendikbud, 2019). Saat diwawancarai oleh pihak Kemendikbud, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberano Tengah, Provinsi Papua, menyampaikan apresiasinya terhadap pemerintah pusat yang telah menerapkan PIP dengan menyediakan beasiswa ADEM dan ADik khususnya untuk anak-anak Papua dan Papua Barat (ibid, 2019).

Pekerjaan Rumah Kita

Meskipun pemerintah pusat sudah banyak melalukan terobosan dan merealisasikan berbagai program yang strategis, kualitas pendidikan kita masih belum juga meningkat secara signifikan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, melalui beberapa media massa, mengatakan bahwa Indonesia masih berada di belakang negara Asia lainnya dari segi pendidikan, padahal selama 10 tahun terakhir, pemerintah telah mengeluarkan anggaran yang jauh lebih besar dari negara lainnya, yaitu 20% dari APBN untuk pendidikan (CNBC Indonesia, 2019). Kualitas pendidikan sebagai dampak keberhasilan program pemerintah bisa diukur melalui beberapa acuan. Salah satunya tentu saja adalah dengan melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia terkini. Menurut informasi terakhir pada tahun 2018 yang lalu, IPM Indonesia memang mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan. BPS menyebutkan bahwa IPM Indonesia berada pada angka 71,39 sepanjang tahun 2018 atau lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu 70.81 pada tahun 2017 (BPS, 2018). Namun, meskipun IPM sedikit meningkat, sayangnya tingkat persebarannya tidak merata. Menurut Kepala BPS melalui CNN Indonesia (2019), kondisi pembangunan manusia di Indonesia masih ‘jomplang’ atau belum merata di semua provinsi, kabupaten, dan kota. Provinsi dengan IPM terendah menurutnya antara lain Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, dan Kalimantan Barat. Faktanya, kebanyakan daerah berkategori 3T berada di Provinsi tersebut (Bappenas, 2016). 

Kondisi IPM yang tidak merata ini tentu ada penyebabnya. Beberapa sumber terkini menunjukkan bahwa ternyata lagi-lagi pendidikan di daerah termasuk 3T masih mengalami banyak kendala umum dan klasik. Kendala yang pertama adalah kondisi fasilitas dan infrastruktur yang masih terbatas serta tidak merata di masing-masing daerah. Kemendikbud  (Antaranews, 2019) mencatat bahwa mayoritas sekolah SMA dan SMK di daerah 3T belum mempunyai laboratorium IPA. Banyak juga ruang kelas yang rusak dan belum direnovasi. Menurut Kemendikbud, alasan keterbatasan sarana dan prasarana tersebut memang disebabkan oleh kondisi geografis yang sulit di beberapa wilayah dan akses transportasi juga terbatas. Masalah yang lebih memprihatinkan lagi adalah masih banyaknya sekolah di daerah 3T yang mengalami kekurangan guru. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, permasalahan ini lebih disebabkan oleh porsi mayoritas guru yang memilih untuk tinggal dan bekerja di ibukota provinsi dan kabupaten. Merespon kondisi ini, Kemendikbud bahkan telah merencanakan sebuah program rotasi guru pegawai negeri (PNS) secara periodik, sehingga semua guru PNS harus mendapatkan pengalaman mengajar di daerah 3T (Media Indonesia, 2019). Kendala yang terakhir adalah kesadaran masyarakat 3T akan pentingnya pendidikan masih rendah. Masalah ini disampaikan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Supriano di Markas besar TNI-AD bulan Maret yang lalu. Sebagus apapun program pendidikan yang dicanangkan, jika tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, maka hasilnya akan sia-sia (Antaranews, 2019). Penulis, dalam penelitian disertasinya juga menemukan bahwa banyak diantara masyarakat di wilayah 3T yang ternyata memang tidak terlalu peduli dengan pendidikan. Bahkan, karena alasan tradisi, tokoh dan pemangku adat pun cenderung mempersulit pembangunan sarana dan prasarana umum yang mendukung peningkatan pendidikan di daerahnya.

Semua kendala pendidikan yang terjadi di daerah 3T  ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana hasil dan dampak dari upaya pemerintah selama ini. Alokasi dana yang besar telah dikucurkan dan berbagai macam program khusus untuk pendidikan daerah 3T juga telah direalisasikan. Namun, perubahan yang diharapkan masih tidak begitu signifikan dan tidak heran jika Menteri Keuangan sering mempertanyakan kondisi ironis ini. Kita harus mengakui bahwa pemerintah pusat memang telah bekerja secara maksimal dalam memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan di daerah 3T melalui semua program yang sudah ada. Namun, jika masalah yang dihadapi ternyata tetap sama, berarti semua program itu memang belum memberikan dampak yang pasti. Kondisi ini menunjukkan secara jelas bahwa pokok permasalahan itu berada pada bagaimana semua program yang ada dieksekusi dan ditindaklanjuti. Dalam konteks ini, pihak yang paling bertanggungjawab akan hal ini tentu saja adalah Pemerintah daerah (Pemda). Jika dilihat dari perannya dalam aturan otonomi daerah, porsi tugas dan wewenang pemda dalam mengelola pembangunan di daerahnya itu sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan Pemerintah pusat. Semua wewenang dan tanggungjawab Pemda ini diatur oleh undang-undang yang sah seperti UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah  dan UU Nomor 20 tahun 2003 yang secara khusus mengamanatkan alokasi 20% dana pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kewenangan dalam mengelola sekolah dasar dan menengah juga sepenuhnya diberikan kepada pemda.

Benang kusut permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya di daerah 3T ini tentu saja harus segera dicarikan solusi. Ada beberapa tahapan yang bisa dilakukan oleh pemerintah agar dapat menemukan terobosan yang solutif. Meskipun akar permasalahan terbukti berasal dari daerah atau pemda sebagai penanggung jawab, tapi pemerintah pusat masih memiliki wewenang koordinasi dalam menanganinya. Yang pertama adalah mengevaluasi semua agenda implementasi dan penyerapan dana pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah yang selama ini belum pernah dilakukan secara terbuka. Ketika semua agenda dan program dievaluasi, maka permasalahan akan teruraikan dan terpetakan. Hasil pemetaan masalah ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk menyusun sebuah blueprint atau kerangka kerja yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, sehingga para pemimpin di daerah bisa menentukan kebijakan yang akurat, efektif dan tepat sasaran. Setelah kerangka kerja dibuat, tentu saja koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus secara terus menerus diperkuat.  Penyerapan dana dan pelaksanaan semua program pendidikan baik yang datang dari pusat maupun daerah harus selalu diawasi, sehingga prosesnya menjadi optimal dan bersih dari segala kecurangan. Informasi dan pelaporan semua program hendaknya juga dilakukan secara transparan karena masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap hasil dari semua kebijakan yang ada. Masyarakat juga berhak memberikan kritik dan saran secara terbuka. Untuk mendukung program pengawasan ini, penggunaan sistem teknologi informasi dan e-government memang mutlak dioptimalkan, dan infrastruktur pendukungnya juga harus segera diperbaiki. Namun, pemerintah juga harus selalu berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran mereka terhadap kemajuan pendidikan di daerahnya. Upaya ini bisa dilakukan dengan pendekatan adat, tradisi dan budaya setempat oleh Pemda. Masyarakat yang apatis tentu tidak akan mampu dan mau memberikan kritik dan masukan untuk pendidikan yang lebih baik.

Bahan Bacaan

ACDP Indonesia. (2015). Teacher Shortage in Indonesia/ Kekurangan Guru di Indonesia. Diakses pada 2 September 2019, dari http://www.acdpindonesia.org/en/indonesia- facing-shortage-of-520-thousand-teachers/
Antaranews. (2019).  Kemendikbud: Kesadaran Pendidikan di 3T Masih Rendah. Diakses pada 12 September 2019, dari https://m.antaranews.com/berita/808685/kemendikbud-kesadaran-pendidikan-di-daerah-3t-masih-rendah
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2016). Laporan Akhir Koordinasi Program Pembangunan Daerah Tertinggal. Diakses pada 15 September 2019., dari http://kawasan.bappenas.go.id/images/data/Produk/PemantauanEvaluasi/2016/Laporan_Akhir_2016_1.pdf .
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2018). Sensus Penduduk Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2019, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/18/2018-jumlah-penduduk-indonesia-mencapai-265-juta-jiwa
Badan Pusat Statistik (BPS). (2010). Sensus Penduduk Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2019, dari http://sp2010.bps.go.id/
Badan Pusat Statistik (BPS). (2018). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Meningkat. Diakses pada 12 September 2019, dari https://setkab.go.id/en/national-statistics-agency-indonesias-human-development-index-increases-to-71-39-in-2018/
Bank Dunia. (2017). “Pupil-Teacher Ratio in Secondary Education (Headcount Basis).” UNESCO Institute for Statistics. [Dataset]. Diakses pada 1 September 2019, dari http://data.worldbank.org/indicator/SE.SEC.ENRL.TC.ZS
Beasiswa ADEM. (2019). 1693 Anak Papua Mendapatkan Beasiswa ADEM. Diakses pada 8 September 2019, dari http://pklk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/1693-anak-papua-mendapatkan-beasiswa-adem/

Beasiswa ADiK. (2019). Program Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi Tahun 2019. Diakses pada 8 September 2019, dari https://belmawa.ristekdikti.go.id/2019/04/12/program-beasiswa-afirmasi-pendidikan-tinggi-adik-tahun-2019/
CNBC Indonesia. (2019). Dana Pendidikan 20%, Output Kalah Bersaing. Diakses pada 12 September 2019, dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20190801230921-4-89264/dana-pendidikan-20-apbn-kualitas-output-kok-kalah-bersaing/2
CNN Indonesia. (2018). Indeks Pembangunan Manusia Naik, Tapi Masih Jomplang. Diakses pada 12 September 2019, dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190415140212-532-386501/indeks-pembangunan-manusia-2018-naik-tapi-masih-jomplang
Heyward, M., Hadiwijaya, A., Mahargianto, E., & Priyono, M. (2017). Reforming teacher deployment in Indonesia. Journal Of Development Effectiveness,9(2), 245-262. DOI:10.1080/19439342.2017.1301978
Hugo, G. (2015). Demography of Race and Etnicity in Indonesia. R. Sáenz et al. (eds.). (2015). The International Handbook of the Demography of Race 259 and Ethnicity, International Handbooks of Population 4, 259 – 279. DOI 10.1007/978-90-481-8891-8_13
Kementerian Keuangan. (2019). “Anggaran Pendidikan APBN 2019.” Diakses pada 8 September 2019, dari http://visual.kemenkeu.go.id/anggaran-pendidikan-apbn-2019/
Media Indonesia. (2019). Rotasi Guru. Diakses pada 12 September 2019, dari https://m.mediaindonesia.com/read/detail/240687-setiap-guru-wajib-mengajar-di-daerah-3t
OECD/Asian Development Bank (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge, OECD Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en
Pendidikan Profesi Guru di Daerah 3T. (2018). Meningkatkan Kualitas Guru di Daerah 3T Melalui PPG3T. Diakses pada 8 September 2019, dari https://belmawa.ristekdikti.go.id/2018/08/24/meningkatkan-kualitas-guru-di-daerah-terpencil-melalui-program-pendidikan-profesi-guru-daerah-tertinggal-terdepan-dan-terluar-3t/ 
Program Afirmasi Kemendikbud. (2017). Kemendikbud Siapkan Lima Program Afirmasi. Diakses pada 8 September 2019, dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/11/kemendikbud-siapkan-lima-program-afirmasi-untuk-pemenuhan-guru-di-daerah
Kementerian Luar Negeri. (2014). Undang-undang Otonomi Daerah. Diakses pada 12 September 2019, dari https://pih.kemlu.go.id/files/UU0232014.pdf


Catatan: Artikel ini pernah diikutkan dalam lomba Esai Nasional pada tahun ini yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi sosial bernama Open Access Indonesia






Rabu, 28 Agustus 2019

Buku Single Pertamaku [RESENSI]


Judul: English:The Legacy of Colonialism and New Form of Imperialism. Sejarah Bahasa Inggris dan Pengaruhnya Terhadap Dunia dan Indonesia

Penulis                     : Aziza Restu Febrianto
Penerbit                    : Penerbit Ernest
Halaman                   : xvi + 203 hlm; 14,9 cm x 21 cm
ISBN                         : 978-602-5640-65-00
Harga Normal           : 69.000 (Belum termasuk Ongkir)
.
Kebanyakan orang mungkin telah familiar dengan sebutan Bahasa Inggris sebagai Bahasa internasional, Bahasa Inggris sebagai Bahasa global atau bahkan Lingua Franca masyarakat dunia. Kita boleh saja percaya akan pernyataan itu ataupun menyanggahnya. Buku ini berusaha memberikan paparan fakta berupa sejarah dan analisa ilmiah tentang bagaimana sebuah bahasa kuno yang awalnya muncul di daratan Jerman utara, berekspansi ke kepulauan Britania dan kemudian secara cepat menyebar luas di seluruh dunia serta menjadi bahasa yang penggunaannya sangat dominan di berbagai bidang sampai sekarang. Buku ini juga secara khusus memaparkan sebuah kajian literatur tentang dominasi dan pengaruh Bahasa Inggris terhadap kebijakan bahasa, kondisi sosiokultural masyarakat dan ekosistem bahasa di Indonesia. Walaupun status Bahasa Inggris adalah asing di Indonesia, pada kenyataannya Bahasa Inggris justru menjadi bagian atau komponen dari berkembangnya identitas Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional serta bahasa lokal lainnya di Indonesia. 
.
Cara pesan : English_Nama_Alamat_Jml_No WA
.
Kirim SMS atau WA ke @penerbiternest 081231632460
.
ATAU
.
Ke penulis melalui IG message, 085815628615 (WA) dan email: restu.febrianto86@gmail.com
.
Versi E-book dapat dipesan melalui tautan berikut: Unduh E-book


What do they say about the book?

“Kemajuan teknologi dan globalisasi saat ini tentu saja semakin memperkokoh posisi Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional. Bagaimana peran Bahasa Inggris di era disrupsi yang sudah ada di depan mata? Semoga buku ini berguna dan mendorong semangat  para pembaca untuk belajar Bahasa Inggris guna mengembangkan ilmu pengetahuan demi kemajuan Indonesia. Selamat membaca!”
Intan Permata Hapsari – Kepala International Office dan Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Semarang.

“Buku yang wajib dibaca! Bagi pelajar, membacanya seperti sedang kuliah Sastra Inggris.”
I Wayan Darya – Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Jakarta dan Alumni MA TESOL University College London, Inggris.

“Bagi kalian yang sedang belajar Bahasa Inggris, nggak afdol kalau ndak paham sejarah tercipta bahasanya. Nah, di buku ini diceritakan detail dengan cara yang nggak ngebosenin tentang sejarah Bahasa Inggris. Buku recommended banget pokoknya, terutama buat para pecinta Bahasa Inggris.”
Susari Anggraeni – Founder Go English Yogyakarta dan Alumni MA TESOL Queen’s University Belfast, Inggris

“Tak kenal maka tak sayang. Begitupula dengan Bahasa Inggris. Buku ini membuat kita akan lebih memahami seluk beluk dan pentingnya Bahasa Internasional ini. Sangat direkomendasikan untuk semua orang yang ingin mempelajari Bahasa Inggris dengan tujuan apapun.”

Siti Nur Fithriyati – Guru di SMPN 3 Barat Laut, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Masters Candidate at University of Nottingham, Inggris. 

Paper Seminar Nasional




FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI TARUNA PENDIDIKAN PELAYARAN DALAM MEMPELAJARI BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA KOMUNIKASI KEMARITIMAN

Aziza Restu Febrianto1, Haryani2
Program Studi KPN, Politeknik Bumi Akpelni
Program Studi Nautika, Politeknik Bumi Akpelni


Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dan menginvestigasi faktor apa saja yang mempengaruhi pencapaian belajar mahasiswa maritim dalam mempelajari Bahasa Inggris. Dalam penerapannya, 26 taruna dari Program studi Nautika dan Teknika Politeknik Bumi AKPELNI terlibat dalam penelitian ini. Pertama mereka diminta untuk mengisi angket terbuka (open-ended questionnaire) yang terdiri atas 10 pertanyaan untuk mencari peserta yang benar-benar representatif. Diantara 26 taruna, akhirnya terpilih 8 peserta yang mengikuti wawancara. Untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan luas, 8 peserta tersebut diminta untuk memberikan penjelasan jawaban yang mereka tulis di dalam angket. Mereka juga diminta untuk memberikan informasi lebih dan berbagi lebih banyak tentang ide, pengalaman, dan cerita mereka melalui wawancara. Keseluruhan cerita yang terekam dalam wawancara ini kemudian dianalisa dengan menggunakan pendekatan “Narrative Inquiry” dan “Critical Discourse Analysis” (CDA). Hasil penelitian ini menunjukkan 4 (empat) faktor kontributif yang mempengaruhi prestasi dan pencapaian taruna dalam belajar Bahasa Inggrs: Latar belakang keluarga, motivasi, keyakinan diri, dan pengalaman belajar. Diantara empat faktor ini, motivasi dan keyakinan diri dianggap menjadi faktor pentng yang paling kontributif.
Kata kunci: Faktor, Prestasi Mahasiswa Pelayaran, Belajar Bahasa Inggris


Paper ini dipresentasikan pada

1st National Seminar on "Kesiapan Dunia Maritim dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0" Oleh Politeknik Bumi Akpelni


Semarang, 24 Agustus 2019


Paper ini dapat diunduh di Unduh Paper Seminar


Buku Kolaborasi 2



KOMPILASI KISAH PARA PEJUANG BEASISWA LPDP merupakan karya emas hasil kolaborasi para penerima beasiswa LPDP alumni Universitas Negeri Semarang (UNNES) dari berbagai angkatan. Beragam kisah para pejuang beasiswa dihadirkan untuk memberikan inspirasi dan rujukan bagi calon penerima beasiswa LPDP. Berbagai latar belakang dan pengalaman yang berbeda para awardee (penerima beasiswa) akan memperkaya khasanah pengetahuan bagi para pembaca untuk sesegera mungkin mempersiapkan diri sebelum mendaftar beasiswa.

Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) merupakan lembaga yang memiliki tanggung jawab langsung kepada Menteri Keuangan dengan berpedoman pada kebijakan Dewan Penyantun yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Ristek-Dikti, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Agama. Beasiswa pendidikan Indonesia LPDP adalah beasiswa favorit bagi para calon Magister dan Doktoral yang akan melanjutkan studi baik dalam negeri maupun luar negeri. Selain pembiayaan studi lanjut, LPDP juga memberikan pelayanan pembiayaan pendanaan penelitian tesis dan disertasi. Pendaftaran beasiswa ini dibuka setiap tahun. Akan tetapi, seleksi yang ketat menjadikan tidak sedikit yang gagal akibat kurangnya persiapan.

Agar berhasil memperoleh beasiswa tersebut, para calon pendaftar perlu mempelajari bagaimana kisah paras penerima beasiswa LPDP. Buku ini mengungkap tentang latar belakang dan pengalaman awardee baik yang kuliah di dalam negeri maupun luar negeri. Buku ini juga berusaha membagikan pengalaman-pengalaman selama mengikuti seleksi maupun menempuh studi. Buku yang anda pegang ini merupakan kumpulan kisah dari 38 awardee LPDP alumni Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang berhasil lolos melanjutkan studi Magister dan Doktoral di dalam maupun di luar negeri.

Editor: Sutiyono dan Retno Purwaningsih



Halaman 114 - 119

Sukses Terbesar dalam Hidupku


*Oleh Aziza Restu Febrianto


Nama saya Aziza Restu Febrianto, biasa dipanggil dengan Restu. Saya lahir di sebuah desa kecil bernama Banyubiru yang terletak di sebelah barat kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Sejak kecil saya banyak belajar hidup dari kedua orang tua saya. Ayah saya yang merupakan seorang petani banyak memberikan keteladanan akan kerja keras dan kesederhanaan. Walaupun hanya menggarap sawah beberapa petak, beliau tidak pernah berhenti mengerjakan aktivitas lain yang positif setiap harinya. Dari pagi hingga sore hari saya tidak pernah melihatnya menganggur kecuali hanya ketika sedang beristirahat siang untuk sebentar saja. Ayah juga tidak pernah menggantungkan diri pada orang lain ketika merasa kesulitan. Alhamdulillah, di usianya yang sekarang lebih dari 60 tahun, beliau masih sehat dan bugar. Pelajaran lain juga aku dapatkan dari ibuku yang berprofesi sebagai guru SD. Ibu mengajari saya akan hidup mandiri dan pentingnya mencari ilmu. Keteladanan mereka inilah yang menjadi modal awal perjalanan hidup saya.

Sejak kecil saya sangat menggemari bahasa dan budaya. Program dan acara musik dan film berbahasa Inggris di TV selalu menjadi pilihan hiburan saya di waktu luang. Saat itu muncul sebuah keinginan untuk suatu saat nanti bisa mengunjungi langsung semua negara berbahasa Inggris di dunia serta mempelajari kebudayaan dan peradabannya. Kemajuan teknologi, inovasi dan kebiasaan berfikir kritis masyarakat Inggris dan Amerika Serikat selalu membuat saya penasaran. Ingin sekali mempelajari bagaimana kehidupan ekonomi, politik dan budaya mereka sehingga bisa sangat mendominasi dunia. Karena alasan inilah saya harus bisa mempelajari Bahasa Inggris dengan sangat tekun dan menjiwainya. Alhamdulillah, berkat dukungan orang tua, saya bisa mengambil kursus Bahasa Inggris sejak SD kelas 6 atau level dasar hingga intermediate ketika kelas 3 SMA. Kecintaan saya akan Bahasa Inggris ini membuat saya terpilih mewakili beberapa lomba tingkat sekolah di kabupaten. Walaupun belum pernah juara..hehe.

Karena ketertarikan saya akan Bahasa, ilmu budaya dan sosial, setelah lulus SMA saya memilih untuk mendaftar kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dengan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Namun karena tidak lulus pada saat tes Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) PTN, akhirnya saya mengambil tawaran kuliah di Universitas Negeri Semarang (UNNES) melalui seleksi universitas. Karena di UNNES tidak ada jurusan komunikasi, akhirnya saya memilih Pendidikan Bahasa Inggris sebagai bidang studi saya. Pada awal perkuliahan di UNNES, saya meyakinkan diri untuk bisa aktif di berbagai macam organisasi internal ataupun eksternal kampus. Selain itu saya juga memilih tinggal di sebuah kos yang penghuninya adalah para aktivis mahasiswa. Dengan begitu saya bisa menjadi semakin bersemangat untuk aktif berorganisasi. Selama di UNNES, saya justru banyak menghabiskan waktu lebih untuk kegiatan organsisasi daripada perkuliahan. Bukan karena saya malas kuliah, tapi karena perkuliahan di kelas tidak berlangsung setiap hari. Banyak pengalaman, pelajaran dan koneksi ketika aktif menjadi pengurus organisasi terutama Kerohanian Islam, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ataupun Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti English Debating Society (EDS) dan organisasi luar kampus seperti Forum Indonesia Muda (FIM). Di sela waktu kesibukan ini, saya juga ingin belajar mandiri dengan bekerja sebagai tutor/ guru les Bahasa Inggris rumahan dan kantor serta mendaftar beasiswa untuk menambah uang saku.

Bagi saya, kesuksesan itu tidak bisa diukur dengan kekayaan atau harta yang kita miliki. Kesuksesan adalah kepuasan batin yang hanya bisa dirasakan oleh hati dan perasaan kita. Ketika kita menemukan kebahagiaan hati, disitulah kita telah memperoleh kesuksesan. Sebagai seorang muslim, saya menyebutnya keberkahan hidup. Kebahagiaan hati sering saya rasakan ketika apa yang saya cita – citakan dan impikan diwujudkan oleh Tuhan. Selama kuliah di UNNES, saya sangat menikmati ilmu yang sedang saya pelajari, sehingga muncul keinginan untuk bisa melanjutkannya ke jenjang S2 dan menjadi dosen setelah lulus nantinya. Karena orang tua tidak bisa membantu dalam hal biaya, saya memutuskan untuk tetap fokus pada kuliah sambil mencoba mencari beasiswa. Sudah ada beberapa macam beasiswa luar negeri yang saya coba seperti Australian Development Scholarship (ADS) yang sekarang namanya Australian Awards Scholarship (AAS), Fulbright dari Amerika Serikat dan New Zealand Asean Scholarship Awards (NZ-AS) dari Selandia Baru. Namun saya belum pernah beruntung untuk diterima pada salah satu dari ketiga beasiswa itu. Sedih sekali rasanya ketika mengetahui bahwa cita-cita saya belum bisa terwujud, tapi saya tidak pernah berputus asa. Dan ternyata memang Tuhan memiliki rencana lain dalam hidup saya. Pada tahun 2011, saya mendaftar program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) angkatan pertama dan Alhamdulillah diterima. Keinginan saya mengikuti program ini adalah agar saya bisa menerapkan ilmu dan keterampilan mengajar yang selama ini saya dapat dari bangku kuliah dan pengalaman kerja di tempat-tempat lain di luar Jawa yang membutuhkan bantuan. Selain bisa menikmati keindahan alam dan keanekaragaman budaya setempat, SM-3T juga memberi saya kesempatan untuk mengasah jiwa sosial saya.  Setelah program SM-3T selesai, saya mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) di UNNES dengan beasiswa. Alhamdulillah, ilmu dan keterampilan mengajar dan mendidik saya semakin bertambah dengan program ini. Pada fase inilah saya merasakan makna akan kesuksesan itu.

Selesai PPG, saya mengajar di sebuah Sekolah Internasional dan Akademi Pelayaran di Semarang sebelum akhirnya mendaftar beasiswa LPDP. Saya sangat berterimakasih kepada LPDP yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa mengenyam pendidikan di luar negeri setelah gagal dengan beasiswa yang lain. Hanya dengan modal Letter of Acceptance (LoA) saja pastinya tidak cukup untuk kuliah tanpa adanya biaya. Melalui beasiswa LPDP, akhirnya saya bisa berkuliah di universitas impian saya, University College London (UCL), Inggris yang merupakan salah satu universitas terbaik di dunia. Selama kuliah disini, saya banyak mendapatkan ilmu dan tugas seabreg tentunya..hehe. Selain ilmu yang didapat dari perkuliahan, sayapun juga mendapatkan wawasan dan pengalaman melalui kegiatan-kegiatan dan organisasi yang saya ikuti seperti komunitas Inggris-Indonesia, The Anglo-Indonesian Society dan Indonesian Scholars Forum (ISF). Karena mulai suka dengan hal yang berbau penelitian (terutama bidang pendidikan), Alhamdulillah, tahun ini kedua paper ilmiah saya diterima untuk bisa dipresentasikan pada dua buah konferensi internasional di Virginia, Amerika Serikat dan Soria, Spanyol. Keikutsertaan saya pada salah satu konferensi itu didanai oleh LPDP. Saya sangat bersyukur bahwa keinginan saya waktu kecil untuk mengunjungi dua negara super power Inggris dan Amerika serikat dan bisa belajar disana akhirnya terwujud. Sekali lagi terimakasih banyak untuk LPDP. Nah, disinilah makna kesuksesan kembali saya rasakan, yaitu mendapatkan kesempatan untuk menambah ilmu, mengasah keterampilan, bersosial dan membangun jaringan. Dengan sikap optimis, kerja keras dan pasrah hanya kepada Tuhan, saya yakin makna kesuksesan akan kembali saya rasakan di masa yang akan datang. Dan yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana kita bisa menjadi orang yang bermanfaat melalui pencapaian-pencapaian kesuksesan yang kita peroleh selama ini. Amin.


Semarang, 28 Agustus 2019


Minggu, 04 Agustus 2019

Guru vs Youtube

Ilustrasi: https://jatimtimes.com


Guru vs Youtube

*Oleh Aziza Restu Febrianto

Setiap jaman selalu menawarkan tantangan yang berbeda. Keadaan manusia di masa kini tentu sangat berbeda dengan masa lalu akibat perubahan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Perubahan ini merupakan sebuah keniscayaan karena manusia selalu ingin mencari dan menemukan berbagai macam cara agar hidupnya semakin menjadi lebih baik dan mudah. Mereka selalu memastikan bahwa semua pekerjaan bisa dilakukan dengan cara efektif dan efisien.

Semua perubahan yang ada tentu saja berimplikasi pada nilai dan tatanan kehidupan manusia yang secara perlahan mulai bergeser. Kebiasaan manusia menjadi berubah. Manusia kemudian cenderung meninggalkan cara-cara lama, yang sudah tidak relevan dan tidak dibutuhkan pada jamannya. Banyak yang menganggap perubahan itu adalah peluang, tapi tidak sedikit pula orang yang merasa takut dan khawatir akan kehadirannya. Salah satu implikasi dari perubahan yang sering membuat orang khawatir adalah dampaknya terhadap dunia pendidikan, terutama bagi anak-anak mereka.

Pada jaman dahulu, orang belajar melalui interaksi tatap muka atau face to face antar anggota keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar (cara konvensional). Mereka yang mempunyai akses terhadap buku bisa belajar dengan referensi yang lebih lengkap. Namun, ketika radio dan televisi (TV) ditemukan, banyak orang kemudian mempunyai sumber belajar baru, yaitu berita dan informasi yang disajikan melalui alat elektronik itu. Akhirnya mereka yang mempunyai radio atau televisi tidak lagi hanya mengandalkan cara lama atau konvensional untuk belajar sesuatu.

Teknologi dan informasi semakin berkembang dari waktu ke waktu, yang kemudian mempengaruhi kebiasaan orang dalam belajar. Terciptanya alat komunikasi seperti Handphone (HP) pada pertengahan abad ke-20 memudahkan orang untuk saling berkomunikasi. Mereka kemudian memanfaatkan alat ini untuk saling bertukar informasi. Untuk mendapatkan pasar dan pelanggan, semua perusahaan HP kemudian saling bersaing untuk merebut perhatian masyarakat. Persaingan inilah yang akhirnya memunculkan inovasi dan perkembangan dunia komunikasi dan informasi hingga saat ini. Berawal dari HP yang dulunya hanya bisa digunakan untuk berkomunikasi saja melalui sinyal radio, berkembang menjadi HP pintar yang terkoneksi dengan internet. Dari jaringan yang bermula dari 0G menjadi 4G atau bahkan 5G, yang membuat koneksi semakin cepat.

HP pintar atau Smartphone yang kita miliki saat ini tentu secara signifikan telah merubah gaya dan kebiasaan orang dalam belajar. Orang yang sebelumnya hanya bisa mengakses internet melalui komputer, sekarang bisa melakukannya hanya dengan menggunakan HP. Saat ini, hampir semua orang termasuk anak-anak dan remaja sering mengakses internet melalui HP. Tidak hanya informasi tertulis di website atau blog yang mereka dapatkan ketika berselancar di internet, tapi juga rekaman suara hingga video berkualitas HD (High Definition).

YouTube adalah salah satu platform media sosial yang menawarkan kesempatan bagi orang untuk mendapatkan informasi dan saling berbagi pengetahuan dalam bentuk video. Siapapun bisa menikmati berbagai macam video atau bahkan berbagi video melalui YouTube. Orang yang suka berbagi video ini biasa dikenal dengan dengan Vloggers. Banyaknya orang yang berbagi video ini akhirnya menjadikan YouTube sebagai satu-satunya media sosial yang paling disukai oleh masyarakat, termasuk para remaja. Sebuah badan peneliti yang berbasis di Amerika Serikat, Pew Research Center tahun lalu telah mengungkap bahwa para remaja usia belasan tahun saat ini lebih tertarik menggunakan YouTube daripada media sosial lainnya.

Untuk kalangan remaja, YouTube ternyata memiliki daya pikat paling kuat diantara media sosial lain seperti Facebook, Instagram, Snapchat ataupun Twitter. Penelitian Pew menunjukkan bahwa 85 persen remaja usia 13-17 lebih senang membuka YouTube. Setelah YouTube, media sosial yang banyak disukai oleh remaja ini adalah Instagram dengan persentase 72 persen. Jumlah remaja yang dulunya menyukai Facebook akhirnya merosot tajam hingga 51 persen saja. Yang mengejutkan adalah mayoritas remaja ini (95 persen) menggunakan semua media sosial itu melalui HP mereka sendiri, atau tanpa bimbingan orang tua.

Menurut studi yang sama, alasan utama para remaja menggunakan YouTube adalah karena platform ini memiliki karakteristik layanan yang sederhana, tapi kaya informasi. Mereka menganggap YouTube adalah model TV yang baru. Namun, berbeda dengan TV, mereka bisa menikmati video apapun yang mereka mau melalui YouTube. Mereka bahkan bisa berbagi informasi dengan mengunggah video yang mereka buat sendiri untuk para penonton lain. Mereka juga bisa mendapatkan penghasilan melalui video itu jika telah ditonton minimal seribu orang atau telah memenuhi persyaratan dari YouTube.

Kegandrungan remaja terhadap YouTube tentu saja memiliki dampak positif dan negatifnya. Namun penulis tidak sedang berfokus pada itu. Yang jelas YouTube telah berperan menjadi sumber belajar sekaligus media berekspresi para generasi muda masa kini. Informasi apapun tersedia disana. Berbagai macam tutorial, presentasi, kuliah ataupun workshop bisa ditemukan disana, bahkan bisa saja langsung dari pakarnya. Video yang bisa dinikmati juga kebanyakan sangat menarik. Yang menjadi pertanyaan, jika para remaja sekarang banyak mengandalkan YouTube sebagai sumber belajar, lalu bagaimanakah peran guru di sekolah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, semua harus kita kembalikan pada hakikat tugas guru dalam pendidikan. Menurut Undang-undang No. 14 Tahun 2005, guru merupakan pendidik profesional yang memiliki tugas utama, yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan formal mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Jadi tugas guru itu banyak sekali, tidak hanya mengajar atau memberikan informasi saja. Semua tugas ini tentu saja tidak bisa dilakukan atau digantikan oleh para Vloggers di YouTube.

YouTube memang menyediakan berbagai macam video informasi yang tentu saja sangat berguna bagi semua orang terutama remaja. Video informasi itu bahkan bisa diakses kapanpun sesuai dengan kebutuhan. Bukan searah atau satu sudut pandang seperti TV. Namun, pada kenyataannya YouTube tetap tidak bisa menggantikan peran guru di kelas. Ada banyak peran yang ternyata tidak bisa diambil alih oleh platform media sosial itu. Misalnya, dalam proses pembelajaran, ketika siswa sudah memperoleh pengetahuan, mereka kemudian diberikan tugas untuk mengasah kemampuan dan keterampilan. Kegiatan ini tentu memerlukan bimbingan dan evaluasi yang tidak bisa diberikan oleh YouTube. Ketika mendapatkan masalah, siswa juga memerlukan seseorang untuk bertanya dan berkonsultasi. Guru kemudian memberikan masukan dan feedback sesuai dengan kebutuhan siswa. Hanya guru kelaslah yang bisa melakukan ini.

Yang jadi masalah sebenarnya bukanlah peran guru kelas yang bisa saja tergantikan oleh YouTube, tapi gap informasi antara yang disampaikan oleh guru dengan yang diberikan oleh para vloggers. Siswa yang sering menonton video dari YouTube tentu memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Siswa itu akhirnya menemukan gurunya sendiri di internet. Guru mereka itu bahkan bisa banyak, atau bahkan adalah pakar di bidangnya. Dengan kebiasaan menonton YouTube ini, sangat mungkin sekali jika pengetahuan yang dimiliki oleh siswa itu menjadi lebih banyak dan akurat daripada gurunya. Pengetahuan mereka itu juga bisa lebih up to date atau aktual daripada yang dimiliki oleh gurunya.

Ada beberapa sikap yang seharusnya dimiliki oleh guru dalam menghadapi para generasi milenial semacam itu di kelas. Pertama, guru harus sadar bahwa luasnya wawasan dan keakuratan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa melalui berbagai sumber di internet itu merupakan sesuatu hal yang wajar, karena mereka tumbuh di jaman yang penuh dengan informasi. Wawasan yang dimiliki oleh siswa seharusnya tidak dianggap sebagai suatu ancaman bagi guru. Para guru seharusnya justru bahagia dan bangga melihat siswanya pintar. Mereka hendaknya juga senang melihat siswanya yang suka berdebat, mengkritik atau bahkan menguji kemampuan gurunya. Bukan malah merasa terancam.
Yang kedua, keberadaan YouTube merupakan sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. YouTube harusnya dianggap sebagai salah satu sumber dan media pembelajaran di kelas. Banyak hal menarik yang bisa guru manfaatkan untuk mendukung pembelajarannya di kelas. Misalnya, mereka bisa memakai lagu, film pendek atau permainan yang tersedia di YouTube untuk mengajar agar siswa mereka senang mengikuti pembelajarannya.

Agar tidak tertinggal oleh siswanya, guru hendaknya juga selalu memperbarui pengetahuannya melalui berbagai macam konten terkini yang ada di YouTube. Jika ingin bisa dekat dan diterima oleh siswanya di kelas, guru tentu juga harus mengetahui kehidupan mereka. Untuk itu, guru perlu tahu kebiasaan para siswanya. Kalau perlu, mereka bisa menonton video-video yang biasanya disukai oleh siswanya itu. Mereka kemudian merancang dan menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan siswa. Dengan demikian, mereka bisa lebih mudah mengatur para peserta didiknya itu di kelas.

YouTube faktanya telah menjadi sebuah platform media sosial yang paling berpengaruh di masa kini. Di masa depan, YouTube bisa diprediksi akan mengalami banyak perubahan. Teknologi informasi dan komunikasi akan selalu berkembang di masa yang akan datang, memberikan tantangan baru lagi bagi para generasi yang baru. Oleh karena itu, kita hendaknya menjadikan YouTube dan internet sebagai rekan kita, bukan sebagai ancaman. Yang kita perlukan hanyalah mengatur dan mengontrol penggunaannya untuk kebaikan bersama, termasuk pendidikan.

Artikel ini pernah dimuat di kompasiana: 

Jumat, 26 Juli 2019

Refleksi Kegagalan Tahun 2019



*Aziza Restu Febrianto

Kali ini saya ingin menulis sebuah refleksi tentang kegagalan dalam hidup saya. Mungkin banyak orang malu untuk menceritakannya. Tetapi tidak bagi saya karena menurut saya, cerita kegagalan itu justru lebih inspiratif daripada cerita kesuksesan. Menulis refleksi ini membuat saya seolah-olah flashback ke masa lalu, ketika saya baru saja menyelesaikan pendidikan S1. Dengan berbekal ijazah resmi di tangan dan beberapa sertifikat penunjang lainnya, saya melamar di berbagai macam universitas dan berharap untuk menjadi dosen pada salah satu institusi yang saya lamar. Saat itu sarjana atau lulusan pendidikan S1 masih memiliki peluang banyak untuk menjadi dosen. Karena begitu banyaknya universitas yang saya lamar waktu itu, saya sampai lupa berapa jumlah pastinya. Prinsip saya ketika itu adalah terus berusaha menyebarkan jejaring pancing, siapa tahu dari jaring dengan kail yang saya lepaskan ke berbagai kolam itu dapat menarik perhatian salah satu ikan (kampus).

Pada hari ini, hari ketika saya mendapatkan informasi akan kegagalan saya yang masih hangat di kepala (tidak lolosnya saya pada Tes Potensi Akademik (TPA) dalam rangka seleksi dosen di UII Yogyakarta), saya merasakan bahwa sejarah itu terulang kembali. Sejarah rangkaian kegagalan pada tahun 2009 silam dengan peristiwa yang terjadi pada saya saat ini, di tahun 2019, atau 10 tahun kemudian. Keadaan inilah yang membuat saya berfikir keras, yang akhirnya berakhir pada tulisan refleksi dan evaluasi ini.

Setelah menyelesaikan studi Master (S2) dari salah satu universitas bergengsi di Inggris, saya tentu memiliki impian yang sangat ideal dan rencana yang baik ketika kelak kembali ke tanah air. Beberapa impian saya yang pernah saya tulis adalah bekerja sebagai dosen pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di sebuah universitas, mempublikasikan karya ilmiah pada jurnal terindeks internasional, dan menerbitkan buku. Apa yang saya lakukan ini persis sama seperti ketika saya lulus S1 dulu, yang pastinya juga mempunyai impian. Impian saya pada waktu itu adalah menjadi seorang dosen di sebuah universitas dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 di luar negeri.

Realitanya, semua impian dan rencana itu ternyata hanya berujung menjadi kenangan. Setelah lulus S1, saya tidak bisa menjadi dosen dan tidak juga mendapatkan beasiswa untuk S2. Memang sebenarnya ada salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja yang sempat menerima saya setelah melalui beberapa tahapan seleksi. Namun karena pertimbangan gaji yang ternyata tidak mencukupi untuk bertahan hidup di Jogja, saya kemudian memutuskan untuk tidak mengambilnya. Sebuah perguruan tinggi swasta di Madiun juga sempat memanggil saya untuk mengikuti ujian seleksi dosen. Waktu itu saya dinyatakan diterima dan bahkan diberitahu mata kuliah apa saja yang akan saya ampu. Hanya saja pada saat mendekati semester baru tiba, saya tidak pernah dihubungi atau diundang oleh pihak kampus untuk koordinasi. Dan setelah saya meminta klarifikasi, saya justru dinyatakan tidak memenuhi syarat karena alasan belum memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Dalam hati saya berkata, bagaimana saya bisa mempunyai NIDN kalau mengajar di kampus saja belum pernah. Justru saya ingin mengajar di kampus itu agar bisa mendapatkan NIDN.

Menyadari akan keinginan, impian dan rencana yang tidak terealisasi, saya tidak punya pilihan lain selain harus berkompromi dengan keadaan. Akhirnya saya memilih untuk tetap bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar di kota kecil Salatiga dan mendaftar CPNS guru. Waktu itu peluang lulusan S1 Pendidikan hanya bisa mendaftar CPNS keguruan atau instrukur di institusi pemerintahan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi saya untuk mendaftar dosen yang mensyaratkan pendidikan minimal S2. Sejak lulus S1, jika dihitung, saya telah mengikuti ujian dan seleksi CPNS selama 5 kali di tempat yang berbeda. Dan sayangnya semua juga berakhir pada kegagalan. Selain CPNS, saya juga sudah beberapa kali mencoba peruntungan dengan mendaftar beberapa beasiswa luar negeri untuk mengejar impian saya yang kedua. Namun itu semua juga berakhir pada kegagalan. Moving on dari rangkaian kegagalan yang saya alami, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar seleksi program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T) pada akhir tahun 2011. Namun, niat saya mendaftar program itu bukanlah karena panggilan hati untuk menjadi guru, akan tapi hanya ingin mencari pengalaman dan wawasan saja.

Selesai program SM-3T, sayapun mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama satu tahun melalui beasiswa sebagai program lanjutan. Memang pendidikan dan pelatihan yang saya dapatkan melalui PPG sempat membentuk pola pikir dan jati diri saya untuk bekerja di dunia keguruan. Namun, semuanya tetap tidak bisa merubah impian saya, yaitu bekerja sebagai dosen di bidang pendidikan, bukan sebagai guru di sekolah. Sehingga setelah lulus PPG, sambil bekerja sebagai guru di sekolah internasional, saya juga mempersiapkan semua persyaratan untuk mendaftar beasiswa. Saat itu kesempatan yang sangat terbuka dan lebih terukur adalah mendaftar beasiswa LPDP. Karena syarat untuk menjadi dosen harus berpendidikan minimal S2 dan syarat untuk mendaftar LPDP juga tidak terlalu rumit, akhirnya sayapun memutuskan untuk fokus mempersiapkan beasiswa itu dengan serius.

Kegagalan pasca lulus S1 tahun 2009
  1. Gagal menjadi dosen di Bina Sarana Informatika (BSI) cabang Yogyakarta
  2. Gagal menjadi dosen di IKIP PGRI Madiun (sekarang UNIPMA)
  3. Gagal menjadi dosen di beberapa universitas lain di Madiun, Yogyakarta, Solo, dan Semarang
  4. Gagal menjadi guru PNS di Kab. Ngawi
  5. Gagal menjadi PNS di Kementerian Keuangan
  6. Gagal menjadi PNS di Pemprov. Yogyakarta
  7. Gagal menjadi guru PNS di Kementerian Agama
  8. Gagal menjadi guru PNS di Kab. Blora
  9. Gagal seleksi 3 beasiswa luar negeri: Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat
  10. Gagal menjadi peserta China Youth Exchange Program


Kegagalan pasca lulus S2 tahun 2017
  1.  Gagal publikasi karya ilmiah internasional
  2. Gagal menjadi dosen di UNAIR Surabaya
  3. Gagal menjadi peserta Future Leaders Connect di Inggris
  4. Gagal menjadi dosen di IAIN Kediri
  5. Gagal menjadi dosen di UNTIDAR Magelang (CPNS)
  6. Gagal menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Magelang
  7. Gagal menjadi dosen di UII Yogyakarta

Belajar dari seluruh kegagalan yang pernah saya alami selama ikhtiar mencari jalan impian, ada beberapa hal yang menjadi benang merah. Dan semoga menjadi evaluasi dan pelajaran bagi saya untuk menjalani kehidupan yang lebih baik kedepannya.
  • Karena sejak SD saya tidak menyukai pelajaran yang berbau hitung-hitungan dan Matematika, komponen seleksi yang menjadi sandungan saya dalam berikhtiar adalah tes Numerik. Bahkan jenis soal inilah yang membuat saya tidak lolos SNMPTN pada saat mendaftar Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit saya dulu. Mengejar ketertinggalan dalam jenis soal ini tentu tidak mudah bagi saya. Saya harus bekerja jauh lebih keras dari sebelumnya. Padahal disisi lain saya harus disibukkan dengan pekerjaan sehari-hari juga.
  • Khusus untuk seleksi pendaftaran program SM-3T dan beasiswa LPDP, saya waktu itu hanya merasa beruntung saja. Pada saat itu seleksi kedua jenis program ini tidak terlalu menekankan ujian intelejensia umum, yang meliputi bidang Numerik. Saya memang mengikuti tes intelejensia saat mendaftar program SM-3T, hanya saja standar atau tingkat kesulitannya menurut saya sangatlah berbeda dengan ujian serupa yang pernah saya ikuti sebelumnya. Sedangkan ujian semacam itu tidak saya temukan dalam proses seleksi beasiswa LPDP saat itu.
  • Sandungan ujian Numerik ini akan terus menghantui saya selama proses pengembangan profesi saya kedepan. Misalnya, untuk mendapatkan status sebagai dosen resmi, saya harus mengurus NIDN, yang syaratnya adalah TPA, yang terdiri atas subtes Numerik dengan skor minimal 550. Padahal untuk saat ini, skor saya masih pada tataran 450 (TPA UII 2019) atau masih jauh dari standar minimal.
  • Yang bisa saya lakukan saat ini mungkin hanyalah berlatih sekeras mungkin soal-soal ujian numerik yang sering keluar di TPA. Saya memang tidak tahu peluang seperti apa yang bisa saya ambil kedepan untuk menjadi dosen. Yang jelas syarat pertama untuk mendapatkan NIDN harus terpenuhi, yaitu lulus ujian TPA.
  • Dengan status saya yang saat ini sebagai dosen tidak tetap di sebuah Politeknik Pelayaran swasta di Semarang, suatu saat saya mungkin akan menemui jalan yang lebih mudah. Tapi juga belum tentu, karena semua tergantung pada peluang dan kondisi yang ada. Sehingga saya memang tidak punya pilihan lain selain mencoba peruntungan pada setiap adanya peluang yang datang. Apalagi bekerja menjadi dosen di Politeknik Pelayaran bukanlah impian saya yang sebenarnya. Bidang pelayaran sudah sangat jelas bukanlah dunia saya. I don’t think I belong there. Keinginan saya tetap sama sedari dulu, yaitu menjadi dosen profesional di bidang pendidikan, karena pertimbangan pengalaman saya yang telah lama menjadi guru di sekolah.
  • Jika semua rencana itu tidak terealisasi, saya juga harus mempersiapkan rencana kedua. Rencana kedua ini tentu saja harus realistis. Saya harus selalu mengambil hikmah dari semua kejadian yang saya alami. Hakikat dan esensi hidup yang sesungguhnya sebenarnya adalah mencari rezeki dan ilmu yang berkah. Semuanya itu dicari dengan usaha yang keras dan jujur tanpa membuat orang lain tidak nyaman. Bahkan kalau bisa kita justru harus selalu berbuat baik kepada orang lain. Jika kita kembalikan pada esensi hidup semacam itu, maka kita tidak akan terjebak pada pandangan yang sempit tentang impian kita. Jika saya belum bisa mendapatkan apa yang saya impikan selama ini (menjadi dosen di bidang pendidikan), maka kenapa saya tidak fokus pada yang lain saja.
  • Profesi dosen itu adalah status. Dosen bekerja dengan melaksanakan Tri Dharma Perguruan tinggi. Sehingga tugasnya tidak hanya mengajar saja, namun juga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tapi terkadang kenyataannya tidak semua dosen mampu melaksanakannya secara seimbang. Misalnya seperti ini, ketika mereka mendapatkan banyak tugas kampus misalnya mengajar kelas yang banyak, tugas administrasi dan membimbing mahasiswa dalam tugas akhir, maka sudah tentu konsekuensinya mereka tidak akan mempunyai banyak waktu untuk melakukan penelitian dan menulis. Dan yang perlu diingat, penelitian dan menulis adalah aktivitas yang tidak terpisahkan. Selain itu keduanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga dosen yang terlanjur terjebak pada rutinitas mengajar dan kegiatan administrasi lainnya, sudah jelas tidak akan bisa berkembang, kecuali bagi mereka yang memiliki komitmen dan passion yang kuat. Sehingga bisa lihai dalam membagi waktu. Seharusnya saya bersyukur, dengan belum memiliki NIDN, saya berarti belum terikat penuh dengan peraturan tugas tersebut. Sehingga saya bisa melakukan banyak hal untuk mengembangkan diri secara bebas. Salah satunya adalah menulis dan berkarya. 
  • Banyak hal besar yang ternyata bisa kita lakukan tanpa harus menjadi dosen. Jika dulu guru dan dosen merupakan orang yang banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan pola pikir orang, sepertinya sekarang sudah bergeser. Karena perkembangan teknologi, siapapun bisa menjadi influencer. Dengan kreativitas dan komitmen, orang bisa menjadi Youtuber dan content creator yang tentu lebih digemari oleh banyak orang dibandingkan mereka yang hanya menampilkan diri di dalam ruang kelas.  Buku-buku populer yang lebih membahas tentang kehidupan manusia secara praktis dan cerita fiksi lainnya juga sepertinya jauh lebih menarik dibandingkan dengan jurnal, karya ilmiah atau buku akademik karangan dosen.
  • Untuk mengembangkan diri, kita juga tidak harus berprofesi sebagai dosen. Asalkan kita selalu memiliki rasa penasaran, gairah dan semangat dalam mencari ilmu, kita pasti bisa memiliki wawasan yang luas dan pola pikir yang baik. Jaman sekarang ilmu pengetahuan itu bisa dicari dimana saja melalui internet. Bahkan banyak sekali diantaranya yang bisa kita dapatkan secara gratis.

Kesimpulannya, menjadi dosen mungkin harus dan tetap diupayakan karena memang sudah menjadi impian. Memiliki pengakuan dan NIDN juga pasti akan memudahkan saya untuk melangkah lebih jauh kedepan dalam berkarir. Bahkan untuk mendapatkan beasiswa S3 pun, kepemilikan NIDN bisa sangat membantu sekali. Namun, jika semuanya belum tercapai, ya tidak masalah. Banyak hal yang bisa saya lakukan tanpa harus menjadi dosen ber-NIDN. Tetap fokus saja pada bidang yang saya tekuni (dunia pendidikan), tapi juga tidak menutup kemungkinan untuk selalu kreatif, inovatif dan inisiatif untuk terus berkarya. Tujuan akhirnya adalah bisa menjadi seseorang yang bermanfaat dan tauladan bagi banyak orang.

Karena yang bisa saya lakukan saat ini selain mengajar adalah menulis, saya ingin bisa menulis banyak buku dan artikel, baik tentang bidang yang saya tekuni, sejarah atau topik-topik sosial kekinian (kontemporer). Karya tulis itu tidak harus bersifat akademis. Justru tulisan populer kenyataannya jauh lebih menarik hati banyak orang. Penerbit juga banyak sekali, baik mayor maupun indie.  Kitapun juga bisa menerbitkan buku sendiri secara online tanpa harus publikasi melalui penerbit tertentu. Jaman sekarang, pembaca itu tidak terlalu peduli akan buku itu diterbitkan oleh siapa dan didapatkan dari mana. Karena sekarang buku itu tidak hanya dicari di toko buku saja, tapi tersebar di seluruh jagad raya internet. Yang paling penting adalah judul dan kontennya itu menarik.


“Saya yakin dengan terus berkarya pada bidang yang kita sukai dan tekuni, suatu hari nanti pasti akan ada jalan terang yang membawa kita menuju tujuan akhir impian kita.”




Semarang, 23 Juli 2019