Rabu, 30 Januari 2019

Being a Teacher (Bagian 2) - Serangkaian Refleksi


Terpaksa Memilih

*Aziza Restu Febrianto

Saya kemudian sadar bahwa bakat, keterampilan dan pengalaman saja sebenarnya tidaklah cukup untuk dijadikan sebagai alasan dasar memilih jurusan untuk kuliah. Waktu itu saya sudah paham bahwa pertimbangan selain faktor bakat dan keterampilan adalah prospek kerja. Artinya bagaimana pilihan jurusan yang saya ambil itu kedepan akan memudahkan saya untuk mendapatkan pekerjaan. Setelah merenung cukup lama, akhirnya saya memilih jurusan Ilmu Komunikasi di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta dengan pertimbangan ketertarikan saya di bidang bahasa serta lokasi kampus yang tidak terlalu jauh dari rumah. Selain itu jika dilihat dari prospek untuk mendapatkan pekerjaan, lulusan jurusan ini bisa bekerja di berbagai macam bidang, seperti wartawan, pembawa acara, atau humas di berbagai macam perusahaan.

Setelah pengumunan kelulusan SMA, saya memutuskan pergi ke kota Yogyakarta untuk mengambil les bimbingan belajar dalam rangka mempersiapkan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN). Ketika mengikuti SMPTN, untuk pilihan kedua, keputusan saya jatuh pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Alasan memilih jurusan ini tentunya karena bekal keterampilan dan minat. Beberapa minggu setelah mengikuti seleksi, hasilnyapun diumumkan. Namun, ternyata saya tidak lulus. Sedih sekali rasanya karena semua usaha yang sudah saya lakukan ternyata sia-sia.

Singkat cerita, saya akhirnya mendaftar di sebuah PTS terkenal di Surakarta. Namun, beberapa hari kemudian, saya mendapatkan informasi bahwa sebuah kampus negeri di Semarang, yaitu Universitas Negeri Semarang (UNNES) masih memberikan peluang bagi lulusan SMA yang tidak lulus SMPTN untuk mendaftar. Mendengar kabar tersebut, saya langsung berkonsultasi dengan ibu. Tentu saja beliau sangat senang mendengarnya dan mendukung saya untuk mendaftar. Beliau meminta saya untuk pindah kuliah ke UNNES. Seperti biasa, saya mengikuti proses seleksi masuk UNNES, dan alhamdulillah kemudian diterima pada jurusan yang sama, Pendidkan Bahasa Inggris. Ibu saya terlihat sangat bahagia sekali mendengarnya.

Ibu saya sebenarnya memang sudah sangat berharap bahwa saya mengambil kuliah di bidang pendidikan dan keguruan. Dalam benak ibu, pekerjaan guru itu mulia dan penuh dengan ladang ibadah. Selain itu beliau juga sangat mewanti-wanti anaknya untuk tidak bekerja di bank atau menjadi polisi karena menurut beliau, pekerjaan itu kurang bisa membawa keberkahan. Namun pemikiran ibu sangat berbeda dengan bapak yang justru mendorong saya masuk polisi. Bapak sebenarnya sangat menginginkan anaknya untuk bisa diterima di pendidikan militer seperti tentara (TNI), polisi atau pendidikan semi militer ikatan dinas lainnya seperti IPDN. Keinginan bapak itu bisa dipahami karena memang menjadi tentara adalah cita-cita beliau sejak masih muda dulu. Namun ketika mengikuti seleksi, beliau selalu gagal dan akhirnya memutuskan untuk menjadi petani sampai sekarang.

Latar belakang orang tua saya (ibu: guru dan bapak:petani) tentu sangat mempengaruhi pola pikir dan keputusan mereka mendukung apa yang sudah menjadi takdir saya waktu itu: berkuliah di bidang keguruan. Saya harus menyadari bahwa mereka memang belum memiliki wawasan yang luas tentang lapangan kerja, yang sebenarnya sangatlah luas: tidak harus menjadi guru ataupun pegawai PNS. Mungkin mereka berfikiran bahwa guru atau pegawai PNS adalah salah satu pekerjaan yang paling aman. Menurut mereka setelah menjalani pendidikan guru, saya sudah dipastikan akan diangkat sebagai pegawai negeri seperti halnya lulusan sekolah kedinasan lainnya. Yang jelas pola pikir mereka masih sama dengan kebanyakan orang lain di kampung, yang masih berfikiran bahwa pekerjaan yang paling layak itu ya Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Walaupun jurusan kuliah tidak sesuai dengan harapan, saya harus tetap menjalaninya. Dukungan orang tua dan biaya kuliah yang lebih murah dibandingkan dengan kampus swasta adalah energi terbesar saya untuk tetap move on. Saya masih ingat kata-kata ibu ketika saya mengatakan sedikit keraguan padanya,

Ibu wis manteb le yen awakmu kuliah ning UNNES. Aku ngerti kowe ki duwe bakat ngajar. Kowe iki anak ibu sing ketok’e iso ngayomi lan mbimbing. Kampuse yo negeri. Mengko lak gampang golek gawean.” (dalam Bahasa Jawa)
Dalam Bahasa Indonesia kira-kira seperti ini artinya:
“Ibu sudah mantab nak kalau kamu kuliah di UNNES. Aku mengerti kalau kamu itu punya bakat mengajar. Kamu ini anak ibu yang kelihatannya bisa mengayomi dan membimbing. Kampusnya itu juga negeri. Nanti pasti gampang mencari pekerjaan.”

Sepertinya ibu merasa lebih bangga jika saya kuliah di kampus negeri daripada swasta. Beliau juga berkeyakinan bahwa lulusan PTN tentu lebih dipandang dan dihargai di tempat kerja. Bahkan beliau tidak segan-segan mengantar saya pada saat pendaftaran ulang di Semarang waktu itu. Sekali lagi... pola pikir ibu tentang ini juga sama saja dengan kebanyakan orang di Indonesia. 

Bersambung......(Bagian 3)

Selasa, 29 Januari 2019

Being a Teacher (Bagian 1) - Serangkaian Refleksi


Bagiku, mengajar itu.....

*Aziza Restu Febrianto

Perjalanan hidup membuat pola pikir dan persepsi saya tentang mengajar selalu berubah dan berkembang. Ketika masih di bangku sekolah, saya melihat mengajar adalah sebuah profesi yang tidak menarik. Saya masih ingat ketika seorang guru saya di kelas bertanya tentang cita-cita pada saat pembelajaran di kelas, tidak satupun dari kita yang ingin bercita-cita menjadi guru. Bagi saya dan teman-teman di kelas, pekerjaan guru itu sangat melelahkan. Seorang guru dituntut untuk bisa mengurus dan membimbing anak didik yang jumlahnya antara 20 sampai 45 di kelas. Waktu itu saya belum memahami bahwa guru itu tidak hanya memiliki tanggung jawab dalam mengajar, tapi juga mendidik. Tapi melihat tugas dan kegiatannya, saat itu saya sudah paham dan tahu akan beratnya pekerjaan guru itu. Sehingga saya enggan angkat tangan ketika ditanya siapa yang ingin menjadi guru.

Fase kehidupan pasca sekolah dan semasa kuliah membuat saya belajar banyak, baik secara teori maupun praktik tentang makna mengajar yang sebenarnya. Tapi pada fase ini belum bisa dijadikan sebagai kesimpulan akhir pandangan saya karena semua terus berubah seiring dengan perjalanan karir saya. Fase pasca kuliah juga cukup kompleks hingga pernah sampai pada satu titik saya merasa menjadi guru itu berat, membosankan dan kurang dihargai, sehingga membuat saya berganti profesi dan pekerjaan.

Masa pencarian
Setelah lulus SMA, saya benar-benar tidak tahu arah tujuan saya mau kemana ... Saya masih bingung tentang cita-cita dan menjadi seperti apa saya kelak. Saya masih ingat akan usaha saya untuk bisa masuk jurusan IPA dengan mengambil les kesana kemari. Namun nilai saya tetap saja tidak memenuhi standar untuk bisa masuk jurusan favorit itu. Tentu saja keputusan akhir saya jatuh ke IPS. Bagi saya, motivasi dan upaya untuk bisa masuk ke jurusan IPA waktu itu adalah cita-cita yang tinggi dan pekerjaan yang menurut orang-orang kampung keren atau entah seperti apa itu walaupun akhirnya saya sadar bahwa apa yang saya lakukan saat itu hanyalah ikut-ikutan trend. Sepertinya kebanyakan orang berfikiran bahwa jurusan IPA adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Proses ini malah justru membuat saya bingung, kehilangan jati diri dan berjalan tanpa arah yang jelas.

Dalam kebingungan ini, ketika harus dihadapkan untuk memilih jurusan kuiliah, hanya dua pertanyaan yang terbesit dalam pikiran: apa yang saya suka dan paling bisa lakukan. Untuk menentukan bidang jurusan kuliah yang benar-benar saya tekuni, saya harus bisa menjawab dua pertanyaan itu terlebih dahulu. Saya suka sekali dengan Bahasa asing, dan kemampuan saya bisa dikatakan lebih baik diantara teman-teman saya di kelas. Mereka juga menganggap bahwa saya pintar dalam Bahasa Inggris. Pengalaman yang paling berkesan adalah ketika saya di SMP, guru Bahasa Inggris saya, yang bisa dibilang guru senior, bilang bahwa saya pintar dalam Bahasa Inggris dan selalu memberi saya nilai 9. Beliau tidak segan memuji saya di depan kelas dan terkadang memberi saya uang jajan. Saya juga pernah diminta mengerjakan semua soal Bahasa Inggris di depan kelas dengan jawaban yang benar semua. Alasannya adalah karena semua teman kelas saya tidak bisa mengerjakan itu. Beginilah kira-kira pujian dari beliau yang tidak akan pernah saya lupa:

“Masa dari tadi Aziza terus yang bisa menjawab soal. Yang lain gimana ini?. Aziza, kamu itu pinter lho. Kenapa masuk di kelas D, gak di kelas A saja?”
Di SMP saya dulu, siswa memang dibagi menjadi 7 kelas (A s/d G) dan pembagiannya diurutkan berdasarkan prestasi akademik secara keseluruhan pelajaran dari yang paling bagus. Waktu itu saya ditempatkan di kelas D (ya..kelas menengah lah..hehe) berdasarkan nilai ujian sekolah waktu SD. Tentu saja kelas A berisi siswa yang prestasi akademiknya paling bagus sewaktu SD. Namun saya tidak berkecil hati karena masuk ke SMP ini saja sudah sangat susah. Saya bersyukur bisa diterima di sekolah ini, sehingga bisa berteman dengan siswa lain yang jauh lebih pintar dari saya.


Pengalaman berkesan yang saya dapatkan selama SMP ternyata berlanjut di SMA dengan ditunjuknya saya untuk mengikuti lomba pidato Bahasa Inggris tingkat sekolah. Semua pengalaman inilah yang akhirnya menjadi salah satu pertimbangan penting untuk memilih jurusan kuliah. Selain bidang Bahasa Inggris, ternyata saya juga mendapatkan pengalaman yang sama di bidang lain yang mana saya juga menonjol, yaitu kesenian. Banyak orang bilang saya berbakat di bidang musik dan lukis. Beberapa teman sering meminta saya untuk membuat gambar dan lukisan waktu sekolah dulu. Pernah suatu ketika saya iseng melukis seorang pemain sepak bola terkenal diatas kanvas, dan lukisan itu ternyata sampai sekarang dipajang di ruang guru SMA saya. Saya juga pernah mewakili kelas mengikuti lomba karaoke dan mendapat juara 4 waktu itu. Sehingga saya sempat berfikir bahwa mungkin jurusan yang cocok buat saya adalah kesenian dan budaya. 

Bersambung....(Bagian 2)