Senin, 28 Oktober 2019

Mutu Pendidikan Daerah 3T Belum Baik, Salah Siapa?

Gambar: https://news.okezone.com

Oleh Aziza Restu Febrianto 

Kondisi pendidikan di daerah 3T memang selalu menjadi topik perbincangan yang menarik oleh banyak pihak dan media massa karena kondisinya yang memang masih jauh berbeda dari daerah lainnya di Indonesia.  Ketika menjadi seorang guru di sebuah sekolah terpencil di pulau Flores melalui program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T) pada tahun 2012 silam, penulis merasakan betul bagaimana kondisi dan keterbatasan hidup yang dialami oleh masyarakat setempat termasuk para siswanya. Penulis melihat masih begitu banyak desa bahkan kecamatan yang belum mendapatkan akses aliran listrik, sinyal komunikasi telepon dan pastinya jaringan internet. Keterbatasan fasilitas dan prasarana umum ini tentu saja sangat menghambat segala aktivitas pembelajaran terutama para generasi muda di daerah tersebut. Akses distribusi fasilitas dan perangkat penunjang pembelajaran seperti buku, alat peraga dan komputer akhirnya juga menjadi terhambat. Kondisi ini ternyata masih belum banyak berubah ketika penulis melakukan penelitian untuk disertasi studi S-2nya tentang pendidikan di daerah ini pada akhir tahun 2017 yang lalu. Kemudian ketika penulis melakukan wawancara dengan beberapa rekannya yang merupakan guru PNS program Guru Garis Depan (GGD), kondisi itu juga masih belum begitu membaik secara signifikan di tahun 2019 ini.

Tantangan Geografis dan Demografis

Secara geografis dan demografis, Indonesia merupakan salah satu negara paling besar di dunia dengan kepulauan dan lautnya yang membentang luas dari Sabang hingga Merauke. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa, dan sekarang meningkat menjadi sekitar 265 juta jiwa (Bappenas, 2018). Jumlah ini membuat Indonesia menempati peringkat ke-4 dari negara yang paling banyak penduduknya. Selain jumlah penduduk yang besar, komposisi masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai macam suku dan etnis yang memiliki keragaman budaya dan adat istiadat. Seorang peneliti Australia, Graeme Hugo (2015), dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “The Demography of Race in Indonesia,” menyebutkan bahwa Indonesia dihuni oleh lebih dari 300 jenis suku dengan 700 bahasa daerah yang berbeda-beda. Melihat luasnya wilayah serta jumlah populasi yang besar dan beragam ini, tantangan terbesar bangsa Indonesia kemudian adalah memastikan bahwa semua warga negaranya dapat menikmati pembangunan termasuk pendidikan secara merata di seluruh wilayah kepulauan yang terpisah-pisah di nusantara, karena memang merupakan sebuah amanah konstitusi. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 45 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pasal ini kemudian dijelaskan secara lebih rinci dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003.

Fakta demografis lainnya menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia dan perekonomiannya masih terpusat di pulau Jawa, terbukti dengan banyaknya kota-kota besar disana. Hugo (2015) menyebutkan bahwa persebaran penduduk Indonesia itu tidak merata, dan lebih dari setengahnya tinggal di wilayah yang dia sebut sebagai “Inner Indonesia,” seperti Jawa, Madura dan Bali. BPS (2010) juga menunjukkan data yang sama, yaitu sekitar 51% penduduk di Indonesia hidup di daerah perkotaan, sedangkan 49% sisanya tersebar di berbagai pulau, termasuk pulau-pulau kecil yang terpencil dan tertinggal. Kondisi demografis yang tidak merata seperti ini terbukti telah membuat pemerintah mengalami kesulitan dalam merealisasikan semua program-programnya, terutama dalam hal pemerataan kualitas pendidikan. Beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia, Australian Development Bank (ADB) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pada tahun 2017, melaporkan secara khusus bahwa di bidang pendidikan, Indonesia memang sedang menghadapi tantangan yang serius terutama dalam hal ketimpangan dan kesenjangan kualitas pendidikan antara di daerah perkotaan dengan pedesaan.

Ketimpangan dan kesenjangan kualitas pendidikan ini utamanya disebabkan oleh infrastruktur yang terbatas dan jumlah distribusi tenaga pendidik yang tidak merata. Menurut Bank Dunia (2017), rasio rata-rata guru dan siswa di perkotaan  sebenarnya sudah sangat ideal, yaitu 1:17. Namun rasio ini jauh berbeda dengan sekolah-sekolah di daerah tertinggal, yang sebaliknya justru mengalami kekurangan guru. Para peneliti pendidikan seperti Heyward, dkk (2017) dalam studi mereka tentang Indonesia, melaporkan bahwa banyak sekali siswa khususnya di daerah miskin dan marginal di Indonesia diajar oleh guru yang tidak berkualifikasi atau memiliki ijazah yang tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Informasi ini senada dengan pernyataan ketua PGRI, Sulistyo  melalui lembaga Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia (2015) bahwa jumlah guru di daerah perkotaan mengalami surplus, sedangkan sekolah di wilayah pedesaan masih membutuhkan sekitar 520 ribu guru. Dari informasi tersebut, bisa disimpulkan bahwa akar ketimpangan jumlah guru ini disebabkan oleh kondisi dimana para guru terutama yang berkualitas menumpuk di daerah perkotaan. Jika kualitas pendidikan di daerah pedesaan terlihat begitu timpang dan memprihatinkan seperti ini, bisa dipastikan kondisi pendidikan di daerah 3T juga lebih parah lagi.

Upaya Pemerintah Selama Ini

Permasalahan akan keterbatasan fasilitas dan kekurangan guru berkualitas menurut berbagai survei dan penelitian yang ada tentu saja sangat berdampak pada tersendatnya akses dan rendahnya mutu pendidikan di daerah terpencil khususnya 3T. Menurut berbagai laporan baik dari pemerintah, media massa, organisasi nasional maupun internasional, pemerintah pusat sebenarnya sudah melakukan banyak upaya dan merealisasikan berbagai macam program strategis untuk menyeselesaikan permasalahan tersebut. Upaya ini juga sejalan dengan janji politik Presiden Joko Widodo yang ingin membangun negara dari pinggiran melalui visi dan misi Nawacitanya. Upaya yang pertama tentu saja adalah optimalisasi penyerapan alokasi dana 20% dari APBN untuk pendidikan yang sesuai dengan amanat undang-undang (Kemenkeu, 2019). Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani di berbagai media massa, dana ini sangatlah besar dan diharapkan dapat secara signifikan meningkatkan mutu dan akses pendidikan. Dengan dana yang besar ini, pemerintah akhirnya dapat melakukan pembiayaan, baik untuk perbaikan infrastruktur maupun operasional pendidikan seperti Biaya Operasional Sekolah (BOS), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),  dan sebagainya khususnya untuk sekolah-sekolah yang berada di wilayah 3T.

Pemerintah pusat juga telah merealisasikan beberapa program khusus pendidikan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah 3T. Salah satunya adalah program peningkatan kualitas tenaga pendidik yang dikenal dengan 5 (lima) program Afirmasi (Kemendikbud, 2017). Program pertama adalah SM-3T, yang bertujuan untuk mengisi kekurangan guru di berbagai sekolah di daerah 3T dengan mengirimkan lulusan sarjana melalui seleksi khusus sejak tahun 2011. Program SM-3T ini kemudian dilanjutkan dengan rekrutmen CPNS khusus bernama Guru Garis Depan (GGD). Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2017), melalui skema GGD yang berjalan sejak tahun 2015 ini, pemerintah telah mengirimkan sekitar 17.000 guru ke daerah 3T. Beberapa program lainnya adalah Program Sertifikasi Keahlian dan Sertifikasi Pendidik bagi Guru SMA/ SMK (Program Keahlian Ganda), Program Pemberian Subsidi Bantuan Pendidikan Konversi GTK PAUD dan DIKMAS, dan Program Diklat Berjenjang bagi Pendidik PAUD. Selain kelima program Afirmasi ini, pemerintah melalui Kemenristekdikti (2018), juga telah membuka Pendidikan Profesi Guru (PPG) berasrama yang ditujukan secara khusus bagi para lulusan sarjana dari daerah 3T yang ingin menjadi guru.

Tidak hanya berfokus pada perbaikan infrastruktur dan pengembangan kualitas guru, pemerintah ternyata juga telah menyediakan beberapa bantuan khusus pendidikan kepada para putera dan puteri daerah 3T melalui Program Indonesia Pintar (PIP), Bidikmisi, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), dan program beasiswa Afirmasi seperti Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) untuk siswa sekolah menengah pertama dan atas (Kemendikbud, 2019). Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (2017), sejak diresmikan pada tahun 2013, program ADEM telah memberangkatkan sekitar 1.047 pelajar dari Papua ke beberapa daerah seperti Jawa dan Bali untuk bersekolah.  Sedangkan bagi para lulusan sekolah menengah yang ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tingi disediakan beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik), Bidikmisi dan BPI (Kemenristekdikti, 2019). Menurut laporan Kemendikbud, sejak tahun 2013 hingga 2017 terdapat 1.693 anak di Papua khususnya yang berasal dari daerah 3T telah mengikuti program beasiswa ADik (Kemendikbud, 2019). Saat diwawancarai oleh pihak Kemendikbud, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberano Tengah, Provinsi Papua, menyampaikan apresiasinya terhadap pemerintah pusat yang telah menerapkan PIP dengan menyediakan beasiswa ADEM dan ADik khususnya untuk anak-anak Papua dan Papua Barat (ibid, 2019).

Pekerjaan Rumah Kita

Meskipun pemerintah pusat sudah banyak melalukan terobosan dan merealisasikan berbagai program yang strategis, kualitas pendidikan kita masih belum juga meningkat secara signifikan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, melalui beberapa media massa, mengatakan bahwa Indonesia masih berada di belakang negara Asia lainnya dari segi pendidikan, padahal selama 10 tahun terakhir, pemerintah telah mengeluarkan anggaran yang jauh lebih besar dari negara lainnya, yaitu 20% dari APBN untuk pendidikan (CNBC Indonesia, 2019). Kualitas pendidikan sebagai dampak keberhasilan program pemerintah bisa diukur melalui beberapa acuan. Salah satunya tentu saja adalah dengan melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia terkini. Menurut informasi terakhir pada tahun 2018 yang lalu, IPM Indonesia memang mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan. BPS menyebutkan bahwa IPM Indonesia berada pada angka 71,39 sepanjang tahun 2018 atau lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu 70.81 pada tahun 2017 (BPS, 2018). Namun, meskipun IPM sedikit meningkat, sayangnya tingkat persebarannya tidak merata. Menurut Kepala BPS melalui CNN Indonesia (2019), kondisi pembangunan manusia di Indonesia masih ‘jomplang’ atau belum merata di semua provinsi, kabupaten, dan kota. Provinsi dengan IPM terendah menurutnya antara lain Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, dan Kalimantan Barat. Faktanya, kebanyakan daerah berkategori 3T berada di Provinsi tersebut (Bappenas, 2016). 

Kondisi IPM yang tidak merata ini tentu ada penyebabnya. Beberapa sumber terkini menunjukkan bahwa ternyata lagi-lagi pendidikan di daerah termasuk 3T masih mengalami banyak kendala umum dan klasik. Kendala yang pertama adalah kondisi fasilitas dan infrastruktur yang masih terbatas serta tidak merata di masing-masing daerah. Kemendikbud  (Antaranews, 2019) mencatat bahwa mayoritas sekolah SMA dan SMK di daerah 3T belum mempunyai laboratorium IPA. Banyak juga ruang kelas yang rusak dan belum direnovasi. Menurut Kemendikbud, alasan keterbatasan sarana dan prasarana tersebut memang disebabkan oleh kondisi geografis yang sulit di beberapa wilayah dan akses transportasi juga terbatas. Masalah yang lebih memprihatinkan lagi adalah masih banyaknya sekolah di daerah 3T yang mengalami kekurangan guru. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, permasalahan ini lebih disebabkan oleh porsi mayoritas guru yang memilih untuk tinggal dan bekerja di ibukota provinsi dan kabupaten. Merespon kondisi ini, Kemendikbud bahkan telah merencanakan sebuah program rotasi guru pegawai negeri (PNS) secara periodik, sehingga semua guru PNS harus mendapatkan pengalaman mengajar di daerah 3T (Media Indonesia, 2019). Kendala yang terakhir adalah kesadaran masyarakat 3T akan pentingnya pendidikan masih rendah. Masalah ini disampaikan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Supriano di Markas besar TNI-AD bulan Maret yang lalu. Sebagus apapun program pendidikan yang dicanangkan, jika tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, maka hasilnya akan sia-sia (Antaranews, 2019). Penulis, dalam penelitian disertasinya juga menemukan bahwa banyak diantara masyarakat di wilayah 3T yang ternyata memang tidak terlalu peduli dengan pendidikan. Bahkan, karena alasan tradisi, tokoh dan pemangku adat pun cenderung mempersulit pembangunan sarana dan prasarana umum yang mendukung peningkatan pendidikan di daerahnya.

Semua kendala pendidikan yang terjadi di daerah 3T  ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana hasil dan dampak dari upaya pemerintah selama ini. Alokasi dana yang besar telah dikucurkan dan berbagai macam program khusus untuk pendidikan daerah 3T juga telah direalisasikan. Namun, perubahan yang diharapkan masih tidak begitu signifikan dan tidak heran jika Menteri Keuangan sering mempertanyakan kondisi ironis ini. Kita harus mengakui bahwa pemerintah pusat memang telah bekerja secara maksimal dalam memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan di daerah 3T melalui semua program yang sudah ada. Namun, jika masalah yang dihadapi ternyata tetap sama, berarti semua program itu memang belum memberikan dampak yang pasti. Kondisi ini menunjukkan secara jelas bahwa pokok permasalahan itu berada pada bagaimana semua program yang ada dieksekusi dan ditindaklanjuti. Dalam konteks ini, pihak yang paling bertanggungjawab akan hal ini tentu saja adalah Pemerintah daerah (Pemda). Jika dilihat dari perannya dalam aturan otonomi daerah, porsi tugas dan wewenang pemda dalam mengelola pembangunan di daerahnya itu sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan Pemerintah pusat. Semua wewenang dan tanggungjawab Pemda ini diatur oleh undang-undang yang sah seperti UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah  dan UU Nomor 20 tahun 2003 yang secara khusus mengamanatkan alokasi 20% dana pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kewenangan dalam mengelola sekolah dasar dan menengah juga sepenuhnya diberikan kepada pemda.

Benang kusut permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya di daerah 3T ini tentu saja harus segera dicarikan solusi. Ada beberapa tahapan yang bisa dilakukan oleh pemerintah agar dapat menemukan terobosan yang solutif. Meskipun akar permasalahan terbukti berasal dari daerah atau pemda sebagai penanggung jawab, tapi pemerintah pusat masih memiliki wewenang koordinasi dalam menanganinya. Yang pertama adalah mengevaluasi semua agenda implementasi dan penyerapan dana pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah yang selama ini belum pernah dilakukan secara terbuka. Ketika semua agenda dan program dievaluasi, maka permasalahan akan teruraikan dan terpetakan. Hasil pemetaan masalah ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk menyusun sebuah blueprint atau kerangka kerja yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, sehingga para pemimpin di daerah bisa menentukan kebijakan yang akurat, efektif dan tepat sasaran. Setelah kerangka kerja dibuat, tentu saja koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus secara terus menerus diperkuat.  Penyerapan dana dan pelaksanaan semua program pendidikan baik yang datang dari pusat maupun daerah harus selalu diawasi, sehingga prosesnya menjadi optimal dan bersih dari segala kecurangan. Informasi dan pelaporan semua program hendaknya juga dilakukan secara transparan karena masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap hasil dari semua kebijakan yang ada. Masyarakat juga berhak memberikan kritik dan saran secara terbuka. Untuk mendukung program pengawasan ini, penggunaan sistem teknologi informasi dan e-government memang mutlak dioptimalkan, dan infrastruktur pendukungnya juga harus segera diperbaiki. Namun, pemerintah juga harus selalu berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran mereka terhadap kemajuan pendidikan di daerahnya. Upaya ini bisa dilakukan dengan pendekatan adat, tradisi dan budaya setempat oleh Pemda. Masyarakat yang apatis tentu tidak akan mampu dan mau memberikan kritik dan masukan untuk pendidikan yang lebih baik.

Bahan Bacaan

ACDP Indonesia. (2015). Teacher Shortage in Indonesia/ Kekurangan Guru di Indonesia. Diakses pada 2 September 2019, dari http://www.acdpindonesia.org/en/indonesia- facing-shortage-of-520-thousand-teachers/
Antaranews. (2019).  Kemendikbud: Kesadaran Pendidikan di 3T Masih Rendah. Diakses pada 12 September 2019, dari https://m.antaranews.com/berita/808685/kemendikbud-kesadaran-pendidikan-di-daerah-3t-masih-rendah
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2016). Laporan Akhir Koordinasi Program Pembangunan Daerah Tertinggal. Diakses pada 15 September 2019., dari http://kawasan.bappenas.go.id/images/data/Produk/PemantauanEvaluasi/2016/Laporan_Akhir_2016_1.pdf .
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2018). Sensus Penduduk Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2019, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/18/2018-jumlah-penduduk-indonesia-mencapai-265-juta-jiwa
Badan Pusat Statistik (BPS). (2010). Sensus Penduduk Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2019, dari http://sp2010.bps.go.id/
Badan Pusat Statistik (BPS). (2018). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Meningkat. Diakses pada 12 September 2019, dari https://setkab.go.id/en/national-statistics-agency-indonesias-human-development-index-increases-to-71-39-in-2018/
Bank Dunia. (2017). “Pupil-Teacher Ratio in Secondary Education (Headcount Basis).” UNESCO Institute for Statistics. [Dataset]. Diakses pada 1 September 2019, dari http://data.worldbank.org/indicator/SE.SEC.ENRL.TC.ZS
Beasiswa ADEM. (2019). 1693 Anak Papua Mendapatkan Beasiswa ADEM. Diakses pada 8 September 2019, dari http://pklk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/1693-anak-papua-mendapatkan-beasiswa-adem/

Beasiswa ADiK. (2019). Program Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi Tahun 2019. Diakses pada 8 September 2019, dari https://belmawa.ristekdikti.go.id/2019/04/12/program-beasiswa-afirmasi-pendidikan-tinggi-adik-tahun-2019/
CNBC Indonesia. (2019). Dana Pendidikan 20%, Output Kalah Bersaing. Diakses pada 12 September 2019, dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20190801230921-4-89264/dana-pendidikan-20-apbn-kualitas-output-kok-kalah-bersaing/2
CNN Indonesia. (2018). Indeks Pembangunan Manusia Naik, Tapi Masih Jomplang. Diakses pada 12 September 2019, dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190415140212-532-386501/indeks-pembangunan-manusia-2018-naik-tapi-masih-jomplang
Heyward, M., Hadiwijaya, A., Mahargianto, E., & Priyono, M. (2017). Reforming teacher deployment in Indonesia. Journal Of Development Effectiveness,9(2), 245-262. DOI:10.1080/19439342.2017.1301978
Hugo, G. (2015). Demography of Race and Etnicity in Indonesia. R. Sáenz et al. (eds.). (2015). The International Handbook of the Demography of Race 259 and Ethnicity, International Handbooks of Population 4, 259 – 279. DOI 10.1007/978-90-481-8891-8_13
Kementerian Keuangan. (2019). “Anggaran Pendidikan APBN 2019.” Diakses pada 8 September 2019, dari http://visual.kemenkeu.go.id/anggaran-pendidikan-apbn-2019/
Media Indonesia. (2019). Rotasi Guru. Diakses pada 12 September 2019, dari https://m.mediaindonesia.com/read/detail/240687-setiap-guru-wajib-mengajar-di-daerah-3t
OECD/Asian Development Bank (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge, OECD Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en
Pendidikan Profesi Guru di Daerah 3T. (2018). Meningkatkan Kualitas Guru di Daerah 3T Melalui PPG3T. Diakses pada 8 September 2019, dari https://belmawa.ristekdikti.go.id/2018/08/24/meningkatkan-kualitas-guru-di-daerah-terpencil-melalui-program-pendidikan-profesi-guru-daerah-tertinggal-terdepan-dan-terluar-3t/ 
Program Afirmasi Kemendikbud. (2017). Kemendikbud Siapkan Lima Program Afirmasi. Diakses pada 8 September 2019, dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/11/kemendikbud-siapkan-lima-program-afirmasi-untuk-pemenuhan-guru-di-daerah
Kementerian Luar Negeri. (2014). Undang-undang Otonomi Daerah. Diakses pada 12 September 2019, dari https://pih.kemlu.go.id/files/UU0232014.pdf


Catatan: Artikel ini pernah diikutkan dalam lomba Esai Nasional pada tahun ini yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi sosial bernama Open Access Indonesia