Sabtu, 27 Oktober 2018

[RESENSI BUKU] “Inspirasi Jihad Kaum Jihadis: Telaah Atas Kitab-kitab Jihad”


*Aziza Restu Febrianto


Pada postingan kali ini saya ingin menuliskan sebuah resensi sebuah buku yang menurut saya sangat menarik untuk dijadikan referensi dan koleksi terutama bagi mereka yang ingin mempelajari tentang inspirasi dan motivasi orang-orang yang mengklaim atau menyatakan diri sebagai mujahid atau pejuang islam di masa kini.  Alhamdulillah, setelah menghabiskan waktu cukup lama di sela-sela aktivitas kerja dan lainnya untuk membaca  dan menelaah buku setebal 456 halaman ini, akhirnya kesampaian juga saya membuat kesimpulan dan resensinya disini.

https://rumahkitab.com

 


Judul                                   : Inspirasi Jihad Kaum Jihadis: Telaah Atas Kitab-Kitab Jihad
Penulis                               : Ulil Absrar Abdalla, Mukti Ali, Roland Gunawan, Jamaluddin                      Muhammad, dkk
Nama Penerbit                   : Rumah Kitab
Cetakan/ Tahun Terbit      : Cetakan 1/ 2017
Jumlah Halaman               : 456
 


Jihad pada dasarnya merupakan perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman. Perintah jihad ini banyak dijelaskan di dalam kitab suci Al-Quran. Adanya perintah jihad dalam Al-Quran ini membuat Rasulullah dan para sahabat mengangkat senjata, berperang, mempertahankan diri dari serangan musuh-musuh Islam. Pada kenyataannya memang seperti itulah yang terjadi pada masa itu, dan itu semua banyak tertulis di dalam Al-Quran, hadits nabi dan sumber kitab lainnya. Namun, apakah keputusan yang diambil Rasulullah untuk berperang melawan musuh itu juga harus dilakukan oleh generasi muslim yang sekarang sebagai sebuah perintah jihad?

Hal yang menarik adalah meskipun peperangan yang terjadi telah mengorbankan banyak hal: harta, keluarga yang dicintai, kerabat dan sahabat, pada akhirnya Rasulullah justru menyatakan bahwa jihad yang terbesar bukanlah perang. Jihad yang terbesar adalah melawan hawa nafsu kita sendiri. Dan itulah kenapa Rasulullah juga selalu berpesan untuk terus belajar mengendalikan diri dengan sabar dan sholat dalam kehidupan sehari-hari kita. Sehingga belakangan ini banyak sekali para ahli tafsir (Mufassir) yang menulis kitab tentang penafsiran-penafsiran mengenai jihad berdasarkan konteks zaman. Penafsiran itu mulai menggeser makna jihad yang bukan lagi sebuah perjuangan perang dan mengangkat senjata.

Namun walaupun penafsiran jihad sudah bergeser sesuai dengan perkembangan zaman, masih banyak pula pihak-pihak yang mengartikan jihad dengan makna perang atau melawan musuh islam. Fakta ekistensi gerakan jihad di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia menunjukkan bahwa pemahaman perintah jihad dalam Al-Quran yang berarti perang melawan musuh islam masih tumbuh subur. Pemahaman itu menjadi semakin subur dengan pernyataan serupa oleh para intelektual muslim dengan kitab yang ditulisnya dan tulisan yang dipublikasikannya secara luas. Pernyataan para intelektual muslim ini akhirnya banyak membuat para pemikir muslim yang radikal terinspirasi untuk memiliki berpandangan dan perilaku yang sama.

Buku yang berjudul “Inspirasi Jihad Kaum Jihadis: Telaah Atas Kitab-kitab Jihad” ini kemudian diterbitkan sebagai telaah (Review) atas berbagai macam kitab yang menginspirasi para pelaku jihad radikal atau yang penulis sebut sebagai kaum jihadis. Buku ini diterbitkan oleh sebuah komunitas cendekiawan muslim bernama Rumah Kitab.  Secara keseluruhan buku ini adalah kumpulan tulisan dari banyak penulis yang melakukan penelitian terhadap kitab-kitab dan sumber inspirasi para kaum jihadis. Buku ini ditulis oleh banyak penulis antara lain Ulil Absrar Abdalla, Mukti Ali, Roland Gunawan, Jamaluddin Muhammad, Badrus Sholeh, Din Wahid, Jajang Jahroni, Lies Marcoes-Natsir, Sirojuddin Ali, dan Achmat Hilmi. Selain memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni dalam menelaah kitab, beberapa penulis juga merupakan peneliti kajian-kajian keislaman serta timur tengah. Sehingga penjelasan isi dalam buku ini benar-benar ilmiah dan komprehensif.

Banyak sekali buku yang ditelaah dalam buku ini. Semua dicek dalam daftar referensi dan sesi kajiannya. Diantara buku ini adalah karangan dari para cendekiawan muslim di timur tengah dan yang lainnya merupakan karangan para tokoh Indonesia yang memiliki hubungan dekat dengan gerakan kaum jihadis di Indonesia. Berikut adalah 10 daftar buku induk penting yang ditelaah oleh penulis:
  1. Ayat al-Rahman fi Jihad al-Afghan oleh Abdullah Azzam
  2. Majmu Fatawa Li Syaikh Al-Islam Ahmad Ibn Taymiyyah oleh Ibn Taymiyyah
  3. Kitab Al-Tawhid Alladziy Huwa Haqq Li Allah ‘Ala Al-‘abid oleh Muhammad Ibn Abdil Wahab
  4. Al-Jihad Fi sabilillah oleh Abu al-A’la al-Maududi
  5. Majmu’ah Al-Rasa’il Li Al-Imam Al-Syahid Hasan Al-Banna oleh Hasan al-Banna
  6. Ma’alim Fi Al-Thariq oleh Sayyid Qutb
  7.  Majmu Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah oleh Abdullah Ibn Baz
  8.  Al-Tarbiyah Al-Jihadiyyah Wa Al-Bina oleh Abdullah Azzam
  9. Millah Ibrahim oleh Abu Muhammad Isham al-Maqdisi oleh Abu Bakar Ba’asyir
  10. Materi- materi tauhid, For the Greatest Happiness oleh Aman Abdurrahm

Semua kitab yang ditelaah ini kemudian dikaji dan didiskusikan. Sebelum masuk kepada pembahasan kitab, pada halaman awal terdapat penjelasan menarik tentang bagaimana buku ini disusun. Yang pertama adalah penjelasan mengenai keterangan diskusi yang disusun dengan ringkas, jelas dan padat. Penjelasan yang kedua lebih pada keterangan tentang masing-masing kitab dan pengkajiannya: waktu, tempat, tema, kitab yang dikaji dan pembicaranya.  Bagian ini menunjukkan bahwa kitab-kitab yang dijadikan rujukan itu telah benar-benar dikaji dan didiskusikan.

Buku ini tidak selalu menyajikan kajian tentang kitab-kitab karangan para cendekiawan muslim, tapi  juga memberikan penjelasan tentang sejarah tumuhnya kaum jihadis di Indonesia dan dunia. Penjelasannya sangat komprehensif karena dipaparkan secara urutan kronologis tematik. Buku ini juga memaparkan secara detail penjelasan tentang pemahaman para kaum jihadis di Indonesia di zaman modern ini dengan berbagai sumber terpercaya melalui buku, tulisan artikel, karya ilmiah dan berbagai macam situs yang menerbitkan tulisan-tulisan tentang jihad.

Seluruh bab dalam buku ini disusun dengan sangat rapi dengan bahasa yang mudah dipahami. 10 tokoh dengan kitab karangannya dibahas sesuai dengan proporsinya dalam bab. Setiap materi dalam bab juga saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Dengan membaca buku ini, kita dapat memiliki wawasan yang sistematis terutama tentang para tokoh dan kitab-kitab yang menjadi rujukan inspirasi kaum jihadis. Sehingga buku ini sangat cocok sekali untuk dijadikan referensi penting para akademisi yang tertarik dalam pengkajian jihad.

Yang membuat saya tertarik ketika membaca buku ini adalah titik fokus yang konsisten dalam melakukan pengkajian kitab. Saya setujua dengan pendapat Prof. Dr. Greg Fealy bahwa gaya bahasa yang dipakai dalam buku ini tidak menunjukkan kecenderungan emosional. Posisi penulis sangat terlihat jelas sebagai pengkaji yang netral dan kritis. Fokus utama buku ini adalah memberikan penjelasan tentang hasil pengkajian kitab dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan pandangan kaum jihadis. Buku ini sama sekali tidak menunjukkan sikap penilaian.

Setelah membaca buku ini, kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa hampir semua gerakan jihad yang ada mengambil pemahaman yang apa adanya (literal) mengenai ayat-ayat jihad dan menerapkannya dalam keseharian hidupnya. Sehingga pemahaman yang mereka dapatkan cenderung sempit dan eksklusif atau tidak terbuka (open-minded) yang pada akhirnya teraktualisasi kedalam perilaku-perilaku yang radikal.

Menurut saya, buku ini sangat bagus dan penting untuk dijadikan sebuah koleksi. Menurut berbagai sumber yang ada, sangat sulit dicari buku yang menelaah pemahaman jihad dan inspirasi kaum jihadis secara komprehensif dengan berbagai referensi dan kajian khusus seperti buku ini di Indonesia.    



Senin, 22 Oktober 2018

Buku Kolaborasi 1

https://atdikbudlondon.com/
Alhamdulillah, saya pernah mendapatkan kepercayaan untuk menjadi salah satu penulis dan kontributor sebuah buku berjudul "Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris," yang secara resmi diterbitkan oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London pada bulan Januari 2018. Berikut ini adalah sebuah Chapter yang saya tulis. Para pembaca bisa mengunduhnya secara gratis melalui link website resmi berikut:https://atdikbudlondon.com/buku 
Selamat membaca.

Chapter 9: Program Pembelajaran Sepanjang Hayat pada Pendidikan Vokasional di Inggris.

*Aziza Restu Febrianto

Di negara Inggris, kebijakan dan wewenang pendidikan diatur oleh pemerintah di masing-masing negara bagian, England, Wales, Skotlandia dan Irlandia utara. Demikian pula dengan sistem pendidikan kejuruan yang sangat berbeda di tiap negara tersebut. Reformasi dalam sistem pendidikan vokasional di Inggris selalu menekankan belajar sepanjang hayat atau Lifelong learning. Menurut pusat informasi pendidikan kejuruan dan keterampilan negara-negara di Eropa/ The European Centre for the Development of Vocational Training (Cedefop), walaupun banyak tantangan yang dihadapi, pemerintah Inggris tetap mengupayakan reformasi sistem pendidikan demi mewujudkan kebijakan jangka panjangnya terutama strategi Lifelong learning. Beberapa tujuan kebijakan tersebut antara lain adalah meningkatkan keterampilan dasar para pekerja, meningkatkan ketuntasan pendidikan, dan mengupayakan pemenuhan pendidikan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan (Cuddy, N & Leney, T., 2005).

Sistem pendidikan vokasional yang berbasis pada tujuan belajar sepanjang hayat di Inggris sudah ditekankan sejak tahun 1998  dengan dikeluarkannya keputusan Departemen Pendidikan dan Keterampilan/ Department for Education and Skills (DfES) yang sejak tahun 2010 berganti nama dengan Department for Education (DfE). Dalam peraturan tersebut disebutkan akan pentingnya slogan ‘Lifelong Learning’ untuk secara umum menunjukkan nilai-nilai dan kebijakan tentang belajar sepanjang hayat dibawah aturan administrasi yang baru (Department for Education and Employment [DfEE], 1998). Dikeluarkannya surat hijau/ Green paper yang berjudul The Learning Age juga menunjukkan akan pentingnya belajar sepanjang hayat yang diatur oleh negara. Isi dari surat tersebut kurang lebih menekankan akan pentingnya kemampuan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan daya saing dalam bidang ekonomi di era globalisasi. Kemampuan tersebut merupakan kunci bagi sesorang untuk memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan bersaing di dunia kerja (1998, p.18). Target utama Lifelong learning dalam pendidikan vokasional adalah mewujudkan pengembangan keterampilan vokasional yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas ekonomi, kehidupan sosial yang terbuka dan utuh (Hyland, 1999; Field & Liecester, 2000).

Program Lifelong Learning di setiap negara bagian berbeda-beda. Di England, Wales, dan Irlandia utara, Lifelong learning banyak berhubungan dengan aktivitas belajar yang dilakukan pasca sekolah formal. Pada tahun 2001, National Assembly for Wales mengeluarkan dokumen penting/ Paving dokumen berjudul The Learning Country, merumuskan program pendidikan dan belajar sepanjang hayat bagi masyarakat Wales untuk target tahun 2010. The Learning Country meneruskan strategi sebelumnya dan menghasilkan agenda untuk tahun 2010. Sedangkan di Skotlandia, makna belajar sepanjang hayat ini lebih luas melalui slogannya ‘Cradle to Grave’ yang berarti belajar dari lahir hingga akhir hayat sekaligus memperluas kesempatan belajar bagi setiap orang atau Education for all (Organization for Economic Co-operation and Development [OECD], 2003). 

Menurut National Assembly for Wales (OECD, 2003; DfES, 2005), Lifelong learning dalam pendidikan vokasional di Wales memiliki program prioritas antara lain;
        Pengembangan keterampilan dan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas kerja melalui peningkatan kreatifitas, inovasi dan kegiatan usaha.
        Peningkatan dan perluasan kesempatan belajar termasuk keterampilan dasar.
        Peningkatan standar dalam belajar dan mengajar.

Program prioritas diatas dilaksanakan untuk mewujudkan agenda utama ketiga negara (Inggris, Wales dan Irlandia utara) yaitu:
        Memastikan bahwa semua generasi muda dapat mendapatkan keterampilan utama agar siap menghadapi perubahan jaman, menjamin keamanan dalam hidup, memperoleh banyak keuntungan dari kesejahteraan yang diperolehnya. Target utamanya adalah 90% pemuda berusia 22 tahun dapat mengikuti program pendidikan penuh yang sesuai dengan bidang keahlian mereka untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
        Menyediakan level keterampilan lebih tinggi yang diperlukan untuk inovasi bidang keilmuwan ekonomi, dengan target 50% pemudia usia dibawah 30 tahun dapat melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi pada tahun 2010.
        Memastikan para masyarakat pada usia kerja dapat memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka serta memperoleh penghargaan.
        Meneruskan peningkatan standar belajar dan mengajar di seluruh jenjang pendidikan dan keterampilan.

Untuk memastikan kualitas calon siswa dan lulusan dengan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar, pemerintah England, Irlandia utara dan Wales memiliki sebuah standar kualifikasi vokasional bernama The National Qualifications Framework (NQF) sejak tahun 2000. Semua program pendidikan vokasional (TVET) mengikuti aturan ini ketika menyeleksi calon siswa. 

Kebijakan pendidikan vokasional di Skotlandia memiliki sistem yang paling berbeda dengan negara bagian lainnya. Skotlandia memiliki kebijakan khusus dalam mengupayakan belajar sepanjang hayat dengan slogan, Life through learning, learning through life. Kebijakan ini sepenuhnya merupakan wewenang the Scottish Executive Enterprise, and Lifelong Learning Department (OECD, 2003). Sedangkan untuk memastikan kualitas calon siswa dan lulusan, pemerintah Skotlandia mempunyai aturan sendiri bernama the Scottish credit and qualifications framework (SCQF). Berbeda dengan NQF di ketiga negara bagian yang lain, SCQF merupakan standar kualifikasi yang lebih luas cakupannya serta memiliki tujuan jangka panjang. Kualifikasi ini sangat menekankan Lifelong learning termasuk pendidikan non-formal untuk semua orang dengan segala usia serta memiliki output yang jelas dan terukur kualitasnya. Selain mempermudah setiap orang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan sesuai kebutuhan di sepanjang hidupnya, kualifikasi ini juga memungkinkan semua orang untuk memahami standar kualifikasi yang dibutuhkan di Skotlandia (Cuddy, N & Lenny, T, 2005).

Di Inggris, Irlandia utara dan Wales, setiap calon siswa yang masuk di sekolah vokasional harus mengambil ujian standar yang disebut the General Certificate of Secondary Education (GCSE) setelah menyelesaikan sekolah menengah pertama/ SMP atau berusia 16 tahun. Sedangkan di Skotlandia, calon siswa harus sudah memenuhi kualifikasi 4 dan 5 yang merupakan acuan standar masuk sekolah vokasional/ SMK. Kualifikasi ini biasanya juga diambil setelah mereka lulus dari SMP atau berusia 16 tahun (Cedefop, 2017).

Meskipun setiap negara memiliki aturan dan kebijakan sendiri tentang program Lifelong learning, ada beberapa prinsip aturan yang terpusat. Misalnya, Department for Education menyusun strategi bernama White Paper yang menentukan target dan strategi umum untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja dan menikmati hidupnya (OECD, 2003). Selain itu terdapat pula target nasional berlaku untuk semua negara bagian yang bertujuan untuk mengukur sejauh mana masing-masing negara melaksanakan semua program Lifelong learning mereka. Target ini juga mencakup standar tingkat partisipasi dan pencapaian para siswa pada bidang yang paling ditekuninya di sekolah melalui program pengembangan Lifelong learning dan bisnis usaha (OECD, 2003).

Pemerintah Inggris/ Britania raya (UK) sangat menyadari akan tantangan jaman yang selalu berubah dan masa depan yang tidak pasti terutama bagi orang dewasa. Menurut Mike Campbell (2016), ada tiga komponen yang harus diwaspadai oleh Inggris dalam menghadapi tantangan jaman: ketersediaan keterampilan (Skills supply), permintaan keterampilan (Skills demand) dan ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan pasar (Skills mismatch).  Ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan pasar ini terjadi ketika jumlah keterampilan yang tersedia tidak sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan/ diminta oleh pasar. Gambaran tentang kondisi orang terampil dewasa di Inggris dapat dilihat melalui survey ketenaga kerjaan atau Labour Force Survey. Melalui survey ini, Bosworth (2014) dan Wilson, dkk (2016) memberikan analisa paling terkini yang menggambarkan gambaran pada tahun 2002, 2012 dan proyeksi pada tahun 2020. Analisa ini menunjukkan bahwa  selama satu dekade, dari tahun 2002 hingga 2012, orang dewasa berusia 19 sampai 64 tahun memiliki keterampilan yang sangat tinggi dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2020. Namun jika dibandingkan dengan 32 negara OECD lainnya, tingkat keterampilan orang dewasa pada tataran level tingkat bawah (low skills) dan menengah (intermediate skills) di Inggris cukup lemah dengan urutan peringkat ke-19 (Bosworth, 2014).  Sedangkan untuk keterampilan tingkat atas (High skills) masuk pada urutan ke-11 dari 32 negara tersebut.

Meskipun tingkat keterampilan orang dewasa terutama pada level low dan intermediate di Inggris relatif tinggi, adapun tantangan lain yang dihadapi yaitu permintaan keterampilan yang dibutuhkan di lapangan kerja. Kurangnya orang dewasa yang berketerampilan tertentu muncul ketika terdapat lowongan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki tersebut karena perubahan jaman (Vivian, dkk, 2016).  Stormer, dkk (2014) menidentifikasi 23 faktor yang mempengaruhi perubahan kondisi peluang kerja dan keterampilan baru yang dibutuhkan di Inggris. 23 faktor ini dikelompokkan menjadi 5 sub bidang:
1.      Bisnis dan ekonomi
        Perspektif ekonomi yang berubah
        Ekosistem bisnis baru
        Kekuatan bisnis dan ekonomi Asia
        Perkembangan internet yang merusak
        Pertumbungan pusat ekonomi alternatif
        Deglobalisasi
2. Sumber daya alam dan lingkungan
        Sumber daya alam yang semakin sulit didapatkan dan ekosistem yang terdegradasi
        Permasalahan dan bencana alam yang mengancam ketersediaan sumber daya alam
3. Teknologi dan inovasi
        Teknologi gabungan dan keterampilan lintas bidang
        Perkembangan ICT dan data besar
4. Masyarakat dan individu
        Keinginan kuat dalam keseimbangan kerja
        Lingkungan kerja yang selalu berubah
        Diversitas yang semakin besar
        Ketidakpastian akan pendapatan
        Perubahan demografi
        Imigrasi
        Kemudahan akses pertukaran keterampilan
        Kontrak kerja yang tidak jelas
        Values pekerja yang selalu berubah
5. Hukum dan politik
        Semakin berkurangnya ruang untuk aktifitas politik karena hambatan keuangan publik.
        Pemisahan kebijakan dari Uni Eropa/ pasca Brexit

Melihat 23 faktor diatas, Stormer, dkk (2014) menekankan peran 4 pihak di Inggris dalam menghadapai tantangan di masa depan, yaitu: pemilik usaha, pekerja, penyedia lapangan pekerjaan dan pemerintah. Peran yang paling penting dilakukan adalah fokus pada bidang seperti berikut ini:
        Perluasan dan pengembangan teknologi
        Interkonektivitas dan kolaborasi
        Penggabungan inovasi
        Peningkatan tanggung jawab individu
        Penurunan jumlah kelas menengah
        Tempat kerja generasi 4

Selain 4 pihak yang memiliki peran strategis diatas, setiap individu juga didorong untuk lebih bertanggung jawab agar terus belajar sepanjang hidupnya dan mempertimbangkan manfaat proses belajar (baca Bimrose dkk., 2016; Hughes, Adriaanse and Barnes, 2016; Schmid, 2016). Penelitian ini menunjukkan bukti bagaimana pendidikan dan keterampilan dapat mempengaruhi seseorang dalam menyesuaikan diri dengan perubahan demografi dan permintaan pasar. Oleh karena itu setiap individu perlu secara terus menerus mengasah keterampilan yang mereka miliki serta pada saat yang sama mempelajari keterampilan dan ilmu yang baru. Dengan kata lain, setiap orang di Inggris harus mampu beradaptasi dan fleksibel terhadap perubahan pasar yang tidak stabil dalam ekonomi global (Paccagnella, 2016). Keterampilan yang wajib dipelajari sepanjang hidup di Inggris adalah keterampilan yang berbasis pada pekerjaan seperti literasi, numerasi, problem-solving dalam teknologi dan digital. Semua keterampilan ini sangat penting diajarkan dalam pendidikan vokasional karena merupakan penentu akan pekerjaan dan upah yang tinggi (OECD, 2016b). Keterampilan digital juga sangat penting dalam mendorong kemajuan ekonomi Inggris (Ecorys UK, 2016; OECD 2015a). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa keterampilan literasi digital dasar harus dimiliki oleh semua orang dan diberdayakan dalam dunia kerja untuk keuntungan dan kepentingan pribadi dan ekonomi (van Deursen and van Dijk, 2010). Orang dewasa yang bekerja memerlukan keterampilan digital dasar ini untuk mereka terapkan dalam berbagai macam sektor lapangan kerja (Ecorys UK, 2016). Survey membuktikan bahwa keterampilan digital sangat berperan dalam pasar kerja setelah faktor yang lainnya seperti usia, gender, tingkat pendidikan, kecakapan literasi dan numerasi (OECD, 2016b). Di England misalnya, upah tinggi diberikan kepada mereka yang memiliki keterampilan dan pengalaman di bidang ICT (OECD, 2015a). 

Selain keterampilan digital dasar, sebuah penelitian panjang melalui the British cohort study, menunjukkan bahwa ketuntasan pendidikan sangat berbanding lurus dengan tingginya upah saat bekerja dan faktor non-kognitif lain seperti motivasi, kerja keras atau daya tahan dan kontrol diri dapat memberikan nilai tambah pada upah setelahnya (Green, dkk, 2015). Heckman dan rekannya (2006) menyatakan bahwa keterampilan non-kognitif ini lebih penting dibandingkan dengan kognitif dalam menentukan variasi upah, penguasaan keterampilan dan produktivitas dalam dunia kerja. Keterampilan non-kognitif akan mempengaruhi outcome akademik dan stabilitas finansial pada masa dewasa (Morrison Gutman and Schoon, 2013).

Perubahan pasar dan keterampilan yang dibutuhkan sangat diperhatikan oleh pemerintah Inggris dalam menyiapakan diri sebagai bangsa yang kompetitif dan inovatif. Oleh karena itu memberikan kesempatan, ruang dan fasilitas kepada masyarakat untuk mengembangkan diri, beradaptasi, dan belajar sepanjang masa sangatlah penting agar mampu mengatasi permasalahan karena perubahan jaman. Tabel berikut ini memberikan gambaran komponen penting yang harus dimiliki seseorang untuk dapat beradaptasi sepanjang karir hidupnya di Inggris.
Adaptability dimension
Attitudes and beliefs
Competence
Coping behaviours
Concern – developing a positive optimistic attitude to the future

        Plans
        Forward thinking
        Hopeful
        Connect the present and the future
         
        Planning
        Aware
        Involved
        Preparing
Control – to use self-regulation strategies to adjust to the needs of different settings and exert some influence and control on the context

        Decisive
        Independent
        Autonomous
        Decision-making
        Assertive
        Discipline
        Wilful
Curiosity – broadening horizons by exploring social opportunities and possibilities

        Inquisitive
        Self-reflective
        Future focused
        Exploring
        Experimental
        Taking risks
        Inquiring
Confidence – believing in yourself and ability to achieve your goal

        Efficient
        Self-confident
        Self-perceptive
        Problem-solving
        Persistent
        Striving
        industrious

Sumber: McMahon, Watson and Bimrose, 2012; Savickas and Porfeli, 2012; Savickas, 2013

Untuk memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan jaman atau keterampilan yang beradaptasi dengan kebutuhan, seseorang harus memiliki 4Cs: Concern, Control, Curiosity, dan Confidence. Keterampilan yang beradaptasi membuat orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Keempat dimensi ini dapat diperoleh melalui tantangan – tantangan baru dan keinginan yang kuat untuk mendapatkan wawasan dan perspektif baru dalam hidup. Oleh karena itu, adaptasi karir ini sangat diperlukan dalam membangun perbaikan dan manajemen karir serta memberikan tantangan-tantangan baru dan kesempatan di pasar kerja yang selalu berubah. Sehingga diperlukan sistem pendidikan vokasional yang dapat mendukung masyarakat untuk mengembangkan dan membangun perbaikan karir dan adaptasi mereka. Peran pendidikan vokasional sangatlah penting terutama dalam membantu masyarakat untuk belajar melalaui kehidupan bekerja mereka dan tidak hanya untuk bertahan hidup, tapi berjuang dalam dunia kerja dan permintaan pasar selama hidupnya (Barnes, dkk, 2016).

Karena bertujuan untuk memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan dan adaptasi perubahan jaman, pemerintah Inggris juga memberikan fasilitas dan ruang pendidikan keterampilan bagi masyarakat marginal seperti para imigran, kaum difabel, lanjut usia (Lansia) dan narapidana. Salah satu contohnya adalah pembentukan Prison Industries atau program rehabilitasi seperti pelatihan kerja bagi para narapidana selama di penjara untuk menyiapkan mereka menghadapi dunia kerja pasca keluar dari penjara (House of Commons Home Affairs Committee, 2004). Tujuan utama dari Prison Industries adalah memperkerjakan para narapidana dalam kegiatan diluar penjara dan sebisa mungkin membantu mereka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan, kualifikasi dan pengalaman kerja agar dapat meningkatkan kesiapan dan kemampuan mereka dalam mendapatkan pekerjaan legal ketika keluar dari penjara (ibid, 2004). Manajemen Prison Industries juga harus dapat memberikan pendanaan dan keuntungan bagi organisasi penyelenggara kegiatan dan secara terus menerus mendukung program-program yang dapat menawarkan kesempatan untuk pengembangan diri bagi para narapidana (ibid, 2004). Pemerintah Inggris juga membentuk tim pembuat kebijakan dalam Prison Industries yang bertujuan untuk mengembangkan strategi kerja jangka panjang para narapidana, memperkuat jaringan dengan lembaga pelayanan penjara internal, departemen pemerintah, para pengusaha dan pihak otoritas lokal (ibid, 2004).


Kesimpulan
Merujuk pada sistem pendidikan yang ada di Inggris/ Britania Raya (UK) terutama pendidikan vokasional, program Lifelong learning atau belajar sepanjang hayat sudah cukup lama ditekankan secara resmi oleh pemerintah sejak tahun 1998. Oleh karena itu Inggris bisa dijadikan sebagai salah satu negara acuan untuk pengembangan program yang serupa di Indonesia. Penerapan program inipun juga sangat aplikatif karena penerapannya diatur dan dikembangkan oleh tiap negara bagian: England, Wales, Irlandia utara dan Skotlandia. Sebagai negara kepulauan yang memiliki sistem pemerintahan otonomi daerah, Indonesia bisa mencoba belajar dari implementasi program Lifelong learning di Inggris. Pada intinya pemerintah Inggris terus memastikan bahwa setiap individu baik yang berusia muda maupun tua, laki-laki maupun wanita memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam pendidikan dan terus mengasah serta mengembangkan keterampilan mereka untuk menghadapi tantangan perubahan jaman. Semua orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan keterampilan mereka terutama dalam bidang teknologi dan digital dalam rangka menguatkan ekonomi negara di persaingan global.

Pemerintah Inggris juga sangat mengantisipasi akan tantangan perubahan jaman yang selain memiliki dampak positif bagi efektifitas ekonomi, juga dapat memberikan masalah tersendiri, terutama dalam persaingan kerja masyarakat. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana cara memastikan antara ketersediaan keterampilan tenaga kerja (Skills supply) dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja (Skills demand), atau bagaimana cara agar tidak terjadi ketimpangan antara kedua hal tersebut (Skills mismatch). Oleh karena itu pemerintah Inggris mengidentifikasi faktor-faktor utama penyebab perubahan yang terjadi di dunia kerja dan pasar itu sendiri serta menentukan sikap dan langkah strategis untuk mengantisipasinya.Untuk menghadapi tantangan ini, setiap orang di Inggris diwajibkan untuk mempelajari dan mengembangkan keterampilan yang berbasis pada pekerjaan seperti literasi, numerasi, problem-solving dalam bidang teknologi dan digital. Mereka sangat meyakini bahwa keterampilan digital sangatlah penting untuk mendapatkan kesempatan kerja yang luas dan upah yang tinggi. Selain itu, mereka juga ditekankan untuk selalu meningkatkan keterampilan non-kognitif mereka seperti motivasi diri, kerja keras, daya tahan dan kontrol diri, karena semua keterampilan ini dapat menentukan variasi pekerjaan dan stabilitas finansial mereka.
Untuk menyiapkan generasi yang kompetitif dan inovatif, pemerintah Inggris juga memberikan fasilitas dan ruang penuh kepada seluruh masyarakat untuk mengembangkan diri mereka agar dapat menghadapi berbagai macam tantangan perubahan jaman. Komponen penting yang harus dimiliki oleh setiap individu di Inggris adalah 4Cs (Concern, Control, Curiosity and Confidence) agar mereka bisa beradaptasi sepanjang karir hidupnya. Selain itu, perhatian pemerintah untuk memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam meningkatkan keterampilan dan dunia kerja adalah dibentuknya program dan rencana strategis kepada para kaum marginal seperti para imigran, kaum difabel, lanjut usia dan narapidana. Salah satu contoh yang paling berbeda adalah pembentukan program rehabilitasi yang bernama Prison Industries beserta tim khusus tertentu untuk memberikan pelatihan dan persiapan kerja bagi para narapidana baik di dalam maupun diluar penjara bekerja sama dengan stakeholders yang ada dan para pengusaha.

References:
Barnes, S-A. and Brown, A. (2016). Stories of learning and their significance to future      pathways and    aspirations. British Journal of Guidance and Counselling, 44: 2, 233-242.
Barnes, S-A., Brown, A., Warhust, C. (2016). Education as the Underpinning System:       Understanding the propensity for learning across the lifetime. Future of Skills and                 Lifelong Learning. Evidence Review. Foresight, Government Office for Science.
Bimrose, J., Mulvey, R. and Brown, A. (2016) Low qualified and low skilled: the need for                context sensitive careers support. British Journal of Guidance and Counselling, 44: 2,         145-157.
Bosworth D (2014) UK Skill Levels and International Competition, Evidence Report 85, UKCES.
Cambell, Mike (2016) The UK's Skills Mix: Current trends and future needs. Future of Skills of     Lifelong Learning. Evidence Review. Foresight, Government Office for Science.
Cedefop (2017). On the way to 2020: data for vocational education and training policies. Country statistical overviews – 2016 update. Luxembourg: Publications Office. Cedefop research paper; No 61.

Cuddy, N. & Lenny, T. (2005). Vocational education and training in the United Kingdom: short description. Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities.
Department for Education and Employment (DfEE). (1998) The Learning Age: A    Renaissance for a       New Britain (London, Department for Education and        Employment).

Department for Education and Skills. (2005). Skills: Getting On In Business, Getting           On At Work. London: DfES.
Ecorys UK (2016) Digital Skills for the UK Economy. London: Department for Business      Innovation and Skills/Department for Culture Media and Sport.
Field, J., Leicester, Mal, & Field, J. L. (2000). Lifelong learning: Education across the lifespan. London: Routledge Falmer.

Green, F., Parsons, S., Sullivan, A. and Wiggins, R. (2015) Dreaming big: Self-evaluations,               aspirations,         high-valued social networks, and the private-school earnings              premium (Working Paper 2015/9). London: Centre for Learning and Life Chances in Knowledge Economies and Societies (LLAKES), Institute of Education, University               College London.
Heckman, J.J., Stixrud, J. and Urza, S. (2006) The effects of cognitive and noncognitive abilities   on labor market outcomes and social behavior (NBER Working Paper no.12006).      Cambridge, MA, USA: National Bureau of Economic Research.
House of Commons Homes Affairs Committee. (2004). Rehabilitation of Prisonners. First             Report             of Session 2004-2005. London: The Stationery Office Limited. Volume 1.
Hyland, T. (1999). Vocational Studies, Lifelong Learning and Social Values             (Aldershot, Ashgate).

McMahon, M., Watson, M. and Bimrose, J. (2012) Career adaptability: A qualitative         understanding from the stories of older women. Journal of Vocational Behavior, 80:            3, 762-768.
Morrison Gutman, L. and Schoon, I. (2013) The impact of non-cognitive skills on outcomes for    young   people: Literature review. London: The Education Endowment Foundation.
Organization for Economic Co-operation and Development/ OECD. (2003). The Role of National Qualifications Systems in Promoting Lifelong Learning. Department for Education and Skills.
OECD (2015a) Adults, Computers and Problem Solving: What’s the Problem? OECD Skills               Studies. Paris: OECD.
OECD (2016b) Skills Matter: Further Results from the Survey of Adult Skills. OECD Skills   Studies. Paris: OECD.
Paccagnella, M. (2016) Age, ageing and skills: Results from the Survey of Adult Skills. OECD           Education Working Papers, No. 132. Paris: OECD.
Savickas, M.L. and Porfeli, E.J. (2012) Career Adapt-Abilities Scale: Construction, reliability            and measurement equivalence across 13 countries. Journal of Vocational Behaviour,           80, 661-                673.
Savickas, M. (2013) Career Construction theory and practice. In Lent, R.W. and Brown, S.D.          (eds) Career Development and Counseling: Putting theory and research to work (2nd           edition, pp. 147-183). New Jersey: John Wiley.
Schmid, G. (2016, forthcoming) A working lifetime of skill and training needs. In Warhurst, C.,     Mayhew, K., Finegold, D. and Buchanan, J. (eds). Oxford Handbook of Skills and   Training. Oxford: Oxford University Press.
Stormer E et al (2014) The Future of Work: Jobs and Skills in 2030, Evidence Report 84, UKCES.
van Deursen, A. and van Dijk, J. (2010) Internet skills and the digital divide. New Media &             Society, 13:6, 893-911.
Vivian et al (2016) UK Employer Skills Survey 2015: UK Results, Evidence Report 97, UKCES.
Wilson et al (2016) Working Futures: 2014-2024, Evidence Report 100, UKCES.