Minggu, 24 Februari 2019

Being a Teacher (Bagian 7) - Serangkaian Refleksi

Saya, ketika bekerja di kantor Lembaga Bimbingan Belajar, Primagama
Lulus Kuliah dan Menjadi Pekerja Kantoran

*Aziza Restu Febrianto

Tepat pada bulan Juli tahun 2009, saya secara resmi dinyatakan lulus pendidikan S1 setelah berkutat pada skripsi selama satu semester. Saya termasuk mahasiswa yang bisa dikatakan cukup telat lulusnya karena kebanyakan teman seangkatan saya lulus pada tahun sebelumnya. Tapi menurut saya telat lulus itu tidak masalah, asalkan tidak telat bekerja..hehe. Alhamdulillah, sebelum lulus saya sudah bekerja dan bisa mencari penghasilan sendiri. Namun, karena kekhawatiran akan kemungkinan lulus yang lebih lama, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti mengajar di SMP Alam agar memiliki waktu lebih banyak untuk mengerjakan skripsi. Selain itu saya sebenarnya juga sudah tidak betah dan lelah mengajar di sekolah itu. Tuntutannya banyak...hehe.

Semua pelajaran dan pengalaman mengajar yang saya peroleh selama kuliah, PPL dan mengajar di sekolah ternyata tetap tidak membuka mata hati saya untuk secara mantab memilih guru sebagai profesi saya. Menurut saya, pekerjaan guru itu sangat melelahkan, dan semua usaha keras yang dilakukan oleh guru tidak setimpal dengan kecilnya gaji yang diperoleh. Waktu itu saya selalu membayangkan, kenapa dengan pekerjaan yang sebenarnya tidak jauh berbeda (berbicara di depan orang), gaji pembicara seminar, motivator ataupun public speaker lainnya itu jauh lebih besar daripada guru. Inilah alasan kedua yang akhirnya lebih mempengaruhi keputusan saya untuk berhenti mengajar di sekolah dan memilih bekerja di kantor setelah mendapatkan tawaran (lagi) dari teman.

Beberapa bulan sebelum wisuda, salah seorang teman menginformasikan kepada saya tentang lowongan pekerjaan di sebuah lembaga bimbingan belajar di kota Salatiga (sekitar 20 km dari kota Semarang). Lowongan pekerjaan itu cukup menarik perhatian saya karena yang dicari bukanlah pengajar, tapi seorang staf akademik. Untuk fresh graduate seperti saya, pekerjaan itu menurut saya sudah cukup bagus sebagai batu loncatan untuk mencari pekerjaan lain yang lebih bagus. Selama bekerja di kantor ini, mulai terbesit juga keinginan untuk melanjutkan kuliah S2 agar wawasan saya bisa bertambah dan kesempatan saya untuk mendapatkan pekerjaan lebih terbuka lebar. Namun, setelah berfikir panjang saya akhirnya kurang tertarik untuk kuliah di kampus dalam negeri apalagi dengan biaya sendiri. Menurut saya, jika pekerjaan dan penghasilan yang saya dapatkan tetap tidak berubah dengan memiliki ijazah S2, maka semuanya akan sama saja. Sayang sekali dengan uang yang sudah saya keluarkan untuk pendidikan itu. Yang jelas dengan segala ketidakpastian pekerjaan yang ada di Indonesia, saya lebih memilih untuk tidak melanjutkan kuliah jika tidak dengan beasiswa, karena akan rugi.

Selain pertimbangan karir dan pekerjaan, keinginan untuk mengambil S2 di luar negeri dengan beasiswa adalah murni karena alasan pengembangan kompetensi, ilmu pengetahuan, serta wawasan dan pengalaman hidup di negeri orang.  Keinginan ini sangat menggebu, sehingga terhitung setelah lulus kuliah S1, saya telah mengambil tes TOEFL, IELTS dan mendaftar beberapa jenis beasiswa luar negeri seperti Australian Asian Scholarship (AAS), New Zealand Asian Scholarship (NZ-AS), dan Fulbright US Embassy. Namun, semua upaya ini berakhir dengan kesedihan dan kekecewaan karena harus menerima ketidaklulusan saya pada semua beasiswa yang pernah saya coba itu. Saya juga pernah mencoba beberapa program Short course gratis di luar negeri seperti program kepemudaan di China, Mesir, Polandia, dsb. Namun lagi-lagi, semuanya berakhir dengan ketidaklulusan saya pada kesempatan tersebut.

Di sela-sela kesibukan kerja di kantor, saya juga sempat mencari peruntungan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan pasti dengan mendaftar CPNS baik di tingkat daerah maupun pusat. Jika dihitung sejak wisuda S1, saya sudah mencoba 6 kali seleksi CPNS, tapi (lagi-lagi) semuanya berujung pada ketidakberuntungan. Untuk seleksi CPNS di daerah, waktu itu saya memilih formasi guru Bahasa Inggris, sedangkan di pusat, saya memilih formasi instruktur di beberapa kantor kementerian. Jujur, alasan saya memilih formasi itu bukanlah atas dasar ketertarikan dan kecintaan saya pada pekerjaan mengajar atau dunia keguruan, tapi lebih pada kesejahteraan dan pengembangan karir yang diperoleh ketika menjadi pegawai negeri.  

Bersambung.... (Bagian 8)

Selasa, 19 Februari 2019

Being a Teacher (Bagian 6) - Serangkaian Refleksi

Saya sedang mengajar di sebuah saung yang digunakan sebagai kelas
Lokasi: Sekolah Alam Arridho Semarang
Menjadi Guru di Sekolah

*Aziza Restu Febrianto

Setelah menyelesaikan program PPL, saya kemudian harus mulai mengerjakan skripsi sebagai syarat wajib kelulusan.  Namun, pada semester akhir ini, jumlah perkuliahan yang diambil mulai berkurang karena mahasiswa harus fokus pada skripsi yang memang memiliki porsi SKS paling besar. Pada saat itu, ketersediaan waktu luang ini tidak saya gunakan untuk hanya terlalu fokus dalam mengerjakan skripsi saja, tapi saya justru semakin aktif berorganisasi. Pada waktu itu saya sedang menjabat sebagai ketua departemen di sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tingkat universitas. Selain itu, saya juga mengikuti kegiatan di luar kampus seperti Forum Indonesia Muda (FIM), yang berbasis di Jakarta. Akibatnya, saya dan teman-teman di Semarang juga harus membentuk pengurus FIM regional Jawa Tengah.

Di tengah kesibukan skripsi dan kegiatan intra dan ekstra kampus, saya mendapatkan kabar dari teman bahwa sebuah SMP swasta di Semarang sedang membutuhkan seorang guru Bahasa Inggris tidak tetap. Teman saya itu adalah guru di sekolah tersebut dan menginginkan saya untuk mengajar disana. Saya merasa terhormat diberikan kepercayaan dan tanpa ragu saya mengambil kesempatan itu. Waktu itu saya memang sedang sangat membutuhkan pengalaman yang cukup banyak tentang sekolah karena pengalaman yang saya dapat di PPL selama 3 bulan saja tentu tidaklah cukup. Di sekolah itu, saya hanya mengajar dua kali dalam seminggu. Gaji di sekolah ini juga tidak seberapa dibandingkan dengan mengajar privat dan kelompok seperti yang selama ini saya lakukan. Waktu itu saya hanya digaji 250 ribu tiap bulannya. Namun, terus terang saja yang saya cari saat itu bukanlah gaji, tapi pengalaman tentang mengajar di tempat berbeda, yang menurut saya jauh lebih berharga.

Ketika pertama kalinya mengajar, saya merasa sangat bahagia dan bersemangat. Sayapun dengan begitu antusias menyiapkan semua materi dan perangkat pembelajaran sebelum mengajar. Sekolah tempat saya mengajar ini bisa dibilang sangat berbeda dengan sekolah kebanyakan. Dengan menerapkan konsep “alam” dan "islami," sekolah ini secara fisik tidak memiliki gedung besar dengan ruangan kelas seperti di sekolah pada umumnya, tapi lebih berbentuk saung dengan perkebunan dan persawahan yang terkelola disekitarnya. Konsep idealis seperti inilah yang membuat saya semakin senang dan bersemangat untuk mengajar di sekolah ini. Namun, diluar dari konsep sekolah yang luar biasa, saya juga tetap tidak luput dari pengalaman yang kurang mengenakkan dan menjengkelkan selama mengajar di sekolah ini. Ternyata idealisme para pendiri dan guru di sekolah ini tidak sebanding lurus dengan input karakter dan kualitas siswa di kelas. Motivasi dan prestasi rata-rata siswa di sekolah ini tidak begitu membanggakan. Bahkan, banyak diantara mereka justru memiliki kebutuhan khusus. Sehingga guru dituntut untuk bekerja lebih keras dalam membimbing mereka.

Dari awal mengajar hingga masa berakhirnya kontrak, saya mendapatkan pengalaman yang sangat luar biasa di kelas. Ketika mengajar, saya selalu saja menemukan tingkah laku siswa yang unik: bermain sendiri, berlarian, dan asyik ngobrol bersama temannya. Dengan kondisi siswa seperti ini, sudah sangat jelas bahwa tugas saya sebagai guru tidak hanya mengajar, tapi juga mengatur, membimbing dan mengarahkan siswa untuk selalu tenang dan memperhatikan materi pelajaran di tempat. Sayapun akhirnya berfikir keras mencari cara bagaimana membuat perhatian siswa saya itu selalu tertuju pada materi yang saya sampaikan. “Pembelajarannya harus menarik!” pikir saya dalam hati. Namun, saya juga harus memahami akan realitas kurangnya fasilitas pembelajaran di kelas, “Bagaimana bisa membuat pembelajaran saya itu menarik, sedangkan sarana dan prasarananya saja terbatas: Tidak ada LCD, TV, Sound System, dsb.” Dengan keterbatasan itu, saya harus selalu bekerja keras mencari strategi dan cara apapun agar tujuan pembelajaran yang sudah saya siapkan bisa tercapai di kelas, walaupun akhirnya banyak cara ternyata terbukti sia-sia...hiks.

Di sekolah ini, para guru benar-benar dituntut untuk selalu kreatif dan inofatif dengan keterbatasan yang ada karena sekali lagi, konsep yang dipakai sekolah ini adalah “alam” dan "islami." Dengan konsep ini, konsekuensi moralnya adalah sekolah tidak memberikan batasan mengenai syarat kompetensi anak untuk bisa masuk di sekolah ini. Para pendiri sekolah ini berkeyakinan bahwa setiap anak itu unik dan memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing. Oleh karena itulah, sekolah hadir untuk memberikan ruang dan fasilitas bagi semua siswa dengan segala kelebihan dan kekurangannya itu untuk tetap terus mengembangkan diri. Siswa di sekolah ini juga dibagi menjadi beberapa kelompok binaan dengan seorang guru pendamping yang sekaligus menjadi guru mengaji mereka. Segala aktivitas dan perkembangan siswa dalam kelompok binaan ini juga diawasi dan dievaluasi oleh guru pendamping itu.

Terlepas dari idealisme dan konsep unik yang dimiliki oleh sekolah, menurut saya, input siswa yang masuk di sekolah ini juga dipengaruhi oleh persaingan dengan sekolah lain yang sudah ada di kota Semarang. Banyak siswa dengan segala prestasi akademiknya tentu telah memilih masuk di sekolah lain yang sudah cukup terkenal reputasinya. Namun, dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh sekolah ini, saya justru belajar banyak sekali tentang dunia pendidikan yang sesungguhnya. Menurut saya, visi, misi dan program yang diterapkan di sekolah ini sangatlah ideal dan sesuai dengan esensi yang diharapkan dalam dunia pendidikan. Boleh saya katakan sekolah lain pada umumnya seharusnya meniru konsep dan sistem yang diterapkan oleh sekolah ini untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya baik secara akademik, tetapi juga moral dan spiritualnya. Semua pengalaman mengajar yang saya dapat di sekolah ini jugalah yang akhirnya mengilhami saya untuk melakukan penelitian dengan sekolah alam ini sebagai objeknya untuk skripsi saya.  

Bersambung....(Bagian 7)

Jumat, 15 Februari 2019

Being a Teacher (Bagian 5) - Serangkaian Refleksi

SMA Negeri 1 Semarang
Sumber: https://www.kricom.id
Pertama Kali Mengajar di Sekolah

*Aziza Restu Febrianto

Setiap mahasiswa yang mengambil jurusan kependidikan atau keguruan pasti diharuskan mengikuti program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Program ini wajib karena jika kita tidak mengambilnya, maka sudah dipastikan kita tidak akan bisa mengajukan proposal skripsi. Bagi saya, PPL merupakan sebuah kesempatan pertama saya untuk belajar mengajar di sekolah dan merasakan bagaimana menjadi guru yang sebenarnya. Mengajar les privat dan kelompok di rumah atau perkantoran tentu sangat berbeda dengan di kelas yang sesungguhnya. Selain perbedaan jenjang usia, jumlah dan karakteristik siswa, mengajar di sekolah juga mengharuskan saya untuk mengikuti beberapa aturan yang ketat: sekolah dan pemerintah.

Saya sebenarnya sangat menikmati pengalaman PPL ini karena memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar banyak tentang dunia sekolah yang terletak tepat di jantung kota Semarang. Pada waktu itu saya ditempatkan di SMA Negeri 1 Semarang, yang juga merupakan salah satu sekolah favorit di Semarang. Selama PPL, saya belajar banyak sekali tentang pekerjaan sekolah. PPL ini dibagi menjadi dua sesi. Pada sesi yang pertama, peserta diberikan tugas untuk melakukan observasi sekolah, baik fisik berupa sarana dan prasarana, struktur organusasi dan guru maupun semua program dan kegiatan yang ada di sekolah. Selama sesi ini, peserta juga diharuskan menyiapkan perangkat mengajar seperti kurikulum, silabus dan Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) melalui bimbingan dosen pamong dan guru pembimbing (guru pamong) di sekolah.

Para mahasiswa baru diberikan kesempatan untuk mengajar pada sesi kedua PPL. Waktu itu saya mendapatkan kesempatan mengajar di beberapa kelas 11 IPS. Pada awalnya saya sempat berfikir dua kali untuk mengajar karena saya paham siswa IPS itu terkenal rame dan susah sekali dikendalikan. Hal yang lebih menantang lagi justru ketika mendengar penjelasan guru pamong tentang kelas IPS,

“Mas nanti disiapkan ya. Anak-anak IPS itu memang sering menyepelekan mahasiswa PPL yang mengajar mereka. Tapi itu sudah biasa. Kalau mas mengajarnya bagus, mereka bisa ditaklukkan kok.”
Apa yang beliau katakan itu sempat membuat saya sedikit gentar. Namun, akhirnya saya sadar bahwa mengajar di kelas IPS itu justru menjadi sebuah tantangan bagi saya untuk menunjukkan seberapa hebat keterampilan leadership saya yang pernah saya latih semasa berorganisasi. Namun, jujur saya menjalani PPL itu bukan karena didasari oleh keinginan saya untuk menjadi guru ketika lulus kuliah nanti, tetapi hanya karena untuk memenuhi kewajiban sekaligus belajar dan mencari pengalaman. Selain merupakan program wajib, PPL bagi saya adalah sebuah kegiatan yang memberikan sebuah kesempatan untuk belajar tentang dunia guru dan sekolah lebih dalam sekaligus menjajal kemampuan organisasi dan public speaking saya ketika mengajar di kelas.

Tibalah saatnya saya masuk kelas 11 IPS dan mengucapkan salam. Sayapun langsung terkejut karena ternyata tidak semua siswa menjawab salam saya. Saya melihat wajah mereka yang kurang semangat dan tidak punya antusias dalam belajar, apalagi dengan guru baru yang ada didepannya ini. Mereka cenderung acuh kepada saya walaupun ada juga beberapa yang masih memperhatikan saya. Saya lega dan bersyukur. Namun, saya sadar bahwa saya adalah guru kelas yang tidak hanya fokus pada satu atau dua siswa, tapi semua di kelas. Waktu itu terdapat sekitar 42 siswa di kelas. Melihat kelas yang besar seperti ini, saya langsung bergumam dalam hati, “Gila kelasnya besar sekali. Gimana saya bisa mengajar banyak siswa seperti ini.” Kemudian saya langsung teringat memori saat masih sekolah dulu. Jumlah siswa di kelas waktu itu kurang lebih sama, yaitu sekitar 45. Saya tidak bisa membayangkan betapa kerasnya perjuangan guru saya saat itu...haha.

Pada periode awal mengajar, saya mencoba menggunakan metode yang selama ini saya pakai saat mengajar privat dan kelompok yang usianya lebih dewasa. Saya juga mencoba bergaya bak seorang motivator seperti Mario Teguh yang memberikan seminar pengembangan diri. Saya waktu itu sangat yakin bahwa mengajar dengan cara seperti itu pasti akan berhasil. Saya berkeyakinan bahwa jika seminar motivasi semacam itu selalu menarik hati dan pesertanya banyak, pasti hasilnya juga sama apabila diterapkan dalam mengajar di kelas. Itulah pemikiran polos saya pada waktu itu. Namun, ketika diterapkan, hasilnya ternyata jauh dari apa yang dibayangkan. Banyak siswa yang masih saja fokus dengan aktivitasnya sendiri. Memang ada beberapa yang memperhatikan saya, tapi kebanyakan tidak..haha. Sedih sekali rasanya...hiks.

Kebiasaan yang dilakukan oleh mahasiswa PPL setelah mengajar adalah berkumpul di sebuah ruangan yang disediakan oleh sekolah untuk markas mereka. Tentu saja selama di ruangan itu, kita semua bercerita tentang pengalaman saat mengajar di kelas. Melalaui cerita dari rekan PPL, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran. Pengalaman mereka ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang saya alami. Selain cerita tentang kondisi siswa di kelas, mereka juga berbagi pengalaman tentang strategi yang mereka gunakan saat mengajar, terutama ketika mengajar di kelas IPS. Kegiatan ini menurut saya sangat menarik dan berguna. Saya bisa melakukan refleksi dan evaluasi terhadap metode mengajar yang saya pakai. Dan yang lebih penting lagi adalah saya bisa menjadi lebih termotivasi dan percaya diri karena saya tidak sendirian.

Program PPL berlangsung selama 3 bulan dengan berbagai macam kegiatan yang dilakukan. Menurut saya program ini cukup komprehensif untuk membekali para mahasiswa calon guru sebelum mereka benar-benar menjadi guru profesional setelah menyelesaikan pendidikannya. Namun, bagi saya yang terpenting lagi adalah saya bisa belajar dan lebih memahami bahwa mengajar itu sangat berbeda dengan memberikan motivasi atau bahkan presentasi. Mengajar itu lebih kepada seni mengayomi, memfasilitasi, membimbing dan mengarahkan. Dan keterampilan ini jauh lebih susah dibandingkan dengan hanya memotivasi saat mengisi seminar atau pelatihan umum lainnya. Alhamdulillah, walaupun ada beberapa catatan dan masukan dari dosen dan guru pamong, saya mendapatkan predikat nilai A untuk PPL ini. Beginilah kira-kira masukan dari guru pamong yang masih saya ingat:

“Mas Restu sudah mengajar dengan bagus. Kemampuan menguasai dan menyampaikan materi juga sudah bagus. Namun, perlu diingat bahwa siswa yang duduk di belakang perlu juga mendapat perhatian. Tadi saya perhatikan perhatian mas Restu hanya pada siswa di depan terus.”

Bersambung.... (Bagian 6)

Sabtu, 09 Februari 2019

Being a Teacher (Bagian 4) - Serangkaian Refleksi



Bisa Mengajar Karena Berorganisasi

*Aziza Restu Febrianto

Saya justru belajar banyak tentang cara mengajar yang baik ketika aktif di organisasi dan kegiatan non-akademik lainnya di kampus, bukan pada saat praktik mengajar di perkuliahan. Berbekal keterampilan menyampaikan pendapat dan gagasan pada waktu berorganisasi itulah yang akhirnya membuat saya berlatih menjadi lebih percaya diri. Saya juga percaya diri ketika menerima tawaran dari teman untuk menjadi guru les privat dan kelompok. Selama kuliah di UNNES, saya telah mengajar les privat dan kelompok sejak semester pertama. Namun, tujuan saya mengajar bukanlah untuk mengembangkan keterampilan mengajar saya, tapi untuk mencari penghasilan tambahan...hehe.

Alasan teman merekomendasikan pekerjaan itu juga bukan karena pertimbangan keterampilan mengajar saya, tapi hanya melihat kemampuan berbahasa Inggris saya. Menurut mereka gaya berbicara saya lebih bagus diantara teman-teman saya yang lainnya... kata mereka gaya saya mirip-mirip American English gitu..haha. Padahal saya hanya suka menirukan gaya orang berbicara saja dalam film-film Amerika yang saya tonton. Kebetulan saya memang suka sekali dengan film-film Amerika. Kira-kira yang dikatakan oleh teman-teman saya itu seperti ini:

“Mas, saya senang dengan gaya berbicara kamu... kaya di film-film action gitu. Pokoknya tak kasih kerjaan ini ke mas. Menurutku hanya mas yang cocok.”
Berkat mengajar les privat dan kelompok ini, penghasilan saya secara pribadi yang awalnya hanya berasal dari beasiswa dan orang tua, akhirnya menjadi bertambah, sehingga jumlahnya sangat lumayan untuk ukuran seorang mahasiswa. Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi meminta orang tua untuk mengirimkan uang jajan maupun biaya kos-kosan. Mereka hanya mengirimkan uang untuk biaya kuliah saja. Kemudian karena jam terbang mengajar saya cukup tinggi, saya mendapatkan kepercayaan untuk mengajar di perkantoran. Kesempatan ini juga datang tidak lain karena jaringan yang saya bangun selama terlibat di kegiatan organisasi. Salah satu tempat saya mengajar waktu itu adalah kantor Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Disana saya mengajar Bahasa Inggris untuk para karyawan dan dokter yang akan ditugaskan di Australia. Setiap kali pertemuan atau selama 1,5 jam saya digaji 360 ribu rupiah. Bagi saya, untuk seorang mahasiswa, jumlah itu sudah sangat besar sekali.

Walaupun sudah cukup lama mengajar privat dan kelompok di perkantoran dan rumahan, jiwa dan motivasi mengajar belum juga tumbuh dalam diri saya. Yang saya pikirkan waktu itu adalah saya mengajar karena dipercaya dan dianggap pintar dalam berbahasa Inggris. Tapi yang paling utama adalah mencari tambahan uang dan pengalaman..hehe. Tentu saja melalui kesempatan mengajar ini, saya juga bisa mengembangkan keterampilan Public speaking yang menjadi hobi saya semenjak ikut organisasi. Selain itu, saya juga berharap dengan semua pengalaman yang saya dapatkan selama berorganisasi dan mengajar, jalan hidup saya bisa berubah terutama untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan daripada guru.

Kesibukan berorganisasi dan pekerjaan mengajar memang sangat menyita waktu saya di kampus, sehingga saya memang benar-benar harus jeli mengaturnya. Namun jiwa muda saya yang haus akan berbagai macam ilmu dan pengembangan diri tidak menghentikan langkah saya. Waktu itu saya berkeyakinan bahwa semakin banyak tugas dan kegiatan yang saya lakukan, maka saya justru akan semakin disiplin dalam segalanya, terutama kuliah. Bahkan dalam kesibukan itu, saya justru memutuskan untuk mengikuti beberapa kompetisi, seperti Karya Tulis Ilmiah (KTI) dan Mahasiswa berprestasi (MAPRES).

Minggu, 03 Februari 2019

Being a Teacher (Bagian 3) - Serangkaian Refleksi



Semangat Baru

*Aziza Restu Febrianto

Pada awal perkuliahan, saya masih merasakan beban karena memang menjadi guru sejak dari awal bukanlah cita-cita saya. Beban ini menjadi terasa setelah mengetahui bahwa menjadi guru pada jaman sekarang itu susah. Untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak, guru harus memiliki status PNS atau mengajar di sekolah swasta yang memang peduli akan gaji guru. Padahal seleksi untuk menjadi guru PNS itu susah sekali, berbeda dengan jaman ibu saya dulu.

Waktu itu saya harus selalu berusaha mencari alasan agar tetap bersemangat dan optimis akan masa depan saya meskipun kuliah di bidang keguruan. Dalam benak saya, saya masih muda, dan saya yakin semuanya pasti bisa berubah asalkan saya dapat mengambil hikmah dari semua keputusan dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Fokus saya pada saat itu adalah keterampilan Bahasa Inggris saya. Jika profesi guru bukanlah tujuan saya, kemampuan berbahasa saya harus tetap terus meningkat. Saya tidak ingin semangat untuk mengembangkan keterampilan bahasa saya menjadi menurun karena harus memikirkan masa depan.

Ketika menjalani kuliah, saya bertemu dengan berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda, baik yang kuliah di pendidikan maupun di non-kependidikan. Diantara teman yang saya kenal, kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, dan jumlah mahasiswa yang berasal dari Jawa Timur seperti saya bisa dihitung dengan jari. Saya banyak belajar dari mereka, terutama dari orang yang memang berkuliah di jurusan keguruan. Saya melihat betapa semangatnya mereka menjalani perkuliahan yang sudah mereka ambil dengan banyak berdiskusi dan mengerjakan tugas. Namun, pada saat itu saya masih belum tergugah untuk menekuni bidang keguruan.

Saya justru lebih antusias lagi ketika melihat mahasiswa yang tidak hanya aktif berkuliah, tapi juga berorganisasi namun prestasi akademiknya juga tidak kalah bagusnya.  Saya berkeyakinan bahwa suatu saat nanti nasib saya akan berubah. Saya bisa saja tidak menjadi guru ketika lulus nanti asalkan saya mau mengembangkan keterampilan saya diluar perkuliahan seperti mereka. Walaupun begitu, tidak ada satupun terbesit pemikiran untuk pindah kuliah atau jurusan. Saya merasa kuliah di kampus ini adalah amanah dari orang tua yang memang sudah mantab dengan pilihan ini.

Beberapa bulan kemudian saya bertekad bahwa saya harus tetap maksimal dalam kuliah. Maksimal disini saya artikan bahwa kuliah itu tidak hanya fokus pada kegiatan akademik saja. Bagi saya kuliah yang benar itu adalah memastikan bahwa semua peran dan tanggung jawab saya sebagai seorang mahasiswa itu memang saya  ambil. Waktu itu saya sudah memahami bahwa mahasiswa itu seharusnya tidak hanya berkutat pada kuliah, kantin dan kos (3K), tapi mereka seharusnya juga mengembangkan keterampilan lain diluar bidangnya. Selain itu mereka hendaknya juga memiliki daya kritis dan peka terhadap isu-isu yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.

Menyadari bahwa saya tidak begitu aktif organisasi di sekolah dulu, dalam hati saya berjanji untuk tidak hanya perkuliahan saja yang saya ikuti selama di kampus. Dari awal kuliah hingga lulus, saya sudah mengikuti berbagai macam organisasi seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat fakultas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Paduan suara dan Kerohanian Islam (Rohis) baik di tingkat jurusan, fakultas maupun universitas. Bahkan pada saat semester 5, saya sempat terpilih menjadi ketua Rohis Fakultas Bahasa dan Seni.

Keaktifan saya dalam banyak organisasi ini yang membuat saya disibukkan dengan kegiatan non-akademik seperti rapat, kegiatan-kegiatan kampus dan latihan paduan suara. Sebenarnya kegiatan ini cukup menyita perhatian dan waktu saya terhadap tugas perkuliahan. Namun saya merasa tidak memiliki masalah dalam kegiatan kuliah dan tugas akademik. Modal keterampilan dan kebiasaan berbahasa Inggris sejak sekolah cukup menjadi modal saya untuk survive di bidang akademik. Sehingga waktu itu saya tidak terlalu memberikan prioritas pada urusan kuliah.


Saya bersyukur semua kegiatan non-akademik itu sama sekali tidak mempengaruhi nilai akademik saya. Waktu itu memang saya juga berusaha belajar membagi waktu. Pernah juga saya lembur mengerjakan tugas semalaman di kampus karena memang siangnya harus mengikuti banyak kegiatan organisasi. Dengan keaktifan di organisasi dan performa akademik yang masih aman, saya sangat beruntung bisa mendapatkan beasiswa dari pemerintah yang bisa meringankan biaya kuliah. Melalui kegiatan berorganisasi, saya juga belajar keterampilan berbicara di depan umum (public speaking), negosiasi, dan membangun jaringan (networking). 

Kunjungan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Bahasa dan Seni, UNNES ke Universitas Negeri Malang (UM)
Periode 2007/ 2008