Minggu, 24 Februari 2019

Being a Teacher (Bagian 7) - Serangkaian Refleksi

Saya, ketika bekerja di kantor Lembaga Bimbingan Belajar, Primagama
Lulus Kuliah dan Menjadi Pekerja Kantoran

*Aziza Restu Febrianto

Tepat pada bulan Juli tahun 2009, saya secara resmi dinyatakan lulus pendidikan S1 setelah berkutat pada skripsi selama satu semester. Saya termasuk mahasiswa yang bisa dikatakan cukup telat lulusnya karena kebanyakan teman seangkatan saya lulus pada tahun sebelumnya. Tapi menurut saya telat lulus itu tidak masalah, asalkan tidak telat bekerja..hehe. Alhamdulillah, sebelum lulus saya sudah bekerja dan bisa mencari penghasilan sendiri. Namun, karena kekhawatiran akan kemungkinan lulus yang lebih lama, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti mengajar di SMP Alam agar memiliki waktu lebih banyak untuk mengerjakan skripsi. Selain itu saya sebenarnya juga sudah tidak betah dan lelah mengajar di sekolah itu. Tuntutannya banyak...hehe.

Semua pelajaran dan pengalaman mengajar yang saya peroleh selama kuliah, PPL dan mengajar di sekolah ternyata tetap tidak membuka mata hati saya untuk secara mantab memilih guru sebagai profesi saya. Menurut saya, pekerjaan guru itu sangat melelahkan, dan semua usaha keras yang dilakukan oleh guru tidak setimpal dengan kecilnya gaji yang diperoleh. Waktu itu saya selalu membayangkan, kenapa dengan pekerjaan yang sebenarnya tidak jauh berbeda (berbicara di depan orang), gaji pembicara seminar, motivator ataupun public speaker lainnya itu jauh lebih besar daripada guru. Inilah alasan kedua yang akhirnya lebih mempengaruhi keputusan saya untuk berhenti mengajar di sekolah dan memilih bekerja di kantor setelah mendapatkan tawaran (lagi) dari teman.

Beberapa bulan sebelum wisuda, salah seorang teman menginformasikan kepada saya tentang lowongan pekerjaan di sebuah lembaga bimbingan belajar di kota Salatiga (sekitar 20 km dari kota Semarang). Lowongan pekerjaan itu cukup menarik perhatian saya karena yang dicari bukanlah pengajar, tapi seorang staf akademik. Untuk fresh graduate seperti saya, pekerjaan itu menurut saya sudah cukup bagus sebagai batu loncatan untuk mencari pekerjaan lain yang lebih bagus. Selama bekerja di kantor ini, mulai terbesit juga keinginan untuk melanjutkan kuliah S2 agar wawasan saya bisa bertambah dan kesempatan saya untuk mendapatkan pekerjaan lebih terbuka lebar. Namun, setelah berfikir panjang saya akhirnya kurang tertarik untuk kuliah di kampus dalam negeri apalagi dengan biaya sendiri. Menurut saya, jika pekerjaan dan penghasilan yang saya dapatkan tetap tidak berubah dengan memiliki ijazah S2, maka semuanya akan sama saja. Sayang sekali dengan uang yang sudah saya keluarkan untuk pendidikan itu. Yang jelas dengan segala ketidakpastian pekerjaan yang ada di Indonesia, saya lebih memilih untuk tidak melanjutkan kuliah jika tidak dengan beasiswa, karena akan rugi.

Selain pertimbangan karir dan pekerjaan, keinginan untuk mengambil S2 di luar negeri dengan beasiswa adalah murni karena alasan pengembangan kompetensi, ilmu pengetahuan, serta wawasan dan pengalaman hidup di negeri orang.  Keinginan ini sangat menggebu, sehingga terhitung setelah lulus kuliah S1, saya telah mengambil tes TOEFL, IELTS dan mendaftar beberapa jenis beasiswa luar negeri seperti Australian Asian Scholarship (AAS), New Zealand Asian Scholarship (NZ-AS), dan Fulbright US Embassy. Namun, semua upaya ini berakhir dengan kesedihan dan kekecewaan karena harus menerima ketidaklulusan saya pada semua beasiswa yang pernah saya coba itu. Saya juga pernah mencoba beberapa program Short course gratis di luar negeri seperti program kepemudaan di China, Mesir, Polandia, dsb. Namun lagi-lagi, semuanya berakhir dengan ketidaklulusan saya pada kesempatan tersebut.

Di sela-sela kesibukan kerja di kantor, saya juga sempat mencari peruntungan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan pasti dengan mendaftar CPNS baik di tingkat daerah maupun pusat. Jika dihitung sejak wisuda S1, saya sudah mencoba 6 kali seleksi CPNS, tapi (lagi-lagi) semuanya berujung pada ketidakberuntungan. Untuk seleksi CPNS di daerah, waktu itu saya memilih formasi guru Bahasa Inggris, sedangkan di pusat, saya memilih formasi instruktur di beberapa kantor kementerian. Jujur, alasan saya memilih formasi itu bukanlah atas dasar ketertarikan dan kecintaan saya pada pekerjaan mengajar atau dunia keguruan, tapi lebih pada kesejahteraan dan pengembangan karir yang diperoleh ketika menjadi pegawai negeri.  

Bersambung.... (Bagian 8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar