Saya sedang mengajar di sebuah saung yang digunakan sebagai kelas Lokasi: Sekolah Alam Arridho Semarang |
Menjadi Guru di Sekolah
*Aziza Restu Febrianto
Setelah
menyelesaikan program PPL, saya kemudian harus mulai mengerjakan skripsi
sebagai syarat wajib kelulusan. Namun,
pada semester akhir ini, jumlah perkuliahan yang diambil mulai berkurang karena
mahasiswa harus fokus pada skripsi yang memang memiliki porsi SKS paling besar. Pada
saat itu, ketersediaan waktu luang ini tidak saya gunakan untuk hanya terlalu fokus
dalam mengerjakan skripsi saja, tapi saya justru semakin aktif berorganisasi.
Pada waktu itu saya sedang menjabat sebagai ketua departemen di sebuah Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) tingkat universitas. Selain itu, saya juga mengikuti kegiatan
di luar kampus seperti Forum Indonesia Muda (FIM), yang berbasis di Jakarta. Akibatnya,
saya dan teman-teman di Semarang juga harus membentuk pengurus FIM regional
Jawa Tengah.
Di
tengah kesibukan skripsi dan kegiatan intra dan ekstra kampus, saya mendapatkan
kabar dari teman bahwa sebuah SMP swasta di Semarang sedang membutuhkan seorang
guru Bahasa Inggris tidak tetap. Teman saya itu adalah guru di sekolah tersebut
dan menginginkan saya untuk mengajar disana. Saya merasa terhormat diberikan
kepercayaan dan tanpa ragu saya mengambil kesempatan itu. Waktu itu saya memang sedang sangat membutuhkan pengalaman yang cukup banyak tentang sekolah karena pengalaman yang saya dapat di PPL selama 3 bulan saja tentu tidaklah cukup. Di sekolah itu, saya hanya mengajar
dua kali dalam seminggu. Gaji di sekolah ini juga tidak seberapa dibandingkan
dengan mengajar privat dan kelompok seperti yang selama ini saya lakukan. Waktu
itu saya hanya digaji 250 ribu tiap bulannya. Namun, terus terang saja yang saya
cari saat itu bukanlah gaji, tapi pengalaman tentang mengajar di tempat
berbeda, yang menurut saya jauh lebih berharga.
Ketika
pertama kalinya mengajar, saya merasa sangat bahagia dan bersemangat. Sayapun
dengan begitu antusias menyiapkan semua materi dan perangkat pembelajaran sebelum
mengajar. Sekolah tempat saya mengajar ini bisa dibilang sangat berbeda dengan
sekolah kebanyakan. Dengan menerapkan konsep “alam” dan "islami," sekolah ini secara fisik tidak
memiliki gedung besar dengan ruangan kelas seperti di sekolah pada umumnya,
tapi lebih berbentuk saung dengan perkebunan dan persawahan yang terkelola disekitarnya.
Konsep idealis seperti inilah yang membuat saya semakin senang dan bersemangat untuk
mengajar di sekolah ini. Namun, diluar dari konsep sekolah yang luar biasa,
saya juga tetap tidak luput dari pengalaman yang kurang mengenakkan dan
menjengkelkan selama mengajar di sekolah ini. Ternyata idealisme para pendiri dan guru di
sekolah ini tidak sebanding lurus dengan input karakter dan kualitas siswa di kelas.
Motivasi dan prestasi rata-rata siswa di sekolah ini tidak begitu membanggakan.
Bahkan, banyak diantara mereka justru memiliki kebutuhan khusus. Sehingga guru
dituntut untuk bekerja lebih keras dalam membimbing mereka.
Dari
awal mengajar hingga masa berakhirnya kontrak, saya mendapatkan pengalaman yang
sangat luar biasa di kelas. Ketika mengajar, saya selalu saja menemukan tingkah laku siswa
yang unik: bermain sendiri, berlarian, dan asyik ngobrol bersama temannya. Dengan
kondisi siswa seperti ini, sudah sangat jelas bahwa tugas saya sebagai guru
tidak hanya mengajar, tapi juga mengatur, membimbing dan mengarahkan siswa untuk selalu
tenang dan memperhatikan materi pelajaran di tempat. Sayapun akhirnya berfikir
keras mencari cara bagaimana membuat perhatian siswa saya itu selalu tertuju pada materi
yang saya sampaikan. “Pembelajarannya
harus menarik!” pikir saya dalam hati. Namun, saya juga harus memahami akan realitas
kurangnya fasilitas pembelajaran di kelas, “Bagaimana
bisa membuat pembelajaran saya itu menarik, sedangkan sarana dan prasarananya
saja terbatas: Tidak ada LCD, TV, Sound System, dsb.” Dengan keterbatasan
itu, saya harus selalu bekerja keras mencari strategi dan cara apapun agar
tujuan pembelajaran yang sudah saya siapkan bisa tercapai di kelas, walaupun akhirnya banyak cara ternyata terbukti sia-sia...hiks.
Di
sekolah ini, para guru benar-benar dituntut untuk selalu kreatif dan inofatif
dengan keterbatasan yang ada karena sekali lagi, konsep yang dipakai sekolah
ini adalah “alam” dan "islami." Dengan konsep ini, konsekuensi moralnya adalah sekolah tidak memberikan batasan mengenai syarat kompetensi anak untuk bisa masuk di sekolah
ini. Para pendiri sekolah ini berkeyakinan bahwa setiap anak itu unik dan memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing. Oleh karena itulah, sekolah hadir untuk memberikan
ruang dan fasilitas bagi semua siswa dengan segala kelebihan dan kekurangannya itu untuk tetap terus mengembangkan diri. Siswa di sekolah ini juga dibagi menjadi beberapa
kelompok binaan dengan seorang guru pendamping yang sekaligus menjadi guru mengaji
mereka. Segala aktivitas dan perkembangan siswa dalam kelompok binaan ini juga
diawasi dan dievaluasi oleh guru pendamping itu.
Terlepas
dari idealisme dan konsep unik yang dimiliki oleh sekolah, menurut saya, input siswa yang masuk di
sekolah ini juga dipengaruhi oleh persaingan dengan sekolah lain yang sudah ada
di kota Semarang. Banyak siswa dengan segala prestasi akademiknya tentu telah
memilih masuk di sekolah lain yang sudah cukup terkenal reputasinya. Namun,
dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh sekolah ini, saya justru belajar
banyak sekali tentang dunia pendidikan yang sesungguhnya. Menurut saya, visi,
misi dan program yang diterapkan di sekolah ini sangatlah ideal dan sesuai dengan
esensi yang diharapkan dalam dunia pendidikan. Boleh saya katakan sekolah lain pada
umumnya seharusnya meniru konsep dan sistem yang diterapkan oleh sekolah ini
untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya baik secara akademik, tetapi juga
moral dan spiritualnya. Semua pengalaman mengajar yang saya dapat di sekolah ini jugalah yang
akhirnya mengilhami saya untuk melakukan penelitian dengan sekolah alam ini
sebagai objeknya untuk skripsi saya.
Bersambung....(Bagian 7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar