Jumat, 26 Juli 2019

Refleksi Kegagalan Tahun 2019



*Aziza Restu Febrianto

Kali ini saya ingin menulis sebuah refleksi tentang kegagalan dalam hidup saya. Mungkin banyak orang malu untuk menceritakannya. Tetapi tidak bagi saya karena menurut saya, cerita kegagalan itu justru lebih inspiratif daripada cerita kesuksesan. Menulis refleksi ini membuat saya seolah-olah flashback ke masa lalu, ketika saya baru saja menyelesaikan pendidikan S1. Dengan berbekal ijazah resmi di tangan dan beberapa sertifikat penunjang lainnya, saya melamar di berbagai macam universitas dan berharap untuk menjadi dosen pada salah satu institusi yang saya lamar. Saat itu sarjana atau lulusan pendidikan S1 masih memiliki peluang banyak untuk menjadi dosen. Karena begitu banyaknya universitas yang saya lamar waktu itu, saya sampai lupa berapa jumlah pastinya. Prinsip saya ketika itu adalah terus berusaha menyebarkan jejaring pancing, siapa tahu dari jaring dengan kail yang saya lepaskan ke berbagai kolam itu dapat menarik perhatian salah satu ikan (kampus).

Pada hari ini, hari ketika saya mendapatkan informasi akan kegagalan saya yang masih hangat di kepala (tidak lolosnya saya pada Tes Potensi Akademik (TPA) dalam rangka seleksi dosen di UII Yogyakarta), saya merasakan bahwa sejarah itu terulang kembali. Sejarah rangkaian kegagalan pada tahun 2009 silam dengan peristiwa yang terjadi pada saya saat ini, di tahun 2019, atau 10 tahun kemudian. Keadaan inilah yang membuat saya berfikir keras, yang akhirnya berakhir pada tulisan refleksi dan evaluasi ini.

Setelah menyelesaikan studi Master (S2) dari salah satu universitas bergengsi di Inggris, saya tentu memiliki impian yang sangat ideal dan rencana yang baik ketika kelak kembali ke tanah air. Beberapa impian saya yang pernah saya tulis adalah bekerja sebagai dosen pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di sebuah universitas, mempublikasikan karya ilmiah pada jurnal terindeks internasional, dan menerbitkan buku. Apa yang saya lakukan ini persis sama seperti ketika saya lulus S1 dulu, yang pastinya juga mempunyai impian. Impian saya pada waktu itu adalah menjadi seorang dosen di sebuah universitas dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 di luar negeri.

Realitanya, semua impian dan rencana itu ternyata hanya berujung menjadi kenangan. Setelah lulus S1, saya tidak bisa menjadi dosen dan tidak juga mendapatkan beasiswa untuk S2. Memang sebenarnya ada salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja yang sempat menerima saya setelah melalui beberapa tahapan seleksi. Namun karena pertimbangan gaji yang ternyata tidak mencukupi untuk bertahan hidup di Jogja, saya kemudian memutuskan untuk tidak mengambilnya. Sebuah perguruan tinggi swasta di Madiun juga sempat memanggil saya untuk mengikuti ujian seleksi dosen. Waktu itu saya dinyatakan diterima dan bahkan diberitahu mata kuliah apa saja yang akan saya ampu. Hanya saja pada saat mendekati semester baru tiba, saya tidak pernah dihubungi atau diundang oleh pihak kampus untuk koordinasi. Dan setelah saya meminta klarifikasi, saya justru dinyatakan tidak memenuhi syarat karena alasan belum memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Dalam hati saya berkata, bagaimana saya bisa mempunyai NIDN kalau mengajar di kampus saja belum pernah. Justru saya ingin mengajar di kampus itu agar bisa mendapatkan NIDN.

Menyadari akan keinginan, impian dan rencana yang tidak terealisasi, saya tidak punya pilihan lain selain harus berkompromi dengan keadaan. Akhirnya saya memilih untuk tetap bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar di kota kecil Salatiga dan mendaftar CPNS guru. Waktu itu peluang lulusan S1 Pendidikan hanya bisa mendaftar CPNS keguruan atau instrukur di institusi pemerintahan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi saya untuk mendaftar dosen yang mensyaratkan pendidikan minimal S2. Sejak lulus S1, jika dihitung, saya telah mengikuti ujian dan seleksi CPNS selama 5 kali di tempat yang berbeda. Dan sayangnya semua juga berakhir pada kegagalan. Selain CPNS, saya juga sudah beberapa kali mencoba peruntungan dengan mendaftar beberapa beasiswa luar negeri untuk mengejar impian saya yang kedua. Namun itu semua juga berakhir pada kegagalan. Moving on dari rangkaian kegagalan yang saya alami, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar seleksi program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T) pada akhir tahun 2011. Namun, niat saya mendaftar program itu bukanlah karena panggilan hati untuk menjadi guru, akan tapi hanya ingin mencari pengalaman dan wawasan saja.

Selesai program SM-3T, sayapun mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama satu tahun melalui beasiswa sebagai program lanjutan. Memang pendidikan dan pelatihan yang saya dapatkan melalui PPG sempat membentuk pola pikir dan jati diri saya untuk bekerja di dunia keguruan. Namun, semuanya tetap tidak bisa merubah impian saya, yaitu bekerja sebagai dosen di bidang pendidikan, bukan sebagai guru di sekolah. Sehingga setelah lulus PPG, sambil bekerja sebagai guru di sekolah internasional, saya juga mempersiapkan semua persyaratan untuk mendaftar beasiswa. Saat itu kesempatan yang sangat terbuka dan lebih terukur adalah mendaftar beasiswa LPDP. Karena syarat untuk menjadi dosen harus berpendidikan minimal S2 dan syarat untuk mendaftar LPDP juga tidak terlalu rumit, akhirnya sayapun memutuskan untuk fokus mempersiapkan beasiswa itu dengan serius.

Kegagalan pasca lulus S1 tahun 2009
  1. Gagal menjadi dosen di Bina Sarana Informatika (BSI) cabang Yogyakarta
  2. Gagal menjadi dosen di IKIP PGRI Madiun (sekarang UNIPMA)
  3. Gagal menjadi dosen di beberapa universitas lain di Madiun, Yogyakarta, Solo, dan Semarang
  4. Gagal menjadi guru PNS di Kab. Ngawi
  5. Gagal menjadi PNS di Kementerian Keuangan
  6. Gagal menjadi PNS di Pemprov. Yogyakarta
  7. Gagal menjadi guru PNS di Kementerian Agama
  8. Gagal menjadi guru PNS di Kab. Blora
  9. Gagal seleksi 3 beasiswa luar negeri: Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat
  10. Gagal menjadi peserta China Youth Exchange Program


Kegagalan pasca lulus S2 tahun 2017
  1.  Gagal publikasi karya ilmiah internasional
  2. Gagal menjadi dosen di UNAIR Surabaya
  3. Gagal menjadi peserta Future Leaders Connect di Inggris
  4. Gagal menjadi dosen di IAIN Kediri
  5. Gagal menjadi dosen di UNTIDAR Magelang (CPNS)
  6. Gagal menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Magelang
  7. Gagal menjadi dosen di UII Yogyakarta

Belajar dari seluruh kegagalan yang pernah saya alami selama ikhtiar mencari jalan impian, ada beberapa hal yang menjadi benang merah. Dan semoga menjadi evaluasi dan pelajaran bagi saya untuk menjalani kehidupan yang lebih baik kedepannya.
  • Karena sejak SD saya tidak menyukai pelajaran yang berbau hitung-hitungan dan Matematika, komponen seleksi yang menjadi sandungan saya dalam berikhtiar adalah tes Numerik. Bahkan jenis soal inilah yang membuat saya tidak lolos SNMPTN pada saat mendaftar Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit saya dulu. Mengejar ketertinggalan dalam jenis soal ini tentu tidak mudah bagi saya. Saya harus bekerja jauh lebih keras dari sebelumnya. Padahal disisi lain saya harus disibukkan dengan pekerjaan sehari-hari juga.
  • Khusus untuk seleksi pendaftaran program SM-3T dan beasiswa LPDP, saya waktu itu hanya merasa beruntung saja. Pada saat itu seleksi kedua jenis program ini tidak terlalu menekankan ujian intelejensia umum, yang meliputi bidang Numerik. Saya memang mengikuti tes intelejensia saat mendaftar program SM-3T, hanya saja standar atau tingkat kesulitannya menurut saya sangatlah berbeda dengan ujian serupa yang pernah saya ikuti sebelumnya. Sedangkan ujian semacam itu tidak saya temukan dalam proses seleksi beasiswa LPDP saat itu.
  • Sandungan ujian Numerik ini akan terus menghantui saya selama proses pengembangan profesi saya kedepan. Misalnya, untuk mendapatkan status sebagai dosen resmi, saya harus mengurus NIDN, yang syaratnya adalah TPA, yang terdiri atas subtes Numerik dengan skor minimal 550. Padahal untuk saat ini, skor saya masih pada tataran 450 (TPA UII 2019) atau masih jauh dari standar minimal.
  • Yang bisa saya lakukan saat ini mungkin hanyalah berlatih sekeras mungkin soal-soal ujian numerik yang sering keluar di TPA. Saya memang tidak tahu peluang seperti apa yang bisa saya ambil kedepan untuk menjadi dosen. Yang jelas syarat pertama untuk mendapatkan NIDN harus terpenuhi, yaitu lulus ujian TPA.
  • Dengan status saya yang saat ini sebagai dosen tidak tetap di sebuah Politeknik Pelayaran swasta di Semarang, suatu saat saya mungkin akan menemui jalan yang lebih mudah. Tapi juga belum tentu, karena semua tergantung pada peluang dan kondisi yang ada. Sehingga saya memang tidak punya pilihan lain selain mencoba peruntungan pada setiap adanya peluang yang datang. Apalagi bekerja menjadi dosen di Politeknik Pelayaran bukanlah impian saya yang sebenarnya. Bidang pelayaran sudah sangat jelas bukanlah dunia saya. I don’t think I belong there. Keinginan saya tetap sama sedari dulu, yaitu menjadi dosen profesional di bidang pendidikan, karena pertimbangan pengalaman saya yang telah lama menjadi guru di sekolah.
  • Jika semua rencana itu tidak terealisasi, saya juga harus mempersiapkan rencana kedua. Rencana kedua ini tentu saja harus realistis. Saya harus selalu mengambil hikmah dari semua kejadian yang saya alami. Hakikat dan esensi hidup yang sesungguhnya sebenarnya adalah mencari rezeki dan ilmu yang berkah. Semuanya itu dicari dengan usaha yang keras dan jujur tanpa membuat orang lain tidak nyaman. Bahkan kalau bisa kita justru harus selalu berbuat baik kepada orang lain. Jika kita kembalikan pada esensi hidup semacam itu, maka kita tidak akan terjebak pada pandangan yang sempit tentang impian kita. Jika saya belum bisa mendapatkan apa yang saya impikan selama ini (menjadi dosen di bidang pendidikan), maka kenapa saya tidak fokus pada yang lain saja.
  • Profesi dosen itu adalah status. Dosen bekerja dengan melaksanakan Tri Dharma Perguruan tinggi. Sehingga tugasnya tidak hanya mengajar saja, namun juga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tapi terkadang kenyataannya tidak semua dosen mampu melaksanakannya secara seimbang. Misalnya seperti ini, ketika mereka mendapatkan banyak tugas kampus misalnya mengajar kelas yang banyak, tugas administrasi dan membimbing mahasiswa dalam tugas akhir, maka sudah tentu konsekuensinya mereka tidak akan mempunyai banyak waktu untuk melakukan penelitian dan menulis. Dan yang perlu diingat, penelitian dan menulis adalah aktivitas yang tidak terpisahkan. Selain itu keduanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga dosen yang terlanjur terjebak pada rutinitas mengajar dan kegiatan administrasi lainnya, sudah jelas tidak akan bisa berkembang, kecuali bagi mereka yang memiliki komitmen dan passion yang kuat. Sehingga bisa lihai dalam membagi waktu. Seharusnya saya bersyukur, dengan belum memiliki NIDN, saya berarti belum terikat penuh dengan peraturan tugas tersebut. Sehingga saya bisa melakukan banyak hal untuk mengembangkan diri secara bebas. Salah satunya adalah menulis dan berkarya. 
  • Banyak hal besar yang ternyata bisa kita lakukan tanpa harus menjadi dosen. Jika dulu guru dan dosen merupakan orang yang banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan pola pikir orang, sepertinya sekarang sudah bergeser. Karena perkembangan teknologi, siapapun bisa menjadi influencer. Dengan kreativitas dan komitmen, orang bisa menjadi Youtuber dan content creator yang tentu lebih digemari oleh banyak orang dibandingkan mereka yang hanya menampilkan diri di dalam ruang kelas.  Buku-buku populer yang lebih membahas tentang kehidupan manusia secara praktis dan cerita fiksi lainnya juga sepertinya jauh lebih menarik dibandingkan dengan jurnal, karya ilmiah atau buku akademik karangan dosen.
  • Untuk mengembangkan diri, kita juga tidak harus berprofesi sebagai dosen. Asalkan kita selalu memiliki rasa penasaran, gairah dan semangat dalam mencari ilmu, kita pasti bisa memiliki wawasan yang luas dan pola pikir yang baik. Jaman sekarang ilmu pengetahuan itu bisa dicari dimana saja melalui internet. Bahkan banyak sekali diantaranya yang bisa kita dapatkan secara gratis.

Kesimpulannya, menjadi dosen mungkin harus dan tetap diupayakan karena memang sudah menjadi impian. Memiliki pengakuan dan NIDN juga pasti akan memudahkan saya untuk melangkah lebih jauh kedepan dalam berkarir. Bahkan untuk mendapatkan beasiswa S3 pun, kepemilikan NIDN bisa sangat membantu sekali. Namun, jika semuanya belum tercapai, ya tidak masalah. Banyak hal yang bisa saya lakukan tanpa harus menjadi dosen ber-NIDN. Tetap fokus saja pada bidang yang saya tekuni (dunia pendidikan), tapi juga tidak menutup kemungkinan untuk selalu kreatif, inovatif dan inisiatif untuk terus berkarya. Tujuan akhirnya adalah bisa menjadi seseorang yang bermanfaat dan tauladan bagi banyak orang.

Karena yang bisa saya lakukan saat ini selain mengajar adalah menulis, saya ingin bisa menulis banyak buku dan artikel, baik tentang bidang yang saya tekuni, sejarah atau topik-topik sosial kekinian (kontemporer). Karya tulis itu tidak harus bersifat akademis. Justru tulisan populer kenyataannya jauh lebih menarik hati banyak orang. Penerbit juga banyak sekali, baik mayor maupun indie.  Kitapun juga bisa menerbitkan buku sendiri secara online tanpa harus publikasi melalui penerbit tertentu. Jaman sekarang, pembaca itu tidak terlalu peduli akan buku itu diterbitkan oleh siapa dan didapatkan dari mana. Karena sekarang buku itu tidak hanya dicari di toko buku saja, tapi tersebar di seluruh jagad raya internet. Yang paling penting adalah judul dan kontennya itu menarik.


“Saya yakin dengan terus berkarya pada bidang yang kita sukai dan tekuni, suatu hari nanti pasti akan ada jalan terang yang membawa kita menuju tujuan akhir impian kita.”




Semarang, 23 Juli 2019

Senin, 22 Juli 2019

Being a Teacher (Bagian 14) - Serangkaian Refleksi

Foto ketika menjadi Wali kelas 7A

Mengajar di Sekolah Elit (Bagian 2)

*Aziza Restu Febrianto

Selama mengajar di sekolah internasional, keinginan saya untuk mencari peruntungan beasiswa makin menggebu lagi. Menurut perhitungan saya, dua tahun adalah masa yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar berhasil mendapatkan beasiswa, sembari bekerja mencari bekal biaysta persiapan serta menyambung hidup di perantauan. Sayapun selalu membagi waktu dengan baik antar pekerjaan dengan menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan untuk mendaftar beasiswa. Tes IELTS juga segera saya ambil dengan menggunakan sisa uang tabungan selama saya bekerja di sekolah ini. Jadi selama proses mendaftar beasiswa, saya tidak pernah meminta bantuan biaya kepada siapapun termasuk orang tua saya.

Saya sebenarnya sangat senang sekali mengajar di sekolah berlabel internasional semacam itu. Mengajar dengan semua sumber belajar yang disediakan oleh CIE memberikan kesempatan bagi saya untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan dan pengalaman baru. Mengajar dengan menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris juga membuat saya berlatih menggunakan Bahasa Inggris dalam pembelajaran di kelas. Selain itu, saya juga bisa mendapatkan pengalaman lain ketika berinteraksi dengan siswa yang berasal dari negara yang berbeda seperti Jepang, China, India, Swedia, Korea, dsb di sekolah itu. Well, saya hanya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ternyata banyak juga hal yang tidak mudah saya jalani ketika menjadi guru di sekolah itu. 


Menjadi MC berbahasa Inggris dalam sebuah acara di sekolah
Menurut saya ada yang salah dengan sistem dan manajemen yang diterapkan di sekolah ini terkait perlindungan dan penghargaan guru. Sekolah ini seolah-olah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sangat tergantung sekali pada siswa sebagai konsumen. Jumlah siswanya bisa dikatakan tidak banyak, dan mayoritas berasal dari keluarga borju alias orang-orang kaya dan para ekspatriat yang tinggal di kota Semarang. Untuk ukuran sekolah dasar dan menengah, biaya pendidikannya tergolong sangat mahal. Uang gedungnya saja bisa mencapai sekitar 40 - 60 juta rupiah. Dengan latar belakang konsumen yang berasal dari golongan orang kaya seperti ini, tentu saja sekolah mempunyai tanggung jawab moral untuk selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswanya.

Apa yang dilakukan sekolah dengan sistem pelayanan sempurna memang sangat baik. Saya sangat setuju akan hal itu. Namun setelah diterapkan, yang saya rasakan justru para guru  harus menerima sebuah konsekuensi besar, yaitu mendapatkan tekanan. Mungkin persoalannya akan lain jika gaji mereka dinaikkan. Permasalahannya gaji kebanyakan guru cenderung tetap atau tidak naik sama sekali. Kalaupun naik, paling cuma 200 atau 300 ribu doang per bulan. Dengan gaji yang waktu itu masih sedikit dibawah Upah Minimum Regional (UMR), seperti guru lainnya, saya dituntut untuk bagaimana memastikan bahwa semua aktivitas pembelajaran yang saya ampu di dalam kelas berjalan dengan lancar tanpa ada masalah sedikitpun. Jika ada masalah, maka sang siswa sebagai konsumen bisa saja melaporkan kondisi kelas kepada orang tua mereka di rumah. Jika ada seorang wali murid yang protes terhadap sekolah, maka  guru harus siap-siap untuk disalahkan tanpa ada proses musyawarah antara tiga pihak yang bersangkutan. Kondisi seperti inilah yang membuat saya merasa canggung dan tidak nyaman saat mengajar di kelas.

Selama mengajar di sekolah ini, saya pernah mengalami beberapa kasus. Pertama, pada suatu pagi, saya dipanggil oleh Kepala sekolah karena telah menegur seorang siswa di kelas, yang menurutnya tidak pas. Kelas yang saya ajar waktu itu adalah kelas 5 SD. Siswa itu susah sekali diatur dan merasa seenaknya sendiri mengganggu teman lainnya selama kegiatan pembelajaran sedang berlangsung. Saya peringatkan dia sekali dan dua kali untuk tenang, tapi tetap saja tidak menurut. Akhirnya tanpa sengaja, saya mengibaskan papan stereofom yang ada di dekat saya tepat di depan wajahnya. Tapi sama sekali tidak mengenainya. Ternyata anak itu menaruh dendam kepada saya. Padahal tidak sedikitpun saya melukainya. Dan saya melakukannya karena memang sudah terlanjur jengkel dengan perilaku. Sesampainya di rumah, dia kemudian melapor ke orang tuanya. Dan keesokan harinya, orang tua anak itu protes kepada kepada sekolah, yang berujung pada persidangan saya di depan kepala sekolah dan beberapa guru senior lainnya.

Kasus serupa juga pernah saya alami ketika mengajar siswa jenjang SMP. Saat itu saya menyampaikan kekecewaan saya kepada beberapa siswa yang tidak mengerjakan tugas rumah atau PR. Tugas itu adalah sebuah project yang harus diselesaikan oleh siswa pada hari itu juga karena pada keesokan harinya akan ditampilkan pada sebuah event di sekolah. Terkait dengan itu, saya juga sudah memberikan peringatan pada pertemuan sebelumnya atau satu minggu sebelum pembelajaran berikutnya. Yang membuat saya lebih kecewa lagi adalah siswa itu sama sekali tidak membawa perlengkapan tugas sedikitpun di kelas. Mereka juga banyak beralasan. Kebanyakan dari mereka memiliki alasan yang sama, yaitu sibuk dan sibuk.


Jadwal beban mengajar saya.
Tidak hanya mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, tetapi juga Science Fair Preparation

Sebagai seorang guru yang merupakan bawahan dari pemilik sekolah, saya tentu berada dalam dua posisi yang cukup sulit, yaitu memastikan project siswa sebelum event yang diadakan keesokan harinya, padahal siswa sama sekali tidak membawa perlengkapannya. Dalam kondisi demikian, sayapun meluapkan kekesalan saya pada mereka dan memberi teguran. Kira-kira beginilah kata-kata saya;

“I’ve told you... Your project is supposed to be submitted today, coz all of them have to be presented at the scientific expo that will be held tomorrow morning. But you....don’t bring anything at all with you now. How can you get it all done today?

Tidak kusangka, teguran saya ternyata tidak terlalu dihiraukan oleh mereka. Bahkan, ada seorang siswa yang justru menyahut teguran saya dengan mengatakan,

“But I had a family event last weekend Mr. I had no time for completing the project. I was busy.”

Mendengar pernyataan itu dari mulutnya, saya merasa sangat kesal. Kok bisa orang tuanya tidak mengarahkan anaknya untuk memperhatikan tugas sekolahnya di rumah. Mereka justru mengajak anaknya untuk sibuk dalam acara mereka dan melupakan sekolah. Saya kemudian spontan menunjukkan kekecewaan saya kepadanya dengan mengatakan. “Why didn’t you try to manage to do it when you had free time?” Diapun juga tidak mau disalahkan dengan merespon apa yang saya katakan, “But I was really busy, Mr. How could I have spare time?” Mendengar jawaban itu saya semakin kesal. Masih anak SMP kok bukan main sibuknya. Lagipula event itu adalah acara orang tuanya. Saya kemudian spontan mengatakan, “Why do you keep defending yourself???” Why do you keep defending yourself?”

Saya sama sekali tidak menduga bahwa ternyata kalimat terakhir yang saya ucapkan kepada anak itu menjadi sumber masalah. Sepulang sekolah, anak itu melapor kepada orang tuanya tentang kejadian di kelas itu. Dia bilang bahwa seorang guru di sekolahnya telah memarahinya karena dia tidak membawa tugas. Dan ketika dia menjelaskan alasan kenapa tidak membawa tugas itu, gurunya malah mempertanyakan ucapannya serta menuduh kenapa dia selalu membela diri. Mendengar laporan dari anaknya, si orang tua langsung menghubungi pihak sekolah. Dan yang paling mengejutkan adalah tanpa mencari keterangan lebih lanjut, Kepala sekolah langsung memanggil saya untuk mengikuti persidangan yang diikuti oleh sekitar 7 orang guru senior.

Selama sidang berlangsung, saya merasa heran... Ketika saya menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi, para guru senior itu terlihat seolah-olah lebih membela siswa dengan alasan kondisi anak yang masih remaja, orang tua yang memang memiliki kesibukan, dsb. Bahkan mereka justru memberikan saran dan nasihat kepada saya mengenai cara dan pendekatan yang lebih baik untuk menangani anak semacam itu. Yang saya tidak habis pikir, anak tersebut tidak diberikan sanksi sama sekali. Dalam kondisi semacam ini, saya tentu tidak bisa berdaya dan membela diri. Saya hanya pasrah dan terpaksa harus mengakui kesalahan saya. Namun, perasaan heran itu tetap menghinggap di hati saya. Saya merasa ada bagian perkara yang ditutupi oleh pihak sekolah kepada saya, yaitu komunikasi antara mereka dengan orang tua siswa. Kok bisa tanpa adanya klarifikasi mengenai peran orang tua terhadap siswa, saya secara tidak langsung dinyatakan bersalah.


Foto bersama para guru lainnya

Mendampingi siswa dalam acara Fieldtrip di Tanjungputing, Kalimantan Timur