*Aziza Restu Febrianto
Selama mengajar di
sekolah internasional, keinginan saya untuk mencari peruntungan beasiswa makin
menggebu lagi. Menurut perhitungan saya, dua tahun adalah masa yang cukup untuk
mempersiapkan segala sesuatunya agar berhasil mendapatkan beasiswa, sembari bekerja
mencari bekal biaysta persiapan serta menyambung hidup di perantauan. Sayapun
selalu membagi waktu dengan baik antar pekerjaan dengan menyiapkan persyaratan
yang dibutuhkan untuk mendaftar beasiswa. Tes IELTS juga segera saya ambil
dengan menggunakan sisa uang tabungan selama saya bekerja di sekolah ini. Jadi
selama proses mendaftar beasiswa, saya tidak pernah meminta bantuan biaya
kepada siapapun termasuk orang tua saya.
Saya sebenarnya sangat
senang sekali mengajar di sekolah berlabel internasional semacam itu. Mengajar
dengan semua sumber belajar yang disediakan oleh CIE memberikan kesempatan bagi
saya untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan dan pengalaman baru. Mengajar
dengan menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris juga membuat saya berlatih
menggunakan Bahasa Inggris dalam pembelajaran di kelas. Selain itu, saya juga
bisa mendapatkan pengalaman lain ketika berinteraksi dengan siswa yang berasal
dari negara yang berbeda seperti Jepang, China, India, Swedia, Korea, dsb di
sekolah itu. Well, saya hanya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa
ternyata banyak juga hal yang tidak mudah saya jalani ketika menjadi guru di
sekolah itu.
Menurut saya ada yang
salah dengan sistem dan manajemen yang diterapkan di sekolah ini terkait
perlindungan dan penghargaan guru. Sekolah ini seolah-olah merupakan sebuah
lembaga pendidikan yang sangat tergantung sekali pada siswa sebagai konsumen.
Jumlah siswanya bisa dikatakan tidak banyak, dan mayoritas berasal dari
keluarga borju alias orang-orang kaya dan para ekspatriat yang tinggal di kota Semarang.
Untuk ukuran sekolah dasar dan menengah, biaya pendidikannya tergolong sangat
mahal. Uang gedungnya saja bisa mencapai sekitar 40 - 60 juta rupiah.
Dengan latar belakang konsumen yang berasal dari golongan orang kaya seperti
ini, tentu saja sekolah mempunyai tanggung jawab moral untuk selalu berusaha
memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswanya.
Menjadi MC berbahasa Inggris dalam sebuah acara di sekolah |
Apa yang dilakukan
sekolah dengan sistem pelayanan sempurna memang sangat baik. Saya sangat setuju
akan hal itu. Namun setelah diterapkan, yang saya rasakan justru para guru harus menerima sebuah konsekuensi besar,
yaitu mendapatkan tekanan. Mungkin persoalannya akan lain jika gaji mereka dinaikkan.
Permasalahannya gaji kebanyakan guru cenderung tetap atau tidak naik sama
sekali. Kalaupun naik, paling cuma 200 atau 300 ribu doang per bulan. Dengan
gaji yang waktu itu masih sedikit dibawah Upah Minimum Regional (UMR), seperti
guru lainnya, saya dituntut untuk bagaimana memastikan bahwa semua aktivitas
pembelajaran yang saya ampu di dalam kelas berjalan dengan lancar tanpa ada
masalah sedikitpun. Jika ada masalah, maka sang siswa sebagai konsumen bisa
saja melaporkan kondisi kelas kepada orang tua mereka di rumah. Jika ada
seorang wali murid yang protes terhadap sekolah, maka guru harus siap-siap untuk disalahkan tanpa
ada proses musyawarah antara tiga pihak yang bersangkutan. Kondisi seperti
inilah yang membuat saya merasa canggung dan tidak nyaman saat mengajar di
kelas.
Selama mengajar di
sekolah ini, saya pernah mengalami beberapa kasus. Pertama, pada suatu pagi, saya
dipanggil oleh Kepala sekolah karena telah menegur seorang siswa di kelas, yang
menurutnya tidak pas. Kelas yang saya ajar waktu itu adalah kelas 5 SD. Siswa
itu susah sekali diatur dan merasa seenaknya sendiri mengganggu teman lainnya
selama kegiatan pembelajaran sedang berlangsung. Saya peringatkan dia sekali dan
dua kali untuk tenang, tapi tetap saja tidak menurut. Akhirnya tanpa sengaja,
saya mengibaskan papan stereofom yang ada di dekat saya tepat di depan wajahnya.
Tapi sama sekali tidak mengenainya. Ternyata anak itu menaruh dendam kepada
saya. Padahal tidak sedikitpun saya melukainya. Dan saya melakukannya karena
memang sudah terlanjur jengkel dengan perilaku. Sesampainya di rumah, dia kemudian
melapor ke orang tuanya. Dan keesokan harinya, orang tua anak itu protes kepada
kepada sekolah, yang berujung pada persidangan saya di depan kepala sekolah dan
beberapa guru senior lainnya.
Kasus serupa juga
pernah saya alami ketika mengajar siswa jenjang SMP. Saat itu saya menyampaikan
kekecewaan saya kepada beberapa siswa yang tidak mengerjakan tugas rumah atau
PR. Tugas itu adalah sebuah project yang
harus diselesaikan oleh siswa pada hari itu juga karena pada keesokan harinya
akan ditampilkan pada sebuah event di sekolah. Terkait dengan itu, saya juga
sudah memberikan peringatan pada pertemuan sebelumnya atau satu minggu sebelum
pembelajaran berikutnya. Yang membuat saya lebih kecewa lagi adalah siswa itu
sama sekali tidak membawa perlengkapan tugas sedikitpun di kelas. Mereka juga
banyak beralasan. Kebanyakan dari mereka memiliki alasan yang sama, yaitu sibuk
dan sibuk.
Sebagai seorang guru yang merupakan bawahan dari pemilik sekolah, saya tentu berada dalam dua posisi yang cukup sulit, yaitu memastikan project siswa sebelum event yang diadakan keesokan harinya, padahal siswa sama sekali tidak membawa perlengkapannya. Dalam kondisi demikian, sayapun meluapkan kekesalan saya pada mereka dan memberi teguran. Kira-kira beginilah kata-kata saya;
Jadwal beban mengajar saya. Tidak hanya mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, tetapi juga Science Fair Preparation |
Sebagai seorang guru yang merupakan bawahan dari pemilik sekolah, saya tentu berada dalam dua posisi yang cukup sulit, yaitu memastikan project siswa sebelum event yang diadakan keesokan harinya, padahal siswa sama sekali tidak membawa perlengkapannya. Dalam kondisi demikian, sayapun meluapkan kekesalan saya pada mereka dan memberi teguran. Kira-kira beginilah kata-kata saya;
“I’ve told you... Your project is supposed to be submitted today, coz all
of them have to be presented at the scientific expo that will be held tomorrow
morning. But you....don’t bring anything at all with you now. How can you get
it all done today?
Tidak kusangka, teguran
saya ternyata tidak terlalu dihiraukan oleh mereka. Bahkan, ada seorang siswa
yang justru menyahut teguran saya dengan mengatakan,
“But I had a family event last weekend Mr. I had no time for completing the
project. I was busy.”
Mendengar pernyataan
itu dari mulutnya, saya merasa sangat kesal. Kok bisa orang tuanya tidak
mengarahkan anaknya untuk memperhatikan tugas sekolahnya di rumah. Mereka
justru mengajak anaknya untuk sibuk dalam acara mereka dan melupakan sekolah.
Saya kemudian spontan menunjukkan kekecewaan saya kepadanya dengan mengatakan. “Why didn’t you try to manage to do it when
you had free time?” Diapun juga tidak mau disalahkan dengan merespon apa
yang saya katakan, “But I was really
busy, Mr. How could I have spare time?” Mendengar jawaban itu saya semakin
kesal. Masih anak SMP kok bukan main sibuknya. Lagipula event itu adalah acara
orang tuanya. Saya kemudian spontan mengatakan, “Why do you keep defending yourself???” Why do you keep defending
yourself?”
Saya sama sekali tidak
menduga bahwa ternyata kalimat terakhir yang saya ucapkan kepada anak itu
menjadi sumber masalah. Sepulang sekolah, anak itu melapor kepada orang tuanya tentang
kejadian di kelas itu. Dia bilang bahwa seorang guru di sekolahnya telah
memarahinya karena dia tidak membawa tugas. Dan ketika dia menjelaskan alasan
kenapa tidak membawa tugas itu, gurunya malah mempertanyakan ucapannya serta
menuduh kenapa dia selalu membela diri. Mendengar laporan dari anaknya, si
orang tua langsung menghubungi pihak sekolah. Dan yang paling mengejutkan
adalah tanpa mencari keterangan lebih lanjut, Kepala sekolah langsung memanggil
saya untuk mengikuti persidangan yang diikuti oleh sekitar 7 orang guru senior.
Selama sidang
berlangsung, saya merasa heran... Ketika saya menjelaskan apa yang sebenarnya
telah terjadi, para guru senior itu terlihat seolah-olah lebih membela siswa
dengan alasan kondisi anak yang masih remaja, orang tua yang memang memiliki
kesibukan, dsb. Bahkan mereka justru memberikan saran dan nasihat kepada saya
mengenai cara dan pendekatan yang lebih baik untuk menangani anak semacam itu.
Yang saya tidak habis pikir, anak tersebut tidak diberikan sanksi sama sekali. Dalam
kondisi semacam ini, saya tentu tidak bisa berdaya dan membela diri. Saya hanya
pasrah dan terpaksa harus mengakui kesalahan saya. Namun, perasaan heran itu
tetap menghinggap di hati saya. Saya merasa ada bagian perkara yang ditutupi
oleh pihak sekolah kepada saya, yaitu komunikasi antara mereka dengan orang tua
siswa. Kok bisa tanpa adanya klarifikasi mengenai peran orang tua terhadap
siswa, saya secara tidak langsung dinyatakan bersalah.
Foto bersama para guru lainnya |
Mendampingi siswa dalam acara Fieldtrip di Tanjungputing, Kalimantan Timur |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar