Senin, 22 Juli 2019

Being a Teacher (Bagian 14) - Serangkaian Refleksi

Foto ketika menjadi Wali kelas 7A

Mengajar di Sekolah Elit (Bagian 2)

*Aziza Restu Febrianto

Selama mengajar di sekolah internasional, keinginan saya untuk mencari peruntungan beasiswa makin menggebu lagi. Menurut perhitungan saya, dua tahun adalah masa yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar berhasil mendapatkan beasiswa, sembari bekerja mencari bekal biaysta persiapan serta menyambung hidup di perantauan. Sayapun selalu membagi waktu dengan baik antar pekerjaan dengan menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan untuk mendaftar beasiswa. Tes IELTS juga segera saya ambil dengan menggunakan sisa uang tabungan selama saya bekerja di sekolah ini. Jadi selama proses mendaftar beasiswa, saya tidak pernah meminta bantuan biaya kepada siapapun termasuk orang tua saya.

Saya sebenarnya sangat senang sekali mengajar di sekolah berlabel internasional semacam itu. Mengajar dengan semua sumber belajar yang disediakan oleh CIE memberikan kesempatan bagi saya untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan dan pengalaman baru. Mengajar dengan menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris juga membuat saya berlatih menggunakan Bahasa Inggris dalam pembelajaran di kelas. Selain itu, saya juga bisa mendapatkan pengalaman lain ketika berinteraksi dengan siswa yang berasal dari negara yang berbeda seperti Jepang, China, India, Swedia, Korea, dsb di sekolah itu. Well, saya hanya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ternyata banyak juga hal yang tidak mudah saya jalani ketika menjadi guru di sekolah itu. 


Menjadi MC berbahasa Inggris dalam sebuah acara di sekolah
Menurut saya ada yang salah dengan sistem dan manajemen yang diterapkan di sekolah ini terkait perlindungan dan penghargaan guru. Sekolah ini seolah-olah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sangat tergantung sekali pada siswa sebagai konsumen. Jumlah siswanya bisa dikatakan tidak banyak, dan mayoritas berasal dari keluarga borju alias orang-orang kaya dan para ekspatriat yang tinggal di kota Semarang. Untuk ukuran sekolah dasar dan menengah, biaya pendidikannya tergolong sangat mahal. Uang gedungnya saja bisa mencapai sekitar 40 - 60 juta rupiah. Dengan latar belakang konsumen yang berasal dari golongan orang kaya seperti ini, tentu saja sekolah mempunyai tanggung jawab moral untuk selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswanya.

Apa yang dilakukan sekolah dengan sistem pelayanan sempurna memang sangat baik. Saya sangat setuju akan hal itu. Namun setelah diterapkan, yang saya rasakan justru para guru  harus menerima sebuah konsekuensi besar, yaitu mendapatkan tekanan. Mungkin persoalannya akan lain jika gaji mereka dinaikkan. Permasalahannya gaji kebanyakan guru cenderung tetap atau tidak naik sama sekali. Kalaupun naik, paling cuma 200 atau 300 ribu doang per bulan. Dengan gaji yang waktu itu masih sedikit dibawah Upah Minimum Regional (UMR), seperti guru lainnya, saya dituntut untuk bagaimana memastikan bahwa semua aktivitas pembelajaran yang saya ampu di dalam kelas berjalan dengan lancar tanpa ada masalah sedikitpun. Jika ada masalah, maka sang siswa sebagai konsumen bisa saja melaporkan kondisi kelas kepada orang tua mereka di rumah. Jika ada seorang wali murid yang protes terhadap sekolah, maka  guru harus siap-siap untuk disalahkan tanpa ada proses musyawarah antara tiga pihak yang bersangkutan. Kondisi seperti inilah yang membuat saya merasa canggung dan tidak nyaman saat mengajar di kelas.

Selama mengajar di sekolah ini, saya pernah mengalami beberapa kasus. Pertama, pada suatu pagi, saya dipanggil oleh Kepala sekolah karena telah menegur seorang siswa di kelas, yang menurutnya tidak pas. Kelas yang saya ajar waktu itu adalah kelas 5 SD. Siswa itu susah sekali diatur dan merasa seenaknya sendiri mengganggu teman lainnya selama kegiatan pembelajaran sedang berlangsung. Saya peringatkan dia sekali dan dua kali untuk tenang, tapi tetap saja tidak menurut. Akhirnya tanpa sengaja, saya mengibaskan papan stereofom yang ada di dekat saya tepat di depan wajahnya. Tapi sama sekali tidak mengenainya. Ternyata anak itu menaruh dendam kepada saya. Padahal tidak sedikitpun saya melukainya. Dan saya melakukannya karena memang sudah terlanjur jengkel dengan perilaku. Sesampainya di rumah, dia kemudian melapor ke orang tuanya. Dan keesokan harinya, orang tua anak itu protes kepada kepada sekolah, yang berujung pada persidangan saya di depan kepala sekolah dan beberapa guru senior lainnya.

Kasus serupa juga pernah saya alami ketika mengajar siswa jenjang SMP. Saat itu saya menyampaikan kekecewaan saya kepada beberapa siswa yang tidak mengerjakan tugas rumah atau PR. Tugas itu adalah sebuah project yang harus diselesaikan oleh siswa pada hari itu juga karena pada keesokan harinya akan ditampilkan pada sebuah event di sekolah. Terkait dengan itu, saya juga sudah memberikan peringatan pada pertemuan sebelumnya atau satu minggu sebelum pembelajaran berikutnya. Yang membuat saya lebih kecewa lagi adalah siswa itu sama sekali tidak membawa perlengkapan tugas sedikitpun di kelas. Mereka juga banyak beralasan. Kebanyakan dari mereka memiliki alasan yang sama, yaitu sibuk dan sibuk.


Jadwal beban mengajar saya.
Tidak hanya mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, tetapi juga Science Fair Preparation

Sebagai seorang guru yang merupakan bawahan dari pemilik sekolah, saya tentu berada dalam dua posisi yang cukup sulit, yaitu memastikan project siswa sebelum event yang diadakan keesokan harinya, padahal siswa sama sekali tidak membawa perlengkapannya. Dalam kondisi demikian, sayapun meluapkan kekesalan saya pada mereka dan memberi teguran. Kira-kira beginilah kata-kata saya;

“I’ve told you... Your project is supposed to be submitted today, coz all of them have to be presented at the scientific expo that will be held tomorrow morning. But you....don’t bring anything at all with you now. How can you get it all done today?

Tidak kusangka, teguran saya ternyata tidak terlalu dihiraukan oleh mereka. Bahkan, ada seorang siswa yang justru menyahut teguran saya dengan mengatakan,

“But I had a family event last weekend Mr. I had no time for completing the project. I was busy.”

Mendengar pernyataan itu dari mulutnya, saya merasa sangat kesal. Kok bisa orang tuanya tidak mengarahkan anaknya untuk memperhatikan tugas sekolahnya di rumah. Mereka justru mengajak anaknya untuk sibuk dalam acara mereka dan melupakan sekolah. Saya kemudian spontan menunjukkan kekecewaan saya kepadanya dengan mengatakan. “Why didn’t you try to manage to do it when you had free time?” Diapun juga tidak mau disalahkan dengan merespon apa yang saya katakan, “But I was really busy, Mr. How could I have spare time?” Mendengar jawaban itu saya semakin kesal. Masih anak SMP kok bukan main sibuknya. Lagipula event itu adalah acara orang tuanya. Saya kemudian spontan mengatakan, “Why do you keep defending yourself???” Why do you keep defending yourself?”

Saya sama sekali tidak menduga bahwa ternyata kalimat terakhir yang saya ucapkan kepada anak itu menjadi sumber masalah. Sepulang sekolah, anak itu melapor kepada orang tuanya tentang kejadian di kelas itu. Dia bilang bahwa seorang guru di sekolahnya telah memarahinya karena dia tidak membawa tugas. Dan ketika dia menjelaskan alasan kenapa tidak membawa tugas itu, gurunya malah mempertanyakan ucapannya serta menuduh kenapa dia selalu membela diri. Mendengar laporan dari anaknya, si orang tua langsung menghubungi pihak sekolah. Dan yang paling mengejutkan adalah tanpa mencari keterangan lebih lanjut, Kepala sekolah langsung memanggil saya untuk mengikuti persidangan yang diikuti oleh sekitar 7 orang guru senior.

Selama sidang berlangsung, saya merasa heran... Ketika saya menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi, para guru senior itu terlihat seolah-olah lebih membela siswa dengan alasan kondisi anak yang masih remaja, orang tua yang memang memiliki kesibukan, dsb. Bahkan mereka justru memberikan saran dan nasihat kepada saya mengenai cara dan pendekatan yang lebih baik untuk menangani anak semacam itu. Yang saya tidak habis pikir, anak tersebut tidak diberikan sanksi sama sekali. Dalam kondisi semacam ini, saya tentu tidak bisa berdaya dan membela diri. Saya hanya pasrah dan terpaksa harus mengakui kesalahan saya. Namun, perasaan heran itu tetap menghinggap di hati saya. Saya merasa ada bagian perkara yang ditutupi oleh pihak sekolah kepada saya, yaitu komunikasi antara mereka dengan orang tua siswa. Kok bisa tanpa adanya klarifikasi mengenai peran orang tua terhadap siswa, saya secara tidak langsung dinyatakan bersalah.


Foto bersama para guru lainnya

Mendampingi siswa dalam acara Fieldtrip di Tanjungputing, Kalimantan Timur 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar