Video untuk Serdos Gelombang 1 Tahun 2025 |
From Zero to Hero: Suka Duka Menjadi Dosen di Kampus Baru
Aziza Restu Febrianto
Kampus baru tentu punya semangat
besar untuk berkembang, tapi pastinya juga dibarengi berbagai tantangan unik
yang tidak selalu dirasakan oleh dosen di institusi yang sudah mapan. Berikut
ini adalah suka dan duka yang saya alami sebagai dosen di Universitas Nasional
Karangturi, sebuah kampus baru di Semarang yang masih berusia 8 tahun.
Pengalaman saya ini mungkin juga dirasakan oleh rekan-rekan akademisi lain yang
memilih (atau terpilih) untuk ikut membangun institusi dari nol.
Sisi Manis: Kesempatan Emas yang Tidak Datang Dua Kali
1. Status Dosen
Tetap yang Didapat Lebih Cepat
Berbeda dengan kampus besar yang
proses seleksinya panjang dan sangat kompetitif, kampus baru cenderung membuka
peluang lebih cepat untuk para dosen yang baru memulai karirnya. Saya bersyukur
bisa mendapat status resmi sebagai dosen tetap hanya dalam hitungan bulan sejak
bergabung. Ini memberi kepastian karier sekaligus menjadi bekal untuk mengurus
jenjang jabatan berikutnya.
2. Menjadi
Bagian dari Sejarah
Ada kebanggaan tersendiri ketika
melihat nama kita tercantum dalam dokumen awal pendirian kampus. Kita bukan
sekadar bekerja, tapi ikut meletakkan fondasi sejarah. Setiap rapat pertama,
setiap dokumen awal, dan bahkan setiap ruangan yang kita tata bersama, kelak
akan menjadi cerita yang layak dikenang.
3. Kesempatan
Berkarya di Luar Akademik
Karena SDM masih terbatas, peran
dosen di kampus baru sering kali melebar ke berbagai bidang. Saya pernah ikut
menyusun pedoman akademik, merancang pelatihan untuk tendik, bahkan diminta
jadi pembawa acara saat wisuda pertama. Semua ini memperluas pengalaman dan
membentuk keterampilan yang tidak hanya terbatas di ruang kelas.
4. Jabatan
Fungsional Bisa Diurus Sejak Dini
Tuntutan akreditasi mendorong
para dosen untuk aktif dalam Tri Dharma sejak awal. Kampus pun memberi dukungan
dalam bentuk insentif, bimbingan, dan fasilitas administratif agar dosen bisa
segera mengurus jabatan fungsionalnya. Saya pribadi merasa terbantu karena
banyak kesempatan meneliti dan mengabdi yang bisa langsung dikerjakan.
5. Mahasiswa
Masih Sedikit, Proses Mengajar Lebih Personal
Kelas-kelas
dengan jumlah mahasiswa yang masih kecil membuat suasana lebih akrab. Saya bisa
mengenal karakter mereka satu per satu, memberi umpan balik yang lebih
mendalam, dan membimbing mereka secara lebih intensif. Hal ini menurut saya
memberi kualitas pembelajaran yang lebih baik di tahap awal.
Sisi Menantang: Membangun Kampus Itu Tidak Mudah
1. Bekerja di
Luar Tupoksi Itu Biasa
Sebagai dosen, tupoksi kita
sebenarnya adalah menjalankan Tri Dharma: mengajar, meneliti, dan mengabdi.
Tapi di kampus baru, pekerjaan administratif datang silih berganti, mulai dari
menyusun statuta, rencana strategis, SOP, hingga menyiapkan borang akreditasi.
Waktu untuk mengajar dan meneliti sering tergerus oleh tuntutan administratif
ini.
2. Sistem Belum
Mapan, Semua Harus Serba Fleksibel
Bayangkan bekerja tanpa SOP, atau
dengan sistem informasi akademik yang belum sepenuhnya berjalan. Banyak hal
harus dilakukan manual. Komunikasi pun sering dilakukan melalui jalur informal
karena struktur organisasi belum tertata rapi. Ketahanan mental dan
fleksibilitas menjadi kunci agar tetap waras di tengah situasi yang cair ini.
3. SDM
Terbatas, Beban Menumpuk
Jumlah mahasiswa yang masih
sedikit tentu berdampak pada pendapatan institusi. Akibatnya, kampus belum
mampu merekrut banyak dosen atau karyawan. Akhirnya, banyak tugas—khususnya
yang berkaitan dengan administrasi dan akreditasi—dibebankan pada segelintir
orang saja. Lembur, multitasking, bahkan rangkap jabatan menjadi hal biasa.
4. Fasilitas
Masih Sangat Terbatas
Perpustakaan yang belum lengkap,
laboratorium yang belum tersedia, hingga ruang dosen yang harus berbagi. Semua
ini adalah bagian dari kenyataan di kampus yang sedang tumbuh. Kami sering
harus berkreasi untuk mengatasi keterbatasan ini, misalnya dengan mengandalkan
sumber digital atau bekerja kolaboratif dalam satu ruangan kecil.
Mengukir Jejak di Tempat yang Masih Kosong
Menjadi dosen di kampus baru
ibarat menanam pohon di tanah kosong. Butuh tenaga, kesabaran, dan waktu. Tapi
saya percaya, pohon ini suatu hari akan tumbuh besar dan rindang, memberi
manfaat bagi banyak orang. Di tengah lelahnya mengerjakan borang, di sela rapat
yang kadang tidak jelas arah, saya tetap berusaha mengingat alasan saya memilih
jalan ini: ingin berkontribusi untuk pendidikan. Dan kelak, ketika kampus ini
telah dikenal luas, mahasiswanya ribuan, dan bangunannya megah, saya bisa
berkata pada diri sendiri, “Saya ada di sana sejak awal. Saya ikut menanam
benihnya.”
Apakah Anda juga seorang dosen
yang sedang membangun dari nol? Atau pernah merasakan dinamika serupa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar