Senin, 21 Juli 2025

From Zero to Hero: Suka Duka Menjadi Dosen di Kampus Baru

Video untuk Serdos Gelombang 1 Tahun 2025

From Zero to Hero: Suka Duka Menjadi Dosen di Kampus Baru

Aziza Restu Febrianto

Kampus baru tentu punya semangat besar untuk berkembang, tapi pastinya juga dibarengi berbagai tantangan unik yang tidak selalu dirasakan oleh dosen di institusi yang sudah mapan. Berikut ini adalah suka dan duka yang saya alami sebagai dosen di Universitas Nasional Karangturi, sebuah kampus baru di Semarang yang masih berusia 8 tahun. Pengalaman saya ini mungkin juga dirasakan oleh rekan-rekan akademisi lain yang memilih (atau terpilih) untuk ikut membangun institusi dari nol.

Sisi Manis: Kesempatan Emas yang Tidak Datang Dua Kali

1. Status Dosen Tetap yang Didapat Lebih Cepat

Berbeda dengan kampus besar yang proses seleksinya panjang dan sangat kompetitif, kampus baru cenderung membuka peluang lebih cepat untuk para dosen yang baru memulai karirnya. Saya bersyukur bisa mendapat status resmi sebagai dosen tetap hanya dalam hitungan bulan sejak bergabung. Ini memberi kepastian karier sekaligus menjadi bekal untuk mengurus jenjang jabatan berikutnya.

2. Menjadi Bagian dari Sejarah

Ada kebanggaan tersendiri ketika melihat nama kita tercantum dalam dokumen awal pendirian kampus. Kita bukan sekadar bekerja, tapi ikut meletakkan fondasi sejarah. Setiap rapat pertama, setiap dokumen awal, dan bahkan setiap ruangan yang kita tata bersama, kelak akan menjadi cerita yang layak dikenang.

3. Kesempatan Berkarya di Luar Akademik

Karena SDM masih terbatas, peran dosen di kampus baru sering kali melebar ke berbagai bidang. Saya pernah ikut menyusun pedoman akademik, merancang pelatihan untuk tendik, bahkan diminta jadi pembawa acara saat wisuda pertama. Semua ini memperluas pengalaman dan membentuk keterampilan yang tidak hanya terbatas di ruang kelas.

4. Jabatan Fungsional Bisa Diurus Sejak Dini

Tuntutan akreditasi mendorong para dosen untuk aktif dalam Tri Dharma sejak awal. Kampus pun memberi dukungan dalam bentuk insentif, bimbingan, dan fasilitas administratif agar dosen bisa segera mengurus jabatan fungsionalnya. Saya pribadi merasa terbantu karena banyak kesempatan meneliti dan mengabdi yang bisa langsung dikerjakan.

5. Mahasiswa Masih Sedikit, Proses Mengajar Lebih Personal

Kelas-kelas dengan jumlah mahasiswa yang masih kecil membuat suasana lebih akrab. Saya bisa mengenal karakter mereka satu per satu, memberi umpan balik yang lebih mendalam, dan membimbing mereka secara lebih intensif. Hal ini menurut saya memberi kualitas pembelajaran yang lebih baik di tahap awal.

 

Sisi Menantang: Membangun Kampus Itu Tidak Mudah

1. Bekerja di Luar Tupoksi Itu Biasa

Sebagai dosen, tupoksi kita sebenarnya adalah menjalankan Tri Dharma: mengajar, meneliti, dan mengabdi. Tapi di kampus baru, pekerjaan administratif datang silih berganti, mulai dari menyusun statuta, rencana strategis, SOP, hingga menyiapkan borang akreditasi. Waktu untuk mengajar dan meneliti sering tergerus oleh tuntutan administratif ini.

2. Sistem Belum Mapan, Semua Harus Serba Fleksibel

Bayangkan bekerja tanpa SOP, atau dengan sistem informasi akademik yang belum sepenuhnya berjalan. Banyak hal harus dilakukan manual. Komunikasi pun sering dilakukan melalui jalur informal karena struktur organisasi belum tertata rapi. Ketahanan mental dan fleksibilitas menjadi kunci agar tetap waras di tengah situasi yang cair ini.

3. SDM Terbatas, Beban Menumpuk

Jumlah mahasiswa yang masih sedikit tentu berdampak pada pendapatan institusi. Akibatnya, kampus belum mampu merekrut banyak dosen atau karyawan. Akhirnya, banyak tugas—khususnya yang berkaitan dengan administrasi dan akreditasi—dibebankan pada segelintir orang saja. Lembur, multitasking, bahkan rangkap jabatan menjadi hal biasa.

4. Fasilitas Masih Sangat Terbatas

Perpustakaan yang belum lengkap, laboratorium yang belum tersedia, hingga ruang dosen yang harus berbagi. Semua ini adalah bagian dari kenyataan di kampus yang sedang tumbuh. Kami sering harus berkreasi untuk mengatasi keterbatasan ini, misalnya dengan mengandalkan sumber digital atau bekerja kolaboratif dalam satu ruangan kecil.

Mengukir Jejak di Tempat yang Masih Kosong

Menjadi dosen di kampus baru ibarat menanam pohon di tanah kosong. Butuh tenaga, kesabaran, dan waktu. Tapi saya percaya, pohon ini suatu hari akan tumbuh besar dan rindang, memberi manfaat bagi banyak orang. Di tengah lelahnya mengerjakan borang, di sela rapat yang kadang tidak jelas arah, saya tetap berusaha mengingat alasan saya memilih jalan ini: ingin berkontribusi untuk pendidikan. Dan kelak, ketika kampus ini telah dikenal luas, mahasiswanya ribuan, dan bangunannya megah, saya bisa berkata pada diri sendiri, “Saya ada di sana sejak awal. Saya ikut menanam benihnya.”

Apakah Anda juga seorang dosen yang sedang membangun dari nol? Atau pernah merasakan dinamika serupa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar