Bagiku, mengajar itu.....
*Aziza Restu Febrianto
Perjalanan
hidup membuat pola pikir dan persepsi saya tentang mengajar selalu berubah dan
berkembang. Ketika masih di bangku sekolah, saya melihat mengajar adalah sebuah
profesi yang tidak menarik. Saya masih ingat ketika seorang guru saya di kelas
bertanya tentang cita-cita pada saat pembelajaran di kelas, tidak satupun dari
kita yang ingin bercita-cita menjadi guru. Bagi saya dan teman-teman di kelas,
pekerjaan guru itu sangat melelahkan. Seorang guru dituntut untuk bisa mengurus
dan membimbing anak didik yang jumlahnya antara 20 sampai 45 di kelas. Waktu
itu saya belum memahami bahwa guru itu tidak hanya memiliki tanggung jawab
dalam mengajar, tapi juga mendidik. Tapi melihat tugas dan kegiatannya, saat
itu saya sudah paham dan tahu akan beratnya pekerjaan guru itu. Sehingga saya
enggan angkat tangan ketika ditanya siapa yang ingin menjadi guru.
Fase
kehidupan pasca sekolah dan semasa kuliah membuat saya belajar banyak, baik
secara teori maupun praktik tentang makna mengajar yang sebenarnya. Tapi pada
fase ini belum bisa dijadikan sebagai kesimpulan akhir pandangan saya karena
semua terus berubah seiring dengan perjalanan karir saya. Fase pasca kuliah
juga cukup kompleks hingga pernah sampai pada satu titik saya merasa menjadi
guru itu berat, membosankan dan kurang dihargai, sehingga membuat saya berganti
profesi dan pekerjaan.
Masa pencarian
Setelah
lulus SMA, saya benar-benar tidak tahu arah tujuan saya mau kemana ... Saya
masih bingung tentang cita-cita dan menjadi seperti apa saya kelak. Saya masih
ingat akan usaha saya untuk bisa masuk jurusan IPA dengan mengambil les kesana
kemari. Namun nilai saya tetap saja tidak memenuhi standar untuk bisa masuk
jurusan favorit itu. Tentu saja keputusan akhir saya jatuh ke IPS. Bagi saya,
motivasi dan upaya untuk bisa masuk ke jurusan IPA waktu itu adalah cita-cita
yang tinggi dan pekerjaan yang menurut orang-orang kampung keren atau entah
seperti apa itu walaupun akhirnya saya sadar bahwa apa yang saya lakukan saat
itu hanyalah ikut-ikutan trend. Sepertinya kebanyakan orang berfikiran bahwa
jurusan IPA adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Proses ini malah
justru membuat saya bingung, kehilangan jati diri dan berjalan tanpa arah yang
jelas.
Dalam
kebingungan ini, ketika harus dihadapkan untuk memilih jurusan kuiliah, hanya
dua pertanyaan yang terbesit dalam pikiran: apa yang saya suka dan paling bisa
lakukan. Untuk menentukan bidang jurusan kuliah yang benar-benar saya tekuni,
saya harus bisa menjawab dua pertanyaan itu terlebih dahulu. Saya suka sekali
dengan Bahasa asing, dan kemampuan saya bisa dikatakan lebih baik diantara
teman-teman saya di kelas. Mereka juga menganggap bahwa saya pintar dalam
Bahasa Inggris. Pengalaman yang paling berkesan adalah ketika saya di SMP, guru
Bahasa Inggris saya, yang bisa dibilang guru senior, bilang bahwa saya pintar
dalam Bahasa Inggris dan selalu memberi saya nilai 9. Beliau tidak segan memuji
saya di depan kelas dan terkadang memberi saya uang jajan. Saya juga pernah
diminta mengerjakan semua soal Bahasa Inggris di depan kelas dengan jawaban
yang benar semua. Alasannya adalah karena semua teman kelas saya tidak bisa
mengerjakan itu. Beginilah kira-kira pujian dari beliau yang tidak akan pernah
saya lupa:
“Masa dari tadi Aziza terus yang bisa
menjawab soal. Yang lain gimana ini?. Aziza, kamu itu pinter lho. Kenapa masuk
di kelas D, gak di kelas A saja?”
Di
SMP saya dulu, siswa memang dibagi menjadi 7 kelas (A s/d G) dan pembagiannya
diurutkan berdasarkan prestasi akademik secara keseluruhan pelajaran dari yang paling
bagus. Waktu itu saya ditempatkan di kelas D (ya..kelas menengah lah..hehe)
berdasarkan nilai ujian sekolah waktu SD. Tentu saja kelas A berisi siswa yang
prestasi akademiknya paling bagus sewaktu SD. Namun saya tidak berkecil hati
karena masuk ke SMP ini saja sudah sangat susah. Saya bersyukur bisa diterima
di sekolah ini, sehingga bisa berteman dengan siswa lain yang jauh lebih pintar
dari saya.
Pengalaman
berkesan yang saya dapatkan selama SMP ternyata berlanjut di SMA dengan ditunjuknya
saya untuk mengikuti lomba pidato Bahasa Inggris tingkat sekolah. Semua
pengalaman inilah yang akhirnya menjadi salah satu pertimbangan penting untuk
memilih jurusan kuliah. Selain bidang Bahasa Inggris, ternyata saya juga
mendapatkan pengalaman yang sama di bidang lain yang mana saya juga menonjol,
yaitu kesenian. Banyak orang bilang saya berbakat di bidang musik dan lukis.
Beberapa teman sering meminta saya untuk membuat gambar dan lukisan waktu
sekolah dulu. Pernah suatu ketika saya iseng melukis seorang pemain sepak bola
terkenal diatas kanvas, dan lukisan itu ternyata sampai sekarang dipajang di
ruang guru SMA saya. Saya juga pernah mewakili kelas mengikuti lomba karaoke
dan mendapat juara 4 waktu itu. Sehingga saya sempat berfikir bahwa mungkin
jurusan yang cocok buat saya adalah kesenian dan budaya.
Bersambung....(Bagian 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar