Rabu, 13 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 10) - Serangkaian Refleksi


Menjadi Peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG)

*Aziza Restu Febrianto

Setahun cepat sekali berlalu. Ilmu dan pengalaman telah cukup saya dapatkan di tanah rantauan selama program SM-3T, yang memang berlangsung hanya satu tahun. Itu artinya Saya dan peserta lainnya harus siap dipulangkan kembali ke tanah Jawa. Sebagai reward atau penghargaan atas tugas yang telah kita laksanakan selama satu tahun itu, pemerintah memberikan beasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) kepada semua peserta untuk jangka waktu satu tahun pula. Waktu itu saya mengikuti PPG di almamater saya, UNNES, sehingga saya harus kembali ke Semarang. Menurut subjektif saya, secara keseluruhan, PPG merupakan sebuah program yang sangat luar biasa dan ideal untuk melatih, mendidik dan menggembleng para calon guru untuk menjadi profesional. PPG jugalah yang akhirnya membuat saya membuka mata dan jatuh cinta pada dunia pendidikan yang kemudian saya tekuni hingga sekarang.

PPG ini mengingatkan saya pada sebuah program pendidikan guru di Inggris bernama Postgraduate Certificate in Education (PGCE/PGCertEd) yang durasinya juga satu tahun. Siapa saja yang mengambil dan menyelesaikan pendidikan ini akan berpeluang besar untuk menjadi guru. Secara esensi, memang ada kesamaan antara PPG dan PGCE. Namun, secara teknis, kedua program itu tentu saja memiliki banyak perbedaan. Informasi lebih lanjut mengenai PGCE bisa dilihat di laman ini https://www.prospects.ac.uk/. PPG sebenarnya juga merupakan program perbaikan dari jenis pendidikan yang ada sebelumnya, yaitu pendidikan Akta 4. Namun, setelah melalui rangkaian evaluasi dan dikeluarkannya undang-undang  profesi guru dan dosen, pendidikan Akta 4 ini kemudian dihapus dan digantikan oleh PPG.  

Selama PPG, semua peserta (alumni SM-3T) diwajibkan untuk tinggal di asrama. Semua peserta juga diharuskan untuk mengikuti berbagai macam kegiatan pengembangan diri di asrama. Perkuliahan dilaksanakan setiap hari senin sampai dengan sabtu di kampus mulai dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 17.00. Sungguh luar biasa padatnya jadwal PPG itu, sehingga kita harus mengosongkan semua agenda yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Pada hari minggupun kita juga harus mengikuti kegiatan olahraga dan kreativitas kesenian. Kita dilarang meninggalkan asrama kecuali atas ijin dari lurah asrama. Itu saja kalau memang ada keperluan penting. Yang jelas PPG itu adalah sebuah program yang sangat padat sekali. Semua peserta diwajibkan untuk berada di lingkungan kampus dan asrama selama 24 jam setiap hari dalam jangka waktu satu tahun.

Dalam pelaksanaannya, PPG dibagi menjadi dua sesi. Sesi yang pertama adalah kegiatan perkuliahan seperti biasa, yaitu semua peserta harus mengikuti perkuliahan di kampus dari pagi hingga sore hari, diajar dan didampingi oleh beberapa dosen. Sedangkan sesi yang kedua adalah PPL seperti halnya yang pernah saya dapatkan ketika masih kuliah S1 dulu. Hanya saja PPL pada saat PPG sangatlah berbeda baik dari sisi durasi maupun variasi kegiatannya. Pada kegiatan pertama di kampus, yang kita lakukan adalah membedah semua kurikulum dan silabus SMP dan SMA/ MA/ SMK. Tapi untuk melakukannya, kita dibagi menjadi beberapa tim agar semua perangkat itu bisa dikerjakan dengan diskusi kelompok untuk semua jenjang dalam waktu yang terbatas. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan materi pembelajaran yang diakhiri dengan memilih salah satu materi untuk digunakan dalam membuat Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP).

Ketika semua komponen kurikulum dan silabus telah dibedah, materi sudah dipersiapkan dan RPP juga sudah dibuat, kegiatan selanjutnya yaitu kita harus mempersiapkan praktik mengajar di kelas atau yang biasa dikenal dengan Peer teaching. Dengan semua perangkat dan perlengkapan pembelajaran yang sudah kita siapkan, kita harus melakukan praktik mengajar didepan teman sekelas atau kolega kita. Praktik mengajar ini tentu saja dilakukan secara bergiliran dengan diperhatikan dan dievaluasi oleh dosen. Terkadang kegiatan perkuliahan termauk Peer teaching ini juga dihadiri oleh seorang guru senior yang terkenal berprestasi, baik dari SMP, SMA maupun SMK. Para dosen, guru sekolah yang diundang serta semua peserta PPG diberikan kesempatan untuk memberikan masukan kepada setiap dari kita yang tampil. Saya masih cukup ingat beberapa masukan dari dosen, guru sekolah maupun teman sekelas ketika saya mendapatkan giliran Peer teaching.

Beberapa kolega atau teman kelas tampaknya memiliki pendapat yang sama dengan para dosen dan guru sekolah ketika melihat saya mengajar di kelas. Mereka mengatakan,

“Mas, keterampilan Bahasa Inggris anda sudah bagus. Tapi ketika menjelaskan materi, anda terlalu cepat. Ingat yang anda ajar ini adalah anak SMP.” Saking antusiasnya mengajar, saya memang terkadang tidak menyadari bahwa konteks latar belakang siswa yang saya ajar adalah SMP, yang tentu saja baru belajar Bahasa Inggris pada tingkat dasar. Mungkin kondisi Peer teaching yang mana siswanya merupakan kolega saya sendiri ini sangat mempengaruhi bagaimana saya mengajar.
Bahkan dua orang teman saya juga sempat berkata kepada saya, “Mas Restu jadi dosen saja. Lebih cocok.” Masukan lainnya yang saya terima dari peserta PPG lain adalah yang berkaitan dengan manajemen waktu, “Tadi itu mas seharusnya jangan terlalu banyak dan terlalu lama di pembukaan mengajar atau penyampaian apersepsinya, sehingga waktu untuk kegiatan inti jadi berkurang. ”

Begitulah kira-kira feedback yang diberikan oleh para kolega, dosen dan guru sekolah. Meunurut saya kegiatan seperti ini itu luar biasa. Peserta calon guru diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk membedah materi, mempersiapkan RPP dan melakukan praktik mengajar di kelas dengan berbagai masukan dari orang lain yang tentu membuat mereka semakin memperbaiki diri melalui evaluasi dan refleksi. Dan kegiatan semacam ini kita lakukan setiap hari hingga mendekati waktu PPL tiba. Sungguh luar biasa, walaupun saya juga berfikir bahwa semua pelatihan dalam perkuliahan ini belum tentu akan benar-benar bisa diterapkan sempurna di kelas yang sebenarnya karena pertimbangan pengalaman mengajar peserta yang cukup lama di sekolah.  Kita benar-benar paham betul betapa tentatifnya kondisi siswa di ruang kelas yang nyata. 

Bersambung.....(Bagian 11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar