Mencari Kebenaran dalam Ketidakpastian: Sebuah Perjalanan Spiritual
*Aziza Restu Febrianto
Sejak saya lahir dan tumbuh menjadi remaja, saya
hidup dalam lingkungan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.
Islam bukan hanya agama yang saya anut, tapi juga identitas yang membentuk cara
pandang saya terhadap dunia. Saat itu saya cukup rajin beribadah, baik wajib
seperti sholat 5 waktu dan puasa Ramadhan maupun sunnah lainnya seperti sholat sebelum
dan setelah sholat wajib 5 waktu, sholat dhuha, dan sholat malam. Saya juga sering
menangis ketika sedang membaca Al-Qur’an dan terjemahannya. Selain itu, saya
juga aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, dari remaja masjid, forum kajian
Islam, hingga berbagai kegiatan dakwah. Keikutsertaan saya bukan sekadar
formalitas. Saya benar-benar percaya bahwa pertolongan Allah akan selalu
menyertai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.
Saya mungkin bisa menyimpulkan bahwa motivasi
saya kala itu berpijak pada dua hal, yaitu harapan akan keselamatan di dunia dan di akhirat,
serta ketakutan akan azab di hari pembalasan. Keduanya menjadi pondasi yang
kuat bagi keyakinan saya bahwa Islam adalah satu-satunya jalan yang benar. Saat
memasuki dunia perkuliahan, semangat itu tidak luntur, tetapi justru semakin
menguat. Saya terlibat sangat aktif dalam organisasi kerohanian Islam (ROHIS),
berdakwah ke berbagai jurusan dan fakultas, dan pada akhirnya dipercaya menjadi ketua
organisasi dakwah di kampus. Saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari
perjuangan dakwah yang saya anggap mulia.
Namun, seiring perjalanan waktu, ada kegelisahan
yang tumbuh diam-diam dalam benak saya. Fase ini saya rasakan setelah beberapa
tahun pasca saya lulus kuliah S-1, tepatnya tahun 2013. Saat itu saya sudah
memiliki pengalaman kerja dan berinteraksi dengan berbagai macam orang dengan
latar belakang berbeda - tidak hanya mereka yang berasal dari Jawa, tetapi juga
luar jawa dan bahkan luar negeri. Seluruh pengalaman hidup, perjumpaan dengan beragam
cara berpikir, serta kebiasaan saya membaca dan berpikir kritis mulai
menggoyahkan fondasi keyakinan yang selama ini saya anggap kokoh. Tentunya itu semua didukung oleh keterbukaan akses informasi tanpa batas melalui internet dan media sosial. Saya mulai
mempertanyakan hal-hal yang dulu saya terima begitu saja, khususnya tentang
konsep Tuhan, keadilan ilahi, penderitaan manusia, ketidakpastian dalam hidup, fenomena fenomena yang random dan tak terprediksi, serta kebenaran absolut yang
diusung masing-masing agama di dunia.
Bagi saya, semua pertanyaan itu tidak bisa saya jawab hanya dengan ayat atau hadis. Saya pada akhirnya merasakan adanya ruang hampa antara keimanan dan realitas. Saya kemudian mencoba berdialog, membaca lagi, mencari jawaban yang lebih masuk akal. Namun semakin saya mencari, semakin saya sadar bahwa banyak dari keyakinan keagamaan saya dahulu ternyata dibentuk bukan oleh pengetahuan empiris, melainkan oleh doktrin yang telah lama diterima begitu saja. Pandangan ini mengingatkan saya pada pemikiran Carl Sagan dalam The Demon-Haunted World (1997), yang menyatakan bahwa manusia harus mampu memilah kepercayaan dari kenyataan menggunakan cahaya sains dan skeptisisme. Sagan menekankan pentingnya berpikir kritis untuk membebaskan diri dari "dunia yang dihantui oleh setan"—sebuah metafora untuk kepercayaan buta tanpa dasar rasional. Akan tetapi, saya juga tidak ingin mengingkari masa lalu saya, karena pengalaman itu adalah bagian dari proses pembentukan diri saya. Saya juga tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa keyakinan saya perlahan mulai luntur, bukan karena pengaruh buruk, melainkan karena dorongan untuk berpikir jujur dan terbuka.
Saya tidak beralih menjadi ateis. Menjadi ateis, menurut saya, juga menuntut pembuktian yang belum bisa saya terima sepenuhnya. Hingga saat ini, saya juga belum menemukan argumen kuat yang dapat membuktikan bahwa Tuhan benar-benar tidak ada. Karena itu, saya mengambil posisi tengah, mungkin ini yang dimaksud dengan Agnostisme. Sebuah sikap intelektual yang mengakui bahwa saat ini, saya belum bisa memastikan apakah Tuhan itu benar-benar ada atau tidak. Seperti halnya yang dikatakan Huxley (1825-1895), dibahas oleh Harvey (2013), agnostisme adalah sikap epistemologis yang menekankan bahwa manusia tidak boleh mengklaim mengetahui sesuatu, terutama dalam hal metafisika seperti keberadaan Tuhan, jika tidak ada dasar rasional dan empiris yang kuat. Dalam hal ini, saya menerima ketidakpastian itu sebagai bagian dari proses pencarian yang terus berjalan. Sikap ini sangat selaras dengan yang dijelaskan William James dalam esainya The Will to Believe (1896), di mana ia menegaskan bahwa dalam kondisi di mana bukti empiris tidak memadai, seseorang tetap sah untuk mengambil keputusan atas dasar kebutuhan emosional dan eksistensial. Bagi James, keyakinan bisa bersifat sah meskipun tanpa bukti absolut, asalkan ia memiliki nilai eksistensial dalam hidup seseorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Agnostisme adalah pandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui (Setiawan, 2024).
Bagi saya, Agnostisme bukanlah bentuk keputusasaan, melainkan keberanian untuk mengakui keterbatasan manusia dalam memahami hal-hal metafisik. Ini bukan bentuk pemberontakan terhadap agama, melainkan sebuah usaha untuk terus mencari kebenaran tanpa dibatasi oleh doktrin yang sudah jadi. Pandangan ini juga sejalan dengan argumen Bertrand Russell dalam kuliah terkenalnya berjudul Why I Am Not a Christian (1927), yang menekankan bahwa kepercayaan religius sering kali dibangun bukan atas dasar bukti rasional, tetapi atas dasar dogma, kebiasaan budaya dan tekanan sosial. Russell tidak hanya mengkritisi dogma Kristen, tetapi juga menantang semua bentuk kepercayaan yang menolak untuk diuji dengan nalar. Namun, dengan memiliki pandangan Agnotisme, bukan berarti saya jauh dari jiwa spiritual. Saya tetap terbuka terhadap pengalaman spiritual, tetap menghargai ajaran agama, dan tidak menutup kemungkinan untuk berubah jika kelak saya menemukan jawaban yang meyakinkan. Dalam buku The Future of God (1995), Karen Armstrong menekankan bahwa spiritualitas bukanlah perkara iman dogmatis, tetapi bagaimana manusia merespon rasa kagum dan misteri kehidupan. Bagi Armstrong, bahkan keraguan bisa menjadi bagian dari perjalanan spiritual yang otentik. Dalam konteks saya, keraguan bukanlah musuh, tapi justru penanda bahwa saya terus hidup dan berpikir. Pilihan ini tentu tidak mudah. Dalam masyarakat yang masih menilai keyakinan sebagai identitas mutlak, menjadi agnostik sering dianggap sebagai penyimpangan. Tapi bagi saya, kejujuran terhadap diri sendiri lebih penting daripada kenyamanan dalam keyakinan yang tidak lagi saya yakini. Saya percaya bahwa mencari kebenaran adalah proses panjang, dan setiap orang punya jalannya masing-masing.
Pencarian kebenaran versi saya tidak berhenti pada tataran intelektual saja.
Kehidupan nyata saya justru memperumit dinamika batin ini. Saya sudah berkeluarga: memiliki seorang istri dan anak yang saya cintai.
Istri saya dibesarkan dalam lingkungan Islam yang taat. Anak saya yang kini
berusia tujuh tahun juga tumbuh di lingkungan masyarakat yang mayoritas memeluk
Islam secara kultural dan spiritual. Disini lah dilema itu sering muncul. Di
satu sisi, saya merasa "harus" menjalani berbagai ritual keagamaan
yang telah saya warisi sejak lahir. Saya sholat, saya puasa, saya mengajarkan
anak saya surat-surat dalam Al-Qur'an dan doa-doa yang dulu juga saya hafal sejak kecil. Tapi di sisi lain,
saya menyadari bahwa batin saya tidak lagi berada di frekuensi yang sama.
Banyak ajaran dan praktik yang saya jalani terasa tidak lagi sejalan dengan
hati nurani dan spiritualitas saya yang sekarang. Saya tidak merasa tenang,
tapi juga tidak bisa lepas begitu saja. Rasanya seperti terus mengenakan baju
yang sudah sempit, tetapi tetap harus dipakai karena orang-orang di sekitar
saya menganggapnya pantas.
Saya juga sadar bahwa anak saya belum cukup umur dan jelas belum mampu berpikir
sejauh saya. Maka saya pun memilih untuk tetap menyesuaikan diri, mengajarkannya
nilai-nilai Islam sebagaimana mestinya. Saya tidak ingin dia merasa terasing
atau bahkan dijauhi dari lingkungan sosialnya hanya karena pandangan ayahnya.
Saya ingin dia tumbuh dengan rasa aman dan diterima. Dalam banyak hal, saya
merasa perlu "bermain peran", menjadi seseorang yang bisa diterima
oleh keluarga dan masyarakat, meskipun peran itu terasa asing dalam hati saya
sendiri. Hidup ini, pada akhirnya, memang seperti lagu “Panggung Sandiwara” yang
dinyanyikan oleh almarhumah Nike Ardila. Kita mengenakan topeng, memainkan
peran, dan menyampaikan dialog yang kadang tidak datang dari suara hati kita
sendiri. Dalam kasus saya, saya memainkan peran sebagai Muslim yang taat di
hadapan orang lain, sementara batin saya masih terus bergulat dalam
ketidakpastian.
Namun saya tidak ingin terus larut dalam konflik batin ini. Sekarang saya sudah berusia 39 tahun, atau berarti mendekati 40 tahun, yang kata orang merupakan usia penentu arah hidup—masa dimana seseorang mulai menoleh ke belakang untuk menilai apa yang telah dijalani, sekaligus menatap ke depan dengan lebih realistis dan apa adanya. Saat ini, saya hanya ingin berdamai dengan diri saya sendiri. Saya mulai menerima bahwa takdir lahiriah saya adalah sebagai seseorang yang terlahir dan tumbuh dalam tradisi Islam. Saya tidak ingin terus-menerus terbebani oleh pertanyaan besar yang kadang tak kunjung mendapat jawaban. Ada saatnya saya harus berhenti bertanya, bukan karena menyerah, tetapi karena ingin merawat kewarasan. Saya mungkin saat ini mulai melihat praktik-praktik agama secara lebih fungsional. Misalnya, saya menganggap sholat sebagai bentuk meditasi, walaupun saya tidak lagi menghayatinya sebagai bentuk komunikasi vertikal sebagaimana diajarkan Islam. Saya tetap berpuasa, selain karena itu adalah ekspektasi sosial terhadap saya sebagai seorang Muslim, juga karena saya merasakan manfaat kesehatannya. Saya tidak lagi menjalani ritual karena rasa takut atau keyakinan absolut, melainkan sebagai bentuk adaptasi dan rekonsiliasi diri terhadap kenyataan hidup yang saya jalani.
Refleksi ini mungkin akan dianggap aneh,
atau bahkan menyimpang, oleh sebagian orang. Tapi saya percaya bahwa setiap
manusia punya jalan spiritual masing-masing. Saya tidak memaksa orang lain
memahami posisi saya, sebagaimana saya juga tidak ingin memaksakan apa pun
kepada mereka. Saya hanya ingin hidup sebagai manusia yang jujur terhadap
batinnya sendiri—meskipun untuk itu saya harus terus berakting dalam dunia yang
penuh ekspektasi dan tuntutan peran. Dan mungkin, itulah cara saya menemukan
kedamaian.
Banyak sekali
sebenarnya yang ingin saya keluarkan dari isi kepala dan batin saya ini. Tetapi
jika saya melakukannya, mungkin akan membutuhkan ribuan halaman di blog ini. Dan pastinya itu akan sangat membosankan untuk dibaca. Sehingga cukup saya tulis dalam refleksi
singkat ini saja. Yang penting adalah substansi isinya...hehe.
Referensi
Armstrong, K. (1995). The future of god. Sounds True Audio.
Harvey, V. A. (2013). Huxley’s agnosticism. Philosophy Now: a magazine of ideas. https://philosophynow.org/issues/99/Huxleys_Agnosticism
James, William (1896). The Will to Believe And Other Essays in Popular Philosophy. Longman's.
Russell, B. (1927). Why I am not a Christian by Bertrand Russell - the bertrand russell society. https://users.drew.edu/~jlenz/whynot.html
Sagan, C. (1997). The demon-haunted world: Science as a candle in the dark. Headline.
Setiawan, E. (2024). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti kata agnostisisme - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. https://kbbi.web.id/agnostisisme