Rabu, 04 Juni 2025

Mencari Kebenaran dalam Ketidakpastian: Sebuah Perjalanan Spiritual

 

Mencari Kebenaran dalam Ketidakpastian: Sebuah Perjalanan Spiritual

*Aziza Restu Febrianto


Sejak saya lahir dan tumbuh menjadi remaja, saya hidup dalam lingkungan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Islam bukan hanya agama yang saya anut, tapi juga identitas yang membentuk cara pandang saya terhadap dunia. Saat itu saya cukup rajin beribadah, baik wajib seperti sholat 5 waktu dan puasa Ramadhan maupun sunnah lainnya seperti sholat sebelum dan setelah sholat wajib 5 waktu, sholat dhuha, dan sholat malam. Saya juga sering menangis ketika sedang membaca Al-Qur’an dan terjemahannya. Selain itu, saya juga aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, dari remaja masjid, forum kajian Islam, hingga berbagai kegiatan dakwah. Keikutsertaan saya bukan sekadar formalitas. Saya benar-benar percaya bahwa pertolongan Allah akan selalu menyertai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.

Saya mungkin bisa menyimpulkan bahwa motivasi saya kala itu berpijak pada dua hal, yaitu harapan akan keselamatan di dunia dan di akhirat, serta ketakutan akan azab di hari pembalasan. Keduanya menjadi pondasi yang kuat bagi keyakinan saya bahwa Islam adalah satu-satunya jalan yang benar. Saat memasuki dunia perkuliahan, semangat itu tidak luntur, tetapi justru semakin menguat. Saya terlibat sangat aktif dalam organisasi kerohanian Islam (ROHIS), berdakwah ke berbagai jurusan dan fakultas, dan pada akhirnya dipercaya menjadi ketua organisasi dakwah di kampus. Saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari perjuangan dakwah yang saya anggap mulia.

Namun, seiring perjalanan waktu, ada kegelisahan yang tumbuh diam-diam dalam benak saya. Fase ini saya rasakan setelah beberapa tahun pasca saya lulus kuliah S-1, tepatnya tahun 2013. Saat itu saya sudah memiliki pengalaman kerja dan berinteraksi dengan berbagai macam orang dengan latar belakang berbeda - tidak hanya mereka yang berasal dari Jawa, tetapi juga luar jawa dan bahkan luar negeri. Seluruh pengalaman hidup, perjumpaan dengan beragam cara berpikir, serta kebiasaan saya membaca dan berpikir kritis mulai menggoyahkan fondasi keyakinan yang selama ini saya anggap kokoh. Tentunya itu semua didukung oleh keterbukaan akses informasi tanpa batas melalui internet dan media sosial. Saya mulai mempertanyakan hal-hal yang dulu saya terima begitu saja, khususnya tentang konsep Tuhan, keadilan ilahi, penderitaan manusia, ketidakpastian dalam hidup, fenomena fenomena yang random dan tak terprediksi, serta kebenaran absolut yang diusung masing-masing agama di dunia.

Bagi saya, semua pertanyaan itu tidak bisa saya jawab hanya dengan ayat atau hadis. Saya pada akhirnya merasakan adanya ruang hampa antara keimanan dan realitas. Saya kemudian mencoba berdialog, membaca lagi, mencari jawaban yang lebih masuk akal. Namun semakin saya mencari, semakin saya sadar bahwa banyak dari keyakinan keagamaan saya dahulu ternyata dibentuk bukan oleh pengetahuan empiris, melainkan oleh doktrin yang telah lama diterima begitu saja. Pandangan ini mengingatkan saya pada pemikiran Carl Sagan dalam The Demon-Haunted World (1997), yang menyatakan bahwa manusia harus mampu memilah kepercayaan dari kenyataan menggunakan cahaya sains dan skeptisisme. Sagan menekankan pentingnya berpikir kritis untuk membebaskan diri dari "dunia yang dihantui oleh setan"—sebuah metafora untuk kepercayaan buta tanpa dasar rasional. Akan tetapi, saya juga tidak ingin mengingkari masa lalu saya, karena pengalaman itu adalah bagian dari proses pembentukan diri saya. Saya juga tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa keyakinan saya perlahan mulai luntur, bukan karena pengaruh buruk, melainkan karena dorongan untuk berpikir jujur dan terbuka.

Saya tidak beralih menjadi ateis. Menjadi ateis, menurut saya, juga menuntut pembuktian yang belum bisa saya terima sepenuhnya. Hingga saat ini, saya juga belum menemukan argumen kuat yang dapat membuktikan bahwa Tuhan benar-benar tidak ada. Karena itu, saya mengambil posisi tengah, mungkin ini yang dimaksud dengan Agnostisme. Sebuah sikap intelektual yang mengakui bahwa saat ini, saya belum bisa memastikan apakah Tuhan itu benar-benar ada atau tidak. Seperti halnya yang dikatakan Huxley (1825-1895), dibahas oleh Harvey (2013), agnostisme adalah sikap epistemologis yang menekankan bahwa manusia tidak boleh mengklaim mengetahui sesuatu, terutama dalam hal metafisika seperti keberadaan Tuhan, jika tidak ada dasar rasional dan empiris yang kuat. Dalam hal ini, saya menerima ketidakpastian itu sebagai bagian dari proses pencarian yang terus berjalan. Sikap ini sangat selaras dengan yang dijelaskan William James dalam esainya The Will to Believe (1896), di mana ia menegaskan bahwa dalam kondisi di mana bukti empiris tidak memadai, seseorang tetap sah untuk mengambil keputusan atas dasar kebutuhan emosional dan eksistensial. Bagi James, keyakinan bisa bersifat sah meskipun tanpa bukti absolut, asalkan ia memiliki nilai eksistensial dalam hidup seseorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Agnostisme adalah pandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui (Setiawan, 2024)

Bagi saya, Agnostisme bukanlah bentuk keputusasaan, melainkan keberanian untuk mengakui keterbatasan manusia dalam memahami hal-hal metafisik. Ini bukan bentuk pemberontakan terhadap agama, melainkan sebuah usaha untuk terus mencari kebenaran tanpa dibatasi oleh doktrin yang sudah jadi. Pandangan ini juga sejalan dengan argumen Bertrand Russell dalam kuliah terkenalnya berjudul Why I Am Not a Christian (1927), yang menekankan bahwa kepercayaan religius sering kali dibangun bukan atas dasar bukti rasional, tetapi atas dasar dogma, kebiasaan budaya dan tekanan sosial. Russell tidak hanya mengkritisi dogma Kristen, tetapi juga menantang semua bentuk kepercayaan yang menolak untuk diuji dengan nalar. Namun, dengan memiliki pandangan Agnotisme, bukan berarti saya jauh dari jiwa spiritual. Saya tetap terbuka terhadap pengalaman spiritual, tetap menghargai ajaran agama, dan tidak menutup kemungkinan untuk berubah jika kelak saya menemukan jawaban yang meyakinkan. Dalam buku The Future of God (1995), Karen Armstrong menekankan bahwa spiritualitas bukanlah perkara iman dogmatis, tetapi bagaimana manusia merespon rasa kagum dan misteri kehidupan. Bagi Armstrong, bahkan keraguan bisa menjadi bagian dari perjalanan spiritual yang otentik. Dalam konteks saya, keraguan bukanlah musuh, tapi justru penanda bahwa saya terus hidup dan berpikir. Pilihan ini tentu tidak mudah. Dalam masyarakat yang masih menilai keyakinan sebagai identitas mutlak, menjadi agnostik sering dianggap sebagai penyimpangan. Tapi bagi saya, kejujuran terhadap diri sendiri lebih penting daripada kenyamanan dalam keyakinan yang tidak lagi saya yakini. Saya percaya bahwa mencari kebenaran adalah proses panjang, dan setiap orang punya jalannya masing-masing. 

Pencarian kebenaran versi saya tidak berhenti pada tataran intelektual saja. Kehidupan nyata saya justru memperumit dinamika batin ini. Saya sudah berkeluarga: memiliki seorang istri dan anak yang saya cintai. Istri saya dibesarkan dalam lingkungan Islam yang taat. Anak saya yang kini berusia tujuh tahun juga tumbuh di lingkungan masyarakat yang mayoritas memeluk Islam secara kultural dan spiritual. Disini lah dilema itu sering muncul. Di satu sisi, saya merasa "harus" menjalani berbagai ritual keagamaan yang telah saya warisi sejak lahir. Saya sholat, saya puasa, saya mengajarkan anak saya surat-surat dalam Al-Qur'an dan doa-doa yang dulu juga saya hafal sejak kecil. Tapi di sisi lain, saya menyadari bahwa batin saya tidak lagi berada di frekuensi yang sama. Banyak ajaran dan praktik yang saya jalani terasa tidak lagi sejalan dengan hati nurani dan spiritualitas saya yang sekarang. Saya tidak merasa tenang, tapi juga tidak bisa lepas begitu saja. Rasanya seperti terus mengenakan baju yang sudah sempit, tetapi tetap harus dipakai karena orang-orang di sekitar saya menganggapnya pantas.

Saya juga sadar bahwa anak saya belum cukup umur dan jelas belum mampu berpikir sejauh saya. Maka saya pun memilih untuk tetap menyesuaikan diri, mengajarkannya nilai-nilai Islam sebagaimana mestinya. Saya tidak ingin dia merasa terasing atau bahkan dijauhi dari lingkungan sosialnya hanya karena pandangan ayahnya. Saya ingin dia tumbuh dengan rasa aman dan diterima. Dalam banyak hal, saya merasa perlu "bermain peran", menjadi seseorang yang bisa diterima oleh keluarga dan masyarakat, meskipun peran itu terasa asing dalam hati saya sendiri. Hidup ini, pada akhirnya, memang seperti lagu “Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan oleh almarhumah Nike Ardila. Kita mengenakan topeng, memainkan peran, dan menyampaikan dialog yang kadang tidak datang dari suara hati kita sendiri. Dalam kasus saya, saya memainkan peran sebagai Muslim yang taat di hadapan orang lain, sementara batin saya masih terus bergulat dalam ketidakpastian.

Namun saya tidak ingin terus larut dalam konflik batin ini. Sekarang saya sudah berusia 39 tahun, atau berarti mendekati 40 tahun, yang kata orang merupakan usia penentu arah hidup—masa dimana seseorang mulai menoleh ke belakang untuk menilai apa yang telah dijalani, sekaligus menatap ke depan dengan lebih realistis dan apa adanya. Saat ini, saya hanya ingin berdamai dengan diri saya sendiri. Saya mulai menerima bahwa takdir lahiriah saya adalah sebagai seseorang yang terlahir dan tumbuh dalam tradisi Islam. Saya tidak ingin terus-menerus terbebani oleh pertanyaan besar yang kadang tak kunjung mendapat jawaban. Ada saatnya saya harus berhenti bertanya, bukan karena menyerah, tetapi karena ingin merawat kewarasan. Saya mungkin saat ini mulai melihat praktik-praktik agama secara lebih fungsional. Misalnya, saya menganggap sholat sebagai bentuk meditasi, walaupun saya tidak lagi menghayatinya sebagai bentuk komunikasi vertikal sebagaimana diajarkan Islam. Saya tetap berpuasa, selain karena itu adalah ekspektasi sosial terhadap saya sebagai seorang Muslim, juga karena saya merasakan manfaat kesehatannya. Saya tidak lagi menjalani ritual karena rasa takut atau keyakinan absolut, melainkan sebagai bentuk adaptasi dan rekonsiliasi diri terhadap kenyataan hidup yang saya jalani.

Refleksi ini mungkin akan dianggap aneh, atau bahkan menyimpang, oleh sebagian orang. Tapi saya percaya bahwa setiap manusia punya jalan spiritual masing-masing. Saya tidak memaksa orang lain memahami posisi saya, sebagaimana saya juga tidak ingin memaksakan apa pun kepada mereka. Saya hanya ingin hidup sebagai manusia yang jujur terhadap batinnya sendiri—meskipun untuk itu saya harus terus berakting dalam dunia yang penuh ekspektasi dan tuntutan peran. Dan mungkin, itulah cara saya menemukan kedamaian.

Banyak sekali sebenarnya yang ingin saya keluarkan dari isi kepala dan batin saya ini. Tetapi jika saya melakukannya, mungkin akan membutuhkan ribuan halaman di blog ini. Dan pastinya itu akan sangat membosankan untuk dibaca. Sehingga cukup saya tulis dalam refleksi singkat ini saja. Yang penting adalah substansi isinya...hehe.

Referensi

Armstrong, K. (1995). The future of god. Sounds True Audio.

Harvey, V. A. (2013). Huxley’s agnosticism. Philosophy Now: a magazine of ideas. https://philosophynow.org/issues/99/Huxleys_Agnosticism

James, William (1896). The Will to Believe And Other Essays in Popular Philosophy. Longman's.

Russell, B. (1927). Why I am not a Christian by Bertrand Russell - the bertrand russell society. https://users.drew.edu/~jlenz/whynot.html

Sagan, C. (1997). The demon-haunted world: Science as a candle in the dark. Headline.

Setiawan, E. (2024). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti kata agnostisisme - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. https://kbbi.web.id/agnostisisme

Sabtu, 09 November 2024

Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

 

image generated by perchance.org

Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

*Aziza Restu Febrianto

Tulisan ini merupakan sebuah hasil renungan dan refleksi selama 3 tahun terakhir sejak pertama kalinya saya menggunakan ChatGPT sebagai platform kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) paling populer pertama di Indonesia. Ternyata pasca kepopuleran ChatGPT, berbagai macam platform serupa bermunculan, dan bahkan lebih beraneka ragam dengan variasi tujuan dan kegunaannya. AI saat ini juga tidak hanya bisa digunakan untuk menciptakan tulisan, tetapi juga gambar, animasi, video, suara, dan musik beserta liriknya (multimodal). Dan tentunya teknologi ini tidak akan berhenti sampai disini karena akan terus berkembang dan memasuki spektrum yang baru secara terus menerus seperti yang sudah terjadi selama ini. Sungguh luar biasa. Namun, perkembangan AI tidak luput dari dilema pro kontra. Faktanya banyak pihak resah mengingat dampak yang disebabkan oleh AI yang telah merambah hampir semua sektor kehidupan, termasuk dunia industri dan pendidikan. Di sektor usaha dan industri tertentu, AI telah banyak menggantikan posisi karyawan manusia. Misalnya di industri kreativititas seni seperti desain komunikasi visual dan musik, tenaga manusia sudah tergantikan oleh AI, yang bahkan bisa bekerja secara lebih menarik, efektif dan efisien.

Sektor pendidikan juga mengalami kondisi yang tidak kalah meresahkan. Bagaimana tidak? Banyak siswa telah memanfaatkan AI untuk membuat tugas sekolah mereka (Cheating). Di satu sisi, AI sangat membantu mereka mempelajari banyak hal dengan cara instan dan cepat, tetapi di sisi lainnya, AI juga membuat mereka mengalami ketergantungan, dan proses pembelajaran menjadi terganggu. Jika dulu orang mengandalkan mesin pencari informasi (seperti Google), saat ini mereka cukup menggunakan AI yang dapat memberikan  informasi secara direct atau spontan dengan bertanya langsung kepada AI. Jawabannya pun sudah sangat sesuai dengan yang diharapkan – mostly accurate. Memang jawaban dari AI itu tidak 100% akurat, tetapi hampir semuanya akurat, khususnya terkait hal-hal yang umum. Ketika saya menjadi salah satu narasumber di sebuah acara rutin MGMP Jawa Tengah, hampir semua peserta yang merupakan guru sekolah, sudah sangat familiar dengan AI. Yang mereka pikirkan tentang alat itupun juga sama, yaitu AI memiliki 2 mata pisau: sangat membantu pembelajaran, tetapi juga mengancam pembelajaran. Dilema ini ternyata juga dirasakan oleh para dosen dan peneliti di bidang pendidikan. Pada 7-8 November lalu, saya dan rekan saya mengikuti sebuah konferensi internasional pada bidang English Language Teaching (ELT) atau pengajaran bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Salah satu pembicara utama (Keynote Speaker), Prof. Paul Kei Matsuda menekankan bahwa “Jangan anggap AI sebagai sebuah ancaman dan musuh, tetapi bertemanlah dengannya. Itu adalah (compliment) atau pelengkap hidup kita.”

Meskipun demikian, masih banyak guru dan dosen yang masih mengkhawatirkan penggunaan AI karena berbagai macam isu yang diawal saya sebutkan. Menurut saya, kekhawatiran itu normal karena mereka, sebagai pendidik, harus memikirkan strategi mengajar yang tentu harus berbeda dengan yang selama ini mereka terapkan. Mereka harus terus belajar banyak hal baru. Tanpa henti..iya..belajar tanpa henti, karena teknologi akan selalu berkembang dengan sangat pesat. Jika para pendidik tidak terus belajar sebagai Lifelong Learners, maka pasti akan tertinggal dan terlindas oleh perubahan, dan cara mengajarnyapun tidak akan mudah diterima oleh peserta didiknya. Mungkin ini adalah konsekuensi sekaligus hikmah dari perkembangan teknologi itu sendiri. Mungkin pembelajaran bahasa sudah bergeser dengan sangat signifikan: jika dulu siswa diajarkan mengenai Grammar dan bagaimana menyusun kalimat, paragraf, dan esai secara mendalam, saat ini pembelajaran akan berfokus pada peningkatan literacy, critical thinking dan problem solving melalui keterampilan komunikasi bahasa. Prof. Paul Kei Matsuda juga menyampaikan bahwa jika pembelajaran itu berfokus pada komunikasi, khususnya komunikasi lisan, maka pengetahuan Grammar tidak perlu perfect atau sempurna. Sehingga semua akan kembali pada substansi dan esensi belajar bahasa itu sendiri, yaitu bahasa hanyalah alat untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan dunia, berkomunikasi dengan dunia, dan turut serta dalam mencari solusi permasalahan dunia melalui keterampilan komunikasi. Saya kira konteks pembelajaran bahasa ini juga tidak jauh berbeda dengan ruang lingkup bidang ilmu lainnya. Pandangan ini juga pernah saya sampaikan di sebuah Podcast pada Channel YouTube resmi Universitas Nasional Karangturi, yang bisa ditonton disini ->  Menjadi Pengajar di Zaman AI

Teknologi AI faktanya juga memungkinkan pendidik untuk bisa mengidentifikasi dan mengklasifikasi karakteristik peserta didik mereka. Dengan begitu, pendidik bisa mengetahui bagaimana cara mendidik dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan konteks kebutuhan mereka. Masifnya penggunaan AI ini juga membuat para pendidik tahu manakah peserta didik yang serius dalam belajar dan tidak bergairah dalam belajar. Mereka yang tidak serius belajar akan selalu mengandalkan AI dalam mengerjakan semua tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Sedangkan mereka yang serius akan memanfaatkan AI sebagai alat untuk mengakselerasi pengetahuan dan keterampilan mereka. Perbedaan kedua jenis peserta didik ini dapat dilihat dari 2 (dua) aspek dalam diri mereka, yaitu Orientasi hidup (Self-orientation) dan Rasa penasaran (Curiosity). Peserta didik yang baik pasti secara kuat memiliki kedua aspek ini dalam hidupnya, sehingga dia secara otomatis tidak akan mudah percaya pada hasil kerja AI dan justru mempelajari terus kinerja AI tersebut serta menantang keakuratannya melalui perbandingan dengan sumber lain yang dia dapatkan. Peserta didik semacam inilah yang sesungguhnya kita harapkan, karena mereka telah memiliki kesadaran autonomous learning atau pembelajaran mandiri, yang memang sejatinya merupakan akhir dari tujuan pendidikan itu sendiri (the ultimate goal of education). Nah, at the end of the day, tugas pendidik (guru dan dosen) tentu saja tidak hanya sebagai seorang learning facilitator saja, tetapi juga seorang coach: memberikan motivasi dan inspirasi agar peserta didiknya memiliki kesadaran autonomous learning dan independent learning dalam dirinya. Pemikiran ini juga sejalan dengan substansi presentasi yang disampaikan oleh Prof. Paul Kei Matsuda tentang peran guru di abad 21 pada acara konferensi yang saya ikuti tersebut.  

Rabu, 07 Juni 2023

Haruskah Bahasa Inggris (Tidak) Wajib Diajarkan di Sekolah?

 

https://metrobali.com/langkah-mundur-hapus-bahasa-inggris-sd/


Haruskah Bahasa Inggris (Tidak) Wajib Diajarkan di Sekolah?


*Aziza Restu Febrianto


Beberapa waktu lalu, banyak pihak membicarakan tentang RUU Sisdiknas yang masih dianggap penuh kontroversi. Salah satu bagian kontroversial yang dikhawatirkan oleh publik adalah penghapusan pasal Tunjangan Profesi Guru (TPG), meskipun pihak Kemendikbud telah menyampaikan bahwa RUU ini sudah terintegrasi dengan undang-undang dan peratuaran terkait lain yang mengatur tunjangan dan kesejahteraan guru dan dosen. Bagian kontroversial lainnya adalah tidak adanya mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib pada jenjang sekolah dasar dan menengah. Bagian ini terlihat jelas pada Pasal 81 ayat 1. Isu kedua ini telah mengundang kegelisahan para guru, dosen, dan pakar pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Mereka bahkan telah menandatangani petisi yang dipelopori oleh Asosiasi Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia, TEFLIN melalui change.or.id (lihat petisi https://chng.it/jcNwbwWZ). Setelah mendapatkan lebih dari 22,000 tandatangan dan adanya upaya peninjauan ulang di Mahkamah Konstitusi (MK), perumusan draf RUU tersebut akhirnya tidak jadi dilanjutkan.

Penghapusan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib (khususnya di sekolah dasar) sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2013 yang lalu. Memang sebelumnya tidak ada peraturan yang menyebutkan mata pelajaran apa saja yang wajib dipelajari, tetapi dengan adanya bahasa Inggris yang masuk dalam Ujian Nasional di sekolah menengah pada waktu itu, sudah sangat jelas akan kewajiban akan mempelajari bahasa tersebut. Meskipun penghapusan ini hanya terjadi pada jenjang pendidikan dasar, banyak pihak yang mempertanyakan keputusan ini. Saat itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan bahwa mata pelajaran ini memang tidak wajib, tetapi bukan berarti dihapuskan sehingga menjadi tidak ada. Dengan kata lain, bahasa Inggris dijadikan sebagai mata pelajaran pilihan di sekolah dasar, dan pihak sekolah boleh memasukkannya sebagai mata pelajaran atau memilih untuk tidak mengajarkannya. Mohammad Nuh menyampaikan alasan utama kenapa keputusan ini dibuat, yaitu sebagai upaya dalam rangka memprioritaskan bahasa Indonesia sebagai bahasa jati diri bangsa yang harus diajarkan sejak dini. Ternyata sekarang keputusan ini berlanjut hingga pada RUU Sisdiknas yang saat ini sedang dalam proses uji publik. Bahkan penghilangan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib ini tidak hanya akan dilakukan pada jenjang sekolah dasar, tetapi juga pada jenjang pendidikan menengah.

Keinginan kuat untuk menghapuskan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib ini membuat banyak pihak bertanya apakah bahasa Inggris masih perlu diajarkan secara formal di sekolah atau tidak. Untuk menjawabnya, diperlukan telaah beberapa referensi dan penelitian empiris untuk mengukur seberapa penting bahasa asing ini untuk diajarkan di sekolah. Referensi pertama adalah undang-undang yang mengatur status dan penggunaan bahasa di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 24 tahun  2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Tampaknya undang-undang ini juga dijadikan sebagai salah satu alasan dasar kenapa pelajaran bahasa Inggris menjadi tidak wajib di sekolah dalam RUU Sisdiknas yang baru. Di dalam undang-undang ini, sangat jelas ditekankan mengenai pentingnya pelajaran dan penggunaan bahasa Indonesia, tidak hanya dalam forum atau pertemuan penting di dalam negeri, tetapi juga konferensi tingkat internasional. Mengacu pada peraturan ini, para pejabat negara bahkan diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pendapat di berbagai pertemuan penting di luar negeri. Sehingga tidak heran jika presiden Joko Widodo, pada berbagai kesempatan di luar negeri, banyak berpidato dalam bahasa Indonesia, seperti halnya beberapa pemimpin negara lainnya yang berpidato dengan bahasa nasional mereka. Kita memang seharusnya mengapresiasi upaya pemerintah dalam meningkatkan jiwa nasionalisme bangsa dan pelestarian bahasa Indonesia melalui Undang-undang No.24 tahun 2009. Namun, jika undang-undang ini dijadikan sebagai salah satu alasan kenapa bahasa Inggris tidak wajib diajarkan di sekolah, sepertinya yang membuat keputusan tersebut belum memahami esensi isi dari undang-undang tersebut.

Pada pasal 29, disebutkan dengan jelas bahwa untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik pada satuan pendidikan, negara harus menjamin kesempatan dan fasilitas yang menunjang pembelajaran bahasa tersebut. Pasal ini menunjukkan pentingnya pelajaran bahasa asing untuk menunjang proses pendidikan. Pada beberapa pasal lainnya juga disebutkan adanya situasi dimana penulisan berbagai macam dokumen seperti nota kesepemahaman, informasi publik dan publikasi ilmiah perlu dilakukan dalam bahasa asing yang dipahami oleh pihak yang bersangkutan (Pasal 35, 37, dan 38). Dalam hal ini, faktanya hingga saat ini bahasa asing yang bisa dipahami dan diterima oleh hampir semua masyarakat dunia adalah bahasa Inggris. Selain itu, menurut undang-undang ini, dalam rangka peningkatan daya saing bangsa, negara juga wajib memfasilitasi warganya untuk mendapatkan pelatihan bahasa asing yang mana faktanya juga bahasa Inggris telah menjadi alat komunikasi untuk berbagai macam pengembangan diri. Menurut pasal 31, bahasa Inggris sendiri pada kenyataannya juga merupakan satu-satunya bahasa asing yang menjadi bahasa alternatif selain bahasa Indonesia. Jika memahami tujuan dan kepentingan-kepentingan yang disebutkan dalam UU No.24 Tahun 2009, sesungguhnya dalam konteks pendidikan, pembelajaran bahasa Inggris di sekolah masih sangat dibutuhkan dan hendaknya difasilitasi dan diawasi oleh negara. Para pejabat publik dan guru di sekolah memang wajib menekankan akan pentingnya menjunjung tinggi bahasa Indonesia dalam berbagai macam kondisi, tetapi penguasaan bahasa asing khususnya bahasa Inggris tetap merupakan tanggung jawab pendidikan nasional.

Terkait dengan urgensi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah, telah ada banyak studi yang membahas korelasi antara kompetensi bahasa Inggris terhadap pengembangan diri dan kesuksesan karir individu serta kemajuan bangsa, bahkan di negara maju dimana bahasa Inggris merupakan bahasa asing seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Pada tahun 2017, misalnya, World Economic Forum mengeluarkan sebuah review studi mengenai hubungan antara kompetensi bahasa Inggris dengan kemajuan ekonomi suatu bangsa. Mengutip data dari PBB dan English First (EF) English Proficiency Index (EPI), review studi ini menunjukkan bahwa kompetensi bahasa Inggris ini secara langsung dapat menunjang peningkatan Gross Demestic Product (GDP) atau jumlah nilai tambah produksi barang dan jasa serta Gross National Income (GDI) atau peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat di suatu negara. Kompetensi bahasa Inggris ini juga berkorelasi secara sangat kuat dengan kualitas hidup masyarakat dan indeks pengembangan kualitas manusia atau Human Development Index yang mengukur tingkat pendidikan, literasi dan harapan hidup masyarakat. Hasil studi ini selaras dengan sebuah temuan riset yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari Zheizang University, Cina. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2021 yang lalu dengan melibatkan 14,811 responden dari 14 negara di Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Penelitian tersebut membuktikan bahwa tingkat kompetensi dalam berbahasa Inggris sangat berpengaruh kuat pada kebahagiaan dan kepercayaan diri seseorang, karena kepuasan yang dia peroleh dari penghasilan yang meningkat dan aktivitas selama libur kerja. Kepuasan individu ini pada akhirnya berdampak signifikan terhadap peningkatan perekonomian negara.   

Melihat temuan dari kedua studi diatas, terlihat jelas bahwa dampak positif dari penguasaan bahasa Inggris masih sangat menakjubkan hingga saat ini, dan bahkan di masa yang akan datang. Sehingga sudah sewajarnya jika negara harus terus hadir dan mendorong masyarakatnya untuk mengembangkan kompetensinya melalui penguasaan bahasa Inggris dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat mungkin telah memiliki kesadaran akan manfaat dan pentingnya belajar bahasa Inggris, tetapi peran negara dalam memberikan fasilitas belajar yang maksimal pastinya akan memberikan hasil dan dampak yang jauh lebih signifikan. Dengan kata lain, jika kewajiban belajar bahasa Inggris ditekankan secara formal di sekolah, maka akan semakin banyak generasi muda yang memiliki tingkat pendidikan, literasi, dan kepercayaan diri yang tinggi, serta pendapatan yang memuaskan, sehingga mereka secara tidak langsung dapat membantu meningkatkan pembangunan dan kemajuan bangsa.

Senin, 29 Mei 2023

Publication List

 

Journal Articles & Book Chapters


Books

 

 

 

Rabu, 19 April 2023

Janji Palsu (Part 2)


Janji Palsu (Part 2)


*Aziza Restu Febrianto


Setelah menjalani pekerjaan sebagai dosen di Universitas Nasional Karangturi (UNKARTUR) selama dua tahun, saya mendapat kabar bahwa ibu saya divonis menderita penyakit Glukoma, yang biasa dikenal sebagai si Pencuri Penglihatan. Jika tidak segera ditangani secara medis, penderita Glukoma bisa mengalami kebutaan. Mendengar ini, siapa hati anak yang tidak teriris. Dan tentu sangat perih dan sedih. Tetapi saya tetap harus tegar dan mencoba berfikir untuk lebih sering mengunjungi ibu. Saya juga harus berfikir bagaimana caranya agar mengatur waktu untuk bisa mengantar beliau periksa, operasi dan kontrol di rumah sakit. Setelah melalui observasi panjang, akhirnya saya dan keluarga memutuskan untuk membawa beliau ke Rumah Sakit Mata Solo (RSMS). Di rumah sakit ini, kedua mata ibu diperiksa dan dioperasi. Waktu itu bulan September 2022 dan saya harus menemani ibu untuk tinggal di rumah sakit selama proses operasi berlangsung. Tindakan operasi ini kemudian dilanjutkan dengan kontrol dan pemeriksaan secara berkala. Akibatnya saya harus mengantar ibu secara bergantian dengan kakak saya karena alasan kesibukan masing-masing. Setiap kali saya mendapat giliran untuk mengantar, tentunya saya harus cuti kerja, karena pastinya jadwal kontrol di RSMS selalu pada hari kerja. Mempertimbangkan situasi seperti ini, mungkin sudah saatnya saya untuk mencari kampus tempat kerja yang lokasinya dekat dengan orang tua seperti Ngawi, Magetan, Madiun, dan Ponorogo. Tujuannya selain agar bisa fokus mengurus ibu, saya juga ingin tinggal bersama keluarga kecil saya tanpa LDR.

Dalam kondisi gamang ini, saya kemudian tidak sengaja menemukan informasi lowongan pekerjaan (Loker) dosen di sebuah universitas swasta (satu-satunya universitas) di kabupaten Magetan melalui akun facebook dan instagram resmi kampus. Membaca informasi itu disaat adanya keinginan kuat untuk pulang, siapa yang tidak tertarik mencoba peruntungan. Ternyata narahubung info loker tersebut yang sekaligus wakil rektor adalah orang yang sudah saya kenal. Saya telah mengenalnya sejak tahun 2018 silam ketika saya bergabung menjadi relawan kabupaten Magetan dan mengunjungi semua instansi termasuk kampus di kabupaten Magetan. Saya dan dia ternyata merupakan alumni Universitas Negeri Semarang. Secara tidak sengaja, pada tahun 2019, saya bertemu lagi dengannya di sebuah bus saat perjalanan pulang dari Semarang. Selama perjalanan pulang itu, obrolan cukup lama pun terjadi. Dengan sejarah almamater dan obrolan yang terjadi di bus ini, relasi yang baik pun terbangun, meskipun secara personal saya tidak begitu mengenalnya. Tanpa butuh waktu lama, saya pun langsung menghubunginya. Tujuan awal menghubunginya adalah untuk memastikan apakah saya memenuhi syarat atau tidak. Saya menanyakan ini karena di dalam info loker, disebutkan sebuah syarat, yaitu tidak memiliki NIDN dan terikat dengan kampus lain, sedangkan saya sudah terikat sebagai dosen tetap. Berikut ini kira-kira percakapan saya dengannya via telepon.

“Pak, sebenarnya saya ingin mendaftar, tapi saya sudah punya NIDN gimana ya? Tanya saya.

“Gak papa pak. Asal ada SK Lolos Butuh.” Jawabnya.

“Oh gitu. Kalau begitu saya harus resign dulu ya pak?” Sahut saya.

“Lha kira-kira diperbolehkan apa tidak pak dari kampusnya?” responnya.

“Boleh sih pak kalau dengan alasan keluarga.” Tambah saya.

Dia kemudian menanggapi, “Kalau begitu segera saja jenengan mengajukan resign, berbicara dengan pimpinan dan mengurus SK Lolos Butuhnya pak. Saya tunggu njih.”

Dengan tanggapan seperti itu, tentu saya juga ragu. Loker itu kan biasanya ada seleksi. Bagaimana kalau saya sudah resign, tapi tidak lolos seleksi? Saya kemudian memastikan lagi.

“Sebentar pak. Terkait dengan seleksi gimana ya pak? Kalau saya tidak lolos seleksi, padahal sudah resign dari kerja, gimana ya pak?”

Dia pun menjawab pertanyaan saya dengan tegas dan percaya diri, “Justru itu pak. Jenengan saya kasih jaminan untuk diterima. Saya jamin pak.”

“Oh gitu. Njih, siap pak. Saya akan segera berbicara dengan dekan, dan kemudian lanjut ke rektor.” Jawab saya.

Setelah percakapan via WA ini, saya tentu saja tetap tidak begitu mudah percaya. Saya kemudian meminta untuk bertemu langsung dengannya di kampus. Setelah membuat janji, akhirnya saya bisa bertemu dengannya di kampus. Waktu itu banyak sekali yang kita obrolkan. Bahkan obrolan kita ini berlangsung selama beberapa jam. Inti dari obrolan itu adalah pertama, dia banyak sekali memuji kampus dan pimpinannya, termasuk rektor. Menurut saya, dalam hal penawaran kerja, seharusnya dia mengatakan dua sisi positif dan negatif ketika saya bekerja di kampus itu secara gamblang. Bahkan ketika saya cerita pengalaman di kampus lama, dia justru malah ikutan mengkritik kampus tempat saya bekerja dan memberi masukan. Pada bagian ini, saya merasa ada yang aneh. Hal aneh yang kedua adalah ketika wakil rektor itu komplain perihal ketidakpedulian Bupati Magetan terhadap kampusnya serta menyayangkan keputusan bupati mengenai pemberian izin berdirinya kampus UNESA di Magetan. Padahal, sepengetahuan saya, Bupati ini cukup concern dengan dunia pendidikan dan literasi. Saya pun juga bertanya kepadanya barangkali dari pihak kampus sendiri yang belum berusaha mendekati. Katanya pihak kampus sudah berusaha mendekati, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan positif dari pihak pemerintah kabupaten. Meskipun itu mungkin benar, menurut saya pernyataan tersebut masih ambigu, karena dari pihak pemerintah kabupaten pasti memiliki pertimbangan tersendiri kenapa tidak menjalin hubungan dengan kampus tersebut. Apalagi kampus itu adalah swasta dan milik yayasan keluarga. Mungkin kondisinya bisa lain jika yayasan kampus tersebut merupakan milik sekelompok orang atau tokoh masyarakat di kabupaten Magetan. 

Yang saya harapkan dari wakil rektor itu sebenarnya adalah berbicara secara terbuka dan apa adanya kepada saya serta menanyakan kembali kesiapan saya. Dimana-mana, tempat kerja itu pasti memiliki kondisi plus dan minusnya. Ekspektasi saya adalah dia tidak hanya menceritakan sisi positif kampus tersebut, tetapi juga kekurangan dan tantangan bekerja di tempat itu.  Hal aneh lain yang saya curigai adalah info loker yang masih terus diunggah di media sosial hingga tulisan ini mulai ditulis (Maret 2023), padahal rekrutmen ini sudah berlangsung lama sejak Oktober 2022. Masa sih selama ini tidak ada yang melamar, atau jika ada, kenapa tidak satupun yang diterima. Ketika saya menanyakan ini, dia mengatakan bahwa memang sudah ada yang melamar, tetapi pihak pimpinan belum menemukan kandidat yang sesuai. Kantanya, banyak orang pintar, tetapi tidak semua orang pintar itu mengerti dan memahami pekerjaan. Jika demikian, masa tidak satupun dari pelamar yang memenuhi syarat tersebut tidak memahami pekerjaan di kampus itu. Apakah mungkin mereka ingin mencari malaikat ya..hehe. 

Singkat cerita, setelah saya mengajukan resign, tanpa menunggu lama, saya pun mendapatkan SK Lolos Butuh. Saya resign secara resmi pada 7 Desember 2022 dan langsung mendapatkan SK Lolos Butuh beberapa hari kemudian. SK ini kemudian langsung saya kirimkan ke wakil rektor yang merupakan pihak memberikan jaminan penerimaan dosen kepada saya. Setelah SK ini dia terima, saya tentu langsung memastikan mengenai kapan saya bisa bertemu dengan rektor. Dia mengatakan akan segera menjadwalkan pertemuan saya dengan rektor. Namun, setelah saya menunggu selama sekitar 1 bulan, jadwal pertemuan tersebut belum juga diputuskan. Dia menjelaskan bahwa ibu rektor sedang dalam kondisi sibuk sekali dan sering keluar kota. Selang 2 minggu, saya kemudian mendapat kabar bahwa saya diminta menunggu sampai awal tahun saja atau Januari 2023 saja, karena waktunya nanggung jika dilakukan pertemuan di akhir tahun 2022. Baiklah, saya bisa memahami kondisi ini. Yang jelas, saya mengikuti apapun keputusan dari rektor, karena pikir saya proses rekrutmen ini sudah dijalani, dan jaminan juga sudah diberikan. Masa penantian ini kemudian saya gunakan untuk mempersiapkan banyak hal, terutama ketika saya harus tinggal menetap di Kabupaten Magetan, yang jauh dari suasana perkotaan. Saya sangat memahami betul bahwa gaji yang kelak saya terima dari kampus baru ini pasti akan jauh lebih rendah dari yang saya terima di kota Semarang. Sehingga saya harus memutar otak untuk memastikan sumber penghasilan lain selain bekerja sebagai dosen. Tanpa berfikir lama, saya kemudian mendirikan lembaga jasa bahasa dan pengajaran bahasa bernama LinguaTera.com. Saya juga mulai belajar bagaimana memanfaatkan media sosial untuk marketing dan membangun branding lembaga ini. Saya sangat fokus pada pendirian dan pengembangan lembaga ini, sehingga saya tidak merasakan masa penantian yang lama.

Setelah menunggu sejak tanggal 7 Desember 2022, saya kemudian mendapatkan informasi dari sekretaris rektor via WA mengenai jadwal pertemuan saya dengan rektor. Pemberitahuan itu masuk pada 31 Februari 2023 dan jadwal pertemuan dengan rektor adalah 3 Maret 2023. Ini adalah isi pesan WA itu dan respon saya saat itu.

Pada H-1, karena saat itu rekor sedang ada agenda ke Surabaya, jadwal saya kemudian diajukan menjadi pukul 07.00 pagi. Okay, tidak masalah. Saya pun pergi ke kampus dengan motor keesokan harinya. Sesampainya di kampus, saya tidak melihat seorang satpam yang berjaga di pos gerbang. Akhirnya saya masuk saja untuk mencari tempat parkir motor, dan kemudian saya diminta balik oleh petugas kebersihan karena parkir motor tidak di dalam kampus. Saat balik dan melaju keluar kampus inilah saya tidak sengaja berpapasan dan menyapa rektor yang sedang duduk di teras. Yang membuat saya kaget adalah apa yang dia lakukan saat itu: berdandan di tempat terbuka (tepat di tangga lantai 2 kampus) dengan asistennya yang sedang merapikan dan menyisir rambutnya. Pakaian “You can see” nya juga tidak pantas dikenakan di tempat terbuka seperti itu, walaupun itu adalah lingkungan dalam kampus. Saya memahami, karena waktu itu dia sedang persiapan melakukan perjalanan ke Surabaya. Tetapi ya seharusnya dandan itu dilakukan di ruang pribadinya. 

Setelah menunggu beberapa menit di luar, akhirnya saya dipersilakan masuk ke ruang rektorat oleh sekretaris. Saya waktu itu langsung disambut oleh rektor tersebut. Tapi yang saya heran, kenapa dia masih mengenakan pakaian yang dia kenakan saat berdandan. Ekspektasi saya saat itu ya pakaian itu menyesuaikan ketika menemui tamu seperti saya. Dalam konteks ini, saya juga bisa dikatakan tamu lho, walau calon karyawan. Dia kemudian menanyakan informasi tentang saya dengan bahasa Jawa ngoko yang tidak biasa. Kira-kira seperti ini.

       “Kowe soko ngendi le?” Tanya rektor.

Saya menjawabnya dalam bahasa Indonesia, karena saya pikir konteks pertemuan ini semi formal. “Saya dari Sundul, ibu.” Saya langsung menyebutkan nama desa Sundul, karena pikir saya rektor ini kan sudah lama sekali tinggal di Magetan. Jadi ya pastinya dia tahu desa Sundul. 

      “Desa Sundul itu sebelah mana ya?” tanya dia. Ternyata dia tidak tahu..perkiraan saya salah..hehe

        “Kecamatan Parang, ibu.” Jawab saya.

        “Oalah…kok iso kenal pak B***… (nama warek) kie soko ngendi?” Lanjut dia.

       “Tahun 2018 dulu saya pernah ke kampus ini ibu. Kebetulan saat itu saya jadi relawan.” Jelas         saya.

        “Kok tertarik kerja disini, le?” tanya dia memastikan.

Saya pun menjawabnya dengan lugas, “Karena semua anggota keluarga saya disini ibu. Orang tua di Ngawi dan istri di Magetan.”

Mendengar jawaban ini, dia langsung merespon, “Bagus!” Dia juga menanyakan beberapa hal tentang saya termasuk gaji, walaupun kebanyakan bercerita mengenai kampusnya. Ketika dia berbicara mengenai beasiswa S3 yang diberikan oleh kampus kepada dosen dan proses jabatan fungsionalnya, saya kemudian bertanya mengenai data di PDDIKTI, karena apa yang dia sampaikan dengan data berbeda. Ketika dia bilang, banyak dosen yang sudah asisten ahli dan beberapa sudah lektor, kok di data, hanya 2 orang saja yang asisten ahli.

        “Maaf, bu. Informasi yang ada di PDDIKTI belum di update ya?” Tanya saya penasaran.

Pikir saya, data itu bisa diakses secara umum. Sehingga wajar jika saya menanyakan jika ada ketidaksesuaian.

Sambil tertawa, dia menjawab, “Oh…itu gara-gara peralihan status mas, dari IKIP menjadi Universitas. Sehingga semua data hilang.”

Saya merasa bersalah menanyakan itu. Lalu saya tanya agar menjadi netral. “Berarti ini kesalahan di DIKTI ya ibu?” Dia juga langsung menjawab, “Salah kami. Hilang semua itu data. Harus kami cari dan tata kembali.” “Saya saja mau mengurus guru besar harus mengumpulkan semua data itu dulu mas.” tambahnya. 

Percakapan ini berlangsung cukup lama, dan secara garis besar hasilnya seperti ini:

  1. Saya diterima sebagai dosen tetap di kampus tersebut dan mulai bekerja pada 6 Maret 2023.

  2. Saya diminta untuk segera bekerja agar dapat membantu persiapan acara pelantikan struktural baru dan dosen baru, termasuk saya sendiri. Pelantikan ini kelak dihadiri oleh ketua LLDIKTI Wilayah 7.

  3. Saya ditunjuk untuk menggantikan posisi Kaprodi, karena yang bersangkutan akan naik jabatan ke Dekan FKIP dan kebetulan sedang menjalani studi lanjut S3. Herannya kuliah S3 di sebuah universitas di Yogyakarta ini sepenuhnya daring (online) melalui MoU.

Mendengar waktu mulai kerja adalah Senin, 6 Maret 2023, saya langsung menyampaikan bahwa saya sudah memberitahu sekretaris bahwa saya baru bisa mulai kerja hari Rabu, 8 Maret 2023, karena saya sudah terlanjur membuat janji dengan kampus lama pada tanggal 6 dan 7 Maret 2023 untuk menjadi salah satu pembicara dalam pelatihan English as a Medium of Instruction (EMI). Akhirnya saya diizinkan. 

Pada 6 Maret 2023, saya pun berangkat ke kota Lumpia dengan hati sangat gembira. Saya sangat bahagia karena momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga: bekerja, berkarya, dan mengabdi di daerah sendiri. Saya juga mengabarkan kabar baik ini kepada teman-teman dan kolega saya. Tidak sedikit dari mereka yang mengucapkan selamat. Sesampainya di Universitas Nasional Karangturi untuk pelatihan EMI, saya langsung disibukkan dengan persiapan teknis acara dan materi, karena selain jadi narasumber, saya juga bertugas sebagai EO. Saya juga bertemu dengan banyak kolega, dan banyak diantara mereka yang menanyakan kondisi tempat kerja saya yang baru. Saya pun menjelaskan dengan penuh percaya diri, khususnya terkait 3 janji diatas. Setelah interaksi dengan teman-teman itu, kemudian kejadian tidak terduga datang. Tepat pukul 10.56, saya mendapatkan pesan WA dari sekretaris rektor di kampus Magetan itu yang inti isinya adalah “Saya belum bisa bergabung di universitas mereka.” Membaca pesan ini, saya kaget bukan main dong. Dalam hati saya, “Kok bisa ya…kok bisa ya..kok bisa ya?” Herannya pesan itu diawali dengan “Berdasarkan hasil rapat pimpinan mengenai hasil tes wawancara,....” Sejak kapan saya mengikuti tes wawancara? Yang saya pahami pertemuan dengan rektor pada 3 Maret itu adalah kesepakatan, bukan seleksi wawancara. Ini benar-benar sangat aneh. Pesan ini bisa dilihat pada tangkapan layar ini.

Saya tentu tidak tinggal diam. Saya kemudian membalas pesan WA itu dengan menanyakan apa alasan tidak jadi diterimanya saya untuk bekerja disana. Beberapa jam kemudian sekretaris itu menjawab, “Saya juga kurang paham pak. Saya hanya menyampaikan pesan ini dari ibu rektor.” Dengan perasaan kecewa dan marah, saya kemudian membalas pesan itu dengan menanyakan 3 janji yang disampaikan rektor dan sejarah proses rekrutmen hingga saya mantab untuk bergabung di kampus itu. Namun pesan ini tidak dibaca, walaupun statusnya terkirim. Kemudian, saya tentu saja juga menelpon wakil rektor pada waktu istirahat. Saya menceritakan secara runtut mengenai kronologi dan hasil pertemuan saya dengan rektor pada 3 Maret itu, termasuk 3 janji yang disampaikan rektor kepada saya. Wakil rektor ini mengatakan bahwa dia kaget dengan kejadian yang menimpa saya. Dia selanjutnya menanyakan, mungkin  pada saat saya bertemu rektor, ada perkataan saya yang sensitif dan (mungkin) menyinggung perasaan rektor. Saya merasa tidak ada yang aneh, tidak etis ataupun sensitif dari perkataan saya ketika bertemu rektor  waktu itu. Terkait gaji, saya juga tidak pernah menyinggungnya. Justru rektor sendiri yang menanyakannya. Dia pun kelihatan kaget ketika saya menyebut nominal gaji waktu kerja di Semarang. Yang mengejutkan dari obrolan saya dengan wakil rektor saat itu adalah dia ini ternyata sudah berpindah jabatan, dan posisinya sekarang bergeser ke koordinator SPMI (di bawah wakil rektor). Ini berarti dia sudah tidak berada di dalam anggota pimpinan kampus. Makanya dia tidak dilibatkan dalam keputusan rekrutmen dosen.

Merasakan rasanya di PHP dan diberi janji palsu, tentu saya benar-benar sangat marah. Kemarahan itu saya luapkan dengan berbagai umpatan dan cemoohan kepada kampus itu. Saking marah dan kecewanya saya, saya pun berjanji akan terus memberikan informasi tentang keburukan kampus itu pada setiap orang yang saya temui. Menurut saya wajar sekali jika saya harus marah dan membenci kampus dengan cara seperti itu. Saya sudah terlanjur resign dari tempat kerja yang lama untuk bisa mendaftar di kampus itu. Ditambah lagi saya harus menunggu selama hampir 3 bulan dengan hasil akhir yang nihil seperti itu. Ini benar-benar bukan main-main. Konsekuensi dari kejadian ini tentu mau tidak mau saya harus mencari home base baru lagi, yang tentunya akan membutuhkan waktu lama. Saya sempat berpikir untuk melamar beberapa kampus di Solo dan Tuban, yang memang saat itu sempat membuka lowongan dosen. Lokasinya pun juga tidak cukup jauh dari rumah. Namun, dengan persaingan yang ada dan kondisi program studi yang tidak linear, belum tentu saya bisa diterima. Harusnya kejadian buruk yang menimpa saya ini tidak terjadi. Harusnya (mantan) wakil rektor itu menyadari akan kapasitasnya dan benar-benar memahami situasi dan kondisi kampus tempat kerjanya itu sebelum memberikan jaminan kepada saya dan bahkan meminta saya untuk resign dari kampus yang lama. Di awal sebenarnya saya cukup skeptis dengan kampus ini, terutama ketika mencari semua informasi terkait kondisi fisik dan non-fisik kampus secara online. Tetapi yang saya pikirkan waktu adalah bagaimana saya bisa bekerja di tempat yang dekat dengan orang tua dan keluarga. Apapun kondisi kampusnya, saya tidak peduli. Justru saya yang akan membantu dalam memajukannya. Tentu ini adalah naif. Tapi bagi saya, orang tua dan keluarga itu nomor satu.

Cerita ini saya tutup dengan kembalinya saya di tempat lama, Universitas Nasional Karangturi, Semarang setelah melalui beberapa tahapan dan negosiasi. Thanks ibu Helena, Dekan FKIP dan ibu Lusi, Rektor yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk kembali. Saya mulai kembali bekerja pada 30 Maret 2022. Alhamdulillah, 2 minggu setelah saya kembali atau tepatnya pada 12 April 2023, saya mendapatkan kabar gembira mengenai artikel saya yang diterbitkan oleh The Journal of Asia TEFL. Jurnal ini merupakan jurnal bereputasi tinggi yang terindeks Scopus Q1 pada bidang linguistics dan Language dengan membawa bendera kampus Universitas Nasional Karangturi. Well, bisa dikatakan kabar ini merupakan penebus dosa resign saya…hehe.









Minggu, 02 April 2023

Janji Palsu (Part 1)

 

https://www.hukumonline.com/

Janji Palsu (Part 1)

*Aziza Restu Febrianto

 

Ini adalah sebuah pengalaman. Sebuah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan selamanya. Dalam hidup, baru kali ini saya mengalami kejadian yang unik tapi menyakitkan. Ini semua tentang sebuah profesi dan pengabdian sekaligus cinta kepada orang tua dan keluarga. Semuanya berawal dari sebuah postingan lowongan dosen resmi pada sebuah story facebook dan instagram sebuah universitas swasta (satu-satunya universitas)  di Magetan tahun 2022. Dan kampus inilah yang saya maksud “Kampus Gak Jelas” pada jurul artikel ini. Namun, alangkah baiknya cerita ini saya awali dengan latar belakang kondisi awal karir dan pilihan profesi saya di Part 1 ini, agar pembaca bisa memahami kenapa pengalaman yang tidak diharapkan itu bisa terjadi. Pada Part 2 nanti, saya akan berbagi mengenai detail cerita inti di kampus gak jelas dan biadab itu sekaligus hikmah dan pelajaran yang bisa diambil.

Profesi dosen memang sudah menjadi pilihan hidup saya sejak lulus kuliah S-2. Sehingga jenis kampus seperti apa tempat saya bekerja kelak tentu menjadi pertimbangan serius bagi saya. Walaupun kalau bisa memilih, ya tentu saja saya akan memilih bekerja di sebuah kampus yang besar dan memiliki nama terkenal. Tapi apa mau dikata, setelah mengikuti rangkaian seleksi penerimaan dosen di beberapa kampus besar tersebut, saya masih belum beruntung. Mengikuti tes CPNS pun saya juga selalu gagal. Mungkin memang sudah menjadi takdir saya untuk tidak menjadi dosen PNS. Namun, ketika usia bertambah, pola pikir mengenai jenis kampus tempat kerja ini menjadi tidak penting. Apalagi ketika muncul keinginan kuat untuk bekerja di daerah sendiri, dekat dengan orang tua dan anak istri. Bagi saya, kampus itu bukanlah tempat untuk  menggantungkan diri, tetapi kampus itu menjadi tempat saya untuk bisa bekerja pada bidang yang saya tekuni dan berkembang secara keilmuwan dan kompetensi, serta saya bisa bekerja keras untuk membangun kampus tersebut. Dan jauh lebih penting lagi adalah kampus tempat saya bekerja ini lokasinya dekat dengan orang tua dan keluarga. Saya tidak peduli jumlah nominal gaji itu berapa, karena uang itu bisa dicari di pekerjaan lain sambi berprofesi sebagai dosen.

Pencarian peluang untuk bekerja di kampus yang dekat dengan keluarga ini sebenarnya sudah saya lakukan sejak tahun 2011 ketika saya mengikuti seleksi penerimaan dosen di sebuah IKIP yang cukup terkenal di Madiun (sekarang statusnya berubah menjadi universitas). Waktu itu saya sebenarnya sudah keterima, walaupun akhirnya tidak jadi dan di-PHP. Tidak jelas juga alasan kenapa saya tidak jadi bekerja di kampus tersebut, padahal sudah jelas saya lolos seleksi dan diminta mengajar salah satu mata kuliah, yaitu Writing 4. Mungkin alasannya karena waktu itu sudah ada perubahan kebijakan bahwa semua dosen harus berkualifikasi minimal S-2, sedangkan saat itu saya masih lulusan S-1. Padahal jika saya diterima, saya berjanji akan melanjutkan studi S-2, baik dengan biaya sendiri ataupun beasiswa. Namun, kemudian perjuangan ini tidak saya teruskan karena saya memilih untuk mencari pengalaman menjadi guru di daerah 3T dan akhirnya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah S-2 di luar negeri. Mumpung masih muda, cari pengalaman sebanyak-banyaknya..begitulah prinsip hidup saya waktu itu..hehe. Sayapun akhirnya menikah tepat ketika saya akan berangkat kuliah.

Singkat cerita, seusai kuliah S-2, saya memutuskan untuk kembali bekerja di Semarang, karena peluang kerja yang pasti memang ada disana. Karena mendapatkan tawaran, saya waktu itu memutuskan untuk bekerja sebagai pengajar di sebuah akademi pelayaran swasta dan lembaga konsultan pendidikan luar negeri. Bagi saya, bekerja di kedua lembaga tersebut adalah pilihan yang sangat realistis disaat peluang menjadi dosen tetap universitas belum ada saat itu. Kebetulan juga, selain mendapatkan tawaran,  sebelum kuliah S-2, saya memang sudah bekerja di Akademi pelayaran tersebut. Saya juga tidak mengalami kesulitan untuk bekerja di lembaga konsultan pendidikan luar negeri, karena saya mempunyai pengalaman mengambil tes internasional bahasa Inggris selama beberapa kali dan saya juga merupakan lulusan universitas luar negeri. Sembari bekerja, saya tentu mencoba mencari peluang untuk bisa menjadi dosen. Saya ingin sekali bekerja penuh sebagai dosen dan diakui secara resmi oleh pemerintah dan masyarakat melalui kepemilikan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Waktu itu, memang ada beberapa universitas swasta yang saya lamar, tetapi setelah semua upaya ini berujung pada kegagalan. Setelah bekerja di akademi pelayaran selama lebih dari 5 tahun, saya kemudian mendapatkan tawaran untuk menjadi dosen tetap disana.  Tetapi tidak tahu kenapa tawaran tersebut akhirnya tidak terealisasi. Pada awalnya saya diminta mengajar dengan SK Dosen tetap kontrak, tetapi entah kenapa kontrak tersebut tiba-tiba dihentikan. Bahkan tanpa pemberitahuan.

Pandemi COVID-19 pun tiba. Semua aktivitas pembelajaran dan pekerjaan dilakukan di rumah secara daring. Saya kemudian pulang ke Magetan dan mengajar secara daring di rumah. Status saya waktu itu masih bekerja sebagai pengajar di kampus pelayaran dan lembaga konsultasi pendidikan luar negeri. Selama pandemi ini, saya juga mendapatkan tawaran bekerja di sebuah lembaga kursus daring yang cukup terkenal saat itu. Setelah beberapa kali mengajar, saya kemudian diminta untuk memegang jabatan sebagai Chief Academic Officer (CAO). Sayapun senang dan bangga menerima tawaran tersebut, karena saya juga ingin berkiprah dalam merintis sebuah start up di bidang pendidkan. Namun, tentu saja saat itu saya bekerja dengan sangat keras, karena harus bekerja di tiga tempat sekaligus secara daring. Meskupun di rumah, saya hampir tidak mempunyai waktu luang. Setelah menikmati pekerjaan yang sangat menguras waktu ini di rumah, tiba-tiba saya tidak sengaja membaca sebuah lowongan dosen tetap di Universitas Nasional Karangturi (UNKARTUR) Semarang, tepatnya di Program Studi S-1 Pendidikan Bahasa Inggris. “Ini adalah impian,” pikir saya. Tanpa berfikir panjang, saya pun akhirnya mendaftar, mengikuti seleksi, dan Alhamdulillah, diterima. Cerita lengkap mengenai diterimanya saya di UNKARTUR ini bisa dibaca melalui tulisan saya di tautan ini Rezeki Dibalik Pandemi 2020. Akhirnya impian saya menjadi dosen benar-benar terwujud. Bahkan, saat membuat KTP dan SIM, saya tidak segan-segan memakai nama dosen sebagai pekerjaan atau profesi saya. Saya sangat menikmati profesi ini karena memang sesuai dengan passion dan keinginan saya selama ini. Dan setelah menekuninya selama 2 tahun, akhirnya saya mendapatkan jabatan fungsional pertama, yaitu Asisten Ahli.