Terpaksa Memilih
*Aziza Restu Febrianto
Saya
kemudian sadar bahwa bakat, keterampilan dan pengalaman saja sebenarnya
tidaklah cukup untuk dijadikan sebagai alasan dasar memilih jurusan untuk
kuliah. Waktu itu saya sudah paham bahwa pertimbangan selain faktor bakat dan
keterampilan adalah prospek kerja. Artinya bagaimana pilihan jurusan yang saya
ambil itu kedepan akan memudahkan saya untuk mendapatkan pekerjaan. Setelah
merenung cukup lama, akhirnya saya memilih jurusan Ilmu Komunikasi di kampus
Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta dengan pertimbangan ketertarikan
saya di bidang bahasa serta lokasi kampus yang tidak terlalu jauh dari rumah.
Selain itu jika dilihat dari prospek untuk mendapatkan pekerjaan, lulusan
jurusan ini bisa bekerja di berbagai macam bidang, seperti wartawan, pembawa
acara, atau humas di berbagai macam perusahaan.
Setelah
pengumunan kelulusan SMA, saya memutuskan pergi ke kota Yogyakarta untuk
mengambil les bimbingan belajar dalam rangka mempersiapkan Seleksi Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN). Ketika mengikuti SMPTN, untuk pilihan kedua, keputusan
saya jatuh pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY). Alasan memilih jurusan ini tentunya karena bekal keterampilan
dan minat. Beberapa minggu setelah mengikuti seleksi, hasilnyapun diumumkan.
Namun, ternyata saya tidak lulus. Sedih sekali rasanya karena semua usaha yang
sudah saya lakukan ternyata sia-sia.
Singkat
cerita, saya akhirnya mendaftar di sebuah PTS terkenal di Surakarta. Namun,
beberapa hari kemudian, saya mendapatkan informasi bahwa sebuah kampus negeri
di Semarang, yaitu Universitas Negeri Semarang (UNNES) masih memberikan peluang
bagi lulusan SMA yang tidak lulus SMPTN untuk mendaftar. Mendengar kabar
tersebut, saya langsung berkonsultasi dengan ibu. Tentu saja beliau sangat
senang mendengarnya dan mendukung saya untuk mendaftar. Beliau meminta saya
untuk pindah kuliah ke UNNES. Seperti biasa, saya mengikuti proses seleksi
masuk UNNES, dan alhamdulillah kemudian diterima pada jurusan yang sama,
Pendidkan Bahasa Inggris. Ibu saya terlihat sangat bahagia sekali mendengarnya.
Ibu
saya sebenarnya memang sudah sangat berharap bahwa saya mengambil kuliah di
bidang pendidikan dan keguruan. Dalam benak ibu, pekerjaan guru itu mulia dan
penuh dengan ladang ibadah. Selain itu beliau juga sangat mewanti-wanti anaknya untuk tidak bekerja di bank atau menjadi
polisi karena menurut beliau, pekerjaan itu kurang bisa membawa keberkahan.
Namun pemikiran ibu sangat berbeda dengan bapak yang justru mendorong saya masuk
polisi. Bapak sebenarnya sangat menginginkan anaknya untuk bisa diterima di
pendidikan militer seperti tentara (TNI), polisi atau pendidikan semi militer
ikatan dinas lainnya seperti IPDN. Keinginan bapak itu bisa dipahami karena
memang menjadi tentara adalah cita-cita beliau sejak masih muda dulu. Namun
ketika mengikuti seleksi, beliau selalu gagal dan akhirnya memutuskan untuk
menjadi petani sampai sekarang.
Latar
belakang orang tua saya (ibu: guru dan bapak:petani) tentu sangat mempengaruhi
pola pikir dan keputusan mereka mendukung apa yang sudah menjadi takdir saya
waktu itu: berkuliah di bidang keguruan. Saya harus menyadari bahwa mereka
memang belum memiliki wawasan yang luas tentang lapangan kerja, yang sebenarnya
sangatlah luas: tidak harus menjadi guru ataupun pegawai PNS. Mungkin mereka
berfikiran bahwa guru atau pegawai PNS adalah salah satu pekerjaan yang paling
aman. Menurut mereka setelah menjalani pendidikan guru, saya sudah dipastikan
akan diangkat sebagai pegawai negeri seperti halnya lulusan sekolah kedinasan
lainnya. Yang jelas pola pikir mereka masih sama dengan kebanyakan orang lain
di kampung, yang masih berfikiran bahwa pekerjaan yang paling layak itu ya
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Walaupun
jurusan kuliah tidak sesuai dengan harapan, saya harus tetap menjalaninya.
Dukungan orang tua dan biaya kuliah yang lebih murah dibandingkan dengan kampus
swasta adalah energi terbesar saya untuk tetap move on. Saya masih ingat kata-kata ibu ketika saya mengatakan
sedikit keraguan padanya,
“Ibu wis manteb le yen awakmu kuliah ning
UNNES. Aku ngerti kowe ki duwe bakat ngajar. Kowe iki anak ibu sing ketok’e iso
ngayomi lan mbimbing. Kampuse yo negeri. Mengko lak gampang golek gawean.” (dalam
Bahasa Jawa)
Dalam
Bahasa Indonesia kira-kira seperti ini artinya:
“Ibu sudah mantab nak kalau kamu
kuliah di UNNES. Aku mengerti kalau kamu itu punya bakat mengajar. Kamu ini
anak ibu yang kelihatannya bisa mengayomi dan membimbing. Kampusnya itu juga
negeri. Nanti pasti gampang mencari pekerjaan.”
Sepertinya
ibu merasa lebih bangga jika saya kuliah di kampus negeri daripada swasta.
Beliau juga berkeyakinan bahwa lulusan PTN tentu lebih dipandang dan dihargai di
tempat kerja. Bahkan beliau tidak segan-segan mengantar saya pada saat pendaftaran
ulang di Semarang waktu itu. Sekali lagi... pola pikir ibu tentang ini juga
sama saja dengan kebanyakan orang di Indonesia.
Bersambung......(Bagian 3)