https://news.okezone.com |
*Aziza Restu Febrianto
Pada
dasarnya sekolah memang dibuat dan dirancang sebagai tempat belajar, mencari
ilmu dan mengembangkan diri. Atas dasar amanat undang-undang, negara kemudian hadir
menjadi agen utama atas kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Negara juga harus memastikan
para siswa di sekolah mendapatkan ilmu pengetahuan yang luas dan keterampilan yang
berguna dan relevan dengan kondisi masa kini serta masa yang akan datang
melalui sebuah kurikulum. Ilmu pengetahuan dan keterampilan itu diharapkan mampu
membantu mereka memecahkan berbagai macam tantangan dan masalah baik masalah pribadi,
lingkungan masyarakat maupun negara itu sendiri. Untuk dapat memecahkan
masalah, para lulusan sekolah tentu harus diberikan tempat atau lapangan
pekerjaan untuk menyalurkan semua ilmu dan keterampilan yang didapat. Mereka
kemudian dianugerahi sebuah ijazah atau tanda kelulusan sebagai bukti bahwa
mereka memang telah menyelesaikan pendidikan sekolah pada periode yang telah
ditentukan. Ijazah dan tanda kelulusan ini bisa digunakan ketika para lulusan ketika
sedang melamar sebuah pekerjaan. Dengan tanda ini, mereka kemudian dianggap
sudah memiliki kualifikasi yang memenuhi syarat untuk bisa bekerja dengan baik.
Bersekolah
dan mendapat tanda kualifikasi pendidikan formal memang penting. Namun
pertanyaannya adalah apakah dengan itu semua, kita lantas sudah benar-benar
menjadi orang yang pintar, cakap dan sukses? Hal yang dikhawatirkan sebenarnya justru
jangan-jangan sistem pendidikan formal semacam ini membuat pemahaman masyarakat
tentang sekolah menjadi bergeser, yaitu sebagai tempat untuk mendapatkan
pengakuan kualifikasi, bukan pengembangan kualitas pribadi. Dengan kata lain,
tujuan orang bersekolah adalah mendapatkan ijazah formal untuk mempermudah mendapatkan
kesempatan kerja. Bahkan mereka yang tergolong berduit atau kaya rela
mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar anaknya bisa bersekolah di lembaga
terkenal dan bergengsi. Menjadi hal yang tidak masalah jika pendidikan yang
berkualitas ini memang benar-benar berdampak juga pada perkembangan kompetensi
anak mereka. Tapi tidak jarang niat mereka memasukkan anak mereka di sekolah
itu hanyalah karena sekedar mencari nama; nama besar sekolah yang membuat nama
anak mereka besar pula. Tentu saja dengan nama besar yang disandang, mereka
akan terlihat lebih dipercaya memiliki kualitas yang sama dengan almamaternya
ketika melamar sebuah pekerjaan.
Fakta
dan sejarah ternyata membuktikan kenyataan yang jauh berbeda dari apa yang dipikirkan
oleh banyak orang tentang peran sekolah. Satu-satunya faktor yang membuat orang
menjadi pintar, cakap dan berhasil dalam hidupnya selama ini ternyata bukanlah
sekolah atau pendidikan formal, melainkan karakter dan kepribadian kuat orang
itu sendiri dalam mengarungi hidupnya. Banyak sekali orang sukses di dunia ini
yang keberhasilannya tidak dipengaruhi secara langsung oleh pendidikan formal
mereka. Bill Gates, misalnya, justru mengalami dropped out karena terlalu fokus pada usaha di bidang perangkat
lunak komputer meskipun dia bersekolah pada bidang yang sama di sekolah atau kampus
yang sangat bergengsi. Dia kemudian baru bisa menyelesaikan pendidikan formal
S1 nya ketika dia sudah berusia 40 tahun atau setelah dia menjadi orang yang kaya
raya. Contoh orang sukses lain yang mengalami hal serupa seperti Bill gates
juga banyak seperti pencipta perangkat keras dan lunak komputer, Apple, Steve
Jobs, pendiri Facebook, Mark Zuckerburg, CEO e-commerce Alibaba, Jack Ma, dsb.
Mereka semua adalah orang-orang hebat dan cerdas yang mengalami masalah dengan
sekolahnya.
Peran
sekolah bagi kesuksesan orang memang ada, tapi pengaruhnya mungkin tidak
signifikan atau porsinya biasa saja. Jika melihat contoh orang-orang sukses
seperti yang disebutkan, karakter dan kepribadian orang sukses itu ternyata banyak
ditentukan oleh bagaimana mereka menentukan pilihan atau memilih jalan hidupnya
sendiri sesuai dengan ketertarikan atau passion
mereka. Semua keputusan penting yang mereka ambil lebih banyak dipengaruhi
oleh faktor internal individu itu sendiri atau bisa jadi atas dasar nilai, pola
pikir atau budaya yang diterapkan dalam keluarga. Mereka justru menganggap
sekolah adalah sebuah penjara. Menurut mereka, sekolah terlalu banyak
menerapkan banyak aturan serta rutinitas yang cenderung membatasi ruang
imajinasi berfikir mereka. Seorang Fisikawan yang terkenal akan kejeniusannya,
Albert Einstein pernah menyebut bahwa “Imajinasi itu lebih penting daripada
ilmu pengetahuan.” Pernyataan ini bisa diartikan bahwa ilmu pengetahuan yang
biasanya secara terstruktur diperoleh di sekolah tidak akan pernah membuat
seseorang itu menjadi besar jika dia sendiri secara personal tidak memiliki
imajinasi yang luas. Pernyataan ini masuk akal karena setiap individu memiliki
cara dan waktu berimajinasi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dan
kondisi ini tidak bisa diatur atau didekte dengan sistem atau peraturan yang
sama di sekolah.
Selain
memilih cara pandang yang tepat, orang-orang besar itu juga sangat menghargai Self-learning atau belajar mandiri.
Mereka tidak pernah mengandalkan ilmu pengetahuan yang sudah pernah diajarkan
di sekolah, tapi selalu berfikiran bahwa banyak hal di dunia ini yang belum
dieksplorasi. Mereka kemudian berusaha mencari tahu hal-hal yang belum pernah
terpecahkan itu dengan rasa penasaran yang tidak terbatas. Mereka tidak pernah
membatasi diri mereka dengan pengetahuan yang sudah ada, apalagi yang hanya
berkutat pada pembelajaran di kelas dengan tugas-tugas rutinnya. Orang-orang
semacam ini juga banyak dijumpai di Indonesia. Presiden pertama kita, Bapak
Soekarno misalnya, dalam sejarahnya, memiliki kebiasaan suka membaca buku sejak
remaja. Beliau suka sekali mencari buku dan membacanya dari berbagai macam
tempat termasuk sekolahnya. Kebiasaan ini tidak dilakukan oleh teman-teman
sebayanya yang juga bersekolah di tempat yang sama. Kebiasaan inilah yang
membuatnya menjadi orang besar dan memiliki pemikiran yang luas, hingga
melampaui jamannya. Pemikiran-pemikiran beliau pun akhirnya banyak diakui dan
diikuti oleh banyak orang di dunia sampai sekarang. Tokoh inspiratif lainnya
adalah Buya Hamka, seorang tokoh islam dan ulama berpengaruh yang hanya
mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD), padahal karya-karyanya memiliki andil
besar pada dunia literasi Indonesia.
Tidak
kalah dengan para pendahulunya, para tokoh nasional masa kini seperti Dahlan
Iskan, Susi Pujiastuti, dan Muhammad Jusuf Kalla juga melakukan hal yang sama.
Tanpa memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, mereka mampu membuktikan
pada dunia bahwa mereka bisa menjadi orang yang pintar dan sukses. Mereka
bahkan tidak hanya sukses untuk dirinya sendiri, tapi mampu memberikan manfaat
bagi orang banyak. Membaca biografi mereka dan melihat semua pencapainnya yang
luar biasa, bisa disimpulkan bahwa cara dan gaya belajar mereka pasti sangat
berbeda dari kebanyakan orang, padahal mereka juga sama-sama mengenyam
pendidikan sekolah. Yang membedakan adalah mereka tidak pernah mengandalkan
ilmu yang mereka dapatkan di sekolah. Mereka membebaskan diri mereka mencari
wawasan dan banyak peluang di luar sekat pendidikan formal dengan belajar
sendiri dan mengambil semua keputusan dengan mandiri sesuai dengan bidang yang telah
mereka pilih dan tekuni. Seorang pengusaha dan motivator sukses asal Amerika,
Jim Rohn pernah mengatakan bahwa, “Pendidikan formal akan membuatmu hidup, tapi
pendidikan mandiri akan membuatmu jauh lebih beruntung.” Adapun kutipan dari
Bill Gates yang perlu kita jadikan sebuah refleksi bersama, “Saya pernah gagal
ujian pada banyak mata pelajaran, tapi ada salah seorang teman saya yang lulus
dengan baik pada semua mata pelajaran itu. Sekarang, dia adalah seorang ahli teknisi
Microsoft, dan saya adalah pemilik Microsoft.”
Artikel
ini ditulis sebagai kritikan atau refleksi bagi sekolah dan pendidikan formal
kita. Seharusnya sekolah hadir sebagai tempat yang memberikan pendidikan sesuai
dengan esensinya. Artinya sekolah mampu memberikan ruang bagi setiap individu
untuk suka bermimpi, berimajinasi, dan bekerja keras sesuai dengan bakat dan
kelebihannya masing-masing. Sekolah bukanlah tempat penghasil orang-orang
terdidik yang hanya berkutat pada khasanah ilmu yang sudah ada (status quo),
tapi memfasilitasi dan menyiapkan para generasi inovatif dan kreatif yang dapat
menjadi solusi berbagai macam masalah dan tantangan masa depan.
Penulis
adalah seorang guru yang telah mengajar di lembaga pendidikan formal selama
lebih dari 10 tahun dan menginginkan para muridnya menjadi orang luar biasa sebagai
agen andalan utama perubahan bangsa.
Artikel
ini pernah diunggah di laman kompasiana pada tanggal 24 Februari 2019. Berikut
link nya: