https://metrobali.com/langkah-mundur-hapus-bahasa-inggris-sd/
Haruskah Bahasa Inggris (Tidak) Wajib Diajarkan di Sekolah?
Beberapa waktu lalu, banyak pihak membicarakan tentang RUU Sisdiknas yang
masih dianggap penuh kontroversi. Salah satu bagian kontroversial yang dikhawatirkan oleh publik adalah
penghapusan pasal Tunjangan Profesi Guru (TPG), meskipun pihak Kemendikbud
telah menyampaikan bahwa RUU ini sudah terintegrasi dengan undang-undang dan
peratuaran terkait lain yang mengatur tunjangan dan kesejahteraan guru dan
dosen. Bagian kontroversial lainnya adalah tidak adanya
mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib pada jenjang sekolah
dasar dan menengah. Bagian ini terlihat jelas pada Pasal 81 ayat 1. Isu kedua ini telah mengundang kegelisahan para guru,
dosen, dan pakar pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Mereka bahkan telah
menandatangani petisi yang dipelopori oleh Asosiasi Pengajaran Bahasa Inggris
di Indonesia, TEFLIN melalui change.or.id (lihat petisi https://chng.it/jcNwbwWZ). Setelah
mendapatkan lebih dari 22,000 tandatangan dan adanya upaya peninjauan ulang di
Mahkamah Konstitusi (MK), perumusan draf RUU tersebut akhirnya tidak jadi
dilanjutkan.
Penghapusan bahasa Inggris sebagai
mata pelajaran wajib (khususnya di sekolah dasar) sebenarnya sudah dilakukan
oleh pemerintah pada tahun 2013 yang lalu. Memang sebelumnya tidak ada
peraturan yang menyebutkan mata pelajaran apa saja yang wajib dipelajari,
tetapi dengan adanya bahasa Inggris yang masuk dalam Ujian Nasional di sekolah
menengah pada waktu itu, sudah sangat jelas akan kewajiban akan mempelajari
bahasa tersebut. Meskipun penghapusan ini hanya terjadi pada jenjang pendidikan
dasar, banyak pihak yang mempertanyakan keputusan ini. Saat itu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan bahwa mata pelajaran ini
memang tidak wajib, tetapi bukan berarti dihapuskan sehingga menjadi tidak ada.
Dengan kata lain, bahasa Inggris dijadikan sebagai mata pelajaran pilihan di
sekolah dasar, dan pihak sekolah boleh memasukkannya sebagai mata pelajaran
atau memilih untuk tidak mengajarkannya. Mohammad Nuh menyampaikan alasan utama
kenapa keputusan ini dibuat, yaitu sebagai upaya dalam rangka memprioritaskan
bahasa Indonesia sebagai bahasa jati diri bangsa yang harus diajarkan sejak
dini. Ternyata sekarang keputusan ini berlanjut hingga pada RUU Sisdiknas yang
saat ini sedang dalam proses uji publik. Bahkan penghilangan bahasa Inggris
sebagai mata pelajaran wajib ini tidak hanya akan dilakukan pada jenjang
sekolah dasar, tetapi juga pada jenjang pendidikan menengah.
Keinginan kuat untuk menghapuskan
bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib ini membuat banyak pihak bertanya
apakah bahasa Inggris masih perlu diajarkan secara formal di sekolah atau
tidak. Untuk menjawabnya, diperlukan telaah beberapa referensi dan penelitian
empiris untuk mengukur seberapa penting bahasa asing ini untuk diajarkan di
sekolah. Referensi pertama adalah undang-undang yang mengatur status dan
penggunaan bahasa di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 24 tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara. Tampaknya undang-undang
ini juga dijadikan sebagai salah satu alasan dasar kenapa pelajaran bahasa
Inggris menjadi tidak wajib di sekolah dalam RUU Sisdiknas yang baru. Di dalam
undang-undang ini, sangat jelas ditekankan mengenai pentingnya pelajaran dan penggunaan
bahasa Indonesia, tidak hanya dalam forum atau pertemuan penting di dalam
negeri, tetapi juga konferensi tingkat internasional. Mengacu pada peraturan
ini, para pejabat negara bahkan diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia ketika
menyampaikan pendapat di berbagai pertemuan penting di luar negeri. Sehingga
tidak heran jika presiden Joko Widodo, pada berbagai kesempatan di luar negeri,
banyak berpidato dalam bahasa Indonesia, seperti halnya beberapa pemimpin
negara lainnya yang berpidato dengan bahasa nasional mereka. Kita memang
seharusnya mengapresiasi upaya pemerintah dalam meningkatkan jiwa nasionalisme
bangsa dan pelestarian bahasa Indonesia melalui Undang-undang No.24 tahun 2009.
Namun, jika undang-undang ini dijadikan sebagai salah satu alasan kenapa bahasa
Inggris tidak wajib diajarkan di sekolah, sepertinya yang membuat keputusan
tersebut belum memahami esensi isi dari undang-undang tersebut.
Pada pasal 29, disebutkan dengan
jelas bahwa untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik pada satuan
pendidikan, negara harus menjamin kesempatan dan fasilitas yang menunjang
pembelajaran bahasa tersebut. Pasal ini menunjukkan pentingnya pelajaran bahasa
asing untuk menunjang proses pendidikan. Pada beberapa pasal lainnya juga
disebutkan adanya situasi dimana penulisan berbagai macam dokumen seperti nota
kesepemahaman, informasi publik dan publikasi ilmiah perlu dilakukan dalam
bahasa asing yang dipahami oleh pihak yang bersangkutan (Pasal 35, 37, dan 38).
Dalam hal ini, faktanya hingga saat ini bahasa asing yang bisa dipahami dan
diterima oleh hampir semua masyarakat dunia adalah bahasa Inggris. Selain itu,
menurut undang-undang ini, dalam rangka peningkatan daya saing bangsa, negara
juga wajib memfasilitasi warganya untuk mendapatkan pelatihan bahasa asing yang
mana faktanya juga bahasa Inggris telah menjadi alat komunikasi untuk berbagai
macam pengembangan diri. Menurut pasal 31, bahasa Inggris sendiri pada kenyataannya
juga merupakan satu-satunya bahasa asing yang menjadi bahasa alternatif selain
bahasa Indonesia. Jika memahami tujuan dan kepentingan-kepentingan yang
disebutkan dalam UU No.24 Tahun 2009, sesungguhnya dalam konteks pendidikan, pembelajaran
bahasa Inggris di sekolah masih sangat dibutuhkan dan hendaknya difasilitasi
dan diawasi oleh negara. Para pejabat publik dan guru di sekolah memang wajib
menekankan akan pentingnya menjunjung tinggi bahasa Indonesia dalam berbagai
macam kondisi, tetapi penguasaan bahasa asing khususnya bahasa Inggris tetap
merupakan tanggung jawab pendidikan nasional.
Terkait dengan urgensi pembelajaran
bahasa Inggris di sekolah, telah ada banyak studi yang membahas korelasi antara
kompetensi bahasa Inggris terhadap pengembangan diri dan kesuksesan karir
individu serta kemajuan bangsa, bahkan di negara maju dimana bahasa Inggris
merupakan bahasa asing seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Pada tahun
2017, misalnya, World Economic Forum mengeluarkan sebuah review studi mengenai
hubungan antara kompetensi bahasa Inggris dengan kemajuan ekonomi suatu bangsa.
Mengutip data dari PBB dan English First (EF) English Proficiency Index (EPI),
review studi ini menunjukkan bahwa kompetensi bahasa Inggris ini secara
langsung dapat menunjang peningkatan Gross Demestic Product (GDP) atau
jumlah nilai tambah produksi barang dan jasa serta Gross National Income
(GDI) atau peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat di suatu negara. Kompetensi
bahasa Inggris ini juga berkorelasi secara sangat kuat dengan kualitas hidup
masyarakat dan indeks pengembangan kualitas manusia atau Human Development
Index yang mengukur tingkat pendidikan, literasi dan harapan hidup
masyarakat. Hasil studi ini selaras dengan sebuah temuan riset yang dilakukan
oleh beberapa peneliti dari Zheizang University, Cina. Penelitian ini dilakukan
pada tahun 2021 yang lalu dengan melibatkan 14,811 responden dari 14 negara di
Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Penelitian tersebut
membuktikan bahwa tingkat kompetensi dalam berbahasa Inggris sangat berpengaruh
kuat pada kebahagiaan dan kepercayaan diri seseorang, karena kepuasan yang dia
peroleh dari penghasilan yang meningkat dan aktivitas selama libur kerja. Kepuasan
individu ini pada akhirnya berdampak signifikan terhadap peningkatan
perekonomian negara.
Melihat temuan dari kedua studi
diatas, terlihat jelas bahwa dampak positif dari penguasaan bahasa Inggris
masih sangat menakjubkan hingga saat ini, dan bahkan di masa yang akan datang.
Sehingga sudah sewajarnya jika negara harus terus hadir dan mendorong masyarakatnya
untuk mengembangkan kompetensinya melalui penguasaan bahasa Inggris dengan
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Masyarakat mungkin telah memiliki kesadaran akan manfaat dan pentingnya belajar
bahasa Inggris, tetapi peran negara dalam memberikan fasilitas belajar yang
maksimal pastinya akan memberikan hasil dan dampak yang jauh lebih signifikan. Dengan
kata lain, jika kewajiban belajar bahasa Inggris ditekankan secara formal di
sekolah, maka akan semakin banyak generasi muda yang memiliki tingkat
pendidikan, literasi, dan kepercayaan diri yang tinggi, serta pendapatan yang
memuaskan, sehingga mereka secara tidak langsung dapat membantu meningkatkan pembangunan dan kemajuan bangsa.