Selasa, 21 April 2020

Islam di London


Islam di London

*Aziza Restu Febrianto


Assalaamualaykum, wr, wb...

Pada artikel ini saya ingin bercerita tentang pengalaman saya sebagai seorang muslim ketika sedang menjalani pendidikan S2 di London, Inggris pada tahun 2017 silam. Seperti yang kita ketahui, Inggris atau Britania Raya (dalam Bahasa Inggris: United Kingdom) adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Meskipun begitu, ada sumber yang menginformasikan bahwa akhir-akhir ini banyak orang kristen di Inggris yang mulai enggan melaksanakan ajaran kristiani secara utuh atau yang dilakukan hanya sekedar formalitas saja. Sebelum berangkat ke negara itu, saya selalu membayangkan bagaimana hidup saya nantinya sebagai seorang muslim atau sebagai bagian dari minoritas disana. Sama sekali bukan kekhawatiran sih yang dirasakan, tapi justru  bagi saya ini tantangan karena saya akan merasakan suasana berbeda dalam hidup. Setibanya disana, apa yang selama ini saya bayangkan itu ternyata jauh berbeda dari kenyataannya. Kampus tempat saya belajar kebetulan terletak tepat di tengah kota besar. Sebagai ibu kota negara sekaligus pusat ekonomi, London tentu menjadi sentra masuknya berbagai macam orang dari seluruh dunia dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Pada masa awal perkuliahan, saya tinggal di sebuah flat mahasiswa milik kampus UCL bernama Hawkridge House. Flat ini cukup murah dibandingkan dengan Flat kampus lainnya, tapi fasilitasnya sudah sangat standar (menurut saya sih sudah bagus banget). FYI, flat (istilah British) adalah nama lain dari apartment (American). Di flat itu saya bertemu dan berkenalan dengan mahasiswa lain dari berbagai negara. Namun, saya sama sekali tidak menemukan mahasiswa muslim di disana. Bahkan teman Indonesia yang satu kamar dengan saya beragama Hindu. Setelah itu mulai terbesit di pikiran saya tentang dimana saya akan melaksanakan sholat berjamaah, terutama sholat jum’at. Jika tidak ada satupun teman beragama islam di flat ini, berarti saya harus mencari masjid sendiri. Pada saat saya keluar untuk belanja kebutuhan makanan, saya sengaja mencari masjid. Saya merasa beruntung karena lokasi tempat tinggal saya dekat sekali dengan kompleks pertokoan. Untuk kesana, saya hanya perlu jalan kaki beberapa menit. Yang membuat saya terkejut, ketika sampai di kompleks itu, saya menemukan banyak sekali muslim yang rata-rata berasal dari Asia Selatan dengan busana takwa yang khas. Bahkan banyak juga diantara mereka yang mempunyai toko disana. Saya kemudian membeli barang di salah satu toko itu dan mencoba mengobrol dengan penjaga tokonya. Ketika saya cerita bahwa saya dari Indonesia dan muslim, mereka terlihat sangat senang.

Flat Kampus UCL, Hawkridge House
Pemandangan dari Lantai 9 Flat Hawkridge House

Penjaga toko dan pemilik toko itu ternyata adalah orang Bangladesh dan sudah lama sekali tinggal di London. Toko itu adalah warisan turun-temurun keluarganya. Dia juga cerita bahwa banyak sekali orang muslim yang bisa saya temukan di London. Sekolah dan komunitas muslim juga banyak tersebar di London. Selesai berbincang-bincang, saya kemudian bertanya kepada penjaga toko itu tentang lokasi masjid terdekat, dan diapun dengan senang hati menunjukannya. Saya langsung bergegas mencari masjid itu karena sebentar lagi hari jumat. Alhamdulillah, lokasinya ternyata dekat sekali dengan flat tempat tinggal saya. Bersyukur sekali...apalagi saya juga tidak kesulitan mencari makanan halal di sekitar karena banyak pertokoan yang pemiliknya muslim, gumam saya dalam hati. Sepulang dari masjid, karena penasaran, saya langsung mencari informasi lebih banyak tentang islam di London. Kesimpulannya, dilihat dari sejarahnya, Inggris adalah salah satu negara yang memiliki wilayah jajahan yang sangat luas. Akibatnya banyak sekali negara koloni dan persemakmuran Inggris di dunia termasuk negara yang pemeluk islamnya banyak seperti India, Pakistan, Malaysia, Afrika Selatan, Mesir, dsb. Sebagai negara koloni, tentu saja transportasi penduduk yang pergi ke Inggris dan pulang dari Inggris sering terjadi. Pergerakan manusia yang berlangsung cukup lama ini berdampak pada semakin munculnya pemukiman-pemukiman imigran, terutama di kota-kota besar di Inggris.

Faktor kedua adalah revolusi industri yang terjadi di Inggris pada abad ke- 18 atau antara tahun 1760-1840. Revolusi industri ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi manusia untuk mencari peluang. Banyak sekali orang dari penjuru dunia yang kemudian datang dan berinvestasi di Inggris, dan yang paling banyak berpusat di ibu kotanya, yaitu London. Jumlah pemukiman-pemukiman para pendatang itu jelas semakin meningkat. Para saudagar dan investor tidak terkecuali yang beragama islam juga banyak yang akhirnya menetap di London. Kemajuan ekonomi dan industri memunculkan kemajuan di bidang lainnya termasuk ilmu pengetahuan, kesehatan dan pendidikan. Universitas Oxford dan Cambridge yang merupakan kampus tertua di dunia juga menjadi pusat pendidikan dan penelitian. Kampus-kampus lain juga mulai didirikan termasuk berbagai universitas dan institut di kota London. Orang dari penjuru dunia kemudian datang ke Inggris dengan tujuan tidak hanya untuk mencari peluang kerja atau usaha, akan tetapi juga pendidikan. Pendidikan bergengsi di Inggris menjadi magnet tersendiri karena keyakinan orang akan kemajuan ilmu pengetahuan dan kesuksesan. Banyak sekali tokoh-tokoh di berbagai negara yang akhirnya juga mengenyam pendidikan di Inggris.
Kantor Pusat Komunitas Muslim London
Pada akhir abad ke-18 atau tepatnya pada tahun 1866, Inggris mengalami revolusi sosial yang signifikan. Berawal dari negara agama (Kristen dan Katolik), berubah menjadi sekuler. Dengan pondasi sekuler, Inggris akhirnya menjadi negara yang lebih terbuka dengan menerima para pendatang dari latar belakang yang beragam untuk masuk dan tinggal di Inggris tanpa adanya diskriminasi. Pondasi inilah yang akhirnya juga membuat posisi masyarakat dengan keyakinan agama yang berbeda bisa hidup rukun bersama, termasuk islam.  Masyarakat islam di Inggris akhirnya hidup membaur bersama masyarakat lainnya termasuk orang lokal selama berpuluh-puluh tahun hingga sekarang. Lembaga pendidikan islam dan komunitas muslim juga banyak yang berkembang disana. Ketika sedang berjalan-jalan di berbagai tempat, saya selalu saja bertemu dengan orang islam. Saya juga selalu mencoba mencari masjid atau mushola dimanapun saya berada dengan menggunakan Google maps. Herannya, di hampir semua area kota London, saya selalu menemukan tempat sholat walaupun hanya berbentuk ruangan kecil bertuliskan Prayer room. Di kampus sayapun juga disediakan ruangan khusus yang cukup besar untuk sholat meskipun lebih ditujukan untuk semua pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda (Multifaith room). Tapi kalau saya perhatikan ruangan ini lebih sering dipakai orang muslim untuk sholat. Semua ini benar-benar diluar dugaan saya. Alhamdulillah.

Di Depan Masjid Ar-Rahman dan Sekretariat Komunitas Muslim di Pusat Kota
Penunjuk Arah Prayer Room Kampus UCL
 
London Central Mosque: Salah Satu Masjid Terbesar
Mushola Institute of Education, UCL











Pengalaman yang cukup berkesan saya dapatkan ketika melaksanakan sholat jum’at untuk pertama kalinya di masjid yang dekat dengan tempat tinggal saya. Masjid yang bernama Baitul Aman itu ternyata hanya dikhususkan bagi orang muslim Bangladesh. Ketika masuk masjid, mata saya tentu langsung tertuju pada para jamaah yang ada. Jamaahnya cukup banyak. Saya berusaha mencari wajah Asia Tenggara di masjid itu dan sama sekali tidak menemukannya. Saya berharap ada mahasiswa Indonesia yang juga sholat disitu. Ternyata juga tidak ada. Sehingga hanya sayalah satu-satunya orang Indonesia yang sholat jum’at di masjid itu. Tidak masalah, yang penting bisa berkumpul dengan orang islam untuk sholat berjamaah sudah merupakan keberuntungan, gumamku. Setelah wudhu, saya mengambil posisi di barisan tengah karena saya berangkat agak telat. Setelah sholat sunnah, saya kemudian duduk dan tidak sabar ingin mendengarkan khotib berceramah karena sebelumnya belum pernah mendengarkan ceramah agama dari orang berkebangsaan lain. Diluar dugaan, ternyata khutbah itu seluruhnya disampaikan dalam bahasa Bengali (bahasa nasional Bangladesh) tanpa ada penerjemahan dalam Bahasa Inggris sedikitpun. Waduh, gimana ini gumam saya..haha. ya sudah lah, yang penting sholat jum’at.

Masjid Baitul Aman Komunitas Muslim Bangladesh

Suasana di dalam Baitul Aman yang dekat Flat
Setelah selesai sholat jumat, saya kemudian berbincang-bincang dengan salah satu jamaah. Dia heran kepada saya kenapa melaksanakan sholat jum’at disini. Rupanya dia mencurigai saya yang memiliki muka berbeda dengan jamaah lainnya...hihi. Dia mengatakan bahwa masjid itu hanya khusus diperuntukkan untuk komunitas orang Bangladesh. Awalnya saya sempat suudzon dan bergumam, kok masjid di kota besar yang multikultural kaya gini hanya untuk orang tertentu saja. Tapi dia kemudian melanjutkan penjelasannya dan menyarankan saya untuk sholat di sebuah gedung di seberang jalan. Gedung itu memang dikhususkan untuk mereka yang ingin sholat jum’at dengan khutbah berbahasa Inggris. Dalam hati saya berkata, Yah...saya salah tempat..haha. Pada hari Jum’at berikutnya, saya mencoba sholat di gedung seberang jalan dan sesampainya disana, saya kaget karena bertemu dengan beberapa orang Indonesia. Masih muda.. Pasti mereka adalah mahasiswa, pikir saya. Saya kemudian menyapa salah satu diantara mereka. Dengan senyum, dia kemudian menyapa balik saya. Dia ternyata adalah mahasiswa dari kampus yang sama dan tinggal di flat yang sama juga dengan saya. Hanya saja waktu itu dia datang beberapa hari setelah saya. Namanya Dinar, dan ini adalah momen pertama kalinya saya bertemu dengan sahabat saya yang berasal dari Tangerang itu. Seusai sholat, Dinar pun mengajak saya untuk bertemu dengan teman-teman Indonesia lainnya. Dan disitulah kita merasa seperti keluarga.

Suasana Tempat Sholat dengan Khutbah berbahasa Inggris
Di flat yang saya tinggali itu, selain saya, ada 7 orang mahasiswa Indonesia lain dengan jurusan yang berbeda-beda. Selama tinggal bersama, kita banyak melakukan aktivitas bersama termasuk jalan-jalan meng-eksplor kota. Pengalaman yang tak terlupa adalah ketika kita berencana menyewa mobil untuk berkeliling di wilayah pedesaan Inggris seperti Bibury, Gloucestershire, Derbyshire, Edensor (Sebuah desa yang ada di novel karya Andrea Hirata) dan tempat indah lainnya di sekitar Leeds dan York. Namun, rencana itu berujung gagal karena ketika berada di kota Manchester atau tempat kita menyewa mobil, diantara kita yang bisa menyetir ternyata lupa membawa SIM. So sad... Nyesel banget waktu itu...haha. Akhirnya kita hanya bisa mengunjungi daerah-daerah yang bisa diakses dengan menggunakan kereta dan bus. Kita juga sempat mengunjungi stadion klub sepak bola Manchester United, Old Trafford, Menchester City, Etihad di Manchester, Anfield di Liverpool dan museum  group band legend, the Beattles. Untuk urusan sholat, pada waktu itu kita memutuskan untuk melakukannya di hotel saja karena padatnya aktivitas dan perbedaan keyakinan diantara kita. Jadi tidak ada pengalaman mencari masjid selama perjalanan ini...hehe.  

Setelah tinggal selama sekitar 3 bulan di flat kampus, saya akhirnya memutuskan pindah ke flat lain karena istri saya akan segera datang ke London untuk menyusul saya. Alasan yang lebih tepatnya adalah flat kampus memang tidak diperuntukkan bagi mahasiswa yang berpasangan. Mencari flat baru ini sangat melelahkan bagi saya karena harus dihadapkan pada beberapa peristiwa dan negosiasi yang cukup alot. Pengalaman ini akan saya ceritakan di artikel lainnya nanti. Singkat cerita, saya menemukan sebuah flat yang sangat jauh dari kampus. Berbeda dengan flat sebelumnya yang berada di zona 2, flat baru ini terletak di zona 5 dari pusat lokasi kampus. Jika ditempuh dengan kereta bawah tanah (biasa disebut Tube), waktu yang dihabiskan sekitar setengah jam. Jika ditempuh dengan bus umum merah (double dekker), waktu yang diperlukan adalah sekitar satu jam. Saya lebih sering menggunakan transportasi bus daripada Tube karena pertimbangan harga tiket yang lebih murah (Bus: £1.5 sedangkan Tube: £2.5) dan kenyamanannya sambil melihat pemandangan kota di dek atas.

Saya dan Istri, Ketika jalan-jalan di Ikonnya London, Beg Ben
Meskipun lokasinya sangat jauh, saya tetap mantab memilih flat itu karena letaknya berada di lingkungan pemukiman muslim, bernama Whitechapel dan pemukiman elit terkenal bernama, Canary Whalf. Selain tidak kesulitan mencari masjid untuk sholat jumat, saya juga bisa dengan mudah mencari makanan halal tanpa harus melakukan perjalanan jauh. Ketika memasuki area Whitechappel, saya seperti dibawa ketempat yang mirip dengan Pakistan atau Timur Tengah. Di sepanjang jalan, saya banyak menemui orang yang memakai jilbab dan peci, bahkan ada juga yang memakai cadar. Saya juga menemukan sekolah islam, lembaga pendidikan tahfidz Al-quran, lembaga pendidikan tahsin, dan komunitas islam lainnya di sepanjang perjalanan. Bahkan di daerah ini juga terdapat salah satu masjid terbesar di London bernama the East London Mosque. Masjid ini sangat terkenal hingga namanya juga dijadikan sebuah nama halte bus. Whitechappel juga memiliki pasar tradisional yang para penjualnya kebanyakan merupakan keturuan dari Asia Selatan dan Timur Tengah. Saya sering sekali belanja disini bersama istri. Jenis makanan yang dijual juga sangat khas dengan rempah-rempah yang aromanya kuat. Para penjualnya juga sangat ramah dan suka mengajak ngobrol dengan kita. Kebanyakan dari mereka selalu mengira kita adalah orang Malaysia. Kadang heran juga kenapa Malaysia lebih terkenal dibanding Indonesia disini...hehe. Tapi mereka juga tahu Indonesia sih.

 
Flat baru di daerah Mile End
Di Flat Baru: Saya Sedang Membuka Jendela
Suasana Jalan Di Sepanjang Whitechapel

Pemandangan Dari Dalam Flat



Karena tinggal di area muslim, saya jelas tidak khawatir bagaimana saya sholat jum’at nanti. Alhamdulillah, ternyata terdapat masjid yang lokasinya tepat berada di dekat flat yang saya tinggali. Saya hanya cukup berjalan kaki untuk menuju kesana. Alhamdulillah, kali ini khutbahnya disampaikan dalam Bahasa Inggris meskipun kebanyakan jamaahnya adalah orang Bangladesh juga. Saya sering heran kenapa banyak sekali orang Bangladesh di London...haha. Ketika luang, saya sesekali mengunjungi masjid besar. Walaupun jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal saya, saya biasanya tetap menempuhnya dengan jalan kaki. Menurut saya dengan berjalan kaki, kita bisa melihat sekeliling dengan lebih dekat. Ketika memasuki masjid, saya benar-benar takjub. Masjid itu sungguh besar sekali - terdiri dari 3 lantai: lantai bawah, lantai 1 dan 2. Desain arsitek dan ornamennya juga bagus. Saya juga menyempatkan diri melihat papan informasi yang ada untuk mengetahui program apa saja yang bisa diikuti di masjid.  Ternyata banyak sekali program yang dilaksanakan, mulai dari pendidikan, ekonomi hingga sosial. Saat melaksanakan sholat, saya juga heran kenapa tidak ada kotak infaq yang berjalan seperti di Indonesia..haha. Setelah saya pelajari, ternyata infaq itu disampaikan melalui rekening yang diumumkan di berbagai tempat publik dan media daring seperti website dan media sosial.

The East London Mosque
 
Ujung Jalan: Masjid di Lingkungan Tempat Tinggal yang Baru





Suasana Sholat Jum'at di the East London Mosque 
Bulan Ramadhan pun tiba. Inilah momen yang saya dan istri selalu nanti. Kita benar-benar ingin merasakan bagaimana melaksanakan ibadah puasa di kota London. Mungkin melewati masa puasa dengan jauh dari keluarga pernah saya alami ketika saya tinggal di Nusa Tenggara Timur selama satu tahun. Tapi menurut istri saya ini adalah pengalaman pertama kali baginya. Pengalaman yang paling berkesan selama bulan Ramadhan di London adalah berpuasa selama 19 jam. Karena perbedaan posisi bumi dan matahari, kita harus mengalami kondisi siang yang berlangsung jauh lebih lama dibandingkan malam. Pukul 9 malam saja masih seperti pukul 5 sore. Pada jam inipun kita masih bisa berjalan-jalan keluar apartemen. Mungkin saya tidak begitu merasakan lamanya berpuasa karena disibukkan dengan kegiatan kuliah yang cukup padat dan tugas yang menguras pikiran. Tapi sepertinya istri cukup merasakan perbedaan itu karena kegiatan yang dia lakukan tidak sebanyak saya.  Untuk keperluan buka puasa dan sahur, kita hanya cukup belanja bahan-bahan mentah di supermarket terdekat. Untuk daging, kita membelinya di toko muslim terdekat atau pergi ke pasar Whitechappel sambil jalan-jalan. Terkadang kita juga membeli ayam goreng dan kentang crispy favorit kita di warung terdekat, yang pemiliknya juga muslim. Terkadang kita juga ngabuburit dengan membawa bekal untuk disantap di lokasi tujuan. Yang paling berkesan adalah ngabuburit di Chinatown atau pecinan dan di taman Royal Observatory Greenwich (ROG), yang merupakan lokasi sudut acuan waktu dunia berasal atau yang biasa dikenal dengan Greenwich Mean Time (GMT).
Buka Puasa Kita di Flat
Buka Puasa Kita di Taman ROG
Pukul 20.25 Sore atau Malam?














Ayam dan Kentang Crispy Favorit
Di taman Royal Observatory Greenwich (ROG)


Dari semua pengalaman Ramadhan di London, ada satu momen yang paling menyenangkan dan saya yakin, teman-teman kuliah saya pasti juga merasakan hal yang sama. Pengalaman itu adalah ngabuburit dan berbuka puasa bersama dengan para
Londoners atau penduduk London. Jadi setiap bulan puasa, selalu diadakan sebuah acara buka bersama bernama Ramadhan Tent (karena acaranya di dalam tenda yang besar) yang mana pesertanya tidak hanya muslim, tetapi juga semua orang dari lintas agama, ras dan etnis untuk menikmati hidangan berbuka bersama-sama. Acara ini diawali dengan sambutan dari ketua panitia atau perwakilan, tokoh masyarakat setempat dan tausyiah. Pada momen ini, saya merasakan bahwa kebahagiaan berpuasa dan berbuka itu tidak hanya dirasakan oleh umat muslim, akan tetapi orang non-muslimpun juga ikut berbahagia. Ramadhan Tent ini dilaksanakan dua hari sekali selama bulan puasa dan para pengunjung sama sekali tidak dipungut biaya untuk semua hidangan berbuka. Kebetulan lokasi diadakannya Ramadhan tent ini juga sangat dekat dengan kampus. Sehingga saya biasanya ikut acara ini sepulang dari kampus atau sebelum ke kampus. Dari informasi yang saya dapat, dana yang dipakai untuk acara ini berasal dari donasi atau sponsor dari berbagai kalangan masyarakat dan pengusaha. Acara ini juga pernah disiarkan oleh TV dan surat kabar. Walikota London, Sadiq Khan yang juga merupakan seorang muslim keturunan Pakistan pernah memberikan sambutan secara khusus di TV dan akun media sosialnya tentang acara ini.  Momen yang tak terlupa lainnya di acara ini adalah ketika kita pernah menjadi saksi seorang non-muslim yang memutuskan untuk menjadi muslim (Mu'alaf).
Suasana Ramadhan Tent 1
Susana Ramadhan Tent 2
Pesan Ramadhan di Papan Reklame Pinggir Jalan
Tulisan ini saya tutup dengan pengalaman lebaran di kota London. Setelah menjalani puasa sebulan, saya tidak menyangka bahwa ternyata KBRI yang berkantor di London selalu mengadakan sholat ied bersama. KBRI berharap momen lebaran di Inggris bisa dijadikan sebagai sarana silaturahmi bersama seluruh WNI yang ada di Inggris khususnya yang tinggal di London. Sehingga khusus lebaran ini, saya tidak melaksanakan sholat ied di masjid sekitar tempat tinggal saya dan bersilaturahim dengan para jamaah setempat. Saya bersama dengan teman-teman Indonesia lainnya sepakat untuk melaksanakan sholat ied di lokasi yang telah disiapkan oleh KBRI. Sholat ied ini diberlangsungkan di teras rumah kediaman Bapak duta besar dan keluarganya yang cukup luas bernama Wisma Nusantara. Lokasi Wisma Nusantara cukup jauh dari tempat tinggal saya: untuk kesana, saya harus naik bus selama satu jam. Ketika sampai di lokasi, saya kaget karena ternyata jamaahnya banyak banget dan mayoritas itu adalah orang Indonesia. Saya benar-benar merasakan nuansa Indonesia banget disini. Kaya di kampung sendiri..haha. Kegiatan sholat ied ini kemudian dilanjutkan dengan bersalam-salaman dan makan bersama di taman yang dekat dengan tempat sholat. Disana banyak sekali menu hidangan yang tersedia dan kita bisa memilihnya sampai puas. Di momen ini pula saya dan istri juga bertemu dengan seorang artis nasional, Kimberly Ryder dan tidak lupa mengajaknya untuk berfoto bersama...hehe.

Suasana Sholat Ied di Wisma Nusantara




Di Depan Wisma Nusantara











Bertemu dengan Kimberly Ryder
Buka Bersama Mahasiswa Indonesia di London

Begitulah garis besar pengalaman saya sebagai seorang muslim yang sempat tinggal di kota London selama satu tahun. Menurut saya, bagi siapapun yang ingin berkunjung ke kota London, tidak perlu khawatir atau bingung bagaimana hidup disana sebagai muslim karena banyak sekali saudara yang seiman disana. Banyak juga makanan halal yang bisa didapatkan dengan mudah disana serta banyak sekali masjid dan tempat sholat di berbagai sudut kota.

Dari segi keamanan, kota London, sebagai ibu kota negara kerajaan, masih relatif aman. Saya sering sekali pulang dini hari ketika harus mengerjakan tugas dan disertasi di perpustakaan kampus, tapi Alhamdulillah saya tidak pernah mendapatkan gangguan dari orang asing di jalan yang sampai mengancam nyawa saya. Memang saya pernah juga sekali diganggu oleh seorang wanita mabuk bertato di sebuah halte yang dekat dengan tempat tinggal saat pulang dari kampus waktu dini hari. Waktu itu dia menginginkan uang dari saya sebesar £10 dengan alasan untuk digunakan pulang ke kampung di London selatan. Tentu saja saya menolak dan dengan tegas saya bilang ke wanita itu bahwa saya mahasiswa dan jelas tidak punya uang. Dia sempat mengejar saya dan saya marah sambil berjalan cepat. Dia kemudian memaki-maki saya dengan kata-kata kotor. Alhamdulillah, istri saya juga selalu dalam kondisi aman selama saya tinggal untuk kuliah di kampus terutama pada akhir-akhir masa kuliah karena harus mengerjakan disertasi secara intensif. Tapi saya akui sistem keamanan flat benar-benar sungguh ketat. Selain pintu kamar yang terkunci, area cluster (2 kamar lain, dapur & kamar mandi) juga bisa dikunci. Pada bagian pintu utama flat juga terdapat kunci otomatis yang hanya bisa dibuka dengan electric key.

Terkait dengan islamofobia, saya sebenarnya pernah melakukan riset kecil-kecilan mengenai islamofobia di Inggris dan menemukan bahwa kelompok semacam ini memang ada dan mereka sangat lantang menyuarakan aspirasi dan kebenciannya terhadap umat islam, akan tetapi jumlah mereka ternyata tidak banyak. Mereka juga sering berdemonstrasi terutama saat terjadi insiden penembakan di dekat Big Ben atau area Westminster pada 22 Maret 2017 dan bom bunuh diri di Manchester arena pada Mei 2017 yang mana pelakunya masih berhubungan dengan jaringan ISIS. Tetapi argumen mereka bisa dipatahkan karena selang satu bulan kemudian terdapat juga dua insiden yang korbannya adalah umat islam. Yang pertama adalah teror pembakaran sebuah apartemen yang dihuni oleh umat islam pada 15 Juni 2017 dan berikutnya adalah insiden penabrakan oleh orang tak dikenal terhadap sejumlah jamaah masjid di London utara pada 19 Juni 2017. Semua insiden ini membuktikan bahwa terorisme itu bukan berasal dari ajaran islam, tapi semua berawal dari pola pikir seseorang yang tercuci otaknya oleh kebencian. Apapun latar belakag agamanya.

Oh ya, last but not least, meskipun London itu relatif aman, kita juga harus tetap berhati-hati dan waspada. Sebagai kota multikultural yang besar, kejahatan itu pasti tetap ada di kota London. Yang paling harus kita waspadai adalah kejahatan terselubung melalui transaksi jual beli barang atau persewaan yang memerlukan banyak uang. Kejahatan ini pernah menimpa saya dan teman saya saat menyewa flat baru. Insiden ini akan saya ceritakan di artikel lainnya di blog ini... InshaAllah.   
Sekian cerita dari saya...Terimakasih telah membaca. Semoga bermanfaat.

Wassalaamualaykum wr,wb.


Senin, 28 Oktober 2019

Mutu Pendidikan Daerah 3T Belum Baik, Salah Siapa?

Gambar: https://news.okezone.com

Oleh Aziza Restu Febrianto 

Kondisi pendidikan di daerah 3T memang selalu menjadi topik perbincangan yang menarik oleh banyak pihak dan media massa karena kondisinya yang memang masih jauh berbeda dari daerah lainnya di Indonesia.  Ketika menjadi seorang guru di sebuah sekolah terpencil di pulau Flores melalui program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T) pada tahun 2012 silam, penulis merasakan betul bagaimana kondisi dan keterbatasan hidup yang dialami oleh masyarakat setempat termasuk para siswanya. Penulis melihat masih begitu banyak desa bahkan kecamatan yang belum mendapatkan akses aliran listrik, sinyal komunikasi telepon dan pastinya jaringan internet. Keterbatasan fasilitas dan prasarana umum ini tentu saja sangat menghambat segala aktivitas pembelajaran terutama para generasi muda di daerah tersebut. Akses distribusi fasilitas dan perangkat penunjang pembelajaran seperti buku, alat peraga dan komputer akhirnya juga menjadi terhambat. Kondisi ini ternyata masih belum banyak berubah ketika penulis melakukan penelitian untuk disertasi studi S-2nya tentang pendidikan di daerah ini pada akhir tahun 2017 yang lalu. Kemudian ketika penulis melakukan wawancara dengan beberapa rekannya yang merupakan guru PNS program Guru Garis Depan (GGD), kondisi itu juga masih belum begitu membaik secara signifikan di tahun 2019 ini.

Tantangan Geografis dan Demografis

Secara geografis dan demografis, Indonesia merupakan salah satu negara paling besar di dunia dengan kepulauan dan lautnya yang membentang luas dari Sabang hingga Merauke. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa, dan sekarang meningkat menjadi sekitar 265 juta jiwa (Bappenas, 2018). Jumlah ini membuat Indonesia menempati peringkat ke-4 dari negara yang paling banyak penduduknya. Selain jumlah penduduk yang besar, komposisi masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai macam suku dan etnis yang memiliki keragaman budaya dan adat istiadat. Seorang peneliti Australia, Graeme Hugo (2015), dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “The Demography of Race in Indonesia,” menyebutkan bahwa Indonesia dihuni oleh lebih dari 300 jenis suku dengan 700 bahasa daerah yang berbeda-beda. Melihat luasnya wilayah serta jumlah populasi yang besar dan beragam ini, tantangan terbesar bangsa Indonesia kemudian adalah memastikan bahwa semua warga negaranya dapat menikmati pembangunan termasuk pendidikan secara merata di seluruh wilayah kepulauan yang terpisah-pisah di nusantara, karena memang merupakan sebuah amanah konstitusi. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 45 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pasal ini kemudian dijelaskan secara lebih rinci dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003.

Fakta demografis lainnya menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia dan perekonomiannya masih terpusat di pulau Jawa, terbukti dengan banyaknya kota-kota besar disana. Hugo (2015) menyebutkan bahwa persebaran penduduk Indonesia itu tidak merata, dan lebih dari setengahnya tinggal di wilayah yang dia sebut sebagai “Inner Indonesia,” seperti Jawa, Madura dan Bali. BPS (2010) juga menunjukkan data yang sama, yaitu sekitar 51% penduduk di Indonesia hidup di daerah perkotaan, sedangkan 49% sisanya tersebar di berbagai pulau, termasuk pulau-pulau kecil yang terpencil dan tertinggal. Kondisi demografis yang tidak merata seperti ini terbukti telah membuat pemerintah mengalami kesulitan dalam merealisasikan semua program-programnya, terutama dalam hal pemerataan kualitas pendidikan. Beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia, Australian Development Bank (ADB) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pada tahun 2017, melaporkan secara khusus bahwa di bidang pendidikan, Indonesia memang sedang menghadapi tantangan yang serius terutama dalam hal ketimpangan dan kesenjangan kualitas pendidikan antara di daerah perkotaan dengan pedesaan.

Ketimpangan dan kesenjangan kualitas pendidikan ini utamanya disebabkan oleh infrastruktur yang terbatas dan jumlah distribusi tenaga pendidik yang tidak merata. Menurut Bank Dunia (2017), rasio rata-rata guru dan siswa di perkotaan  sebenarnya sudah sangat ideal, yaitu 1:17. Namun rasio ini jauh berbeda dengan sekolah-sekolah di daerah tertinggal, yang sebaliknya justru mengalami kekurangan guru. Para peneliti pendidikan seperti Heyward, dkk (2017) dalam studi mereka tentang Indonesia, melaporkan bahwa banyak sekali siswa khususnya di daerah miskin dan marginal di Indonesia diajar oleh guru yang tidak berkualifikasi atau memiliki ijazah yang tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Informasi ini senada dengan pernyataan ketua PGRI, Sulistyo  melalui lembaga Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia (2015) bahwa jumlah guru di daerah perkotaan mengalami surplus, sedangkan sekolah di wilayah pedesaan masih membutuhkan sekitar 520 ribu guru. Dari informasi tersebut, bisa disimpulkan bahwa akar ketimpangan jumlah guru ini disebabkan oleh kondisi dimana para guru terutama yang berkualitas menumpuk di daerah perkotaan. Jika kualitas pendidikan di daerah pedesaan terlihat begitu timpang dan memprihatinkan seperti ini, bisa dipastikan kondisi pendidikan di daerah 3T juga lebih parah lagi.

Upaya Pemerintah Selama Ini

Permasalahan akan keterbatasan fasilitas dan kekurangan guru berkualitas menurut berbagai survei dan penelitian yang ada tentu saja sangat berdampak pada tersendatnya akses dan rendahnya mutu pendidikan di daerah terpencil khususnya 3T. Menurut berbagai laporan baik dari pemerintah, media massa, organisasi nasional maupun internasional, pemerintah pusat sebenarnya sudah melakukan banyak upaya dan merealisasikan berbagai macam program strategis untuk menyeselesaikan permasalahan tersebut. Upaya ini juga sejalan dengan janji politik Presiden Joko Widodo yang ingin membangun negara dari pinggiran melalui visi dan misi Nawacitanya. Upaya yang pertama tentu saja adalah optimalisasi penyerapan alokasi dana 20% dari APBN untuk pendidikan yang sesuai dengan amanat undang-undang (Kemenkeu, 2019). Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani di berbagai media massa, dana ini sangatlah besar dan diharapkan dapat secara signifikan meningkatkan mutu dan akses pendidikan. Dengan dana yang besar ini, pemerintah akhirnya dapat melakukan pembiayaan, baik untuk perbaikan infrastruktur maupun operasional pendidikan seperti Biaya Operasional Sekolah (BOS), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),  dan sebagainya khususnya untuk sekolah-sekolah yang berada di wilayah 3T.

Pemerintah pusat juga telah merealisasikan beberapa program khusus pendidikan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah 3T. Salah satunya adalah program peningkatan kualitas tenaga pendidik yang dikenal dengan 5 (lima) program Afirmasi (Kemendikbud, 2017). Program pertama adalah SM-3T, yang bertujuan untuk mengisi kekurangan guru di berbagai sekolah di daerah 3T dengan mengirimkan lulusan sarjana melalui seleksi khusus sejak tahun 2011. Program SM-3T ini kemudian dilanjutkan dengan rekrutmen CPNS khusus bernama Guru Garis Depan (GGD). Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2017), melalui skema GGD yang berjalan sejak tahun 2015 ini, pemerintah telah mengirimkan sekitar 17.000 guru ke daerah 3T. Beberapa program lainnya adalah Program Sertifikasi Keahlian dan Sertifikasi Pendidik bagi Guru SMA/ SMK (Program Keahlian Ganda), Program Pemberian Subsidi Bantuan Pendidikan Konversi GTK PAUD dan DIKMAS, dan Program Diklat Berjenjang bagi Pendidik PAUD. Selain kelima program Afirmasi ini, pemerintah melalui Kemenristekdikti (2018), juga telah membuka Pendidikan Profesi Guru (PPG) berasrama yang ditujukan secara khusus bagi para lulusan sarjana dari daerah 3T yang ingin menjadi guru.

Tidak hanya berfokus pada perbaikan infrastruktur dan pengembangan kualitas guru, pemerintah ternyata juga telah menyediakan beberapa bantuan khusus pendidikan kepada para putera dan puteri daerah 3T melalui Program Indonesia Pintar (PIP), Bidikmisi, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), dan program beasiswa Afirmasi seperti Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) untuk siswa sekolah menengah pertama dan atas (Kemendikbud, 2019). Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (2017), sejak diresmikan pada tahun 2013, program ADEM telah memberangkatkan sekitar 1.047 pelajar dari Papua ke beberapa daerah seperti Jawa dan Bali untuk bersekolah.  Sedangkan bagi para lulusan sekolah menengah yang ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tingi disediakan beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik), Bidikmisi dan BPI (Kemenristekdikti, 2019). Menurut laporan Kemendikbud, sejak tahun 2013 hingga 2017 terdapat 1.693 anak di Papua khususnya yang berasal dari daerah 3T telah mengikuti program beasiswa ADik (Kemendikbud, 2019). Saat diwawancarai oleh pihak Kemendikbud, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberano Tengah, Provinsi Papua, menyampaikan apresiasinya terhadap pemerintah pusat yang telah menerapkan PIP dengan menyediakan beasiswa ADEM dan ADik khususnya untuk anak-anak Papua dan Papua Barat (ibid, 2019).

Pekerjaan Rumah Kita

Meskipun pemerintah pusat sudah banyak melalukan terobosan dan merealisasikan berbagai program yang strategis, kualitas pendidikan kita masih belum juga meningkat secara signifikan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, melalui beberapa media massa, mengatakan bahwa Indonesia masih berada di belakang negara Asia lainnya dari segi pendidikan, padahal selama 10 tahun terakhir, pemerintah telah mengeluarkan anggaran yang jauh lebih besar dari negara lainnya, yaitu 20% dari APBN untuk pendidikan (CNBC Indonesia, 2019). Kualitas pendidikan sebagai dampak keberhasilan program pemerintah bisa diukur melalui beberapa acuan. Salah satunya tentu saja adalah dengan melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia terkini. Menurut informasi terakhir pada tahun 2018 yang lalu, IPM Indonesia memang mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan. BPS menyebutkan bahwa IPM Indonesia berada pada angka 71,39 sepanjang tahun 2018 atau lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu 70.81 pada tahun 2017 (BPS, 2018). Namun, meskipun IPM sedikit meningkat, sayangnya tingkat persebarannya tidak merata. Menurut Kepala BPS melalui CNN Indonesia (2019), kondisi pembangunan manusia di Indonesia masih ‘jomplang’ atau belum merata di semua provinsi, kabupaten, dan kota. Provinsi dengan IPM terendah menurutnya antara lain Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, dan Kalimantan Barat. Faktanya, kebanyakan daerah berkategori 3T berada di Provinsi tersebut (Bappenas, 2016). 

Kondisi IPM yang tidak merata ini tentu ada penyebabnya. Beberapa sumber terkini menunjukkan bahwa ternyata lagi-lagi pendidikan di daerah termasuk 3T masih mengalami banyak kendala umum dan klasik. Kendala yang pertama adalah kondisi fasilitas dan infrastruktur yang masih terbatas serta tidak merata di masing-masing daerah. Kemendikbud  (Antaranews, 2019) mencatat bahwa mayoritas sekolah SMA dan SMK di daerah 3T belum mempunyai laboratorium IPA. Banyak juga ruang kelas yang rusak dan belum direnovasi. Menurut Kemendikbud, alasan keterbatasan sarana dan prasarana tersebut memang disebabkan oleh kondisi geografis yang sulit di beberapa wilayah dan akses transportasi juga terbatas. Masalah yang lebih memprihatinkan lagi adalah masih banyaknya sekolah di daerah 3T yang mengalami kekurangan guru. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, permasalahan ini lebih disebabkan oleh porsi mayoritas guru yang memilih untuk tinggal dan bekerja di ibukota provinsi dan kabupaten. Merespon kondisi ini, Kemendikbud bahkan telah merencanakan sebuah program rotasi guru pegawai negeri (PNS) secara periodik, sehingga semua guru PNS harus mendapatkan pengalaman mengajar di daerah 3T (Media Indonesia, 2019). Kendala yang terakhir adalah kesadaran masyarakat 3T akan pentingnya pendidikan masih rendah. Masalah ini disampaikan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Supriano di Markas besar TNI-AD bulan Maret yang lalu. Sebagus apapun program pendidikan yang dicanangkan, jika tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, maka hasilnya akan sia-sia (Antaranews, 2019). Penulis, dalam penelitian disertasinya juga menemukan bahwa banyak diantara masyarakat di wilayah 3T yang ternyata memang tidak terlalu peduli dengan pendidikan. Bahkan, karena alasan tradisi, tokoh dan pemangku adat pun cenderung mempersulit pembangunan sarana dan prasarana umum yang mendukung peningkatan pendidikan di daerahnya.

Semua kendala pendidikan yang terjadi di daerah 3T  ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana hasil dan dampak dari upaya pemerintah selama ini. Alokasi dana yang besar telah dikucurkan dan berbagai macam program khusus untuk pendidikan daerah 3T juga telah direalisasikan. Namun, perubahan yang diharapkan masih tidak begitu signifikan dan tidak heran jika Menteri Keuangan sering mempertanyakan kondisi ironis ini. Kita harus mengakui bahwa pemerintah pusat memang telah bekerja secara maksimal dalam memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan di daerah 3T melalui semua program yang sudah ada. Namun, jika masalah yang dihadapi ternyata tetap sama, berarti semua program itu memang belum memberikan dampak yang pasti. Kondisi ini menunjukkan secara jelas bahwa pokok permasalahan itu berada pada bagaimana semua program yang ada dieksekusi dan ditindaklanjuti. Dalam konteks ini, pihak yang paling bertanggungjawab akan hal ini tentu saja adalah Pemerintah daerah (Pemda). Jika dilihat dari perannya dalam aturan otonomi daerah, porsi tugas dan wewenang pemda dalam mengelola pembangunan di daerahnya itu sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan Pemerintah pusat. Semua wewenang dan tanggungjawab Pemda ini diatur oleh undang-undang yang sah seperti UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah  dan UU Nomor 20 tahun 2003 yang secara khusus mengamanatkan alokasi 20% dana pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kewenangan dalam mengelola sekolah dasar dan menengah juga sepenuhnya diberikan kepada pemda.

Benang kusut permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya di daerah 3T ini tentu saja harus segera dicarikan solusi. Ada beberapa tahapan yang bisa dilakukan oleh pemerintah agar dapat menemukan terobosan yang solutif. Meskipun akar permasalahan terbukti berasal dari daerah atau pemda sebagai penanggung jawab, tapi pemerintah pusat masih memiliki wewenang koordinasi dalam menanganinya. Yang pertama adalah mengevaluasi semua agenda implementasi dan penyerapan dana pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah yang selama ini belum pernah dilakukan secara terbuka. Ketika semua agenda dan program dievaluasi, maka permasalahan akan teruraikan dan terpetakan. Hasil pemetaan masalah ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk menyusun sebuah blueprint atau kerangka kerja yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, sehingga para pemimpin di daerah bisa menentukan kebijakan yang akurat, efektif dan tepat sasaran. Setelah kerangka kerja dibuat, tentu saja koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus secara terus menerus diperkuat.  Penyerapan dana dan pelaksanaan semua program pendidikan baik yang datang dari pusat maupun daerah harus selalu diawasi, sehingga prosesnya menjadi optimal dan bersih dari segala kecurangan. Informasi dan pelaporan semua program hendaknya juga dilakukan secara transparan karena masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap hasil dari semua kebijakan yang ada. Masyarakat juga berhak memberikan kritik dan saran secara terbuka. Untuk mendukung program pengawasan ini, penggunaan sistem teknologi informasi dan e-government memang mutlak dioptimalkan, dan infrastruktur pendukungnya juga harus segera diperbaiki. Namun, pemerintah juga harus selalu berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran mereka terhadap kemajuan pendidikan di daerahnya. Upaya ini bisa dilakukan dengan pendekatan adat, tradisi dan budaya setempat oleh Pemda. Masyarakat yang apatis tentu tidak akan mampu dan mau memberikan kritik dan masukan untuk pendidikan yang lebih baik.

Bahan Bacaan

ACDP Indonesia. (2015). Teacher Shortage in Indonesia/ Kekurangan Guru di Indonesia. Diakses pada 2 September 2019, dari http://www.acdpindonesia.org/en/indonesia- facing-shortage-of-520-thousand-teachers/
Antaranews. (2019).  Kemendikbud: Kesadaran Pendidikan di 3T Masih Rendah. Diakses pada 12 September 2019, dari https://m.antaranews.com/berita/808685/kemendikbud-kesadaran-pendidikan-di-daerah-3t-masih-rendah
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2016). Laporan Akhir Koordinasi Program Pembangunan Daerah Tertinggal. Diakses pada 15 September 2019., dari http://kawasan.bappenas.go.id/images/data/Produk/PemantauanEvaluasi/2016/Laporan_Akhir_2016_1.pdf .
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2018). Sensus Penduduk Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2019, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/18/2018-jumlah-penduduk-indonesia-mencapai-265-juta-jiwa
Badan Pusat Statistik (BPS). (2010). Sensus Penduduk Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2019, dari http://sp2010.bps.go.id/
Badan Pusat Statistik (BPS). (2018). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Meningkat. Diakses pada 12 September 2019, dari https://setkab.go.id/en/national-statistics-agency-indonesias-human-development-index-increases-to-71-39-in-2018/
Bank Dunia. (2017). “Pupil-Teacher Ratio in Secondary Education (Headcount Basis).” UNESCO Institute for Statistics. [Dataset]. Diakses pada 1 September 2019, dari http://data.worldbank.org/indicator/SE.SEC.ENRL.TC.ZS
Beasiswa ADEM. (2019). 1693 Anak Papua Mendapatkan Beasiswa ADEM. Diakses pada 8 September 2019, dari http://pklk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/1693-anak-papua-mendapatkan-beasiswa-adem/

Beasiswa ADiK. (2019). Program Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi Tahun 2019. Diakses pada 8 September 2019, dari https://belmawa.ristekdikti.go.id/2019/04/12/program-beasiswa-afirmasi-pendidikan-tinggi-adik-tahun-2019/
CNBC Indonesia. (2019). Dana Pendidikan 20%, Output Kalah Bersaing. Diakses pada 12 September 2019, dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20190801230921-4-89264/dana-pendidikan-20-apbn-kualitas-output-kok-kalah-bersaing/2
CNN Indonesia. (2018). Indeks Pembangunan Manusia Naik, Tapi Masih Jomplang. Diakses pada 12 September 2019, dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190415140212-532-386501/indeks-pembangunan-manusia-2018-naik-tapi-masih-jomplang
Heyward, M., Hadiwijaya, A., Mahargianto, E., & Priyono, M. (2017). Reforming teacher deployment in Indonesia. Journal Of Development Effectiveness,9(2), 245-262. DOI:10.1080/19439342.2017.1301978
Hugo, G. (2015). Demography of Race and Etnicity in Indonesia. R. Sáenz et al. (eds.). (2015). The International Handbook of the Demography of Race 259 and Ethnicity, International Handbooks of Population 4, 259 – 279. DOI 10.1007/978-90-481-8891-8_13
Kementerian Keuangan. (2019). “Anggaran Pendidikan APBN 2019.” Diakses pada 8 September 2019, dari http://visual.kemenkeu.go.id/anggaran-pendidikan-apbn-2019/
Media Indonesia. (2019). Rotasi Guru. Diakses pada 12 September 2019, dari https://m.mediaindonesia.com/read/detail/240687-setiap-guru-wajib-mengajar-di-daerah-3t
OECD/Asian Development Bank (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge, OECD Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en
Pendidikan Profesi Guru di Daerah 3T. (2018). Meningkatkan Kualitas Guru di Daerah 3T Melalui PPG3T. Diakses pada 8 September 2019, dari https://belmawa.ristekdikti.go.id/2018/08/24/meningkatkan-kualitas-guru-di-daerah-terpencil-melalui-program-pendidikan-profesi-guru-daerah-tertinggal-terdepan-dan-terluar-3t/ 
Program Afirmasi Kemendikbud. (2017). Kemendikbud Siapkan Lima Program Afirmasi. Diakses pada 8 September 2019, dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/11/kemendikbud-siapkan-lima-program-afirmasi-untuk-pemenuhan-guru-di-daerah
Kementerian Luar Negeri. (2014). Undang-undang Otonomi Daerah. Diakses pada 12 September 2019, dari https://pih.kemlu.go.id/files/UU0232014.pdf


Catatan: Artikel ini pernah diikutkan dalam lomba Esai Nasional pada tahun ini yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi sosial bernama Open Access Indonesia






Rabu, 28 Agustus 2019

Buku Single Pertamaku [RESENSI]


Judul: English:The Legacy of Colonialism and New Form of Imperialism. Sejarah Bahasa Inggris dan Pengaruhnya Terhadap Dunia dan Indonesia

Penulis                     : Aziza Restu Febrianto
Penerbit                    : Penerbit Ernest
Halaman                   : xvi + 203 hlm; 14,9 cm x 21 cm
ISBN                         : 978-602-5640-65-00
Harga Normal           : 69.000 (Belum termasuk Ongkir)
.
Kebanyakan orang mungkin telah familiar dengan sebutan Bahasa Inggris sebagai Bahasa internasional, Bahasa Inggris sebagai Bahasa global atau bahkan Lingua Franca masyarakat dunia. Kita boleh saja percaya akan pernyataan itu ataupun menyanggahnya. Buku ini berusaha memberikan paparan fakta berupa sejarah dan analisa ilmiah tentang bagaimana sebuah bahasa kuno yang awalnya muncul di daratan Jerman utara, berekspansi ke kepulauan Britania dan kemudian secara cepat menyebar luas di seluruh dunia serta menjadi bahasa yang penggunaannya sangat dominan di berbagai bidang sampai sekarang. Buku ini juga secara khusus memaparkan sebuah kajian literatur tentang dominasi dan pengaruh Bahasa Inggris terhadap kebijakan bahasa, kondisi sosiokultural masyarakat dan ekosistem bahasa di Indonesia. Walaupun status Bahasa Inggris adalah asing di Indonesia, pada kenyataannya Bahasa Inggris justru menjadi bagian atau komponen dari berkembangnya identitas Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional serta bahasa lokal lainnya di Indonesia. 
.
Cara pesan : English_Nama_Alamat_Jml_No WA
.
Kirim SMS atau WA ke @penerbiternest 081231632460
.
ATAU
.
Ke penulis melalui IG message, 085815628615 (WA) dan email: restu.febrianto86@gmail.com
.
Versi E-book dapat dipesan melalui tautan berikut: Unduh E-book


What do they say about the book?

“Kemajuan teknologi dan globalisasi saat ini tentu saja semakin memperkokoh posisi Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional. Bagaimana peran Bahasa Inggris di era disrupsi yang sudah ada di depan mata? Semoga buku ini berguna dan mendorong semangat  para pembaca untuk belajar Bahasa Inggris guna mengembangkan ilmu pengetahuan demi kemajuan Indonesia. Selamat membaca!”
Intan Permata Hapsari – Kepala International Office dan Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Semarang.

“Buku yang wajib dibaca! Bagi pelajar, membacanya seperti sedang kuliah Sastra Inggris.”
I Wayan Darya – Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Jakarta dan Alumni MA TESOL University College London, Inggris.

“Bagi kalian yang sedang belajar Bahasa Inggris, nggak afdol kalau ndak paham sejarah tercipta bahasanya. Nah, di buku ini diceritakan detail dengan cara yang nggak ngebosenin tentang sejarah Bahasa Inggris. Buku recommended banget pokoknya, terutama buat para pecinta Bahasa Inggris.”
Susari Anggraeni – Founder Go English Yogyakarta dan Alumni MA TESOL Queen’s University Belfast, Inggris

“Tak kenal maka tak sayang. Begitupula dengan Bahasa Inggris. Buku ini membuat kita akan lebih memahami seluk beluk dan pentingnya Bahasa Internasional ini. Sangat direkomendasikan untuk semua orang yang ingin mempelajari Bahasa Inggris dengan tujuan apapun.”

Siti Nur Fithriyati – Guru di SMPN 3 Barat Laut, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Masters Candidate at University of Nottingham, Inggris. 

Paper Seminar Nasional




FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI TARUNA PENDIDIKAN PELAYARAN DALAM MEMPELAJARI BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA KOMUNIKASI KEMARITIMAN

Aziza Restu Febrianto1, Haryani2
Program Studi KPN, Politeknik Bumi Akpelni
Program Studi Nautika, Politeknik Bumi Akpelni


Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dan menginvestigasi faktor apa saja yang mempengaruhi pencapaian belajar mahasiswa maritim dalam mempelajari Bahasa Inggris. Dalam penerapannya, 26 taruna dari Program studi Nautika dan Teknika Politeknik Bumi AKPELNI terlibat dalam penelitian ini. Pertama mereka diminta untuk mengisi angket terbuka (open-ended questionnaire) yang terdiri atas 10 pertanyaan untuk mencari peserta yang benar-benar representatif. Diantara 26 taruna, akhirnya terpilih 8 peserta yang mengikuti wawancara. Untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan luas, 8 peserta tersebut diminta untuk memberikan penjelasan jawaban yang mereka tulis di dalam angket. Mereka juga diminta untuk memberikan informasi lebih dan berbagi lebih banyak tentang ide, pengalaman, dan cerita mereka melalui wawancara. Keseluruhan cerita yang terekam dalam wawancara ini kemudian dianalisa dengan menggunakan pendekatan “Narrative Inquiry” dan “Critical Discourse Analysis” (CDA). Hasil penelitian ini menunjukkan 4 (empat) faktor kontributif yang mempengaruhi prestasi dan pencapaian taruna dalam belajar Bahasa Inggrs: Latar belakang keluarga, motivasi, keyakinan diri, dan pengalaman belajar. Diantara empat faktor ini, motivasi dan keyakinan diri dianggap menjadi faktor pentng yang paling kontributif.
Kata kunci: Faktor, Prestasi Mahasiswa Pelayaran, Belajar Bahasa Inggris


Paper ini dipresentasikan pada

1st National Seminar on "Kesiapan Dunia Maritim dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0" Oleh Politeknik Bumi Akpelni


Semarang, 24 Agustus 2019


Paper ini dapat diunduh di Unduh Paper Seminar