Senin, 22 Oktober 2018

Buku Kolaborasi 1

https://atdikbudlondon.com/
Alhamdulillah, saya pernah mendapatkan kepercayaan untuk menjadi salah satu penulis dan kontributor sebuah buku berjudul "Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris," yang secara resmi diterbitkan oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London pada bulan Januari 2018. Berikut ini adalah sebuah Chapter yang saya tulis. Para pembaca bisa mengunduhnya secara gratis melalui link website resmi berikut:https://atdikbudlondon.com/buku 
Selamat membaca.

Chapter 9: Program Pembelajaran Sepanjang Hayat pada Pendidikan Vokasional di Inggris.

*Aziza Restu Febrianto

Di negara Inggris, kebijakan dan wewenang pendidikan diatur oleh pemerintah di masing-masing negara bagian, England, Wales, Skotlandia dan Irlandia utara. Demikian pula dengan sistem pendidikan kejuruan yang sangat berbeda di tiap negara tersebut. Reformasi dalam sistem pendidikan vokasional di Inggris selalu menekankan belajar sepanjang hayat atau Lifelong learning. Menurut pusat informasi pendidikan kejuruan dan keterampilan negara-negara di Eropa/ The European Centre for the Development of Vocational Training (Cedefop), walaupun banyak tantangan yang dihadapi, pemerintah Inggris tetap mengupayakan reformasi sistem pendidikan demi mewujudkan kebijakan jangka panjangnya terutama strategi Lifelong learning. Beberapa tujuan kebijakan tersebut antara lain adalah meningkatkan keterampilan dasar para pekerja, meningkatkan ketuntasan pendidikan, dan mengupayakan pemenuhan pendidikan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan (Cuddy, N & Leney, T., 2005).

Sistem pendidikan vokasional yang berbasis pada tujuan belajar sepanjang hayat di Inggris sudah ditekankan sejak tahun 1998  dengan dikeluarkannya keputusan Departemen Pendidikan dan Keterampilan/ Department for Education and Skills (DfES) yang sejak tahun 2010 berganti nama dengan Department for Education (DfE). Dalam peraturan tersebut disebutkan akan pentingnya slogan ‘Lifelong Learning’ untuk secara umum menunjukkan nilai-nilai dan kebijakan tentang belajar sepanjang hayat dibawah aturan administrasi yang baru (Department for Education and Employment [DfEE], 1998). Dikeluarkannya surat hijau/ Green paper yang berjudul The Learning Age juga menunjukkan akan pentingnya belajar sepanjang hayat yang diatur oleh negara. Isi dari surat tersebut kurang lebih menekankan akan pentingnya kemampuan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan daya saing dalam bidang ekonomi di era globalisasi. Kemampuan tersebut merupakan kunci bagi sesorang untuk memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan bersaing di dunia kerja (1998, p.18). Target utama Lifelong learning dalam pendidikan vokasional adalah mewujudkan pengembangan keterampilan vokasional yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas ekonomi, kehidupan sosial yang terbuka dan utuh (Hyland, 1999; Field & Liecester, 2000).

Program Lifelong Learning di setiap negara bagian berbeda-beda. Di England, Wales, dan Irlandia utara, Lifelong learning banyak berhubungan dengan aktivitas belajar yang dilakukan pasca sekolah formal. Pada tahun 2001, National Assembly for Wales mengeluarkan dokumen penting/ Paving dokumen berjudul The Learning Country, merumuskan program pendidikan dan belajar sepanjang hayat bagi masyarakat Wales untuk target tahun 2010. The Learning Country meneruskan strategi sebelumnya dan menghasilkan agenda untuk tahun 2010. Sedangkan di Skotlandia, makna belajar sepanjang hayat ini lebih luas melalui slogannya ‘Cradle to Grave’ yang berarti belajar dari lahir hingga akhir hayat sekaligus memperluas kesempatan belajar bagi setiap orang atau Education for all (Organization for Economic Co-operation and Development [OECD], 2003). 

Menurut National Assembly for Wales (OECD, 2003; DfES, 2005), Lifelong learning dalam pendidikan vokasional di Wales memiliki program prioritas antara lain;
        Pengembangan keterampilan dan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas kerja melalui peningkatan kreatifitas, inovasi dan kegiatan usaha.
        Peningkatan dan perluasan kesempatan belajar termasuk keterampilan dasar.
        Peningkatan standar dalam belajar dan mengajar.

Program prioritas diatas dilaksanakan untuk mewujudkan agenda utama ketiga negara (Inggris, Wales dan Irlandia utara) yaitu:
        Memastikan bahwa semua generasi muda dapat mendapatkan keterampilan utama agar siap menghadapi perubahan jaman, menjamin keamanan dalam hidup, memperoleh banyak keuntungan dari kesejahteraan yang diperolehnya. Target utamanya adalah 90% pemuda berusia 22 tahun dapat mengikuti program pendidikan penuh yang sesuai dengan bidang keahlian mereka untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
        Menyediakan level keterampilan lebih tinggi yang diperlukan untuk inovasi bidang keilmuwan ekonomi, dengan target 50% pemudia usia dibawah 30 tahun dapat melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi pada tahun 2010.
        Memastikan para masyarakat pada usia kerja dapat memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka serta memperoleh penghargaan.
        Meneruskan peningkatan standar belajar dan mengajar di seluruh jenjang pendidikan dan keterampilan.

Untuk memastikan kualitas calon siswa dan lulusan dengan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar, pemerintah England, Irlandia utara dan Wales memiliki sebuah standar kualifikasi vokasional bernama The National Qualifications Framework (NQF) sejak tahun 2000. Semua program pendidikan vokasional (TVET) mengikuti aturan ini ketika menyeleksi calon siswa. 

Kebijakan pendidikan vokasional di Skotlandia memiliki sistem yang paling berbeda dengan negara bagian lainnya. Skotlandia memiliki kebijakan khusus dalam mengupayakan belajar sepanjang hayat dengan slogan, Life through learning, learning through life. Kebijakan ini sepenuhnya merupakan wewenang the Scottish Executive Enterprise, and Lifelong Learning Department (OECD, 2003). Sedangkan untuk memastikan kualitas calon siswa dan lulusan, pemerintah Skotlandia mempunyai aturan sendiri bernama the Scottish credit and qualifications framework (SCQF). Berbeda dengan NQF di ketiga negara bagian yang lain, SCQF merupakan standar kualifikasi yang lebih luas cakupannya serta memiliki tujuan jangka panjang. Kualifikasi ini sangat menekankan Lifelong learning termasuk pendidikan non-formal untuk semua orang dengan segala usia serta memiliki output yang jelas dan terukur kualitasnya. Selain mempermudah setiap orang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan sesuai kebutuhan di sepanjang hidupnya, kualifikasi ini juga memungkinkan semua orang untuk memahami standar kualifikasi yang dibutuhkan di Skotlandia (Cuddy, N & Lenny, T, 2005).

Di Inggris, Irlandia utara dan Wales, setiap calon siswa yang masuk di sekolah vokasional harus mengambil ujian standar yang disebut the General Certificate of Secondary Education (GCSE) setelah menyelesaikan sekolah menengah pertama/ SMP atau berusia 16 tahun. Sedangkan di Skotlandia, calon siswa harus sudah memenuhi kualifikasi 4 dan 5 yang merupakan acuan standar masuk sekolah vokasional/ SMK. Kualifikasi ini biasanya juga diambil setelah mereka lulus dari SMP atau berusia 16 tahun (Cedefop, 2017).

Meskipun setiap negara memiliki aturan dan kebijakan sendiri tentang program Lifelong learning, ada beberapa prinsip aturan yang terpusat. Misalnya, Department for Education menyusun strategi bernama White Paper yang menentukan target dan strategi umum untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja dan menikmati hidupnya (OECD, 2003). Selain itu terdapat pula target nasional berlaku untuk semua negara bagian yang bertujuan untuk mengukur sejauh mana masing-masing negara melaksanakan semua program Lifelong learning mereka. Target ini juga mencakup standar tingkat partisipasi dan pencapaian para siswa pada bidang yang paling ditekuninya di sekolah melalui program pengembangan Lifelong learning dan bisnis usaha (OECD, 2003).

Pemerintah Inggris/ Britania raya (UK) sangat menyadari akan tantangan jaman yang selalu berubah dan masa depan yang tidak pasti terutama bagi orang dewasa. Menurut Mike Campbell (2016), ada tiga komponen yang harus diwaspadai oleh Inggris dalam menghadapi tantangan jaman: ketersediaan keterampilan (Skills supply), permintaan keterampilan (Skills demand) dan ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan pasar (Skills mismatch).  Ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan pasar ini terjadi ketika jumlah keterampilan yang tersedia tidak sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan/ diminta oleh pasar. Gambaran tentang kondisi orang terampil dewasa di Inggris dapat dilihat melalui survey ketenaga kerjaan atau Labour Force Survey. Melalui survey ini, Bosworth (2014) dan Wilson, dkk (2016) memberikan analisa paling terkini yang menggambarkan gambaran pada tahun 2002, 2012 dan proyeksi pada tahun 2020. Analisa ini menunjukkan bahwa  selama satu dekade, dari tahun 2002 hingga 2012, orang dewasa berusia 19 sampai 64 tahun memiliki keterampilan yang sangat tinggi dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2020. Namun jika dibandingkan dengan 32 negara OECD lainnya, tingkat keterampilan orang dewasa pada tataran level tingkat bawah (low skills) dan menengah (intermediate skills) di Inggris cukup lemah dengan urutan peringkat ke-19 (Bosworth, 2014).  Sedangkan untuk keterampilan tingkat atas (High skills) masuk pada urutan ke-11 dari 32 negara tersebut.

Meskipun tingkat keterampilan orang dewasa terutama pada level low dan intermediate di Inggris relatif tinggi, adapun tantangan lain yang dihadapi yaitu permintaan keterampilan yang dibutuhkan di lapangan kerja. Kurangnya orang dewasa yang berketerampilan tertentu muncul ketika terdapat lowongan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki tersebut karena perubahan jaman (Vivian, dkk, 2016).  Stormer, dkk (2014) menidentifikasi 23 faktor yang mempengaruhi perubahan kondisi peluang kerja dan keterampilan baru yang dibutuhkan di Inggris. 23 faktor ini dikelompokkan menjadi 5 sub bidang:
1.      Bisnis dan ekonomi
        Perspektif ekonomi yang berubah
        Ekosistem bisnis baru
        Kekuatan bisnis dan ekonomi Asia
        Perkembangan internet yang merusak
        Pertumbungan pusat ekonomi alternatif
        Deglobalisasi
2. Sumber daya alam dan lingkungan
        Sumber daya alam yang semakin sulit didapatkan dan ekosistem yang terdegradasi
        Permasalahan dan bencana alam yang mengancam ketersediaan sumber daya alam
3. Teknologi dan inovasi
        Teknologi gabungan dan keterampilan lintas bidang
        Perkembangan ICT dan data besar
4. Masyarakat dan individu
        Keinginan kuat dalam keseimbangan kerja
        Lingkungan kerja yang selalu berubah
        Diversitas yang semakin besar
        Ketidakpastian akan pendapatan
        Perubahan demografi
        Imigrasi
        Kemudahan akses pertukaran keterampilan
        Kontrak kerja yang tidak jelas
        Values pekerja yang selalu berubah
5. Hukum dan politik
        Semakin berkurangnya ruang untuk aktifitas politik karena hambatan keuangan publik.
        Pemisahan kebijakan dari Uni Eropa/ pasca Brexit

Melihat 23 faktor diatas, Stormer, dkk (2014) menekankan peran 4 pihak di Inggris dalam menghadapai tantangan di masa depan, yaitu: pemilik usaha, pekerja, penyedia lapangan pekerjaan dan pemerintah. Peran yang paling penting dilakukan adalah fokus pada bidang seperti berikut ini:
        Perluasan dan pengembangan teknologi
        Interkonektivitas dan kolaborasi
        Penggabungan inovasi
        Peningkatan tanggung jawab individu
        Penurunan jumlah kelas menengah
        Tempat kerja generasi 4

Selain 4 pihak yang memiliki peran strategis diatas, setiap individu juga didorong untuk lebih bertanggung jawab agar terus belajar sepanjang hidupnya dan mempertimbangkan manfaat proses belajar (baca Bimrose dkk., 2016; Hughes, Adriaanse and Barnes, 2016; Schmid, 2016). Penelitian ini menunjukkan bukti bagaimana pendidikan dan keterampilan dapat mempengaruhi seseorang dalam menyesuaikan diri dengan perubahan demografi dan permintaan pasar. Oleh karena itu setiap individu perlu secara terus menerus mengasah keterampilan yang mereka miliki serta pada saat yang sama mempelajari keterampilan dan ilmu yang baru. Dengan kata lain, setiap orang di Inggris harus mampu beradaptasi dan fleksibel terhadap perubahan pasar yang tidak stabil dalam ekonomi global (Paccagnella, 2016). Keterampilan yang wajib dipelajari sepanjang hidup di Inggris adalah keterampilan yang berbasis pada pekerjaan seperti literasi, numerasi, problem-solving dalam teknologi dan digital. Semua keterampilan ini sangat penting diajarkan dalam pendidikan vokasional karena merupakan penentu akan pekerjaan dan upah yang tinggi (OECD, 2016b). Keterampilan digital juga sangat penting dalam mendorong kemajuan ekonomi Inggris (Ecorys UK, 2016; OECD 2015a). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa keterampilan literasi digital dasar harus dimiliki oleh semua orang dan diberdayakan dalam dunia kerja untuk keuntungan dan kepentingan pribadi dan ekonomi (van Deursen and van Dijk, 2010). Orang dewasa yang bekerja memerlukan keterampilan digital dasar ini untuk mereka terapkan dalam berbagai macam sektor lapangan kerja (Ecorys UK, 2016). Survey membuktikan bahwa keterampilan digital sangat berperan dalam pasar kerja setelah faktor yang lainnya seperti usia, gender, tingkat pendidikan, kecakapan literasi dan numerasi (OECD, 2016b). Di England misalnya, upah tinggi diberikan kepada mereka yang memiliki keterampilan dan pengalaman di bidang ICT (OECD, 2015a). 

Selain keterampilan digital dasar, sebuah penelitian panjang melalui the British cohort study, menunjukkan bahwa ketuntasan pendidikan sangat berbanding lurus dengan tingginya upah saat bekerja dan faktor non-kognitif lain seperti motivasi, kerja keras atau daya tahan dan kontrol diri dapat memberikan nilai tambah pada upah setelahnya (Green, dkk, 2015). Heckman dan rekannya (2006) menyatakan bahwa keterampilan non-kognitif ini lebih penting dibandingkan dengan kognitif dalam menentukan variasi upah, penguasaan keterampilan dan produktivitas dalam dunia kerja. Keterampilan non-kognitif akan mempengaruhi outcome akademik dan stabilitas finansial pada masa dewasa (Morrison Gutman and Schoon, 2013).

Perubahan pasar dan keterampilan yang dibutuhkan sangat diperhatikan oleh pemerintah Inggris dalam menyiapakan diri sebagai bangsa yang kompetitif dan inovatif. Oleh karena itu memberikan kesempatan, ruang dan fasilitas kepada masyarakat untuk mengembangkan diri, beradaptasi, dan belajar sepanjang masa sangatlah penting agar mampu mengatasi permasalahan karena perubahan jaman. Tabel berikut ini memberikan gambaran komponen penting yang harus dimiliki seseorang untuk dapat beradaptasi sepanjang karir hidupnya di Inggris.
Adaptability dimension
Attitudes and beliefs
Competence
Coping behaviours
Concern – developing a positive optimistic attitude to the future

        Plans
        Forward thinking
        Hopeful
        Connect the present and the future
         
        Planning
        Aware
        Involved
        Preparing
Control – to use self-regulation strategies to adjust to the needs of different settings and exert some influence and control on the context

        Decisive
        Independent
        Autonomous
        Decision-making
        Assertive
        Discipline
        Wilful
Curiosity – broadening horizons by exploring social opportunities and possibilities

        Inquisitive
        Self-reflective
        Future focused
        Exploring
        Experimental
        Taking risks
        Inquiring
Confidence – believing in yourself and ability to achieve your goal

        Efficient
        Self-confident
        Self-perceptive
        Problem-solving
        Persistent
        Striving
        industrious

Sumber: McMahon, Watson and Bimrose, 2012; Savickas and Porfeli, 2012; Savickas, 2013

Untuk memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan jaman atau keterampilan yang beradaptasi dengan kebutuhan, seseorang harus memiliki 4Cs: Concern, Control, Curiosity, dan Confidence. Keterampilan yang beradaptasi membuat orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Keempat dimensi ini dapat diperoleh melalui tantangan – tantangan baru dan keinginan yang kuat untuk mendapatkan wawasan dan perspektif baru dalam hidup. Oleh karena itu, adaptasi karir ini sangat diperlukan dalam membangun perbaikan dan manajemen karir serta memberikan tantangan-tantangan baru dan kesempatan di pasar kerja yang selalu berubah. Sehingga diperlukan sistem pendidikan vokasional yang dapat mendukung masyarakat untuk mengembangkan dan membangun perbaikan karir dan adaptasi mereka. Peran pendidikan vokasional sangatlah penting terutama dalam membantu masyarakat untuk belajar melalaui kehidupan bekerja mereka dan tidak hanya untuk bertahan hidup, tapi berjuang dalam dunia kerja dan permintaan pasar selama hidupnya (Barnes, dkk, 2016).

Karena bertujuan untuk memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan dan adaptasi perubahan jaman, pemerintah Inggris juga memberikan fasilitas dan ruang pendidikan keterampilan bagi masyarakat marginal seperti para imigran, kaum difabel, lanjut usia (Lansia) dan narapidana. Salah satu contohnya adalah pembentukan Prison Industries atau program rehabilitasi seperti pelatihan kerja bagi para narapidana selama di penjara untuk menyiapkan mereka menghadapi dunia kerja pasca keluar dari penjara (House of Commons Home Affairs Committee, 2004). Tujuan utama dari Prison Industries adalah memperkerjakan para narapidana dalam kegiatan diluar penjara dan sebisa mungkin membantu mereka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan, kualifikasi dan pengalaman kerja agar dapat meningkatkan kesiapan dan kemampuan mereka dalam mendapatkan pekerjaan legal ketika keluar dari penjara (ibid, 2004). Manajemen Prison Industries juga harus dapat memberikan pendanaan dan keuntungan bagi organisasi penyelenggara kegiatan dan secara terus menerus mendukung program-program yang dapat menawarkan kesempatan untuk pengembangan diri bagi para narapidana (ibid, 2004). Pemerintah Inggris juga membentuk tim pembuat kebijakan dalam Prison Industries yang bertujuan untuk mengembangkan strategi kerja jangka panjang para narapidana, memperkuat jaringan dengan lembaga pelayanan penjara internal, departemen pemerintah, para pengusaha dan pihak otoritas lokal (ibid, 2004).


Kesimpulan
Merujuk pada sistem pendidikan yang ada di Inggris/ Britania Raya (UK) terutama pendidikan vokasional, program Lifelong learning atau belajar sepanjang hayat sudah cukup lama ditekankan secara resmi oleh pemerintah sejak tahun 1998. Oleh karena itu Inggris bisa dijadikan sebagai salah satu negara acuan untuk pengembangan program yang serupa di Indonesia. Penerapan program inipun juga sangat aplikatif karena penerapannya diatur dan dikembangkan oleh tiap negara bagian: England, Wales, Irlandia utara dan Skotlandia. Sebagai negara kepulauan yang memiliki sistem pemerintahan otonomi daerah, Indonesia bisa mencoba belajar dari implementasi program Lifelong learning di Inggris. Pada intinya pemerintah Inggris terus memastikan bahwa setiap individu baik yang berusia muda maupun tua, laki-laki maupun wanita memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam pendidikan dan terus mengasah serta mengembangkan keterampilan mereka untuk menghadapi tantangan perubahan jaman. Semua orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan keterampilan mereka terutama dalam bidang teknologi dan digital dalam rangka menguatkan ekonomi negara di persaingan global.

Pemerintah Inggris juga sangat mengantisipasi akan tantangan perubahan jaman yang selain memiliki dampak positif bagi efektifitas ekonomi, juga dapat memberikan masalah tersendiri, terutama dalam persaingan kerja masyarakat. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana cara memastikan antara ketersediaan keterampilan tenaga kerja (Skills supply) dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja (Skills demand), atau bagaimana cara agar tidak terjadi ketimpangan antara kedua hal tersebut (Skills mismatch). Oleh karena itu pemerintah Inggris mengidentifikasi faktor-faktor utama penyebab perubahan yang terjadi di dunia kerja dan pasar itu sendiri serta menentukan sikap dan langkah strategis untuk mengantisipasinya.Untuk menghadapi tantangan ini, setiap orang di Inggris diwajibkan untuk mempelajari dan mengembangkan keterampilan yang berbasis pada pekerjaan seperti literasi, numerasi, problem-solving dalam bidang teknologi dan digital. Mereka sangat meyakini bahwa keterampilan digital sangatlah penting untuk mendapatkan kesempatan kerja yang luas dan upah yang tinggi. Selain itu, mereka juga ditekankan untuk selalu meningkatkan keterampilan non-kognitif mereka seperti motivasi diri, kerja keras, daya tahan dan kontrol diri, karena semua keterampilan ini dapat menentukan variasi pekerjaan dan stabilitas finansial mereka.
Untuk menyiapkan generasi yang kompetitif dan inovatif, pemerintah Inggris juga memberikan fasilitas dan ruang penuh kepada seluruh masyarakat untuk mengembangkan diri mereka agar dapat menghadapi berbagai macam tantangan perubahan jaman. Komponen penting yang harus dimiliki oleh setiap individu di Inggris adalah 4Cs (Concern, Control, Curiosity and Confidence) agar mereka bisa beradaptasi sepanjang karir hidupnya. Selain itu, perhatian pemerintah untuk memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam meningkatkan keterampilan dan dunia kerja adalah dibentuknya program dan rencana strategis kepada para kaum marginal seperti para imigran, kaum difabel, lanjut usia dan narapidana. Salah satu contoh yang paling berbeda adalah pembentukan program rehabilitasi yang bernama Prison Industries beserta tim khusus tertentu untuk memberikan pelatihan dan persiapan kerja bagi para narapidana baik di dalam maupun diluar penjara bekerja sama dengan stakeholders yang ada dan para pengusaha.

References:
Barnes, S-A. and Brown, A. (2016). Stories of learning and their significance to future      pathways and    aspirations. British Journal of Guidance and Counselling, 44: 2, 233-242.
Barnes, S-A., Brown, A., Warhust, C. (2016). Education as the Underpinning System:       Understanding the propensity for learning across the lifetime. Future of Skills and                 Lifelong Learning. Evidence Review. Foresight, Government Office for Science.
Bimrose, J., Mulvey, R. and Brown, A. (2016) Low qualified and low skilled: the need for                context sensitive careers support. British Journal of Guidance and Counselling, 44: 2,         145-157.
Bosworth D (2014) UK Skill Levels and International Competition, Evidence Report 85, UKCES.
Cambell, Mike (2016) The UK's Skills Mix: Current trends and future needs. Future of Skills of     Lifelong Learning. Evidence Review. Foresight, Government Office for Science.
Cedefop (2017). On the way to 2020: data for vocational education and training policies. Country statistical overviews – 2016 update. Luxembourg: Publications Office. Cedefop research paper; No 61.

Cuddy, N. & Lenny, T. (2005). Vocational education and training in the United Kingdom: short description. Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities.
Department for Education and Employment (DfEE). (1998) The Learning Age: A    Renaissance for a       New Britain (London, Department for Education and        Employment).

Department for Education and Skills. (2005). Skills: Getting On In Business, Getting           On At Work. London: DfES.
Ecorys UK (2016) Digital Skills for the UK Economy. London: Department for Business      Innovation and Skills/Department for Culture Media and Sport.
Field, J., Leicester, Mal, & Field, J. L. (2000). Lifelong learning: Education across the lifespan. London: Routledge Falmer.

Green, F., Parsons, S., Sullivan, A. and Wiggins, R. (2015) Dreaming big: Self-evaluations,               aspirations,         high-valued social networks, and the private-school earnings              premium (Working Paper 2015/9). London: Centre for Learning and Life Chances in Knowledge Economies and Societies (LLAKES), Institute of Education, University               College London.
Heckman, J.J., Stixrud, J. and Urza, S. (2006) The effects of cognitive and noncognitive abilities   on labor market outcomes and social behavior (NBER Working Paper no.12006).      Cambridge, MA, USA: National Bureau of Economic Research.
House of Commons Homes Affairs Committee. (2004). Rehabilitation of Prisonners. First             Report             of Session 2004-2005. London: The Stationery Office Limited. Volume 1.
Hyland, T. (1999). Vocational Studies, Lifelong Learning and Social Values             (Aldershot, Ashgate).

McMahon, M., Watson, M. and Bimrose, J. (2012) Career adaptability: A qualitative         understanding from the stories of older women. Journal of Vocational Behavior, 80:            3, 762-768.
Morrison Gutman, L. and Schoon, I. (2013) The impact of non-cognitive skills on outcomes for    young   people: Literature review. London: The Education Endowment Foundation.
Organization for Economic Co-operation and Development/ OECD. (2003). The Role of National Qualifications Systems in Promoting Lifelong Learning. Department for Education and Skills.
OECD (2015a) Adults, Computers and Problem Solving: What’s the Problem? OECD Skills               Studies. Paris: OECD.
OECD (2016b) Skills Matter: Further Results from the Survey of Adult Skills. OECD Skills   Studies. Paris: OECD.
Paccagnella, M. (2016) Age, ageing and skills: Results from the Survey of Adult Skills. OECD           Education Working Papers, No. 132. Paris: OECD.
Savickas, M.L. and Porfeli, E.J. (2012) Career Adapt-Abilities Scale: Construction, reliability            and measurement equivalence across 13 countries. Journal of Vocational Behaviour,           80, 661-                673.
Savickas, M. (2013) Career Construction theory and practice. In Lent, R.W. and Brown, S.D.          (eds) Career Development and Counseling: Putting theory and research to work (2nd           edition, pp. 147-183). New Jersey: John Wiley.
Schmid, G. (2016, forthcoming) A working lifetime of skill and training needs. In Warhurst, C.,     Mayhew, K., Finegold, D. and Buchanan, J. (eds). Oxford Handbook of Skills and   Training. Oxford: Oxford University Press.
Stormer E et al (2014) The Future of Work: Jobs and Skills in 2030, Evidence Report 84, UKCES.
van Deursen, A. and van Dijk, J. (2010) Internet skills and the digital divide. New Media &             Society, 13:6, 893-911.
Vivian et al (2016) UK Employer Skills Survey 2015: UK Results, Evidence Report 97, UKCES.
Wilson et al (2016) Working Futures: 2014-2024, Evidence Report 100, UKCES.





Rabu, 17 Oktober 2018

5 syarat sederhana untuk bisa kuliah di negara berbahasa Inggris/ English Speaking Countries

at Cambridge University, UK

Aziza Restu Febrianto


Siapa sih yang tidak ingin berkuliah di luar negeri dan jalan-jalan keliling dunia? Hampir semua orang pasti menginginkannya. Nah, mungkin masih banyak diantara kita yang berfikir bahwa diterima di kampus luar negeri itu pasti sangat sulit seperti halnya seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Belum lagi seleksi masuk kuliah di negara berbahasa Inggris seperti Amerika, Inggris dan Australia yang pastinya menurut kita sangat susah. Secara, negara-negara ini merupakan the leading countries di berbagai macam bidang untuk saat ini. Sehingga untuk bisa masuk di salah satu negara tersebut, pastinya harus melalui seleksi yang ketat. Namun faktanya ternyata kita tidak perlu susah payah mengikuti rangkaian seleksi dan tes karena mereka tidak begitu mempertimbangkan komponen itu. Kita hanya cukup mempersiapkan 5 syarat wajib dan sederhana ini saja sebagai modal agar bisa diterima, at least untuk kuliah Master Program atau S2 bagi yang lulusan sarjana (S1). 

  • IPK minimal 3.00

Saya kira untuk mendapatkan IPK 3.00 tidaklah sulit sekarang jika dibandingkan dengan jaman dulu (mungkin sebelum tahun 2007) yang hanya segelintir mahasiswa saja yang bisa meraih IPK 3.00. Saat saya wisuda tahun 2009 dulu, IPK tertinggi di jurusan saya adalah 3.60 dengan rata-rata IPK lulusan saat itu 3.14. Namun di jaman sekarang IPK 3.50 sudah bukan merupakan nilai yang susah untuk didapatkan dan banyak sekali yang bisa memperolehnya. Bahkan sudah banyak juga lulusan yang bisa mencapai IPK 4.00 (Cumlaude) seperti yang diberitakan di beberapa media massa.    

  • Pengalaman kerja yang relevan minimal 2 tahun

Selain kualifikasi akademik berupa hasil nilai yang kita peroleh selama studi, ternyata pengalaman kerja juga sangat diperhitungkan oleh pihak penyeleksi perguruan tinggi di luar negeri. Mungkin bagi yang Fresh Graduates atau masih sarjana anget-anget akan sedikit berfikir untuk memenuhi syarat yang kedua ini. Bagaimana bisa mendapatkan pengalaman kerja 2 tahun kalau kuliah baru aja kelar. Tenang, ini bisa disiasati kok. Pastikan saja selama kuliah, kita juga mengambil kerja sambilan yang  sesuai dengan bidang studi atau aktif di organisasi atau bisa saja terlibat menjadi volunteer/ relawan yang programnya juga sesuai dengan bidang studi. Sehingga walaupun masih Fresh Graduates, kalian bisa memiliki pengalaman kerja dengan menunjukkan Portofolio sebagai bukti. 

  • Motivation Letter yang meyakinkan

Setiap program master di universitas luar negeri biasanya mensyaratkan Motivation Letter atau Statement of Purpose. Motivation letter dari seorang calon mahasiswa diperlukan untuk mengetahui rencana studi, alasan studi dan rekam jejak.  Saya kira membuat surat ini tidaklah sulit. Banyak sekali contoh Motivation Letter di internet yang bisa kita jadikan acuan. Ingat, hanya digunakan sebagai acuan saja dan jangan plagiat. Kita bisa menggunakan berbagai macam samples itu untuk latihan  membuat Motivation Letter yang benar-benar sesuai dengan kondisi kita. Kalau perlu kita bisa minta tolong teman, saudara atau kenalan yang sudah berpengalaman untuk memberikan Feedback/ masukan untuk tulisan kita, baik mengenai konten maupun bahasanya.

  • Reference Letters dari 2 orang yang mengenal kita dengan baik

Reference Letters juga merupakan syarat wajib untuk menunjukkan bagaimana penilaian orang lain terhadap kita. Biasanya yang diminta untuk membuat adalah mereka yang sudah sangat mengenal kita. Tapi bukan berarti kita bisa minta tolong orang tua, saudara atau sahabat kita untuk membuatnya ya..hehe. Mereka yang mengeluarkan surat ini haruslah pihak yang mengenal kita secara akademik atau profesi, seperti dosen pembimbing, ketua jurusan atau atasan kita di tempat kerja. Meminta surat ini sih gampang-gampang susah karena kita berurusan dengan orang lain yang pastinya harus menyesuaikan dengan waktu luang mereka. Walaupun ini sangat relatif sih. 

Tipsnya adalah jangan langsung minta dibuatkan surat ini dengan tangan kosong kepada mereka. Maksudnya alangkah lebih baiknya kita sudah meyiapkan sendiri suratnya atau sekedar membuat sebuah draft. Kemudian ketika menemui mereka, surat tersebut tinggal diedit atau diperbaiki. Hal ini karena pemberi surat itu pastinya juga memiliki banyak kesibukan. Remember, we are not the only one who needs their help!. Untuk membuat draft, silahkan search di Internet contoh-contohnya yang sudah banyak beredar di Google sebagai acuan. Selain itu ketika kita menemui pihak yang mengeluarkan surat, kita harus memintanya dengan cara yang sopan agar mendapat respon yang positif. Terakhir, tidak semua surat yang dibuat bisa selesai cepat seperti perkiraan kita karena (again) pastinya menyesuaikan waktu luang si pemberi surat.
  • Sertifikat IELTS atau TOEFL iBT/ Internet Based TOEFL
Jika impian kita dari awal adalah ingin bisa berkuliah di luar negeri, pasti sudah tidak asing lagi dengan tes standar Bahasa Inggris bernama TOEFL dan IELTS. Secara, tidak mungkin kan ketika kuliah berlangsung, kita hanya bengong dan diam di tempat karena tidak memahami apa yang disampaikan dosen dan teman sejawat. Oleh karena itu, tujuan tes Bahasa Inggris adalah pihak kampus ingin memastikan bahwa calon mahasiswa yang akan kuliah sudah tidak mempunyai masalah dan kendala lagi dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama. Sehingga syarat TOEFL atau IELTS dengan skor standar wajib hukumnya. Untuk universitas-universitas di negara berbahasa Inggris, skor standar yang biasanya diminta adalah minimal rata-rata 6.5 (untuk IELTS) dengan masing-masing bagian minimal 6 dan 100 (untuk TOEFL iBT). 

Selanjutnya yang perlu diperhatikan bagi mereka yang ingin mengambil TOEFL adalah bahwa TOEFL jenis Paper-Based/ Institutional Testing Program (ITP) sudah tidak berlaku lagi untuk mendaftar universitas. TOEFL jenis ini hanya digunakan untuk tes pada tingkat institusi sebagai pengukur keterampilan dasar berbahasa Inggris. Sedangkan untuk bisa memenuhi syarat kuliah di luar negeri, kita harus mengambil TOEFL jenis Internet-Based Test (iBT) karena formatnya yang sangat berbeda serta lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan akademik saat ini. Kalau kita sudah mengetahui bahwa sertifikat IELTS atau TOEFL itu merupakan kewajiban, maka dari awal kita harus sudah mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya serta berlatih Bahasa Inggris secara intensif apapun latar belakang pendidikan kita. 

Saya kira 5 syarat diatas sangatlah tidak sulit untuk diupayakan. Walaupun tentunya masih ada beberapa persyaratan lain yang perlu dipersiapkan, tapi itu semua tergantung pada jurusan dan bidang studi yang kita pilih. Intinya jika ada motivasi dan keinginan yang kuat, saya yakin semuanya bisa dipenuhi dengan lancar. Tantangan yang berat sebenarnya bukan pada seleksi masuk universitas di luar negeri, tapi pada sponsor atau beasiswa yang akan mendukung semua urusan finansial kita disana. Kecuali jika kita sudah memiliki banyak uang untuk itu. Secara, untuk kuliah program master saja, kita bisa kocek ratusan juta rupiah disesuaikan dengan negara mana yang kita tuju. Sehingga bagi mereka yang mempunyai impian berkuliah di penjuru dunia manapun tetapi terkendala biaya, maka mempersiapkan pendaftaran beasiswa dan memantaskan diri untuk bisa diterima adalah hal yang paling penting untuk dilakukan. Saya kira sudah banyak sekali orang yang sharing dan cerita pengalaman pribadi tentang tips dan cara memperoleh beasiswa. Kita tinggal mencarinya saja hanya dengan menggenggam ponsel kita…hehe.

Terimakasih telah membaca tulisan saya. Walaupun sederhana, mudah-mudahan bisa memberi manfaat.

Ngawi, 6 Agustus 2016


Sabtu, 29 September 2018

Apakah Kita Memang Sudah Belajar?




Jika memperhatikan perilaku orang dalam bermain social media dan beberapa perilakunya di dunia nyata, ada sebuah fenomena unik yang bisa disimpulkan (asumsi mentah pribadi). 

Mereka yang pernah bersekolah belum tentu pola pikirnya lebih baik daripada yang tidak bersekolah. Bahkan yang tidak bersekolah kadang justru memiliki pandangan atau persepsi yang jauh lebih ilmiah dan bijak tentang kehidupan daripada yang pernah bersekolah..Terlepas dari range usia mereka.

Lalu apa yang membuat outcomes atau hasil akhir mereka bisa berbeda? Jawabannya adalah Belajar... Iya, belajar..belajar tentang banyak hal dan mempraktikkannya...

Tidak semua orang yang bersekolah belajar.. Mungkin apakah karena justru mereka banyak terjebak dalam aktivitas belajar yang hanya fokus pada bidang yang ditekuninya.. Atau mereka terjebak pada esensi bersekolah yang sebenarnya itu apa... Parahnya adalah ada orang yg bersekolah hanya karena ingin mendapatkan pekerjaan yang enak (saja).

Sebaliknya malah ada orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal (bersekolah atau berkuliah), tapi justru sangat bergairah untuk melakukan banyak hal agar bisa mempelajari ilmu yang luas dan mempraktikkannya. Proses inilah yang akhirnya membentuk karakter dan kepribadiannya, yang kadang terlihat lebih bijaksana dibandingkan mereka yang berpendidikan tinggi.

Alangkah baiknya jika selama bersekolah, kita belajar atau sebaliknya selama belajar, kita bersekolah... Sekian.. :)

Kamis, 16 Februari 2017

Relevansi Berfikir Kritis dan Ilmiah


The UCL Institute of Education Library,
the largest education library in Europe

(Short Reflection)

Aziza Restu Febrianto


Dalam tulisan kali ini saya ingin berbagi pengalaman dan pelajaran hidup yang saya peroleh (secara pribadi) ketika belajar Master di kota London, UK selama hampir 5 bulan ini. Akhir-akhir ini saya semakin tertarik dan concern dengan penggunaan label dunia akademik untuk pemikiran-pemikiran yang berdasarkan proses dan hasil studi tertentu dalam diskusi umum. Saya sedikit khawatir pelabelan ini akan menimbulkan dikotomi dan pemisahan antara aktivitas akademik dengan kehidupan masyarakat secara umum. Padahal apa yang manusia alami dalam hidup tidak terlepas dari fenomena ilmiah yang dipelajari. Saya tidak tahu sejauh mana pelabelan ini berpengaruh positif atau tidaknya dalam kehidupan masyarakat, terutama di Indonesia. Yang jelas realitanya gap antara pendidikan dan dunia kerja masih saja terasa, ditunjukkan oleh banyaknya informasi di media massa tentang adanya mismatch antara lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja. Ini menunjukkan bahwa masih belum adanya koneksi dan relevansi yang kuat antara apa yang dipelajari dan diperoleh di jenjang pendidikan dengan apa yang dibutuhkan oleh sektor usaha di lapangan. Munculnya pendapat, diskusi dan statement yang belum terbukti kebenarannya di sosial media dan media massa juga merupakan contoh akan masih adanya pemisahan antara pemikiran ilmiah dengan semua aspek kehidupan manusia lainnya.

Selama kuliah di UK, pemikiran kritis dan holistik yang didukung dengan bukti empiris atau teoritis sangatlah dibutuhkan untuk bisa survive dengan semua kegiatan perkuliahan, terutama dalam mengerjakan semua tugas. Tiap kali mengajukan pendapat, kita tidak bisa begitu saja berargumen berdasarkan opini dan pengalaman kita saja. Untuk bisa diterima secara logis, setiap klaim yang kita ajukan harus didukung oleh bukti atau hasil pemikiran yang telah diuji secara empiris atau teori dan literatur yang sudah ada sebelumnya. Sehingga sebelum berpendapat dan membuat klaim (dalam sebuah karya tulis misalnya), saya harus mencari literatur lain yang berkaitan serta relevan dengan kondisi terkini. Tentu saja ini sangat tidak mudah dan time consuming. Hampir setiap hari saya mencari jurnal, karya ilmiah dan buku yang tidak semuanya bisa diunduh secara gratis melalui institusi untuk portal-portal yang reliable dan terpercaya, sehingga mengharuskan saya untuk mencarinya di perpustakaan. Jika masih saja tidak menemukannya, saya harus membelinya dengan harga yang tidak murah. Setelah mendapatkannya, saya harus membaca, membuat kesimpulan serta mengkritisnya dengan literatur lain atau bukti empiris yang berkaitan. Bagi saya aktivitas ini sangat menantang dan melelahkan, namun banyak juga manfaat yang diperoleh darinya. Dan yang paling penting, semua aktivitas yang saya jalani ini telah membuat saya belajar untuk berfikir lebih kritis dan holistik.

Pernah juga sih kepikiran, ngapain saya kuliah jauh-jauh dengan biaya yang sama sekali tidak sedikit jika ujung-ujungnya banyak kegiatan mandiri dan semua sumber juga sudah tersedia di internet atau bisa juga membelinya di toko buku online. Mungkin pendapat ini ada benarnya, namun saya tidak bisa menjamin saya mampu melakukannya karena belajar mandiri membutuhkan motivasi tersendiri yang sangat kuat. Lagipula, dengan semua aktivitas perkuliahan, apa yang saya peroleh dan buat secara mandiri dapat didiskusikan secara langsung di kelas dan mendapat feedback dari tutor yang tentu saja lebih ahli dan berpengalaman serta teman sekelas yang memiliki common interest. Pastinya aktivitas yang selama ini saya lakukan ini semakin membuat perspektif dan cara pandang saya semakin meluas. Seperti yang kita semua ketahui, aktivitas yang biasanya dilakukan di kelas tidak hanya mendengarkan ceramah tutor, tapi kita juga diberikan kesempatan untuk bertanya dan beropini. Kegiatan yang cukup menarik adalah berdiskusi kelompok dengan teman sekelas yang memiliki latar belakang berbeda baik dari negara, budaya, pendidikan maupun pengalaman.

Kegiatan perkuliahan yang disibukkan dengan membaca jurnal, membuat kesimpulan serta memberikan opini tentangnya dalam diskusi kelas serta tugas karya tulis/ paper sangatlah membentuk pola pikir saya untuk mempertimbangkan berbagai macam sudut pandang serta bukti ilmiah ketika berpendapat. Aktivitas seperti ini seharusnya tidak bisa dipisahkan dalam realita kehidupan kita. Sehingga semua ide, pendapat dan pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan bisa mendukung inovasi serta sesuai dengan kebutuhan di dunia nyata. Kombinasi ini memungkinkan semua penelitian dan teori yang dikembangkan di ranah pendidikan tinggi bisa benar-benar relevan dan berguna dalam dunia kerja. Aktivitas ilmiah dan pemikiran kritis ini juga membantu masyarakat untuk berfikir lebih bijak dalam menghadapi semua permasalahan hidup dan mencari solusinya. Mereka juga tidak akan begitu saja mudah terpengaruh oleh isu yang belum tentu ada kebenarannya. Mereka juga tidak akan mudah memberikan penilaian terhadap orang lain yang berbeda pandangan ataupun keyakinan tanpa adanya informasi yang jelas. Dengan pemikiran kritis dan ilmiah ini, kita akan memahami bahwa hidup bukanlah tentang warna hitam dan putih, akan tetapi semua warna ada. Mata normal kita juga bisa melihat berbagai macam warna itu kan. Namun satu hal yang perlu diingat, seperti yang kita tahu, dalam penelitian dan pemikiran ilmiah, pasti juga terdapat batasan/ atau limitations istilahnya. Sehingga sehebat apapun argumen dan pemikiran kita yang dibuktikan dengan berbagai macam teori dan studi empiris, pasti akan ada batasannya. Disinilah x-factor itu tetap ada dan hanya Tuhan yang berkuasa akan hal itu. Inilah puncak dari pemikiran logis dan tahapan spiritualitas mulai dirasakan.

Kesimpulannya, dengan pertimbangan akan manfaat aktivitas dan kegiatan ilmiah dalam realita kehidupan bermasyarakat, saya semakin yakin bahwa pelabelan dan dikotomi antara kehidupan akademik dengan kehidupan masyarakat umum merupakan hal yang mestinya ditiadakan. Semua aktivitas dan kegiatan masyarakat harus berdasarkan pola pikir dan mindset yang ilmiah dan akademik agar tercipta kehidupan yang bertanggung jawab, penuh inovasi dan kebijaksanaan. Aktifitas ilmiah dan pemikiran seperti ini juga akan mengantarkan kita menjadi pribadi yang spiritualis sesuai dengan keyakinan agama kita masing-masing. Sekian.....



London, 17 Februari 2017

Sabtu, 11 Februari 2017

London city, for me?




Aziza Restu Febrianto

Gara-gara ngobrol dengan roommate soal menulis, jadi teringat deh akan blog ku yang sudah aku cuekin selama 3 bulan lamanya. Sebenarnya semuanya berawal dari mengerjakan tugas Essay mata kuliah term pertama. Kebetulan kita juga mengambil jurusan dan kelas yang sama. Bersyukurlah.. Mudah-mudahan dari tulisan ini aku bisa menjdi lebih produktif menulis di blog lagi…haha. Kalau dipikir-pikir banyak sekali manfaat hobi blogging sebenarnya. Dengan blogging, semua informasi yang kita rekam dalam tulisan akan menjadi kenangan yang indah pada suatu hari nanti saat kita membacanya. Pastinya informasi itu lebih lengkap dan detail dibandingkan hanya sekedar melalui ingatan, foto ataupun video kenangan yang kita punya. Kenangan masa lalu yang kita baca akan membuat kita terharu karena nostalgia, tertawa karena tulisannya yang masih aneh (proses belajar), ataupun bisa jadi penyemangat kita dalam menjalani hidup di masa yang akan datang.

Sebenarnya sedikit menyesal juga kenapa baru sekarang sadar untuk mulai blogging lagi setelah 3 bulan lamanya vacuum selama tinggal di London. Tak terasa sih waktu cepat sekali berlalu dan belum banyak juga yang bisa dilakukan selama tinggal dan kuliah di salah satu kota terbesar dunia ini. Dalam hati ingin rasanya bisa membuat sebuah karya… Entah apapun itu… Bisa dalam bentuk tulisan, video ataupun ide-ide kritis cemerlang yang bisa aku dapatkan dan kembangkan dari negeri ratu Elizabeth ini. Ehm...ingin juga rasanya bisa menceritakan semua pengalamanku selama tinggal dan kuliah di London. Tapi menulis semua cerita dan pengalaman selama 3 bulan hanya dalam satu artikel itu sungguh tidak mungkin…haha. Lagipula aktivitas menulis sangatlah menyesuaikan mood… Hadehh…

Okay dah…begini saja, aku awali blogging ini dengan sebuah pengamatan tentang perbedaan budaya antara kota London beberapa kota besar di Indonesia. Enaknya dibikin pointing aja yak…

  • Kota London itu dingin tapi terkadang juga cukup hangat (loh..?). Menurut cerita bahwa cuaca disini tidak bisa diprediksi dan sering gerimis itu memang benar adanya. Tapi jangan khawatir… walaupun cuaca dingin, pada setiap rumah atau akomodasi sudah terpasang alat Heating System tersendiri. Jadi membayangkan jika di Indonesia biasanya orang suka memasang AC untuk udara segar di rumahnya, yang terjadi di London sungguh malah kebalikannya. Gak bisa bayangin kalau masang AC di kota ini..haha. Karena sering hujan, banyak penjual payung dimana-mana. Harga satu payung biasanya sekitar 15 -30 pound sterling (yang paling murah). Kalau mau yang simple ya tinggal beli rain coat atau water-proof jacket. Dinginnya kota ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh angin yang kencang dan sinar matahari yang kurang walaupun bulan yang lalu sempat juga sih menemui suhu udara yang turun hingga minus 5. Bahagia juga rasanya saat bangun tidur, ketika membuka jendela langsung melihat atap mobil dan rumah berselimutkan Kristal es.. Saat berangkat kuliah juga sempat melihat lapangan dengan rumputnya yang tertutupi oleh lapisan es… Ini adalah pemandangan baru untuk pertama kalinya dalam hidupku. Well, namun dengan suhu udara yang dingin seperti ini, jangan berharap akan turunnya salju di kota London. Selama musim dingin jarang sekali salju turun. Bahkan dalam satu dekade hanya dua atau tiga kali terjadi. Yang saya tahu sih salju tebal terakhir kali turun pada tahun 2013 dan setelah itu tidak terjadi lagi sampai sekarang.
  • Kota London itu surga bagi orang kaya dan neraka bagi yang miskin. For me, yes, it’s definitely true! Bayangkan saja untuk menyewa kamar di sebuah flat saja harganya bisa minimal mencapai 25 permalam atau sekitar 500 ribu rupiah. Sedangkan untuk yang menyewa seminggu bisa keluar uang sekitar 100 sampai dengan 300. 100 pounds sama dengan Rp. 1,5 juta jika kita lihat rata kurs 1 pound = Rp. 16,500. Flat yang aku tinggali merupakan akomodasi yang disediakan oleh kampus dengan biaya 102.97 pounds per minggunya atau sekitar 440 pounds/ bulan. Walaupun termasuk paling murah dibandingkan dengan akomodasi mahasiswa lain, namun jika biayanya dikonversi ke rupiah bisa tekor nih uang di ATM. Biaya hidup yang tinggi ini membuat kota London dihuni banyak homeless people. Jangan salah, kata siapa kota London yang maju tidak ada pengemisnya. Saat melewati trotoar atau tempat – tempat umum lainnya, kita pasti akan banyak sekali orang yang tidak mempunyai tempat tinggal dan meminta-minta uang recehan. Menurut kabar sih mereka sebenarnya adadah para pendatang dari Rumania atau kaum Gipsi yang memiliki kebiasaan malas. I dunno for sure sih…yang jelas itulah fenoma yang aku lihat selama tinggal di kota ini. Jadi, kota ini bisa dikatakan surga bagi mereka yang kaya karena banyak tempat hiburan dan jaringan bisnis yang luas. Sebaliknya tempat ini bisa menjadi neraka bagi mereka yang miskin. Bayangkan saja jika kita tdiak sanggup membayar tempat tinggal dan biils lainnya, maka kita akan bernasib seperti the homless yang tinggal di jalanan dengan dinginnya udara kota.
  • Kota London itu tertata rapi. Dibandingkan dengan kota-kota besar di Indonesia, kota London jauh sekali lebih tertata dan maju. Pertama, dilihat dari sistem transportasinya. Jika kita sering melihat banyak sekali kemacetan di kota Jakarta, maka kita akan jarang  menemukannya di London. Kenapa? Karena salah satu alasannya adalah sistem transportasinya maju dengan lengkapnya jalur transportasi seperti underground railway yang sudah tersebar di seluruh bawah tanah kota serta bus kota yang tersedia di semua jalur. Setiap bus memiliki nomor dan rute yang berbeda-beda. Untuk menuju ke kampus aku biasa naik bus bernomor 24 dari flat aku tinggal. Untuk melakukan sekali perjalanan, biayanya hanya 1.5 pound. Tapi, bentar dulu gaes…bayar tiketnya tidak pake uang..tapi kartu..namanya Oyster card. Nah, pertama kali menginjakkan kaki di London, kita harus memastikan dulu membeli Oyster card dengan harga 10 pounds. Kemudian Top up atau isi balance nya dengan harga minimal 5 pounds. Dengan jumlah Balance ini, kita sudah bisa berkeliling kota London dengan bus seharian. Mantab kan..hehe. Kartu ini juga bisa dipakai untuk transportasi tube underground. Biasanya sekali jalan rata-rata dikenakan biaya 2.40 pounds. Transportasi ini sangat efektif dikarenakan kecepatan dan laju jalannya yang tanpa ada rintangan.


Well, sampai disini dulu ya gaes…..semoga bisa lain kali bisa berbagi cerita, pengalaman atau ide lain yang menarik di blog ini….Thanks for your visit.. J


London, 28 Desember 2016