Senin, 14 Desember 2015

Harapan Masa Depan #Latepost 3






Kutemukan Harapan itu di Flores

(Sebuah Cerita Inspiratif Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal)

Oleh Aziza Restu Febrianto

Mengajar di tempat – tempat baru dan terpencil merupakan sebuah cita - cita yang ingin aku capai sejak dulu sewaktu kuliah. Apalagi setelah membaca novel dan menonton film Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Aku bersyukur bisa mendapatkan kesempatan itu dan ditempatkan di sebuah sekolah yang menurut pemerintah berlokasi di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Sekolah itu berada di sebuah desa terpencil di daratan pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebuah desa dimana mesin diesel dan generator menjadi sumber utama arus listrik. Apa mau dikata, arus listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara) belum masuk di desa ini. Di sekolah ini tidak akan kita temukan sebuah laboratorium komputer dimana siswa bisa praktik mengoperasikan komputer setiap saat serta laboratorium bahasa yang mana siswa bisa berlatih Listening dengan penutur aslinya. Boro - boro laboratorium komputer atau bahasa, ruang kelas yang ada saja masih bisa dikatakan tidak memenuhi standar. Bahkan ruang gurupun juga tidak ada. Sehingga terpaksa memanfaatkan ruang perpustakaan yang cukup sempit untuk digunakan sebagai ruang rapat atau pertemuan para guru. 

Namun keadaan sarana dan prasarana yang serba kekurangan ini tidak menyurutkan semangat para guru dan siswa untuk tetap melangsungkan kegiatan belajar dan mengajar di sekolah ini setiap harinya. Di sekolah ini, aku mengajar kelas VII yang terdiri dari tiga kelas. Selama bertugas, aku merasa telah mendapatkan banyak pelajaran dan inspirasi baru yang sangat berharga dalam hidupku. Salah satu inspirasi itu aku dapatkan dari siswa dan siswi yang aku ajar di sekolah. Diantaranya adalah Helena, Ivan, dan Dinda yang merupakan siswa yang terajin di kelas 7.  Sedangkan yang lainnya adalah Samuel, Dandi, dan Ardian, sang pembuat onar tapi cerdas. 

Hari – hari aku lalui dengan kegiatan mengajar di sekolah. Jika ada waktu luang, sepulang sekolah terkadang aku pergi ke pantai yang jaraknya sekitar satu km dari rumah tempat tinggalku atau dua km dari sekolah. Selain untuk melepas penat dan refreshing, aku juga bisa menelfon atau mengakses internet di tempat itu. Di desa ini, pantai merupakan satu – satunya tempat dimana kita bisa mendapatkan sinyal telefon walaupun sangat lemah dan tidak stabil. Seolah – olah tempat ini menjadi sebuah wartel (Warung Telekomunikasi) gratis bagi masyarakat yang rata – rata sudah memiliki HP. Bagiku ini menjadi fenomena yang sangat lucu. Banyak orang yang sudah memiliki HP, akan tetapi di lingkungan tempat tinggalnya belum terdapat sinyal. Bisa dikatakan kecepatan perkembangan jaman tidak seimbang dengan kecepatan perkembangan sarana pendukungnya di desa ini. Sehingga situasi ketidakadilan terlihat jelas disini. Tapi aku tidak ingin terlalu serius memikirkan masalah ini. Dapat menelfon dan menanyakan kabar keluarga di rumah dan teman saja aku sudah sangat beruntung. Lagipula, pemandangan di pantai bisa menjadi sarana hiburan serta mencari inspirasi baru setelah berjibaku dengan rutinitas mengajar di sekolah. 


Di sekolah tempat aku bertugas, apel pagi wajib diadakan setiap hari sebelum siswa memasuki ruang kelasnya masing – masing. Aktifitas yang dilakukan saat apel adalah berbaris rapi di halaman sekolah dan mendengarkan ceramah guru serta do’a sebagai penutupnya. Selain ceramah, guru yang bertugas juga memiliki wewenang untuk memberikan hukuman bagi siswa yang terlambat atau melanggar aturan. Melalui kegiatan apel ini, aku mulai mendapat wawasan bagaimana para guru di sekolah ini memperlakukan siswanya saat mereka melakukan pelanggaran. Perlakuan keras kepada siswa sudah sangat umum dilakukan di sekolah ini. Pertama kali melihat kebiasaan seperti itu, aku merasa terkejut dan ingin rasanya protes. Dalam sebuah perbincangan ringan antar guru, aku sempat bertanya kepada guru yang pada hari itu sedang bertugas dalam apel,
“Ibu, menurut saya ibu tadi terlalu kasar pada siswa. Harusnya jangan seperti itu memperlakukan mereka.”
Dengan tersenyum simpul beliau menjawab, “hehe…..itu sudah biasa pak disni. Disini jangan dibandingkan dengan di jawa atau di kota. Anak – anak kalau tidak dikasih kasar dan keras, mereka tidak akan merubah sikap. Mereka itu kepala batu. Mereka juga sudah terbiasa diperlakukan sama oleh orang tua mereka di rumah.”
Sedikit kecewa dengan tanggapannya, kemudian aku menyanggah, “Terus bagaimana kalau nanti ada komplain atau protes dari orang tua mereka?”
 Beliau menambahkan, “justru orang tua sangat mendukung tindakan kami. Mereka bilang, kalau anak mereka nakal, pukul saja.”

Mendengarkan penjelasannya, aku hanya bisa diam dan meng -iyakan walaupun hati nurani tidak dapat menerimanya. Selain tidak bisa berbuat dan berkata apa - apa, aku juga seorang pendatang dan masih sangat awam dengan keadaan dan karakter masyarakat di desa ini. Intinya, di kampung ini, anak – anak sudah terbiasa diperlakukan kasar oleh orang tua dan gurunya.
Setelah apel pagi selesai, semua siswa masuk menuju kelasnya masing – masing. Aku masuk kelas sesuai dengan jadwal yang telah ditentukankan pada saat rapat guru sebelumnya. Hal yang paling aku ingat saat masuk kelas adalah sambutan meriah siswa yang penuh semangat dan atusias.
“Stand up, please!
Greeting, please!
Good morning, sir!”

Aku sangat gembira mendengar ucapan itu keluar spontan dari mulut mereka. Kemudian aku pun menjawab sambutan mereka dengan penuh antusias pula.
“Good morning, students.”
“Sit down!”
Mereka kembali merespon, “Thank you, sir!”

Aku merasa kata – kata yang mereka ucapkan itu penuh akan harapan dan cita – cita. Merekapun juga terlihat sangat senang memiliki guru bahasa Inggris baru di kelasnya. Tidak hanya baru, tetapi juga sedikit asing menurutnya karena berasal dari tempat lain. Sebelum pelajaran dimulai, seperti biasa aku mencoba memberikan wawasan kepada mereka berupa cerita pengalaman pribadi serta pentingnya menguasai Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari – hari agar mereka semakin termotivasi untuk mengikuti pelajaran dengan baik. Merekapun mendengarkan ceritaku dengan hikmat sekali. Aku sangat senang karena apa yang aku sampaikan didengarkan dan diperhatikan. Sesekali aku menyisipkan humor dalam ceritaku dan mereka tertawa lepas mendengarnya. 

Selang beberapa menit bercerita, saatnya fokus pada materi. Aku berharap dengan bercerita tadi, mereka dapat termotivasi untuk lebih berkonsentrasi pada materi yang akan aku sampaikan. Namun ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Saat aku mulai menjelaskan materi yang harus dipelajari pada hari itu,
“Nah sekarang saatnya kita mulai mencintai Bahasa Inggris dengan mempelajari materi kita pada hari ini, okay?”
Mereka malah berteriak,
“Cerita lagi pak guru…….. Cerita lagi!!”
Gawat, kalau aku bercerita terus, kapan masuk materinya? Akhirnya aku hanya bisa bilang kepada mereka,
“Ceritanya kita lanjutkan lain kali aja ya…….. Okay?”

Merekapun merenyutkan dahi menunjukkan kekecewaan mereka. Sebenarnya aku tidak ingin membuat mereka kecewa. Akan tetapi mau bagaimana lagi? Materi harus tetap diajarkan hari ini.

Aku menunggu siswa agar tenang terlebih dahulu sebelum pelajaran dimulai. Aku sangat yakin dalam hatiku bahwa setelah mendengar cerita tadi, semua siswa akan semangat mengikuti penjelasan materi yang aku sampaikan. Ternyata yang terjadi malah tidak sesuai harapan. Saat aku memberikan penjelasan, ada siswa yang mulai ngobrol sendiri dengan teman sebangkunya dan ada juga yang suka membuat kegaduhan untuk mencari perhatianku seperti menyanyi bahasa daerah mereka (Lio), melempar – lempar kertas, bermain batang bambu yang mereka bawa dari luar kelas, dsb. 

Seperti halnya guru pada umumnya, akupun mencoba untuk mengatur siswa yang membuat kegaduhan itu. Sesekali mereka tenang dan mengikuti perintahku. Namun beberapa menit kemudian mereka mulai membuat kegaduhan lagi. Dibalik kegaduhan kelas yang seperti itu, ternyata masih ada beberapa siswa yang serius dan antusias memperhatikan penjelasanku. Tiga orang diantara mereka adalah Helena, Ivan,dan Dinda. Akupun menjadi semangat kembali. Aku mulai mencari cara lain agar semua siswa di kelas menjadi tenang kembali. Aku memutuskan untuk menyisipkan cerita saat menyampaikan penjelasan tentang materi. Mereka mulai memperhatikan penjelasanku. Namun tak lama kemudian, kegaduhan itu muncul lagi. Tersangka utamanya adalah siswa yang duduk di bangku paling belakang. Kondisi ini berlangsung terus hingga jam pelajaran Bahasa Inggris berakhir.

Sepulangnya dari sekolah, aku mulai terus memikirkan tentang cara dan metode apa yang cocok buat mengajar materi untuk keesokan harinya. Tentu saja metode itu tidak seperti yang digunakan oleh guru lain di sekolah. Menurutku dengan cara keras seperti kebanyakan guru lakukan akan membuat siswa takut pada gurunya. Akibatnya mereka menjadi tidak suka dengan pelajarannya. Selain itu dengan tindakan kekerasan akan menimbulkan kesenjangan antara siswa dengan gurunya. Sebisa mungkin aku tidak ingin ada kekerasan dalam kelas yang aku ajar meskipun itu sudah menjadi hal yang lumrah di desa ini. Kemudian aku mencoba membuat beberapa permainan. Dengan karakter siswa yang suka bermain walaupun sedang di dalam kelas, aku berharap melalui permainan mereka akan lebih antusias mengikuti penjelasanku tanpa adanya kekerasan.
Sesampainya di sekolah, seperti biasa setelah apel, aku masuk kelas sesuai dengan jadwal. Didalam kelas, aku mulai menerapkan permainan yang telah aku siapkan. Permainan yang aku pakai berbentuk permainan kelompok agar semua siswa dapat terlibat. Misalnya permainan tebak kata dan komunikata. Dan hasilnya…… Alhamdulillah, sesuai dengan apa yang aku harapkan, semua siswa menyukai permainan itu. Aku cukup puas karena dengan permainan ini, semua siswa dapat menyukai pelajaranku. 

Dengan banyaknya materi Bahasa Inggris yang harus dipelajari dalam satu semester, tentu saja aku harus segera menyesuaikannya. Kemudian aku mengakhiri permainan itu dan melanjutkan penjelasan materi yang masih tertinggal. Namun yang terjadi malah mereka menjadi ketagihan akan permainan itu. Mempertimbangkan waktu pertemuan yang sangat singkat, mau tidak mau aku harus memfokuskan pada materi.
“Main lagi aja pak guru….main lagi…..” celoteh beberapa orang siswa.
Berharap memiliki waktu untuk penjelasan materi, aku hanya bisa bilang,
“Permainannya kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya aja ya….”
“Kita kembali ke materi dulu…okay?”

Merekapun akhirnya menuruti instruksiku. Kemudian aku kembali melanjutkan materi. 

Dengan permainanku tadi, aku berharap mereka akan lebih suka dan lebih antusias lagi mengikuti penjelasanku pada saat penyampaian materi. Namun tetap saja yang terjadi malah sebaliknya. Pada awalnya mereka suka, akan tetapi saat memasuki penjelasan yang lebih serius, mereka menjadi bosan dan enggan mendengarkan penjelasanku. Saat penjelasan materi, ada beberapa siswa yang berbicara dengan temannya, bermain - main dengan ballpoint, dan ada juga yang asyik bernyanyi dengan bahasa daerah mereka (Lio) yang aku sama sekali tidak mengerti.

Sesaat aku mulai berfikir, mungkin penjelasanku kurang menarik buat mereka. Akhirnya aku selipkan lagi cerita saat menyampaikannya. Dan aku juga sering menaikkan volume suaraku agar semua siswa yang duduk di belakang bisa mendengar. Aku merasa dengan volume suara yang tinggi, penjelasanku dapat lebih diikuti dengan baik oleh semua siswa. Terkadang aku juga mengajak mereka untuk bernyanyi. Sekali waktu memang mereka sangat memperhatikan penjelasanku. Namun saat mereka bosan, mereka kembali membuat kegaduhan lagi. Saat ini aku benar – benar pusing dibuatnya. Tapi aku harus tetap berusaha lebih kreatif lagi menciptakan metode pengajaran yang baru dan lebih menarik. Minimal ada beberapa materi yang siswa dapat kuasai. Pikirku.

Setelah cukup stress dengan kondisi kelas, perhatianku mulai tertuju pada tiga siswa yang paling berbeda dan unik, yaitu Helena, Ivan, dan Dinda. Berbeda sekali dengan siswa lainnya, dalam kondisi apapun tiga siswa yang spesial itu tetap tenang dan memperhatikan penjelasanku. Mereka sangat berbeda dari siswa lainnya. Ketika banyak siswa lain yang beberapa kali ijin untuk tidak mengikuti pelajaran, mereka masih menganggap bahwa mengikuti KBM di kelas itu merupakan sebuah kebutuhan. Suatu hari aku menyempatkan diri untuk mengecek presentase kehadiran mereka waktu di semester satu melalui buku absensi siswa. Tidak pernah aku temukan alpha atau ijin di kolom presensi mereka di setiap mata pelajaran. Akan tetapi yang lebih membuatku kagum lagi adalah semangat dan antusias mereka saat mengikuti proses kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Sikap dan karakter merekalah yang membuatku semakin bersemangat untuk mengajar. Bahkan dengan kondisi kelas yang sangat gaduh, aku tetap ingin mencoba meneruskan penjelasanku hingga materi selesai. Yah, walaupun hanya sedikit, paling tidak anak – anak bisa mendapatkan sesuatu pada pertemuan ini.

Selesai mengajar dan waktu istirahat tiba, sengaja aku menemui tiga siswa itu, Helena, Ivan, dan Dinda. Aku ingin lebih dekat mengenal pribadi anak – anak itu. Diantara siswa yang kurang peduli dan malas dengan belajar, mereka tetap memiliki pendirian sendiri untuk tidak seperti teman lainnya ataupun terpengaruh untuk mengikuti teman pada umumnya. Aku memutuskan untuk memanggil mereka bertiga untuk menemuiku sebelum pulang sekolah. 

Seperti harapanku, sebelum pulang sekolah, merekapun menemuiku di ruang perpustakaan. Kemudian aku bertanya beberapa hal kepada mereka layaknya guru Bimbingan dan Konseling (BK). Dengan beberapa pertanyaan yang aku ajukan, aku berharap bisa mengetahui keinginan, cita – cita, motivasi, dan masalah/ tantangan yang mereka hadapi saat belajar. Ternyata tiga orang siswa yang bercita – cita menjadi bidan, dokter, dan guru itu memiliki cara pandang yang luas untuk masa depannya, berbeda dengan teman – teman lainnya di kelas. 

Setelah mewawancarai mereka, aku juga memanggil beberapa siswa yang sering membuat onar dan kegaduhan di kelas. Menurutku mereka juga spesial. Aku berkeinginan untuk mewawancarai mereka pula. Aku ingin tahu lebih dalam tentang apa sebenarnya motif dan alasan mereka membuat kegaduhan di kelas.  Pasti ada alasan tertentu mengapa mereka bersikap seperti itu di kelas. Aku juga berharap untuk dapat memberikan pengarahan dan motivasi agar mereka bisa berubah. Siapa lagi kalau bukan tiga siswa yang duduk di bangku paling belakang, Samuel, Dandi, dan Ardian, sang pembuat onar. Diantara banyak siswa lain yang suka membuat kegaduhan, mereka inilah yang paling keras kepala dan merupakan pelaku utama dalam kasus. Aku bertanya beberapa hal kepada mereka satu per satu. Dan ternyata ada dua alasan utama kenapa mereka membuat kegaduhan, yaitu mencari perhatian guru dan temannya atau malas mengikuti Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM).

Setelah mengetahui alasannya, aku bertanya tentang cita – cita dan keinginan mereka di masa depannya. Ternyata antara Dandi dan Ardian, Samuel lah satu – satunya siswa yang tidak mau meneruskan sekolahnya lagi ke jenjang lebih tinggi. Dia bilang, dia ingin menjadi nelayan. Alasannya karena dia sudah malas untuk sekolah. Di sekolah banyak aturan, tugas, dan disuruh bekerja pula.
“Samuel, kamu sadar kan kegaduhan yang kamu buat sangat menganggu temanmu lain yang sedang belajar?”
Sambil tersenyum, Samuel pun menjawab, “Iya pak guru.”
“Kamu itu sebenarnya cerdas…. Kalau lulus nanti, kamu masih ingin melanjutkan sekolah lagi kan?”
Dengan santainya dia menjawab, “Malas pak guru. Saya mau cari ikan di laut saja.”

Berbeda dengan Samuel yang tidak mau lagi memikirkan sekolah, Dandi ingin menjadi guru. Sedangkan Ardian ingin sekolah di STM agar bisa bekerja di bengkel. Setelah mendengarkan keterangan dari mereka, aku berusaha memberikan wawasan, arahan, serta motivasi tentang konsekuensi memiliki keinginan dan cita – cita. Aku berharap mereka dapat menangkap maksudku sehingga mereka mau merubah perilakukanya di kelas. Aku juga menyampaikan kepada mereka bahwa terserah dengan keinginan kalian di masa depan nanti, yang penting sekarang kalian masih sekolah dan jangan mengganggu teman lainnya yang sedang belajar. 

Selain KBM di kelas, aku juga mengadakan study club khusus Bahasa Inggris untuk siswa tingkat SMP di kampung muslim, Watubara tempat tinggalku. Study club ini rencananya dilaksanakan satu kali dalam satu minggu. Tempat yang aku pilih adalah Masjid Nurul Hidayah dusun Watubara. Dusun ini merupakan satu – satunya kampung muslim di kecamatan. Satu minggu sebelum dilaksanakan study club, aku mengumumkannya waktu di sekolah. Kebanyakan siswa memilih hari kamis malam untuk jadwalnya. Dengan study club ini, harapannya siswa di dusun watubara memiliki kemampuan dan keterampilan bahasa inggris yang lebih baik. 

Waktu study club pun tiba. Aku putuskan untuk datang lebih awal setelah sholat isya di masjid. Namun setelah menunggu cukup lama, akhirnya hanya satu peserta yang datang. Walaupun hanya satu orang, tetap saja aku memulainya karena aku tidak ingin membuat siswa itu kecewa bila ditiadakan. Aku sangat suka sekali melihat semangat dan antusiasmenya mengikuti study club Bahasa Inggris.  Namun sayang, semangatnya itu tidak diikuti dengan kompetensinya dalam bahasa inggris padahal sudah kelas 8. Hal ini sudah dipastikan karena kurangnya latihan dan kebiasaan. Dan bisa dipastikan pula lingkungan keluarga dan masyarakat pun juga tidak mendukungnya. 

Menurutku, sebenarnya setiap anak itu cerdas dan kreatif. Tinggal bagaimana keluarga dan lingkunganlah yang membentuknya. Disini orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mengarahkan dan membimbing anak – anak mereka, apapun cita – cita dan keinginan mereka di masa depan. Masyarakat sekitarpun juga memiliki peran yang signifikan dalam menciptakan suasana agar anak - anak suka akan belajar dan memiliki rasa ingin tahu. Jika orang tua dan lingkungan masyarakat mendorong dan menciptakan suasana belajar yang baik, maka anak akan merasa nyaman dan lebih termotivasi untuk belajar pula. Namun jika keluarga dan masyarakat tidak mau tahu akan pendidikan anak atau istilahnya EPEN (Emang Penting) bahkan menyuruh anak – anak mereka untuk bekerja, maka yang terjadi adalah motivasi belajar anak itu menjadi lemah. Hal ini karena mereka terlalu banyak bekerja dan bermain sehingga waktu belajar mereka di rumah menjadi berkurang. Meskipun ada waktu untuk belajar, mereka sudah lelah dan capai setelah melakukan aktivitas bekerja dan bermain.

Menjadi guru pun juga sebenarnya tidak mudah. Dengan karakter psikologis siswa yang bermacam – macam, kita dituntut untuk bisa memahami, berempati, sabar, dan mencari inovasi – inovasi yang kreatif dan menarik setiap kalinya mengajar. Sehingga apa yang kita sampaikan disukai dan dipahami. Hanya orang – orang terpilih secara alami lah yang sebenarnya pantas menyandang predikat sebagai guru sejati. Bukan mereka yang berstatus PN (Pegawai Negeri) atau yang memiliki sertifikat pendidik formal ataupun mereka yang mendapat tunjangan sertifikasi. Akupun juga masih perlu banyak belajar dalam menjalani profesi mulia ini.

Selain itu dengan kondisi sarana dan prasarana yang tidak mendukung proses pendidikan, memperjelas situasi ketidakadilan dan kesenjangan di desa ini. Ini tentunya menjadi tanggung jawab kita semua termasuk pemerintah pusat dan daerah. Kita pastinya tidak ingin mengorbankan masa depan anak – anak kita. Karena mereka semua adalah anak bangsa yang merupakan bagian dari Negara kesatuan kita yang berhak mendapatkan pendidikan. Mereka semua adalah generasi pengganti kita kelak untuk memajukan Negara. Karena mereka memiliki segudang harapan……….. segudang harapan tersembunyi “Hidden Hopes” yang harus kita buka untuk bangsa ini.

Ende, 27 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar