Kutemukan Harapan itu
di Flores
(Sebuah Cerita Inspiratif Daerah
Terdepan, Terluar, dan Tertinggal)
Oleh Aziza Restu Febrianto
Mengajar di tempat – tempat baru dan terpencil merupakan
sebuah cita - cita yang ingin aku capai sejak dulu sewaktu kuliah. Apalagi
setelah membaca novel dan menonton film Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Aku
bersyukur bisa mendapatkan kesempatan itu dan ditempatkan di sebuah sekolah
yang menurut pemerintah berlokasi di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan
Tertinggal). Sekolah itu berada di sebuah desa terpencil di daratan pulau
Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebuah desa dimana mesin diesel dan generator
menjadi sumber utama arus listrik. Apa mau dikata, arus listrik dari PLN (Perusahaan
Listrik Negara) belum masuk di desa ini. Di sekolah ini tidak akan kita temukan
sebuah laboratorium komputer dimana siswa bisa praktik mengoperasikan komputer setiap
saat serta laboratorium bahasa yang mana siswa bisa berlatih Listening dengan penutur aslinya. Boro -
boro laboratorium komputer atau bahasa, ruang kelas yang ada saja masih bisa dikatakan
tidak memenuhi standar. Bahkan ruang gurupun juga tidak ada. Sehingga terpaksa
memanfaatkan ruang perpustakaan yang cukup sempit untuk digunakan sebagai ruang
rapat atau pertemuan para guru.
Namun keadaan sarana dan prasarana yang serba kekurangan ini
tidak menyurutkan semangat para guru dan siswa untuk tetap melangsungkan
kegiatan belajar dan mengajar di sekolah ini setiap harinya. Di sekolah ini,
aku mengajar kelas VII yang terdiri dari tiga kelas. Selama bertugas, aku merasa
telah mendapatkan banyak pelajaran dan inspirasi baru yang sangat berharga
dalam hidupku. Salah satu inspirasi itu aku dapatkan dari siswa dan siswi yang
aku ajar di sekolah. Diantaranya adalah Helena, Ivan, dan Dinda yang merupakan
siswa yang terajin di kelas 7. Sedangkan
yang lainnya adalah Samuel, Dandi, dan Ardian, sang pembuat onar tapi cerdas.
Hari – hari aku lalui dengan kegiatan mengajar di sekolah. Jika
ada waktu luang, sepulang sekolah terkadang aku pergi ke pantai yang jaraknya
sekitar satu km dari rumah tempat tinggalku atau dua km dari sekolah. Selain
untuk melepas penat dan refreshing, aku juga bisa menelfon atau mengakses internet
di tempat itu. Di desa ini, pantai merupakan satu – satunya tempat dimana kita
bisa mendapatkan sinyal telefon walaupun sangat lemah dan tidak stabil. Seolah
– olah tempat ini menjadi sebuah wartel (Warung Telekomunikasi) gratis bagi
masyarakat yang rata – rata sudah memiliki HP. Bagiku ini menjadi fenomena yang
sangat lucu. Banyak orang yang sudah memiliki HP, akan tetapi di lingkungan
tempat tinggalnya belum terdapat sinyal. Bisa dikatakan kecepatan perkembangan
jaman tidak seimbang dengan kecepatan perkembangan sarana pendukungnya di desa
ini. Sehingga situasi ketidakadilan terlihat jelas disini. Tapi aku tidak ingin
terlalu serius memikirkan masalah ini. Dapat menelfon dan menanyakan kabar
keluarga di rumah dan teman saja aku sudah sangat beruntung. Lagipula,
pemandangan di pantai bisa menjadi sarana hiburan serta mencari inspirasi baru
setelah berjibaku dengan rutinitas mengajar di sekolah.
Di sekolah tempat aku bertugas, apel pagi wajib diadakan
setiap hari sebelum siswa memasuki ruang kelasnya masing – masing. Aktifitas
yang dilakukan saat apel adalah berbaris rapi di halaman sekolah dan
mendengarkan ceramah guru serta do’a sebagai penutupnya. Selain ceramah, guru
yang bertugas juga memiliki wewenang untuk memberikan hukuman bagi siswa yang
terlambat atau melanggar aturan. Melalui kegiatan apel ini, aku mulai mendapat
wawasan bagaimana para guru di sekolah ini memperlakukan siswanya saat mereka melakukan
pelanggaran. Perlakuan keras kepada siswa sudah sangat umum dilakukan di
sekolah ini. Pertama kali melihat kebiasaan seperti itu, aku merasa terkejut
dan ingin rasanya protes. Dalam sebuah perbincangan ringan antar guru, aku
sempat bertanya kepada guru yang pada hari itu sedang bertugas dalam apel,
“Ibu, menurut saya ibu tadi terlalu
kasar pada siswa. Harusnya jangan seperti itu memperlakukan mereka.”
Dengan tersenyum simpul beliau
menjawab, “hehe…..itu sudah biasa pak disni. Disini jangan dibandingkan dengan
di jawa atau di kota. Anak – anak kalau tidak dikasih kasar dan keras, mereka
tidak akan merubah sikap. Mereka itu kepala batu. Mereka juga sudah terbiasa
diperlakukan sama oleh orang tua mereka di rumah.”
Sedikit kecewa dengan tanggapannya, kemudian
aku menyanggah, “Terus bagaimana kalau nanti ada komplain atau protes dari
orang tua mereka?”
Beliau menambahkan, “justru orang tua sangat
mendukung tindakan kami. Mereka bilang, kalau anak mereka nakal, pukul saja.”
Mendengarkan penjelasannya, aku hanya bisa diam dan meng -iyakan
walaupun hati nurani tidak dapat menerimanya. Selain tidak bisa berbuat dan berkata
apa - apa, aku juga seorang pendatang dan masih sangat awam dengan keadaan dan
karakter masyarakat di desa ini. Intinya, di kampung ini, anak – anak sudah
terbiasa diperlakukan kasar oleh orang tua dan gurunya.
Setelah apel pagi selesai, semua siswa masuk menuju kelasnya
masing – masing. Aku masuk kelas sesuai dengan jadwal yang telah ditentukankan
pada saat rapat guru sebelumnya. Hal yang paling aku ingat saat masuk kelas
adalah sambutan meriah siswa yang penuh semangat dan atusias.
“Stand up, please!
Greeting, please!
Good morning, sir!”
Aku sangat gembira mendengar ucapan itu keluar spontan dari
mulut mereka. Kemudian aku pun menjawab sambutan mereka dengan penuh antusias
pula.
“Good morning, students.”
“Sit down!”
Mereka kembali merespon, “Thank you,
sir!”
Aku merasa kata – kata yang mereka ucapkan itu penuh akan
harapan dan cita – cita. Merekapun juga terlihat sangat senang memiliki guru
bahasa Inggris baru di kelasnya. Tidak hanya baru, tetapi juga sedikit asing
menurutnya karena berasal dari tempat lain. Sebelum pelajaran dimulai, seperti
biasa aku mencoba memberikan wawasan kepada mereka berupa cerita pengalaman
pribadi serta pentingnya menguasai Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari – hari
agar mereka semakin termotivasi untuk mengikuti pelajaran dengan baik. Merekapun
mendengarkan ceritaku dengan hikmat sekali. Aku sangat senang karena apa yang
aku sampaikan didengarkan dan diperhatikan. Sesekali aku menyisipkan humor
dalam ceritaku dan mereka tertawa lepas mendengarnya.
Selang beberapa menit bercerita, saatnya fokus pada materi.
Aku berharap dengan bercerita tadi, mereka dapat termotivasi untuk lebih berkonsentrasi
pada materi yang akan aku sampaikan. Namun ternyata yang terjadi justru
sebaliknya. Saat aku mulai menjelaskan materi yang harus dipelajari pada hari
itu,
“Nah sekarang saatnya kita mulai
mencintai Bahasa Inggris dengan mempelajari materi kita pada hari ini, okay?”
Mereka malah berteriak,
“Cerita lagi pak guru…….. Cerita
lagi!!”
Gawat, kalau aku bercerita terus, kapan masuk materinya?
Akhirnya aku hanya bisa bilang kepada mereka,
“Ceritanya kita lanjutkan lain kali
aja ya…….. Okay?”
Merekapun merenyutkan dahi menunjukkan kekecewaan mereka.
Sebenarnya aku tidak ingin membuat mereka kecewa. Akan tetapi mau bagaimana
lagi? Materi harus tetap diajarkan hari ini.
Aku menunggu siswa agar tenang terlebih dahulu sebelum pelajaran
dimulai. Aku sangat yakin dalam hatiku bahwa setelah mendengar cerita tadi,
semua siswa akan semangat mengikuti penjelasan materi yang aku sampaikan. Ternyata
yang terjadi malah tidak sesuai harapan. Saat aku memberikan penjelasan, ada
siswa yang mulai ngobrol sendiri dengan teman sebangkunya dan ada juga yang
suka membuat kegaduhan untuk mencari perhatianku seperti menyanyi bahasa daerah
mereka (Lio), melempar – lempar kertas, bermain batang bambu yang mereka bawa
dari luar kelas, dsb.
Seperti halnya guru pada umumnya, akupun mencoba untuk mengatur
siswa yang membuat kegaduhan itu. Sesekali mereka tenang dan mengikuti
perintahku. Namun beberapa menit kemudian mereka mulai membuat kegaduhan lagi. Dibalik
kegaduhan kelas yang seperti itu, ternyata masih ada beberapa siswa yang serius
dan antusias memperhatikan penjelasanku. Tiga orang diantara mereka adalah
Helena, Ivan,dan Dinda. Akupun menjadi semangat kembali. Aku mulai mencari cara
lain agar semua siswa di kelas menjadi tenang kembali. Aku memutuskan untuk
menyisipkan cerita saat menyampaikan penjelasan tentang materi. Mereka mulai
memperhatikan penjelasanku. Namun tak lama kemudian, kegaduhan itu muncul lagi.
Tersangka utamanya adalah siswa yang duduk di bangku paling belakang. Kondisi
ini berlangsung terus hingga jam pelajaran Bahasa Inggris berakhir.
Sepulangnya dari sekolah, aku mulai terus memikirkan tentang
cara dan metode apa yang cocok buat mengajar materi untuk keesokan harinya. Tentu
saja metode itu tidak seperti yang digunakan oleh guru lain di sekolah.
Menurutku dengan cara keras seperti kebanyakan guru lakukan akan membuat siswa
takut pada gurunya. Akibatnya mereka menjadi tidak suka dengan pelajarannya. Selain
itu dengan tindakan kekerasan akan menimbulkan kesenjangan antara siswa dengan
gurunya. Sebisa mungkin aku tidak ingin ada kekerasan dalam kelas yang aku ajar
meskipun itu sudah menjadi hal yang lumrah di desa ini. Kemudian aku mencoba
membuat beberapa permainan. Dengan karakter siswa yang suka bermain walaupun
sedang di dalam kelas, aku berharap melalui permainan mereka akan lebih
antusias mengikuti penjelasanku tanpa adanya kekerasan.
Sesampainya di sekolah, seperti biasa setelah apel, aku masuk
kelas sesuai dengan jadwal. Didalam kelas, aku mulai menerapkan permainan yang
telah aku siapkan. Permainan yang aku pakai berbentuk permainan kelompok agar
semua siswa dapat terlibat. Misalnya permainan tebak kata dan komunikata. Dan
hasilnya…… Alhamdulillah, sesuai dengan apa yang aku harapkan, semua siswa
menyukai permainan itu. Aku cukup puas karena dengan permainan ini, semua siswa
dapat menyukai pelajaranku.
Dengan banyaknya materi Bahasa Inggris yang harus dipelajari
dalam satu semester, tentu saja aku harus segera menyesuaikannya. Kemudian aku
mengakhiri permainan itu dan melanjutkan penjelasan materi yang masih
tertinggal. Namun yang terjadi malah mereka menjadi ketagihan akan permainan
itu. Mempertimbangkan waktu pertemuan yang sangat singkat, mau tidak mau aku
harus memfokuskan pada materi.
“Main lagi aja pak guru….main
lagi…..” celoteh beberapa orang siswa.
Berharap
memiliki waktu untuk penjelasan materi, aku hanya bisa bilang,
“Permainannya kita lanjutkan pada
pertemuan berikutnya aja ya….”
“Kita kembali ke materi dulu…okay?”
Merekapun akhirnya menuruti instruksiku. Kemudian aku kembali
melanjutkan materi.
Dengan permainanku tadi, aku berharap mereka akan lebih suka
dan lebih antusias lagi mengikuti penjelasanku pada saat penyampaian materi.
Namun tetap saja yang terjadi malah sebaliknya. Pada awalnya mereka suka, akan
tetapi saat memasuki penjelasan yang lebih serius, mereka menjadi bosan dan
enggan mendengarkan penjelasanku. Saat penjelasan materi, ada beberapa siswa
yang berbicara dengan temannya, bermain - main dengan ballpoint, dan ada juga
yang asyik bernyanyi dengan bahasa daerah mereka (Lio) yang aku sama sekali tidak
mengerti.
Sesaat aku mulai berfikir, mungkin penjelasanku kurang
menarik buat mereka. Akhirnya aku selipkan lagi cerita saat menyampaikannya.
Dan aku juga sering menaikkan volume suaraku agar semua siswa yang duduk di
belakang bisa mendengar. Aku merasa dengan volume suara yang tinggi,
penjelasanku dapat lebih diikuti dengan baik oleh semua siswa. Terkadang aku
juga mengajak mereka untuk bernyanyi. Sekali waktu memang mereka sangat
memperhatikan penjelasanku. Namun saat mereka bosan, mereka kembali membuat
kegaduhan lagi. Saat ini aku benar – benar pusing dibuatnya. Tapi aku harus
tetap berusaha lebih kreatif lagi menciptakan metode pengajaran yang baru dan
lebih menarik. Minimal ada beberapa materi yang siswa dapat kuasai. Pikirku.
Setelah cukup stress dengan kondisi kelas, perhatianku mulai tertuju
pada tiga siswa yang paling berbeda dan unik, yaitu Helena, Ivan, dan Dinda. Berbeda
sekali dengan siswa lainnya, dalam kondisi apapun tiga siswa yang spesial itu
tetap tenang dan memperhatikan penjelasanku. Mereka sangat berbeda dari siswa
lainnya. Ketika banyak siswa lain yang beberapa kali ijin untuk tidak mengikuti
pelajaran, mereka masih menganggap bahwa mengikuti KBM di kelas itu merupakan
sebuah kebutuhan. Suatu hari aku menyempatkan diri untuk mengecek presentase
kehadiran mereka waktu di semester satu melalui buku absensi siswa. Tidak
pernah aku temukan alpha atau ijin di kolom presensi mereka di setiap mata
pelajaran. Akan tetapi yang lebih membuatku kagum lagi adalah semangat dan
antusias mereka saat mengikuti proses kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Sikap
dan karakter merekalah yang membuatku semakin bersemangat untuk mengajar.
Bahkan dengan kondisi kelas yang sangat gaduh, aku tetap ingin mencoba meneruskan
penjelasanku hingga materi selesai. Yah, walaupun hanya sedikit, paling tidak
anak – anak bisa mendapatkan sesuatu pada pertemuan ini.
Selesai mengajar dan waktu istirahat tiba, sengaja aku
menemui tiga siswa itu, Helena, Ivan, dan Dinda. Aku ingin lebih dekat mengenal
pribadi anak – anak itu. Diantara siswa yang kurang peduli dan malas dengan
belajar, mereka tetap memiliki pendirian sendiri untuk tidak seperti teman
lainnya ataupun terpengaruh untuk mengikuti teman pada umumnya. Aku memutuskan
untuk memanggil mereka bertiga untuk menemuiku sebelum pulang sekolah.
Seperti harapanku, sebelum pulang sekolah, merekapun
menemuiku di ruang perpustakaan. Kemudian aku bertanya beberapa hal kepada
mereka layaknya guru Bimbingan dan Konseling (BK). Dengan beberapa pertanyaan
yang aku ajukan, aku berharap bisa mengetahui keinginan, cita – cita, motivasi,
dan masalah/ tantangan yang mereka hadapi saat belajar. Ternyata tiga orang
siswa yang bercita – cita menjadi bidan, dokter, dan guru itu memiliki cara pandang
yang luas untuk masa depannya, berbeda dengan teman – teman lainnya di kelas.
Setelah mewawancarai mereka, aku juga memanggil beberapa
siswa yang sering membuat onar dan kegaduhan di kelas. Menurutku mereka juga
spesial. Aku berkeinginan untuk mewawancarai mereka pula. Aku ingin tahu lebih
dalam tentang apa sebenarnya motif dan alasan mereka membuat kegaduhan di
kelas. Pasti ada alasan tertentu mengapa
mereka bersikap seperti itu di kelas. Aku juga berharap untuk dapat memberikan pengarahan
dan motivasi agar mereka bisa berubah. Siapa lagi kalau bukan tiga siswa yang
duduk di bangku paling belakang, Samuel, Dandi, dan Ardian, sang pembuat onar. Diantara
banyak siswa lain yang suka membuat kegaduhan, mereka inilah yang paling keras
kepala dan merupakan pelaku utama dalam kasus. Aku bertanya beberapa hal kepada
mereka satu per satu. Dan ternyata ada dua alasan utama kenapa mereka membuat
kegaduhan, yaitu mencari perhatian guru dan temannya atau malas mengikuti
Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM).
Setelah mengetahui alasannya, aku bertanya tentang cita –
cita dan keinginan mereka di masa depannya. Ternyata antara Dandi dan Ardian,
Samuel lah satu – satunya siswa yang tidak mau meneruskan sekolahnya lagi ke
jenjang lebih tinggi. Dia bilang, dia ingin menjadi nelayan. Alasannya karena
dia sudah malas untuk sekolah. Di sekolah banyak aturan, tugas, dan disuruh
bekerja pula.
“Samuel, kamu sadar kan kegaduhan
yang kamu buat sangat menganggu temanmu lain yang sedang belajar?”
Sambil tersenyum, Samuel pun menjawab,
“Iya pak guru.”
“Kamu itu sebenarnya cerdas…. Kalau
lulus nanti, kamu masih ingin melanjutkan sekolah lagi kan?”
Dengan santainya dia menjawab, “Malas
pak guru. Saya mau cari ikan di laut saja.”
Berbeda dengan Samuel yang tidak mau lagi memikirkan sekolah,
Dandi ingin menjadi guru. Sedangkan Ardian ingin sekolah di STM agar bisa
bekerja di bengkel. Setelah mendengarkan keterangan dari mereka, aku berusaha
memberikan wawasan, arahan, serta motivasi tentang konsekuensi memiliki
keinginan dan cita – cita. Aku berharap mereka dapat menangkap maksudku
sehingga mereka mau merubah perilakukanya di kelas. Aku juga menyampaikan
kepada mereka bahwa terserah dengan keinginan kalian di masa depan nanti, yang
penting sekarang kalian masih sekolah dan jangan mengganggu teman lainnya yang
sedang belajar.
Selain KBM di kelas, aku juga mengadakan study club khusus Bahasa Inggris untuk siswa tingkat SMP di kampung
muslim, Watubara tempat tinggalku. Study
club ini rencananya dilaksanakan satu kali dalam satu minggu. Tempat yang
aku pilih adalah Masjid Nurul Hidayah dusun Watubara. Dusun ini merupakan satu
– satunya kampung muslim di kecamatan. Satu minggu sebelum dilaksanakan study club, aku mengumumkannya waktu di
sekolah. Kebanyakan siswa memilih hari kamis malam untuk jadwalnya. Dengan study club ini, harapannya siswa di
dusun watubara memiliki kemampuan dan keterampilan bahasa inggris yang lebih
baik.
Waktu study club
pun tiba. Aku putuskan untuk datang lebih awal setelah sholat isya di masjid. Namun
setelah menunggu cukup lama, akhirnya hanya satu peserta yang datang. Walaupun
hanya satu orang, tetap saja aku memulainya karena aku tidak ingin membuat
siswa itu kecewa bila ditiadakan. Aku sangat suka sekali melihat semangat dan
antusiasmenya mengikuti study club
Bahasa Inggris. Namun sayang,
semangatnya itu tidak diikuti dengan kompetensinya dalam bahasa inggris padahal
sudah kelas 8. Hal ini sudah dipastikan karena kurangnya latihan dan kebiasaan.
Dan bisa dipastikan pula lingkungan keluarga dan masyarakat pun juga tidak mendukungnya.
Menurutku, sebenarnya setiap anak itu cerdas dan kreatif.
Tinggal bagaimana keluarga dan lingkunganlah yang membentuknya. Disini orang
tua memiliki peran yang sangat penting dalam mengarahkan dan membimbing anak –
anak mereka, apapun cita – cita dan keinginan mereka di masa depan. Masyarakat
sekitarpun juga memiliki peran yang signifikan dalam menciptakan suasana agar
anak - anak suka akan belajar dan memiliki rasa ingin tahu. Jika orang tua dan
lingkungan masyarakat mendorong dan menciptakan suasana belajar yang baik, maka
anak akan merasa nyaman dan lebih termotivasi untuk belajar pula. Namun jika
keluarga dan masyarakat tidak mau tahu akan pendidikan anak atau istilahnya
EPEN (Emang Penting) bahkan menyuruh anak – anak mereka untuk bekerja, maka
yang terjadi adalah motivasi belajar anak itu menjadi lemah. Hal ini karena
mereka terlalu banyak bekerja dan bermain sehingga waktu belajar mereka di
rumah menjadi berkurang. Meskipun ada waktu untuk belajar, mereka sudah lelah
dan capai setelah melakukan aktivitas bekerja dan bermain.
Menjadi guru pun juga sebenarnya tidak mudah. Dengan karakter
psikologis siswa yang bermacam – macam, kita dituntut untuk bisa memahami,
berempati, sabar, dan mencari inovasi – inovasi yang kreatif dan menarik setiap
kalinya mengajar. Sehingga apa yang kita sampaikan disukai dan dipahami. Hanya
orang – orang terpilih secara alami lah yang sebenarnya pantas menyandang
predikat sebagai guru sejati. Bukan mereka yang berstatus PN (Pegawai Negeri)
atau yang memiliki sertifikat pendidik formal ataupun mereka yang mendapat
tunjangan sertifikasi. Akupun juga masih perlu banyak belajar dalam menjalani
profesi mulia ini.
Selain itu dengan kondisi sarana dan prasarana yang tidak
mendukung proses pendidikan, memperjelas situasi ketidakadilan dan kesenjangan
di desa ini. Ini tentunya menjadi tanggung jawab kita semua termasuk pemerintah
pusat dan daerah. Kita pastinya tidak ingin mengorbankan masa depan anak – anak
kita. Karena mereka semua adalah anak bangsa yang merupakan bagian dari Negara
kesatuan kita yang berhak mendapatkan pendidikan. Mereka semua adalah generasi
pengganti kita kelak untuk memajukan Negara. Karena mereka memiliki segudang
harapan……….. segudang harapan tersembunyi “Hidden Hopes” yang harus kita buka untuk
bangsa ini.
Ende, 27 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar