Udin
“Anak Udik Gaya Metropolis”
(Sebuah Cerita pendek
Inspirasi Nyata Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal)
Oleh Aziza Restu
Febrianto
Namaku Margono. Aku adalah seorang
guru kontrak kelahiran kota Semarang yang mendapatkan tugas mengajar selama satu
tahun di daerah 3T (Terdepan, Tertinggal, dan Terluar), tepatnya di Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Aku sangat bahagia sekali bisa mengabdikan diri dan mengamalkan
ilmuku di tempat ini. Selain pengalaman, tentu saja banyak juga pelajaran
berharga yang akan aku dapatkan selama bertugas. Sebenarnya keinginan mengajar
didaerah terpencil dan tertinggal sudah menjadi impianku saat aku kuliah.
Melalui informasi yang aku peroleh, di daerah yang jauh dari jangkaun orang itu
sangat kekurangan guru. Banyak guru yang tidak mau ditempatkan disitu. Kalau
tidak ada guru yang mengajar, lalu bagaimana nasib para siswanya? Dan sekarang
impian itu menjadi kenyataan!
Saat pertama kali mengetahui
bahwa aku akan bertugas di NTT, pikiranku langsung melayang – layang, membayangkan
seperti apa tempat itu. Namanya saja daerah 3T, pasti itu adalah tempat yang
jauh dari keramaian dan kota atau benar – benar kampung sekali. Bahkan mungkin
saja tidak ada listrik dan sinyal.
&&&&&&&&&
Tak terasa, akhirnya aku tiba
juga di tempat tugas. Dan ternyata seperti yang aku duga sebelumnya. Sekolah tempat
tugasku itu berada di sebuah kampung yang sangat terpencil di daratan pulau
Flores, NTT. Selama di perjalanan, aku jarang sekali melihat rumah dan sawah.
Yang sering terlihat adalah kebun, hutan, bukit, dan sungai. Selain terpencil,
di kampung ini juga tidak ada listrik dan sinyal HP. Jadi suasananya benar – benar sangat sepi,
sunyi, dan udik sekali. Tapi pemandangannya sungguh menakjubkan. Jujur, aku tidak
pernah melihat pemandangan seindah ini sebelumnya.
Aku tinggal disebuah rumah milik
salah satu penduduk di kampung itu. Di siang hari, aku masih merasakan suasana
yang biasa dengan pemandangan kampung yang mempesona. Namun saat memasuki
malam, aku benar – benar terkejut! Bagaimana tidak? Selama ini aku sudah
terbiasa hidup dengan cahaya terang dan listrik yang menyala terus menerus
selama 24 jam setiap hari. Selain itu sinyal juga full sehingga ketika aku sedang merasa kesepian tinggal telfon dan sms
teman, atau main internet. Tapi sekarang aku harus hidup dalam kegelapan dan
tidak ada satupun yang bisa aku lakukan selain tidur dan mendengarkan radio.
Satu – satunya sumber cahaya yang bisa aku upayakan adalah senter dan lampu pelita.
Sebelum istirahat dan tidur, aku menyempatkan diri untuk bercengkrama sebentar dengan
warga sekitar sembari memperkenalkan diri.
“Selamat malam,
Bapak.” ucapan salamku sebagai tanda membuka sebuah percakapan.
“Malam, mas.” Salah
seorang bapak paruh baya menyambut kedatanganku dengan sangat ramah. Ternyata
bapak tua itu bukan kerabat sang pemilik rumah melainkan tetangga.
“Bapak tinggal
dimana?” tanyaku.
“Saya tinggal di rumah sebelah, mas.” Dia menjawab
pertanyaanku dengan senyum mengembang. Sepertinya percakapan ini semakin
menarik untuk dilanjutkan. Namun sebelum aku memulainya, ternyata dia lebih
duluan bertanya padaku.
“Mas dari Jawa ya?”
pertanyaannya itu menandakan seolah – olah orang jawa itu mudah sekali dikenali.
Mungkin lewat logat atau gaya bahasa yang aku gunakan.
“Iya, bapak.”
Jawabku.
“Berapa lama rencana
tinggal disini?” lanjutnya.
“Satu tahun, pak.”
Jelasku.
“Wah, lumayan lama ya
mas. Yah, beginilah Flores mas. Banyak tempat yang belum mendapatkan jatah
listrik dari PLN.” Pernyataannya ini menunukkan seolah – olah dia tahu apa yang
aku rasakan sekarang.
Tak lama kemudian dia
menambahkan, “Tapi kita disini pakai generator kok mas. Jadi ya bisa terang
walaupun hanya 4 jam saja. Bisa nonton TV juga.”
Setelah mendengar
penjelasannya, aku malah jadi heran, “Terus kenapa sekarang masih gelap pak?
Katanya memakai generator.”
“Kebetulan sedang
rusak, mas.” Jelasnya.
“Oh…begitu.” Keluhku
dengan sedikit kecewa.
Kitapun terbuai dalam sebuah
obrolan yang menyenangkan ditemani kopi, kue, dan lampu pelita. Obrolan itu
lebih banyak berkaitan dengan suasana kampung dan sekolah tempat aku bertugas.
Setelah agak lama mengobrol, tiba – tiba terdengar suara mesin diesel yang berada
tidak jauh dari rumah, mungkin sekitar 100 meter. Setelah itu diikuti dengan
lampu pijar yang menyala terang. Aku mendengar beberapa orang mengucap “Puji
Tuhan.” Sebuah tanda kebahagiaan karena listrik sudah menyala. Tak lama
kemudian banyak anak – anak kecil dan ibu - ibu mulai berdatangan ke rumah. Lalu
orang tua itu tiba - tiba membuka almari berisi TV kemudian menyalakannya.
“Hah, ada TV?” gumamku
dalam hati. Ternyata ada lagi sesuatu yang mengejutkanku. TV!
“Anak – anak sering
menonton TV disini ya bapak?” tanyaku penasaran sekaligus untuk memastikan
apakah obrolan kita masih bisa dilanjutkan apa tidak.
“Iya mas… Kalau
listrik dari generator sudah menyala, anak – anak langsung kesini untuk nonton
TV.” Jawabnya dengan jelas. Tanda bahwa dia masih bisa diajak untuk mengobrol.
Aku sangat terkejut….. benar –
benar terkejut. Ditempat kampung dengan listrik terbatas ini, orang – orang
masih sempat juga membeli dan menonton TV…..hemm. Namanya juga hiburan. Seperti
orang pada umumnya, TV merupakan sarana hiburan pelepas penat dan lelah setelah
seharian bekerja. Begitu juga dengan masyarakat di kampung ini. Mungkin dengan
menonton TV, beban hidup mereka terasa lebih ringan. Selain itu suasana
kebersamaan dan kekeluargaan menjadi lebih terasa saat menonton TV bersama.
Karena seharian melakukan
perjalanan jauh dari kota menuju kampung ini, akupun merasa kecapaian. Aku
berpamitan pada bapak tua dan ibu – ibu yang sedang menonton TV itu untuk masuk
ke kamarku dan istirahat. Akupun merebahkan tubuhku di kasur sambil
mendengarkan radio sampai akhirnya tertidur pulas.
&&&&&&&&&
Pagipun tiba. Kusibakkan tirai
jendela dan terlihatlah cahaya matahari yang sudah menguning diantara pepohonan
lebat disamping kamarku. Karena sangat kelelahan, aku bangun kesiangan. Tanpa
menunggu lama, aku langsung bergegas ke kamar mandi, kemudian sholat shubuh.
Aku teringat akan pesan kepala sekolah kemarin saat pertama kali bertemu dengannya.
Dia berjanji akan memperkenalkanku pada seseorang. Namanya Udin, anak dari
rekan gurunya. Katanya dia yang akan mengantar dan menemaniku berkeliling desa
dengan motornya untuk melihat lingkungan sekitar serta mengenal lebih dalam
kehidupan masyarakat di kampung. Sehingga aku harus segera mandi dan merapikan
diri sebelum bertemu dengan dia hari ini.
Belum sempat selesai mandi, bapak
kepala sekolah ternyata sudah datang ke rumah. Akupun bergegas masuk kamar dan
secepatnya merapikan diri. Ternyata dia tidak bohong. Dia berkunjung ke rumah
tidak sendirian. Berarti dia bersama Udin.
“Mas….mas…..ini bapak
Stevan sudah datang.” Kata bapak tua, sang pemilik rumah.
“Iya pak. Tunggu
sebentar.” Kataku sambil terburu – buru memakai celana.
Bapak kepala Sekolah tempat aku
mengajar namanya Stevan. Nama lengkapnya Stevanus Martinus Siga. Beliau tinggal
tidak jauh dari sekolah. Hanya sekitar 500 meter dari sekolah. selain sangat
ramah, beliau juga merupakan seorang umat Katolik yang taat.
Setelah memakai pakaian yang
rapi, akupun langsung menemuinya di ruang tamu. Seperti dugaanku sebelumnya,
dia memang tidak sendirian. Tapi saat pertama kali melihat pak Stevan dan
temannya, Udin, aku justru malah terkejut.
“Apakah ini yang
namanya Udin?” ucapku dalam hati.
Kemarin ketika pak Stevan
bercerita kepadaku tentang anak lelaki remaja itu, yang langsung muncul dalam
benakku adalah seorang anak kampung yang sederhana dan bersahaja seperti halnya
kebanyakan anak kampung lainnya. Tapi yang aku lihat ini sungguh berbeda dan bahkan
berkebalikan dari dugaanku. Melihat
penampilannya, dia seperti layaknya bintang film atau penyanyi papan atas
dunia. Rambutnya yang cepak seperti bulu landak dan berminyak mirip penyanyi
rock metal asal Amerika Simple Plan
atau Linkin’ Park. Kulitnya yang
gelap mengkilat membuatnya seperti penyanyi pop terkenal Amerika, Usher.
Gayanya yang trendi, bertato serta kaos, kalung, anting, dan celana pensil yang
dia pakai memberikan kesan bahwa dia sama sekali bukan anak kampung, tapi a guy
asal metropolitan.
Akhirnya akupun langsung
berkenalan dengan dia.
“Pagi, pak!”
sebelum aku memulai perkenalan,
ternyata dia malah lebih dahulu menyapaku dengan senyum yang sangat ramah
sekali. Aku tak menyangka, ternyata dia orang yang baik dan sopan juga.
“Pagi!” sahutku.
“Saya Margono, biasa
dipanggil Margo.” Aku memperkenalkan diri sambil mengajaknya bersalaman.
“Di kampung ini saya
biasa dipanggil Udin, pak Margo.” Tekas Udin dengan senyum khasnya.
“Nama aslinya Mathias
Urdentus Bawa.” Lanjut pak Stevan memotong pembicaraan.
Mendengar perkataan pak Stevan,
spontan aku langsung tertawa. Bagaimana bisa nama yang rumit itu dibuat menjadi
singkat dan unik seperti Udin. Hahahaha.
Namun tawaku tak membuat si Udin
marah, justru dia ikut tertawa juga. Kami semua akhirnya tertawa lepas bersama.
Karena pertimbangan waktu, maka
sesuai janjinya, pak Stevan mempersilahkan kami berdua untuk jalan – jalan
mengelilingi kampung dengan menggunakan motor. Beliau ingin aku mengenal kehidupan
dan lingkungan sekitar kampung terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasku di
sekolah. Langsung saja Udin mengajakku untuk naik ke motornya. Dan ternyata aku
dikejutkan lagi dengan motor kepunyaan Udin. Motornya ini pasti harganya mahal.
Motornya besar, mungkin kapasitas mesinnya sekitar 200 cc. Penampilan Udin dan
motor yang ia miliki semakin melengkapkan dirinya untuk layak sebagai artis ibu
kota. Mungkin sebenarnya Udin adalah seorang pembalab asal Flores kali ya…haha.
Pikirku dengan senyum – senyum sendiri di belakang Udin.
“Ayo, pak guru…..
tunggu apa lagi?” pintanya dengan senyuman gaul yang khas. Mungkin dia tahu apa
yang sedang aku pikirkan dan rasakan mengenai dirinya dan motornya. Seperti
halnya orang – orang di kampung, Udin memanggilku dengan sebutan pak guru.
Dengan panggilan itu, aku merasa sangat
tersanjung dan terhormat.
“Kita mau kemana dulu
mas?” tanyaku sedikit penasaran.
“Sebelum keliling
kampung, pak guru saya ajak ke saya punya rumah dulu. Saya mau ambil saya punya
HP pak.” Jawabnya dengan nada dan logat khas orang Flores.
“Okay…..memang
rumahnya dimana mas? Jauh tidak dari sini?” tanyaku penasaran.
“Tidak jauh pak guru…”jawabnya
singkat.
“Emang kira – kira
berapa lama kita sampai disana?” tanyaku memastikan.
“Dekat saja kok pak….Cuma
30 menit dari sini.”
“Apa?...setengah
jam?..Bercanda kamu mas!” jawabku dengan sangat kaget.
“Santai saja saja pak
guru……………Tenang!” Jawabnya santai sembari menenangkanku.
“Oke deh, terserah
mas Udin.”
Udin pun langsung men-starter
motor besarnya dan aku membonceng di belakang. Aku merasa anak remaja ini sudah
sangat mahir sekali mengendarai motor besar. Padahal usianya masih sangat muda,
sekitar 6 tahun dibawahku. Selama di perjalanan, kami mengobrol. Dia bercerita
tentang dirinya dan keluarganya. Ternyata Udin adalah anak satu – satunya dalam
keluarga. Bapaknya adalah seorang guru pegawai negeri. Sedangkan ibunya adalah
ibu rumah tangga yang memiliki kebun dan sawah yang luas warisan dari neneknya.
Sehingga keluarganya ini bisa tergolong sejahtera dan sangat mampu. Namun
sayang, dengan kondisi ekonomi keluarganya yang mapan, dia putus sekolah. Dia
sudah tidak mau lagi melanjutkan sekolah setelah tamat SMP. Ketika saya tanya,
dia hanya bilang malas.
“Malas pak, saya tidak suka
membaca buku. Berbeda dengan pak guru. Apalagi disini banyak orang yang sekolahnya
tinggi tapi akhirnya malah jadi pengangguran. Mending saya tidak usah sekolah
kalau akhirnya jadi seperti itu. Rugi.” Jelasnya.
Mendengar pernyataannya yang
tidak mendasar itu, ingin rasanya aku membantah. Tapi aku memutuskan untuk
diam. Aku menyadari bahwa aku hanyalah pendatang. Mungkin banyak hal dalam
dirinya yang aku tidak ketahui dan pahami. Begitupula dengan orang tuanya. Aku
juga tidak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang tua Udin tentang
anak semata wayangnya ini. Kenapa mereka hanya membiarkannya menganggur di
rumah. Anak remaja seusia dia seharusnya sibuk dengan urusannya di sekolah.
Tapi dia malah suka pergi kesana kemari memakai motor dan bergaya dengan
asesoris khas yang ia pakai.
Sesampainya di rumah Udin, aku
disambut sangat hangat oleh ayah dan ibunya. Karena hari ini adalah hari
minggu, maka ayah Udin tidak pergi ke sekolah. Ayahnya mempersilahkanku duduk.
Sedangkan ibunya pelan – pelan pergi ke dapur untuk mempersiapkan hidangan dan
minuman untukku. Jadi tinggal aku, Udin dan ayahnya di ruang tamu. Kamipun
akhirnya berbincang – bincang.
“Ohh…jadi bapak yang
akan mengajar Bahasa Inggris di SMP Mukusaki?” tanya bapak Udin.
“Iya, bapak.”
“Selama satu tahun ya
pak…..bagus..bagus.. Tapi sayang kita tidak satu sekolah ya pak.” Tambahnya.
“Memang bapak
mengajar dimana?” tanyaku sedikit penasaran.
“Saya mengajar di SMK
Ekoae atau SMKN 3 Ende pak. Saya mengajar Matematika disana.” Jelasnya.
“Wah, hebat…!”
Aku merasa orang yang suka atau
menguasai ilmu Matematika adalah orang jenius. Apalagi dia mengajar di sekolah
menengah kejuruan. Pasti susah. Aku masih ingat, waktu sekolah dulu aku paling
membenci pelajaran Matematika. Aku juga tidak tahu. Setiap kali disuruh
mengerjakan soal, aku enggan melakukannya. Apalagi ulangan. Ihh…..malasnya
bukan main. Aku tidak pernah belajar. Sehingga nilai Matematikaku selalu jelek.
Itulah kenapa waktu kuliah, aku tidak mengambil jurusan exact yang pasti ada kaitannya dengan Matematika. Jadi ayah Udin
ini pasti sangat pintar. Tapi kemudian dalam benakku muncul pertanyaan. Udin kok
beda sekali ya dengan ayahnya. Dan kenapa ayahnya tidak mendorongnya untuk melanjutkan
sekolah. Dia kan guru SMK, bisa saja kan dia memasukkan Udin ke
sekolahnya…hmmm.
Karena satu profesi, aku dan ayah
Udinpun asyik mengobrol. Sedangkan Udin hanya sibuk bermain – main dengan
HPnya. Mungkin itulah dia yang sibuk dengan dunianya. Dia tidak mau mengikuti
pembicaraan kita berdua karena tidak cocok dengan topiknya. Atau malah mungkin
dia tidak paham dengan apa yang kita bicarakan. Tapi kemudian mucul sesuatu
yang mengejutkanku, yaitu HP yang digunakan Udin, sebuah Blackberry keluaran
terbaru. Dengan keadaan lingkungan yang belum ada sinyal seperti kampung ini,
bagaimana mungkin seorang Udin mempunyai HP sebagus dan semahal itu. Aku saja
hanya memakai HP sederhana yang hanya bisa digunakan untuk telfon, sms, dan
penerangan karena ada senter diujungnya. Tak lama kemudian, ibu Udin datang
mengantarkan ketela rebus dan minuman teh.
“Mari pak, silahkan
diminum tehnya.” Ucap ibu Udin dengan senyum simpulnya yang menunjukkan bahwa
dia sangat baik dan ramah.
“Wah, tidak usah
repot- repot ibu. Wong kami disini cuma sebentar.” Jelasku. Aku merasa ibu Udin
terlalu repot untuk menyiapkan hidangan itu untukku karena aku hanya mampir di
rumahnya sebentar mengantar Udin untuk mengambil HPnya.
“Ah….tidak apa - apa
bapak. Kebetulan kami sedang panen ubi. Sekalian bapak mencicipi rasa ubi hasil
usaha kami sendiri. Tapi ya seperti ini. Namanya juga di kampung, pak….hehehe.”
jelas ibu Udin sangat berharap aku bisa mencicipi ubi rebusnya itu.
Mendengar penjelasannya, aku jadi
mulai merasakan lapar. Dan ubi itu terlihat sangat enak dan menggiurkan. Langsung
saja aku sambar ubi itu. Rejeki kok ditolak. Gumamku dalam hati…hehe.
Selesai menyantap ubi dan teh, Udin
langsung mengajakku untuk segera bergegas keluar rumah dan naik ke motor
besarnya. Akupun tidak lupa berpamitan dengan kedua orang tuanya.
“Kita mau kemana lagi
ini mas?” tanyaku kepada Udin.
“Pak guru bawa HP
juga kan?” pertanyaan Udin ini membuatku penasaran. Kenapa tiba – tiba dia
menanyakan HP milikku. Wong jelas – jelas dikampung ini tidak ada sinyal.
“Pak guru tidak rindu
dengan yang di rumah? Atau pacar pak guru mungkin?..hehe.” jelasnya sambil
bercanda kepadaku.
“Iya, saya bawa HP
mas.”jawabku.
“Oke….kita langsung
menuju pantai ya pak!”
Mendengarkan ajakannya untuk ke
pantai, aku langsung gembira. Dalam pikiranku selama ini, pantai adalah tempat
yang bagus dan indah untuk tempat rekreasi. Sehingga aku langsung meng-iyakan
saja ajakan Udin.
“Berapa lama kira –
kira dari sini mas?” tanyaku memastikan.
“Tidak lama….hanya satu
jam pak.”jawabnya.
“What?...satu jam?
Jauh sekali mas?” tanyaku keheranan.
“Santai saja pak guru…”
jelasnya menenangkanku. Pernyataannya tentang jarak tempuh yang menurutku jauh tapi
menurutnya dekat menunjukkan seolah – olah orang Flores sudah sangat terbiasa
dengan perjalanan jauh. Atau mungkin dia hanya menghiburku saja biar aku tidak
was – was dengan perjalanan jauh…hmm.
Selama perjalanan, selalu
terbayang olehku seperti apa pantai yang akan aku kunjungi ini. Selain itu aku
juga memikirkan terus perkataan Udin tadi. Apa sebenarnya hubungan antara HP
dengan pantai ya?….hmmm.
Setelah cukup lama di perjalanan,
tiba – tiba Udin mengatakan sesuatu kepadaku,
“Sebentar malam kita
menginap di rumah saya punya paman di peisisir pantai ya pak guru?”
Akupun terkejut mendengar
perkataannya itu.
“Ngapain kita harus menginap?
Kenapa tidak langsung pulang saja?” gumamku dalam hati. Tetapi karena aku
sangat suka sekali dengan pantai, akhirnya akupun memenuhi ajakannya.
Setelah lewat satu jam
perjalanan, sampailah kita di pantai. Yang membuatku heran adalah aku tidak
merasa cape sama sekali. Apa mungkin karena aku terlalu merasa senang sehingga
sampai tidak merasakan cape. Atau ini pertama kalinya aku naik motor besar.
Motor besar milik Udin memang keren dan nyaman karena dilengkapi saddle dan
shock becker yang sempurna. Nyaman sekali. Setelah turun dari motor, segera
Udin merogoh HP di kantong celananya. Dia langsung asyik menekan tombol keypad
Blackberry nya itu. Karena penasaran, aku langsung bertanya kepadanya.
“Memangnya ada sinyal
mas?”
“Pak guru memang
tidak mau telfon pak guru punya orang tua atau pacar? Ayo,manfaatkan sinyalnya
mumpung kita masih disini.” Jelasnya sambil menaruh HP dipipi.
“Hah, ada sinyal?
Bagaimana bisa?” jawabku tidak percaya.
“Sudahlah pak guru,
keluarkan pak guru punya HP.” Tambahnya.
Akhirnya aku baru mengerti maksud
Udin, kenapa dia menyuruhku membawa HP. Ternyata di kampung yang cukup luas
ini, satu – satunya tempat yang ada sinyal HP adalah pantai ini. Selain di
pantai ini, kita bakal tidak akan menemukan sinyal sama sekali.
“Tapi kok sejauh ini
ya? Dari rumah Udin saja sampai satu jam…hmmm.” gumamku dalam hati.
Kemudian aku lihat Udin sedang
sibuk menelfon dan sms. Akupun juga langsung memanfaatkan kesempatan langka ini
untuk menghubungi keluarga di rumah. Aku ingin cerita kepada mereka pengalaman
pertamaku berada disini.
Karena sibuk menelfon dan sms, tak
terasa dua jam pun berlalu di pantai ini. Dan ternyata mataharipun juga sudah
ingin berpamitan. Warna cahayanya yang mulai menguning, menandakan waktu sudah
sore kira – kira sekitar jam 4. Aku langsung segera menemui Udin untuk
mengingatkan akan janjinya untuk mengajakku ke rumah pamannya. Sembari aku bisa
sholat ashar juga disana. Kemudian kita langsung menuju rumah pamannya yang
cukup dekat dari lokasi kita di pantai.
Akhirnya sampai juga di rumah
paman Udin. Lalu kita turun dari motor dan berjalan menuju pintu rumah. Setelah
beberapa kali ketok pintu dan mengucap salam, akhirnya seorang perempuan paruh
baya keluar.
“Ah….ternyata kau
din..”katanya saat bertemu Udin.
“Hallo, mama besar…”sahut
Udin. Di Flores, mama besar adalah panggilan untuk bibi atau kakak dari mama.
“Mbana seba na?”tambah bibinya. Mbana
Seba itu adalah bahasa Lio yang artinya “dari mana?” Bahasa Lio merupakan
bahasa yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Flores bagian timur
dalam kehidupan sehari - harinya.
“Paman, emba mai?”
tanya Udin kepada bibinya yang artinya “Dimana paman?”
“di kebun” jawab
bibi.
Tiba – tiba ibu
melihatku dengan agak penasaran,
“Sai ini na? Kau
punya bhondo, Udin?” tanyanya kepada Udin yang artinya “Siapa ini? Temanmu, din?”
“Yo’i…” jawab udin
dengan lagak layaknya anak Jakarta.
“Eja, mai si!” kata
bibi Udin kepadaku. Artinya “Mari masuk!” Dia mengira aku bisa Bahasa Lio.
Tiba – tiba langsung
saja Udin menyela,
“MaE! Dia iwa talu
Lio!” kata Udin yang menyuruh bibinya untuk tidak berbicara Bahasa Lio
kepadaku.
Mengetahui bahwa aku tidak bisa
berbahasa Lio dari Udin, dia langsung malu dan minta maaf kepadaku. Kemudian
aku dan Udin langsung masuk kedalam rumahnya. Rumahnya cukup unik dan bagus.
Rumah panggung yang terbuat dari kayu pohon kelapa ini cukup tinggi untuk
menghindari banjir bah saat air laut sedang pasang. Selain itu interiornya juga
sangat terjaga kerapiannya. Sehingga pertama kali aku masuk, aku langsung
merasakan kenyamanannya.
Meskipun rumah bibi Udin sangat
sederhana, tapi hampir semua perlengkapan rumahnya lengkap. Banyak perlengkapan
listrik seperti kulkas, rice cooker, TV, amplifier dan speaker aktif, blender,
dsb tersedia disana. Padahal listrik belum masuk di kampung, termasuk di daerah
pantai ini. Tapi paman Udin memiliki generator dan mesin diesel sendiri. Maklum
paman Udin adalah seorang pensiunan pegawai Pekerjaan Umum (PU) di kota
Maumere. Selain itu dia juga mempunyai beberapa kebun dan sawah yang luas.
Sehingga bisa membeli berbagai macam perkakas untuk rumahnya. Jadi diantara
rumah panggung lain yang ada di sekitar pantai, rumah paman Udinlah yang terlihat
paling mewah.
Mengetahui bahwa Udin tidak
datang ke rumahnya sendirian melainkan bersama aku yang merupakan teman barunya
dari luar Flores, bibi Udin langsung menuju dapur untuk mempersiapkan minuman
buatku. Setelah semuanya siap, dia keluar untuk menghidangkan minuman itu
kepadaku.
“Waduh, kok malah
repot – repot begini tho ibu!” kataku.
“Ah….tidak apa –
apa.” Jawab bibi sambil mengembangkan senyumnya.
Saat pertama kali melihat minuman
yang dihidangkan oleh bibi, akupun langsung ngiler. Bukan Cuma ngiler
sebenarnya, tapi selebihnya aku malah terkejut. Minuman itu dingin seperti es.
Ternyata minuman sirup rasa jeruk itu telah dimasukkan ke dalam kulkas cukup
lama.
“Wah, berarti bibinya Udin sering
memakai kulkas. Berapa liter solar yang harus dia beli tiap kali menyalakan
mesin diesel agar tersedia arus listrik untuk kulkas dan perlengkapan listrik
lainnya?” gumamku dalam hati.
Tanpa menunggu lama, akupun
langsung mengambil gelas berisi minuman itu lalu meminumnya sampai habis.
Begitupula dengan Udin. Kemudian kitapun saling pandang. Melihat bahwa kita
berdua melakukan hal yang sama dengan rakusnya, kitapun tak kuasa menahan tawa.
“hehehe…..dihabiskan
saja. Tidak apa – apa, masih banyak di kulkas.” Kata bibi.
“Oh ya….sekalian bibi
ambilkan kuenya ya!” tambahnya.
“Ide
bagus itu bi!” sahut Udin.
Sebenarnya aku
ingin menolaknya, tapi karena Udin sudah meng-iyakan, ya sudah. Ikut menikmati
aja. Mumpung ada kesempatan….hehe.
Sambil
menyantap kue yang baru dihidangkan oleh bibinya, Udin ingat bahwa dia harus
memperkenalkan aku kepada bibinya yang baik dan ramah itu.
“Mama,
ini bapak guru baru dari jawa yang akan mengajar di SMP Mukusaki! Namanya Bapak
Margono.”
“Margono
bu.” Kataku kepada bibi sambil menyalami tangannya. Bibi pun juga langsung
memperkenalkan diri.
Setelah
sedikit mengobrol, aku langsung melihat jam di dinding. Jarum besar tepat
menunjuk angka 5. Sudah jam 5! Aku harus sholat ashar! Akupun langsung minta
izin kepada bibi dan bergegas melaksanakan sholat di kamar yang telah disiapkan
olehnya. Walaupun berbeda agama, Udin dan bibinya sangat menghormatiku dalam
menjalankan ibadah.
Selesai sholat, aku langsung
kembali ke ruang tamu. Tiba – tiba Udin berkata,
“Bibi, sebentar malam
pak guru akan menginap di rumah ini!”
“Tidak apa – apa. Lagipula
sudah sore. Tidak mungkin kan kalian pulang malam – malam. Menginaplah disini.
Besuk pagi baru pulang.” Kata bibi.
“Oke…pak guru.
Sebentar malam kita main PS ya!” kata Udin dengan sangat gembira.
Tapi justru aku malah
terkejut, “hah, main PS? Disini ada PS? Dimana?”
Melihat tingkahku yang keheranan,
Udin langsung tertawa sambil berkata,
“Ya disini lah pak
guru….nih, sudah ada disini. Tinggal dimainkan saja. Oke?”
Play Station (PS) yang ada di
rumah bibi ini adalah warisan dari anak kedua bibi yang saat ini kuliah di
Malang, Jawa timur. Paman dan bibinya Udin memiliki dua orang anak. Anak
pertama kerja di Kalimantan. Sedangkan yang kedua sedang kuliah di Universitas
Brawijaya, Malang. Sehingga PS ini sudah lama tak terpakai dan menganggur jika
Udin tidak main ke rumah ini.
Tak lama kemudian pamannya Udin
datang dari kebun. Usai sholat maghrib, aku langsung menemuinya. Lalu kita
berkenalan dilanjutkan dengan obrolan yang cukup lama. Setelah mengobrol dengan
paman, aku memutuskan sholat isya terlebih dahulu. Setelah itu baru bersama
Udin main PS. Sedangkan paman langsung istirahat karena kecape’an setelah
seharian di kebun. Aku dan Udinpun larut dalam permainan sepak bola PS sampai
larut malam. Hingga akhirnya kita tidur ditempat setelah selesai main dan mematikan
mesin diesel.
*******
“Pak guru….pak guru!
bangun….bangun!”
“Lihat! Sudah jam
berapa ini pak? Kita harus segera pulang sekarang pak. Kalau siang panas!”
Teriak Udin
membangunkanku yang masih tidur pulas. Akupun tersentak.
“Hah!...emang jam
berapa ini mas?” jawabku masih lemas.
“Sudah jam 7 pak guru! Oh ya….pak guru memang tidak sholat
shubuh?..hehe” jelas Udin sambil cengar – cengir. Meskipun Udin beragama
Katolik, tapi dia sangat memahami Islam. Dia tahu kapan seharusnya aku
melaksanakan sholat. Itulah yang aku sukai dari dia. Belum tentu orang islam
sendiri seperti itu. Think!
“Apa? Sudah jam 7?”
sentakku kaget.
Aku langsung bergegas
menuju jendela yang telah dibuka oleh Udin. Aku lihat matahari tersenyum lepas
melihat pantai dan masyarakat yang mulai beraktifitas disana. Meskipun sudah
terlambat, tapi aku tetap tidak boleh meninggalkan sholat. Aku langsung
bergegas ke kamar mandi, wudhu dan sholat.
Saat aku sholat, Udin bergantian menuju kamar mandi untuk
mandi. Selesai sholat, tak lama kemudian terdengarlah suara nyanyian. Ternyata
Udin suka sekali berkaraoke di kamar mandi. Mungkin dia memiliki bakat yang
terpendam kali. Lagu yang ia bawakan adalah “Here for You” lagu yang dulu
dinyanyikan oleh band rock asal Amerika, Firehouse. Mendengar suara Udin, aku
jadi tak kuasa menahan tawa. Aku tahu
benar lagu yang ia bawakan itu. Bahkan liriknyapun aku juga hafal. Udin
membawakan lagu itu dengan keras sekali. Suara Udin itu berat, padahal vokalis
aslinya bersuara tenor…haha. Belum lagi dia juga sembarangan nyanyinya. Sampai
– sampai aku tak paham kata apa yang ia ucapkan dalam lagu itu. Seperti sama
sekali bukan Bahasa Inggris.
Akhirnya aku hanya bisa bergeming dalam hati sambil
menggeleng – gelengkan kepalaku.
“Udin…Udin. Dasar
anak kampung.”
Setelah setengah jam lewat, akhirnya Udin keluar juga dari
kamar mandi. Tapi karena pertimbangan waktu, aku memutuskan untuk tidak mandi
saja. Menurutku cuci muka dengan “Face Wash” sudah cukup untuk membersihkan
mukaku. Aku harus bergegas mempersiapkan diri karena masih ada beberapa tempat
yang harus dikunjungi di kampung ini.
“Mas Udin, kita
langsung berangkat saja ya!” pintaku pada Udin dengan jaket dan tas yang sudah
menempel di tubuhku.
“Loh, pak guru sudah
siap? Pak guru tidak mandi ya?..makanya bau….hehehe” katanya meledekku. Akupun
langsung menangkis ledekannya itu.
“Epen!....walaupun
tidak mandi, pak guru masih tetap cakep kan?...hoho.” Orang Flores biasa
mengatakan Epen yang merupakan
singkatan dari Emang penting tiap
kali mereka malas meladeni orang yang menkritik mereka.
“Oke lah pak guru…..santai saja…!” Jawabnya sambil
mempersiapkan dirinya. Kemudian naik ke motor besarnya. Akupun menyusulnya dari
belakang. Sebelum berangkat, tak lupa kita berpamitan terlebih dahulu pada bibi
Udin yang sedang menyapu halaman rumahnya.
“Bibi, kami berangkat
dulu ya bi!” kataku sambil menyalaminya.
“Hati ….hati ya pak.”
Balas bibi dengan senyum ramahnya yang mengembang.
Pagi ini aku tidak sempat melihat paman Udin karena dia
sudah pergi ke kebun pagi - pagi sekali
saat aku dan Udin masih tidur. Paman Udin memang terkenal rajin bekerja sejak
masih menjadi pegawai PU sampai sekarang.
Motor Udin langsung melaju kencang menuju tempat berikutnya
yang akan kita kunjungi. Dan akhirnya kitapun mengunjungi beberapa tempat di
kampung seperti rumah adat, air terjun, danau, dan kampung muslim. Tak terasa
sudah sore. Udin langsung mengajakku untuk pulang.
****************
Sesampainya di rumah, aku meminta Udin untuk mampir
sebentar. Udin kelihatan sangat capai. Aku yakin dia butuh istirahat sebentar
sebelum pulang ke rumahnya.
“Mas Udin, mai
si…..mampir sebentar!” ajakku dengan sedikit belajar Bahasa Lio untuk pertama
kalinya.
“Terimakasih, pak
Guru.” Udin langsung duduk di ruang tamu. Tiba – tiba bapak tuan rumah datang.
“Wah, pak Margono
sudah pulang!... kemarin saya bingung dan khawatir sebenarnya Pak Margono
kemana saja kok sampai dua hari belum pulang juga. Disini kan berbeda dengan
yang ada di jawa, pak. Takut ada apa – apa.” Katanya sambil memperlihatkan
senyumnya tanda bahwa dia merasa lega mengetahui kedatanganku bersama Udin.
“Tadinya saya mau
telefon pak Margono, tapi mau telfon dimana? Disini kalau telfon harus di
pantai. Jauh.” Tambahnya.
Pernyataannya ini justru membuatku semakin heran. Berarti
bapak sudah punya HP dong. Ternyata banyak juga orang di kampung ini yang sudah
memiliki HP, padahal sinyal belum tersedia. HP nya pun bukan HP biasa. HP itu
mempunyai aplikasi yang lengkap dan up to
date. Aku saja kalah…hemmm.
“Oh ya, pak…. Saya
ambilkan minum dulu ya. Pasti kalian sangat kehausan setelah perjalanan jauh.”
Tambahnya lagi.
“Iya…pak, terimakasih.” Karena saking hausnya, tanpa basa
basi aku langsung menerima tawaran bapak.
Tak disangka, aku kira Udin sudah kelelahan kemudian duduk
diam di kursi. Tapi ternyata dia malah masih ingin mengajakku ngobrol.
“Bagaimana pak guru
perjalanannya tadi? Puas kan?” tanyanya membanggakan diri karena sudah bersedia
sepenuh hati mengantarku berkeliling kampung. Sampai menginap di rumah pamannya
juga.
“Siiiiiiiippppppppppp!
Kamu memang hebat Mas Udin!! Motornya juga keren!! Ditambah lagi HPnya!!..wuissss…..ckckckckk…gagah
..e….hehehe.” Kelakarku berlebihan.
“Oya, ngomong –
ngomong, pak guru beli HP yang kayak saya punya aja. Udah oke, bisa main BBM an and internetan lagi.” Sela Udin dengan gaya
omong khas anak Jakarta. Mungkin kata – kataku tadi langsung mengingatkannya
pada HP jadul milikku yang sudah ketinggalan jaman.
“Tidak usah mas….. biar pak guru pake ini saja. Lagipula
saya ini kan guru, buat apa HP bagus – bagus.”
Aku menyadari memang HP ku ini
tidak gaul untuk aku yang masih sarjana muda. Tapi sebenarnya aku sudah pernah
memiliki HP seperti milik Udin, tapi aku jual waktu di Semarang sebelum
berangkat tugas disini. Aku sudah antisipasi dari awal, mending aku pakai HP
sederhana saja soalnya aku sudah tahu bahwa aku akan ditempatkan didaerah
terpencil tanpa sinyal. Buat apa HP bagus – bagus kalau ternyata jarang
dipakai. Tapi Udin tidak tahu. Dan aku memang sengaja merahasiakannya agar dia
tidak tahu dan tidak tersinggung.
Setelah mendengarkan jawabanku, Udin pun terdiam. Kemudian
dia minum air putih yang telah disediakan oleh bapak sembari sesekali memainkan
Blackberry nya itu.
Sehabis itu dia sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul
setengah lima sore.
“Wah, sudah sore pak
guru…. Saya pulang dulu ya.” Kata Udin dengan sedikit terkejut.
“Begitu saja Mas?
Tidak mau menginap disini dulu?”
“Ah….tidak pak guru.
Sebentar kalau bapak mencari gimana?” Jawabnya sambil senyum kepadaku.
“Walah….udah besar
kok masih dicari bapaknya?...hehe. Kataku sedikit bercanda.
“hehehe….woookeey
dech….sampai jumpa pak guru…see you!…kapan – kapan kita jalan – jalan bareng
lagi ya pak guru!”
“siiiiipppp!!”
Udinpun menstarter motor besarnya dan melaju kencang hingga
hilang dari pandanganku.
************
Setelah kepulangan Udin, aku
langsung menuju kamar mandi. Aku harus mandi dan sholat ashar segera. Malamnya,
karena kecapaian, setelah sholat isya, aku langsung merebahkan tubuhku diatas
kasur. Dan ternyata generator listrik di
sebelah rusak lagi, sehingga aku melewati malam yang gelap lagi di rumah ini.
Dalam kegelapan, pikiranku langsung
tertuju pada bayangan kehidupan masyarakat kampung ini setelah aku mengenalnya
lebih dekat bersama Udin. Bayangan yang membuatku semakin heran dan ingin senyum
– senyum sendiri.
Sebuah kampung yang jauh dari
keramaian, tanpa listrik dan sinyal HP serta sebagian besar masyarakatnya
bercocok tanam di sawah dan kebun, memiliki pola pikir dan keinginan yang tidak
mau kalah dan ketinggalan dengan masyarakat di perkotaan seperti yang mereka
lihat selama ini di TV. Yang pertama adalah penggunaan
alat – alat listrik seperti kulkas, rice cooker, blender, dan perlengkapan
hiburan lain seperti TV dan Playstation. Padahal arus listrik dan sarana
instalasinya belum tersedia di kampung ini. Mereka rela membeli minyak solar
dalam jumlah yang besar untuk bisa menyalakan peralatan itu semua. Dan yang lebih mengherankan lagi ternyata
jika di tempat ini ada arus listrik, itu berasal dari pusat kota. Sedangkan PLN
(Perusahaan Listrik Negara) daerah yang ada di kotapun juga menggunakan mesin
diesel besar berjumlah 5 buah untuk menghasilkan arus selama 24 jam setiap harinya.
Aku tak bisa membayangkan, berapa liter solar yang dihabiskan setiap
harinya?...hemm…ironis!. Sebenarnya daerah ini sudah lama mengupayakan
pendirian PLTU (Pembangkit Listrik tenaga Uap) dan PLTA (Pembangkit Listrik
Tenaga Air), akan tetapi sampai sekarang proyek itu belum juga terselesaikan.Yang kedua adalah penggunaan HP.
Rata – rata masyarakat di kampung ini sudah memiliki HP. Padahal sinyal saja
belum tersedia. Kalaupun ada sinyal, mereka harus ke pantai dengan menempuh
jarak sekitar 20 km. Sehingga HP jarang sekali digunakan untuk menelfon atau
sms melainkan untuk mendengarkan musik atau foto – foto.
Dan terakhir, yang paling
membuatku heran lagi adalah penampilan Udin dengan motor besarnya, pakaian
trendi dan celana pensilnya serta aneka macam asesoris yang menempel ditubuhnya
seperti kalung, gelang, anting, dan dompet berantai yang membuatnya seperti
layaknya artis ibukota. Belum lagi saat melihat dia asyik dengan Blackberry nya…..gila!
Aku yang anak asli Semarang saja kalah jauh!..hemmm.
“Dasar Anak Udik Gaya
Metropolis!”
Akupun akhirnya tertidur pulas dan mimpi indah.
TAMAT
Cerpen ini ditulis sebagai wujud
empati penulis terhadap masyarakat NTT khususnya di Flores yang masih mengalami
kesenjangan sosial.
Nama – nama tokoh yang ada dalam
cerita ini adalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, maka itu hanyalah
kebetulan semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar