Senin, 14 Desember 2015

Udin (Sebuah Cerpen) #Latepost 4




Udin

“Anak Udik Gaya Metropolis”

(Sebuah Cerita pendek Inspirasi Nyata Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal)

Oleh Aziza Restu Febrianto

Namaku Margono. Aku adalah seorang guru kontrak kelahiran kota Semarang yang mendapatkan tugas mengajar selama satu tahun di daerah 3T (Terdepan, Tertinggal, dan Terluar), tepatnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku sangat bahagia sekali bisa mengabdikan diri dan mengamalkan ilmuku di tempat ini. Selain pengalaman, tentu saja banyak juga pelajaran berharga yang akan aku dapatkan selama bertugas. Sebenarnya keinginan mengajar didaerah terpencil dan tertinggal sudah menjadi impianku saat aku kuliah. Melalui informasi yang aku peroleh, di daerah yang jauh dari jangkaun orang itu sangat kekurangan guru. Banyak guru yang tidak mau ditempatkan disitu. Kalau tidak ada guru yang mengajar, lalu bagaimana nasib para siswanya? Dan sekarang impian itu menjadi kenyataan!

Saat pertama kali mengetahui bahwa aku akan bertugas di NTT, pikiranku langsung melayang – layang, membayangkan seperti apa tempat itu. Namanya saja daerah 3T, pasti itu adalah tempat yang jauh dari keramaian dan kota atau benar – benar kampung sekali. Bahkan mungkin saja tidak ada listrik dan sinyal. 

&&&&&&&&&

Tak terasa, akhirnya aku tiba juga di tempat tugas. Dan ternyata seperti yang aku duga sebelumnya. Sekolah tempat tugasku itu berada di sebuah kampung yang sangat terpencil di daratan pulau Flores, NTT. Selama di perjalanan, aku jarang sekali melihat rumah dan sawah. Yang sering terlihat adalah kebun, hutan, bukit, dan sungai. Selain terpencil, di kampung ini juga tidak ada listrik dan sinyal HP.  Jadi suasananya benar – benar sangat sepi, sunyi, dan udik sekali. Tapi pemandangannya sungguh menakjubkan. Jujur, aku tidak pernah melihat pemandangan seindah ini sebelumnya.

Aku tinggal disebuah rumah milik salah satu penduduk di kampung itu. Di siang hari, aku masih merasakan suasana yang biasa dengan pemandangan kampung yang mempesona. Namun saat memasuki malam, aku benar – benar terkejut! Bagaimana tidak? Selama ini aku sudah terbiasa hidup dengan cahaya terang dan listrik yang menyala terus menerus selama 24 jam setiap hari. Selain itu sinyal juga full sehingga ketika aku sedang merasa kesepian tinggal telfon dan sms teman, atau main internet. Tapi sekarang aku harus hidup dalam kegelapan dan tidak ada satupun yang bisa aku lakukan selain tidur dan mendengarkan radio. Satu – satunya sumber cahaya yang bisa aku upayakan adalah senter dan lampu pelita. Sebelum istirahat dan tidur, aku menyempatkan diri untuk bercengkrama sebentar dengan warga sekitar sembari memperkenalkan diri.

“Selamat malam, Bapak.” ucapan salamku sebagai tanda membuka sebuah percakapan.
“Malam, mas.” Salah seorang bapak paruh baya menyambut kedatanganku dengan sangat ramah. Ternyata bapak tua itu bukan kerabat sang pemilik rumah melainkan tetangga.
“Bapak tinggal dimana?” tanyaku.
“Saya tinggal di rumah sebelah, mas.” Dia menjawab pertanyaanku dengan senyum mengembang. Sepertinya percakapan ini semakin menarik untuk dilanjutkan. Namun sebelum aku memulainya, ternyata dia lebih duluan bertanya padaku.

“Mas dari Jawa ya?” pertanyaannya itu menandakan seolah – olah orang jawa itu mudah sekali dikenali. Mungkin lewat logat atau gaya bahasa yang aku gunakan.
“Iya, bapak.” Jawabku.
“Berapa lama rencana tinggal disini?” lanjutnya.
“Satu tahun, pak.” Jelasku.
“Wah, lumayan lama ya mas. Yah, beginilah Flores mas. Banyak tempat yang belum mendapatkan jatah listrik dari PLN.” Pernyataannya ini menunukkan seolah – olah dia tahu apa yang aku rasakan sekarang.
Tak lama kemudian dia menambahkan, “Tapi kita disini pakai generator kok mas. Jadi ya bisa terang walaupun hanya 4 jam saja. Bisa nonton TV juga.”
Setelah mendengar penjelasannya, aku malah jadi heran, “Terus kenapa sekarang masih gelap pak? Katanya memakai generator.”
“Kebetulan sedang rusak, mas.” Jelasnya.
“Oh…begitu.” Keluhku dengan sedikit kecewa.


Kitapun terbuai dalam sebuah obrolan yang menyenangkan ditemani kopi, kue, dan lampu pelita. Obrolan itu lebih banyak berkaitan dengan suasana kampung dan sekolah tempat aku bertugas. Setelah agak lama mengobrol, tiba – tiba terdengar suara mesin diesel yang berada tidak jauh dari rumah, mungkin sekitar 100 meter. Setelah itu diikuti dengan lampu pijar yang menyala terang. Aku mendengar beberapa orang mengucap “Puji Tuhan.” Sebuah tanda kebahagiaan karena listrik sudah menyala. Tak lama kemudian banyak anak – anak kecil dan ibu - ibu mulai berdatangan ke rumah. Lalu orang tua itu tiba - tiba membuka almari berisi TV kemudian menyalakannya. 

“Hah, ada TV?” gumamku dalam hati. Ternyata ada lagi sesuatu yang mengejutkanku. TV!
“Anak – anak sering menonton TV disini ya bapak?” tanyaku penasaran sekaligus untuk memastikan apakah obrolan kita masih bisa dilanjutkan apa tidak.
“Iya mas… Kalau listrik dari generator sudah menyala, anak – anak langsung kesini untuk nonton TV.” Jawabnya dengan jelas. Tanda bahwa dia masih bisa diajak untuk mengobrol.

Aku sangat terkejut….. benar – benar terkejut. Ditempat kampung dengan listrik terbatas ini, orang – orang masih sempat juga membeli dan menonton TV…..hemm. Namanya juga hiburan. Seperti orang pada umumnya, TV merupakan sarana hiburan pelepas penat dan lelah setelah seharian bekerja. Begitu juga dengan masyarakat di kampung ini. Mungkin dengan menonton TV, beban hidup mereka terasa lebih ringan. Selain itu suasana kebersamaan dan kekeluargaan menjadi lebih terasa saat menonton TV bersama.
Karena seharian melakukan perjalanan jauh dari kota menuju kampung ini, akupun merasa kecapaian. Aku berpamitan pada bapak tua dan ibu – ibu yang sedang menonton TV itu untuk masuk ke kamarku dan istirahat. Akupun merebahkan tubuhku di kasur sambil mendengarkan radio sampai akhirnya tertidur pulas.

&&&&&&&&&

Pagipun tiba. Kusibakkan tirai jendela dan terlihatlah cahaya matahari yang sudah menguning diantara pepohonan lebat disamping kamarku. Karena sangat kelelahan, aku bangun kesiangan. Tanpa menunggu lama, aku langsung bergegas ke kamar mandi, kemudian sholat shubuh. Aku teringat akan pesan kepala sekolah kemarin saat pertama kali bertemu dengannya. Dia berjanji akan memperkenalkanku pada seseorang. Namanya Udin, anak dari rekan gurunya. Katanya dia yang akan mengantar dan menemaniku berkeliling desa dengan motornya untuk melihat lingkungan sekitar serta mengenal lebih dalam kehidupan masyarakat di kampung. Sehingga aku harus segera mandi dan merapikan diri sebelum bertemu dengan dia hari ini.
Belum sempat selesai mandi, bapak kepala sekolah ternyata sudah datang ke rumah. Akupun bergegas masuk kamar dan secepatnya merapikan diri. Ternyata dia tidak bohong. Dia berkunjung ke rumah tidak sendirian. Berarti dia bersama Udin. 

“Mas….mas…..ini bapak Stevan sudah datang.” Kata bapak tua, sang pemilik rumah.
“Iya pak. Tunggu sebentar.” Kataku sambil terburu – buru memakai celana.

Bapak kepala Sekolah tempat aku mengajar namanya Stevan. Nama lengkapnya Stevanus Martinus Siga. Beliau tinggal tidak jauh dari sekolah. Hanya sekitar 500 meter dari sekolah. selain sangat ramah, beliau juga merupakan seorang umat Katolik yang taat.

Setelah memakai pakaian yang rapi, akupun langsung menemuinya di ruang tamu. Seperti dugaanku sebelumnya, dia memang tidak sendirian. Tapi saat pertama kali melihat pak Stevan dan temannya, Udin, aku justru malah terkejut.
“Apakah ini yang namanya Udin?” ucapku dalam hati.

Kemarin ketika pak Stevan bercerita kepadaku tentang anak lelaki remaja itu, yang langsung muncul dalam benakku adalah seorang anak kampung yang sederhana dan bersahaja seperti halnya kebanyakan anak kampung lainnya. Tapi yang aku lihat ini sungguh berbeda dan bahkan berkebalikan dari dugaanku.  Melihat penampilannya, dia seperti layaknya bintang film atau penyanyi papan atas dunia. Rambutnya yang cepak seperti bulu landak dan berminyak mirip penyanyi rock metal asal Amerika Simple Plan atau Linkin’ Park. Kulitnya yang gelap mengkilat membuatnya seperti penyanyi pop terkenal Amerika, Usher. Gayanya yang trendi, bertato serta kaos, kalung, anting, dan celana pensil yang dia pakai memberikan kesan bahwa dia sama sekali bukan anak kampung, tapi a guy asal metropolitan.
Akhirnya akupun langsung berkenalan dengan dia.

“Pagi, pak!”

sebelum aku memulai perkenalan, ternyata dia malah lebih dahulu menyapaku dengan senyum yang sangat ramah sekali. Aku tak menyangka, ternyata dia orang yang baik dan sopan juga.

“Pagi!” sahutku.

“Saya Margono, biasa dipanggil Margo.” Aku memperkenalkan diri sambil mengajaknya bersalaman.
“Di kampung ini saya biasa dipanggil Udin, pak Margo.” Tekas Udin dengan senyum khasnya.
“Nama aslinya Mathias Urdentus Bawa.” Lanjut pak Stevan memotong pembicaraan.

Mendengar perkataan pak Stevan, spontan aku langsung tertawa. Bagaimana bisa nama yang rumit itu dibuat menjadi singkat dan unik seperti Udin. Hahahaha.
Namun tawaku tak membuat si Udin marah, justru dia ikut tertawa juga. Kami semua akhirnya tertawa lepas bersama.

Karena pertimbangan waktu, maka sesuai janjinya, pak Stevan mempersilahkan kami berdua untuk jalan – jalan mengelilingi kampung dengan menggunakan motor. Beliau ingin aku mengenal kehidupan dan lingkungan sekitar kampung terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasku di sekolah. Langsung saja Udin mengajakku untuk naik ke motornya. Dan ternyata aku dikejutkan lagi dengan motor kepunyaan Udin. Motornya ini pasti harganya mahal. Motornya besar, mungkin kapasitas mesinnya sekitar 200 cc. Penampilan Udin dan motor yang ia miliki semakin melengkapkan dirinya untuk layak sebagai artis ibu kota. Mungkin sebenarnya Udin adalah seorang pembalab asal Flores kali ya…haha. Pikirku dengan senyum – senyum sendiri di belakang Udin.
“Ayo, pak guru….. tunggu apa lagi?” pintanya dengan senyuman gaul yang khas. Mungkin dia tahu apa yang sedang aku pikirkan dan rasakan mengenai dirinya dan motornya. Seperti halnya orang – orang di kampung, Udin memanggilku dengan sebutan pak guru. Dengan panggilan itu, aku  merasa sangat tersanjung dan terhormat.
“Kita mau kemana dulu mas?” tanyaku sedikit penasaran.
“Sebelum keliling kampung, pak guru saya ajak ke saya punya rumah dulu. Saya mau ambil saya punya HP pak.” Jawabnya dengan nada dan logat khas orang Flores.
“Okay…..memang rumahnya dimana mas? Jauh tidak dari sini?” tanyaku penasaran.
“Tidak jauh pak guru…”jawabnya singkat.
“Emang kira – kira berapa lama kita sampai disana?” tanyaku memastikan.
“Dekat saja kok pak….Cuma 30 menit dari sini.”
“Apa?...setengah jam?..Bercanda kamu mas!” jawabku dengan sangat kaget.
“Santai saja saja pak guru……………Tenang!” Jawabnya santai sembari menenangkanku.
“Oke deh, terserah mas Udin.”

Udin pun langsung men-starter motor besarnya dan aku membonceng di belakang. Aku merasa anak remaja ini sudah sangat mahir sekali mengendarai motor besar. Padahal usianya masih sangat muda, sekitar 6 tahun dibawahku. Selama di perjalanan, kami mengobrol. Dia bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Ternyata Udin adalah anak satu – satunya dalam keluarga. Bapaknya adalah seorang guru pegawai negeri. Sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga yang memiliki kebun dan sawah yang luas warisan dari neneknya. Sehingga keluarganya ini bisa tergolong sejahtera dan sangat mampu. Namun sayang, dengan kondisi ekonomi keluarganya yang mapan, dia putus sekolah. Dia sudah tidak mau lagi melanjutkan sekolah setelah tamat SMP. Ketika saya tanya, dia hanya bilang malas. 

“Malas pak, saya tidak suka membaca buku. Berbeda dengan pak guru. Apalagi disini banyak orang yang sekolahnya tinggi tapi akhirnya malah jadi pengangguran. Mending saya tidak usah sekolah kalau akhirnya jadi seperti itu. Rugi.” Jelasnya.

Mendengar pernyataannya yang tidak mendasar itu, ingin rasanya aku membantah. Tapi aku memutuskan untuk diam. Aku menyadari bahwa aku hanyalah pendatang. Mungkin banyak hal dalam dirinya yang aku tidak ketahui dan pahami. Begitupula dengan orang tuanya. Aku juga tidak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang tua Udin tentang anak semata wayangnya ini. Kenapa mereka hanya membiarkannya menganggur di rumah. Anak remaja seusia dia seharusnya sibuk dengan urusannya di sekolah. Tapi dia malah suka pergi kesana kemari memakai motor dan bergaya dengan asesoris khas yang ia pakai. 

Sesampainya di rumah Udin, aku disambut sangat hangat oleh ayah dan ibunya. Karena hari ini adalah hari minggu, maka ayah Udin tidak pergi ke sekolah. Ayahnya mempersilahkanku duduk. Sedangkan ibunya pelan – pelan pergi ke dapur untuk mempersiapkan hidangan dan minuman untukku. Jadi tinggal aku, Udin dan ayahnya di ruang tamu. Kamipun akhirnya berbincang – bincang.
“Ohh…jadi bapak yang akan mengajar Bahasa Inggris di SMP Mukusaki?” tanya bapak Udin.
“Iya, bapak.”
“Selama satu tahun ya pak…..bagus..bagus.. Tapi sayang kita tidak satu sekolah ya pak.” Tambahnya.
“Memang bapak mengajar dimana?” tanyaku sedikit penasaran.
“Saya mengajar di SMK Ekoae atau SMKN 3 Ende pak. Saya mengajar Matematika disana.” Jelasnya.
“Wah, hebat…!”

Aku merasa orang yang suka atau menguasai ilmu Matematika adalah orang jenius. Apalagi dia mengajar di sekolah menengah kejuruan. Pasti susah. Aku masih ingat, waktu sekolah dulu aku paling membenci pelajaran Matematika. Aku juga tidak tahu. Setiap kali disuruh mengerjakan soal, aku enggan melakukannya. Apalagi ulangan. Ihh…..malasnya bukan main. Aku tidak pernah belajar. Sehingga nilai Matematikaku selalu jelek. Itulah kenapa waktu kuliah, aku tidak mengambil jurusan exact yang pasti ada kaitannya dengan Matematika. Jadi ayah Udin ini pasti sangat pintar. Tapi kemudian dalam benakku muncul pertanyaan. Udin kok beda sekali ya dengan ayahnya. Dan kenapa ayahnya tidak mendorongnya untuk melanjutkan sekolah. Dia kan guru SMK, bisa saja kan dia memasukkan Udin ke sekolahnya…hmmm.

Karena satu profesi, aku dan ayah Udinpun asyik mengobrol. Sedangkan Udin hanya sibuk bermain – main dengan HPnya. Mungkin itulah dia yang sibuk dengan dunianya. Dia tidak mau mengikuti pembicaraan kita berdua karena tidak cocok dengan topiknya. Atau malah mungkin dia tidak paham dengan apa yang kita bicarakan. Tapi kemudian mucul sesuatu yang mengejutkanku, yaitu HP yang digunakan Udin, sebuah Blackberry keluaran terbaru. Dengan keadaan lingkungan yang belum ada sinyal seperti kampung ini, bagaimana mungkin seorang Udin mempunyai HP sebagus dan semahal itu. Aku saja hanya memakai HP sederhana yang hanya bisa digunakan untuk telfon, sms, dan penerangan karena ada senter diujungnya. Tak lama kemudian, ibu Udin datang mengantarkan ketela rebus dan minuman teh.
“Mari pak, silahkan diminum tehnya.” Ucap ibu Udin dengan senyum simpulnya yang menunjukkan bahwa dia sangat baik dan ramah.
“Wah, tidak usah repot- repot ibu. Wong kami disini cuma sebentar.” Jelasku. Aku merasa ibu Udin terlalu repot untuk menyiapkan hidangan itu untukku karena aku hanya mampir di rumahnya sebentar mengantar Udin untuk mengambil HPnya.
“Ah….tidak apa - apa bapak. Kebetulan kami sedang panen ubi. Sekalian bapak mencicipi rasa ubi hasil usaha kami sendiri. Tapi ya seperti ini. Namanya juga di kampung, pak….hehehe.” jelas ibu Udin sangat berharap aku bisa mencicipi ubi rebusnya itu.

Mendengar penjelasannya, aku jadi mulai merasakan lapar. Dan ubi itu terlihat sangat enak dan menggiurkan. Langsung saja aku sambar ubi itu. Rejeki kok ditolak. Gumamku dalam hati…hehe.
Selesai menyantap ubi dan teh, Udin langsung mengajakku untuk segera bergegas keluar rumah dan naik ke motor besarnya. Akupun tidak lupa berpamitan dengan kedua orang tuanya.
“Kita mau kemana lagi ini mas?” tanyaku kepada Udin.
“Pak guru bawa HP juga kan?” pertanyaan Udin ini membuatku penasaran. Kenapa tiba – tiba dia menanyakan HP milikku. Wong jelas – jelas dikampung ini tidak ada sinyal.
“Pak guru tidak rindu dengan yang di rumah? Atau pacar pak guru mungkin?..hehe.” jelasnya sambil bercanda kepadaku.
“Iya, saya bawa HP mas.”jawabku.
“Oke….kita langsung menuju pantai ya pak!”

Mendengarkan ajakannya untuk ke pantai, aku langsung gembira. Dalam pikiranku selama ini, pantai adalah tempat yang bagus dan indah untuk tempat rekreasi. Sehingga aku langsung meng-iyakan saja ajakan Udin.
“Berapa lama kira – kira dari sini mas?” tanyaku memastikan.
“Tidak lama….hanya satu jam pak.”jawabnya.
“What?...satu jam? Jauh sekali mas?” tanyaku keheranan.
“Santai saja pak guru…” jelasnya menenangkanku. Pernyataannya tentang jarak tempuh yang menurutku jauh tapi menurutnya dekat menunjukkan seolah – olah orang Flores sudah sangat terbiasa dengan perjalanan jauh. Atau mungkin dia hanya menghiburku saja biar aku tidak was – was dengan perjalanan jauh…hmm.

Selama perjalanan, selalu terbayang olehku seperti apa pantai yang akan aku kunjungi ini. Selain itu aku juga memikirkan terus perkataan Udin tadi. Apa sebenarnya hubungan antara HP dengan pantai ya?….hmmm.
Setelah cukup lama di perjalanan, tiba – tiba Udin mengatakan sesuatu kepadaku,
“Sebentar malam kita menginap di rumah saya punya paman di peisisir pantai ya pak guru?”
Akupun terkejut mendengar perkataannya itu.
“Ngapain kita harus menginap? Kenapa tidak langsung pulang saja?” gumamku dalam hati. Tetapi karena aku sangat suka sekali dengan pantai, akhirnya akupun memenuhi ajakannya. 

Setelah lewat satu jam perjalanan, sampailah kita di pantai. Yang membuatku heran adalah aku tidak merasa cape sama sekali. Apa mungkin karena aku terlalu merasa senang sehingga sampai tidak merasakan cape. Atau ini pertama kalinya aku naik motor besar. Motor besar milik Udin memang keren dan nyaman karena dilengkapi saddle dan shock becker yang sempurna. Nyaman sekali. Setelah turun dari motor, segera Udin merogoh HP di kantong celananya. Dia langsung asyik menekan tombol keypad Blackberry nya itu. Karena penasaran, aku langsung bertanya kepadanya.
“Memangnya ada sinyal mas?”
“Pak guru memang tidak mau telfon pak guru punya orang tua atau pacar? Ayo,manfaatkan sinyalnya mumpung kita masih disini.” Jelasnya sambil menaruh HP dipipi.
“Hah, ada sinyal? Bagaimana bisa?” jawabku tidak percaya.
“Sudahlah pak guru, keluarkan pak guru punya HP.” Tambahnya.

Akhirnya aku baru mengerti maksud Udin, kenapa dia menyuruhku membawa HP. Ternyata di kampung yang cukup luas ini, satu – satunya tempat yang ada sinyal HP adalah pantai ini. Selain di pantai ini, kita bakal tidak akan menemukan sinyal sama sekali.
“Tapi kok sejauh ini ya? Dari rumah Udin saja sampai satu jam…hmmm.” gumamku dalam hati.
Kemudian aku lihat Udin sedang sibuk menelfon dan sms. Akupun juga langsung memanfaatkan kesempatan langka ini untuk menghubungi keluarga di rumah. Aku ingin cerita kepada mereka pengalaman pertamaku berada disini.

Karena sibuk menelfon dan sms, tak terasa dua jam pun berlalu di pantai ini. Dan ternyata mataharipun juga sudah ingin berpamitan. Warna cahayanya yang mulai menguning, menandakan waktu sudah sore kira – kira sekitar jam 4. Aku langsung segera menemui Udin untuk mengingatkan akan janjinya untuk mengajakku ke rumah pamannya. Sembari aku bisa sholat ashar juga disana. Kemudian kita langsung menuju rumah pamannya yang cukup dekat dari lokasi kita di pantai.

Akhirnya sampai juga di rumah paman Udin. Lalu kita turun dari motor dan berjalan menuju pintu rumah. Setelah beberapa kali ketok pintu dan mengucap salam, akhirnya seorang perempuan paruh baya keluar.
“Ah….ternyata kau din..”katanya saat bertemu Udin.
“Hallo, mama besar…”sahut Udin. Di Flores, mama besar adalah panggilan untuk bibi atau kakak dari mama.
“Mbana seba na?”tambah bibinya. Mbana Seba itu adalah bahasa Lio yang artinya “dari mana?” Bahasa Lio merupakan bahasa yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Flores bagian timur dalam kehidupan sehari - harinya.
“Paman, emba mai?” tanya Udin kepada bibinya yang artinya “Dimana paman?”
“di kebun” jawab bibi.
Tiba – tiba ibu melihatku dengan agak penasaran,
“Sai ini na? Kau punya bhondo, Udin?” tanyanya kepada Udin yang artinya “Siapa ini? Temanmu, din?”
“Yo’i…” jawab udin dengan lagak layaknya anak Jakarta.
“Eja, mai si!” kata bibi Udin kepadaku. Artinya “Mari masuk!” Dia mengira aku bisa Bahasa Lio.
Tiba – tiba langsung saja Udin menyela,
“MaE! Dia iwa talu Lio!” kata Udin yang menyuruh bibinya untuk tidak berbicara Bahasa Lio kepadaku.

Mengetahui bahwa aku tidak bisa berbahasa Lio dari Udin, dia langsung malu dan minta maaf kepadaku. Kemudian aku dan Udin langsung masuk kedalam rumahnya. Rumahnya cukup unik dan bagus. Rumah panggung yang terbuat dari kayu pohon kelapa ini cukup tinggi untuk menghindari banjir bah saat air laut sedang pasang. Selain itu interiornya juga sangat terjaga kerapiannya. Sehingga pertama kali aku masuk, aku langsung merasakan kenyamanannya.

Meskipun rumah bibi Udin sangat sederhana, tapi hampir semua perlengkapan rumahnya lengkap. Banyak perlengkapan listrik seperti kulkas, rice cooker, TV, amplifier dan speaker aktif, blender, dsb tersedia disana. Padahal listrik belum masuk di kampung, termasuk di daerah pantai ini. Tapi paman Udin memiliki generator dan mesin diesel sendiri. Maklum paman Udin adalah seorang pensiunan pegawai Pekerjaan Umum (PU) di kota Maumere. Selain itu dia juga mempunyai beberapa kebun dan sawah yang luas. Sehingga bisa membeli berbagai macam perkakas untuk rumahnya. Jadi diantara rumah panggung lain yang ada di sekitar pantai, rumah paman Udinlah yang terlihat paling mewah.

Mengetahui bahwa Udin tidak datang ke rumahnya sendirian melainkan bersama aku yang merupakan teman barunya dari luar Flores, bibi Udin langsung menuju dapur untuk mempersiapkan minuman buatku. Setelah semuanya siap, dia keluar untuk menghidangkan minuman itu kepadaku.
“Waduh, kok malah repot – repot begini tho ibu!” kataku.
“Ah….tidak apa – apa.” Jawab bibi sambil mengembangkan senyumnya.

Saat pertama kali melihat minuman yang dihidangkan oleh bibi, akupun langsung ngiler. Bukan Cuma ngiler sebenarnya, tapi selebihnya aku malah terkejut. Minuman itu dingin seperti es. Ternyata minuman sirup rasa jeruk itu telah dimasukkan ke dalam kulkas cukup lama. 

“Wah, berarti bibinya Udin sering memakai kulkas. Berapa liter solar yang harus dia beli tiap kali menyalakan mesin diesel agar tersedia arus listrik untuk kulkas dan perlengkapan listrik lainnya?” gumamku dalam hati.
Tanpa menunggu lama, akupun langsung mengambil gelas berisi minuman itu lalu meminumnya sampai habis. Begitupula dengan Udin. Kemudian kitapun saling pandang. Melihat bahwa kita berdua melakukan hal yang sama dengan rakusnya, kitapun tak kuasa menahan tawa.
“hehehe…..dihabiskan saja. Tidak apa – apa, masih banyak di kulkas.” Kata bibi.
“Oh ya….sekalian bibi ambilkan kuenya ya!” tambahnya.
“Ide bagus itu bi!” sahut Udin.

Sebenarnya aku ingin menolaknya, tapi karena Udin sudah meng-iyakan, ya sudah. Ikut menikmati aja. Mumpung ada kesempatan….hehe.
Sambil menyantap kue yang baru dihidangkan oleh bibinya, Udin ingat bahwa dia harus memperkenalkan aku kepada bibinya yang baik dan ramah itu.
“Mama, ini bapak guru baru dari jawa yang akan mengajar di SMP Mukusaki! Namanya Bapak Margono.”
“Margono bu.” Kataku kepada bibi sambil menyalami tangannya. Bibi pun juga langsung memperkenalkan diri.

Setelah sedikit mengobrol, aku langsung melihat jam di dinding. Jarum besar tepat menunjuk angka 5. Sudah jam 5! Aku harus sholat ashar! Akupun langsung minta izin kepada bibi dan bergegas melaksanakan sholat di kamar yang telah disiapkan olehnya. Walaupun berbeda agama, Udin dan bibinya sangat menghormatiku dalam menjalankan ibadah.  

Selesai sholat, aku langsung kembali ke ruang tamu. Tiba – tiba Udin berkata,
“Bibi, sebentar malam pak guru akan menginap di rumah ini!”
“Tidak apa – apa. Lagipula sudah sore. Tidak mungkin kan kalian pulang malam – malam. Menginaplah disini. Besuk pagi baru pulang.” Kata bibi.
“Oke…pak guru. Sebentar malam kita main PS ya!” kata Udin dengan sangat gembira.
Tapi justru aku malah terkejut, “hah, main PS? Disini ada PS? Dimana?”

Melihat tingkahku yang keheranan, Udin langsung tertawa sambil berkata,
“Ya disini lah pak guru….nih, sudah ada disini. Tinggal dimainkan saja. Oke?”

Play Station (PS) yang ada di rumah bibi ini adalah warisan dari anak kedua bibi yang saat ini kuliah di Malang, Jawa timur. Paman dan bibinya Udin memiliki dua orang anak. Anak pertama kerja di Kalimantan. Sedangkan yang kedua sedang kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Sehingga PS ini sudah lama tak terpakai dan menganggur jika Udin tidak main ke rumah ini. 

Tak lama kemudian pamannya Udin datang dari kebun. Usai sholat maghrib, aku langsung menemuinya. Lalu kita berkenalan dilanjutkan dengan obrolan yang cukup lama. Setelah mengobrol dengan paman, aku memutuskan sholat isya terlebih dahulu. Setelah itu baru bersama Udin main PS. Sedangkan paman langsung istirahat karena kecape’an setelah seharian di kebun. Aku dan Udinpun larut dalam permainan sepak bola PS sampai larut malam. Hingga akhirnya kita tidur ditempat setelah selesai main dan mematikan mesin diesel.

*******

“Pak guru….pak guru! bangun….bangun!”
“Lihat! Sudah jam berapa ini pak? Kita harus segera pulang sekarang pak. Kalau siang panas!”
Teriak Udin membangunkanku yang masih tidur pulas. Akupun tersentak.
“Hah!...emang jam berapa ini mas?” jawabku masih lemas.
“Sudah jam 7 pak guru! Oh ya….pak guru memang tidak sholat shubuh?..hehe” jelas Udin sambil cengar – cengir. Meskipun Udin beragama Katolik, tapi dia sangat memahami Islam. Dia tahu kapan seharusnya aku melaksanakan sholat. Itulah yang aku sukai dari dia. Belum tentu orang islam sendiri seperti itu. Think!
“Apa? Sudah jam 7?” sentakku kaget.

 Aku langsung bergegas menuju jendela yang telah dibuka oleh Udin. Aku lihat matahari tersenyum lepas melihat pantai dan masyarakat yang mulai beraktifitas disana. Meskipun sudah terlambat, tapi aku tetap tidak boleh meninggalkan sholat. Aku langsung bergegas ke kamar mandi, wudhu dan sholat.

Saat aku sholat, Udin bergantian menuju kamar mandi untuk mandi. Selesai sholat, tak lama kemudian terdengarlah suara nyanyian. Ternyata Udin suka sekali berkaraoke di kamar mandi. Mungkin dia memiliki bakat yang terpendam kali. Lagu yang ia bawakan adalah “Here for You” lagu yang dulu dinyanyikan oleh band rock asal Amerika, Firehouse. Mendengar suara Udin, aku jadi tak kuasa menahan tawa.  Aku tahu benar lagu yang ia bawakan itu. Bahkan liriknyapun aku juga hafal. Udin membawakan lagu itu dengan keras sekali. Suara Udin itu berat, padahal vokalis aslinya bersuara tenor…haha. Belum lagi dia juga sembarangan nyanyinya. Sampai – sampai aku tak paham kata apa yang ia ucapkan dalam lagu itu. Seperti sama sekali bukan Bahasa Inggris. 

Akhirnya aku hanya bisa bergeming dalam hati sambil menggeleng – gelengkan kepalaku.
“Udin…Udin. Dasar anak kampung.”
Setelah setengah jam lewat, akhirnya Udin keluar juga dari kamar mandi. Tapi karena pertimbangan waktu, aku memutuskan untuk tidak mandi saja. Menurutku cuci muka dengan “Face Wash” sudah cukup untuk membersihkan mukaku. Aku harus bergegas mempersiapkan diri karena masih ada beberapa tempat yang harus dikunjungi di kampung ini.

“Mas Udin, kita langsung berangkat saja ya!” pintaku pada Udin dengan jaket dan tas yang sudah menempel di tubuhku.
“Loh, pak guru sudah siap? Pak guru tidak mandi ya?..makanya bau….hehehe” katanya meledekku. Akupun langsung menangkis ledekannya itu.
“Epen!....walaupun tidak mandi, pak guru masih tetap cakep kan?...hoho.” Orang Flores biasa mengatakan Epen yang merupakan singkatan dari Emang penting tiap kali mereka malas meladeni orang yang menkritik mereka.
“Oke lah pak guru…..santai saja…!” Jawabnya sambil mempersiapkan dirinya. Kemudian naik ke motor besarnya. Akupun menyusulnya dari belakang. Sebelum berangkat, tak lupa kita berpamitan terlebih dahulu pada bibi Udin yang sedang menyapu halaman rumahnya.
“Bibi, kami berangkat dulu ya bi!” kataku sambil menyalaminya.
“Hati ….hati ya pak.” Balas bibi dengan senyum ramahnya yang mengembang. 

Pagi ini aku tidak sempat melihat paman Udin karena dia sudah pergi ke kebun pagi  - pagi sekali saat aku dan Udin masih tidur. Paman Udin memang terkenal rajin bekerja sejak masih menjadi pegawai PU sampai sekarang.

Motor Udin langsung melaju kencang menuju tempat berikutnya yang akan kita kunjungi. Dan akhirnya kitapun mengunjungi beberapa tempat di kampung seperti rumah adat, air terjun, danau, dan kampung muslim. Tak terasa sudah sore. Udin langsung mengajakku untuk pulang.

****************

Sesampainya di rumah, aku meminta Udin untuk mampir sebentar. Udin kelihatan sangat capai. Aku yakin dia butuh istirahat sebentar sebelum pulang ke rumahnya.
“Mas Udin, mai si…..mampir sebentar!” ajakku dengan sedikit belajar Bahasa Lio untuk pertama kalinya.
“Terimakasih, pak Guru.” Udin langsung duduk di ruang tamu. Tiba – tiba bapak tuan rumah datang.
“Wah, pak Margono sudah pulang!... kemarin saya bingung dan khawatir sebenarnya Pak Margono kemana saja kok sampai dua hari belum pulang juga. Disini kan berbeda dengan yang ada di jawa, pak. Takut ada apa – apa.” Katanya sambil memperlihatkan senyumnya tanda bahwa dia merasa lega mengetahui kedatanganku bersama Udin.
“Tadinya saya mau telefon pak Margono, tapi mau telfon dimana? Disini kalau telfon harus di pantai. Jauh.” Tambahnya.

Pernyataannya ini justru membuatku semakin heran. Berarti bapak sudah punya HP dong. Ternyata banyak juga orang di kampung ini yang sudah memiliki HP, padahal sinyal belum tersedia. HP nya pun bukan HP biasa. HP itu mempunyai aplikasi yang lengkap dan up to date. Aku saja kalah…hemmm.
“Oh ya, pak…. Saya ambilkan minum dulu ya. Pasti kalian sangat kehausan setelah perjalanan jauh.” Tambahnya lagi.

“Iya…pak, terimakasih.” Karena saking hausnya, tanpa basa basi aku langsung menerima tawaran bapak.
Tak disangka, aku kira Udin sudah kelelahan kemudian duduk diam di kursi. Tapi ternyata dia malah masih ingin mengajakku ngobrol.

“Bagaimana pak guru perjalanannya tadi? Puas kan?” tanyanya membanggakan diri karena sudah bersedia sepenuh hati mengantarku berkeliling kampung. Sampai menginap di rumah pamannya juga.
“Siiiiiiiippppppppppp! Kamu memang hebat Mas Udin!! Motornya juga keren!! Ditambah lagi HPnya!!..wuissss…..ckckckckk…gagah ..e….hehehe.” Kelakarku berlebihan.
“Oya, ngomong – ngomong, pak guru beli HP yang kayak saya punya aja. Udah oke, bisa main BBM  an and internetan lagi.” Sela Udin dengan gaya omong khas anak Jakarta. Mungkin kata – kataku tadi langsung mengingatkannya pada HP jadul milikku yang sudah ketinggalan jaman.
“Tidak usah mas….. biar pak guru pake ini saja. Lagipula saya ini kan guru, buat apa HP bagus – bagus.” 

Aku menyadari memang HP ku ini tidak gaul untuk aku yang masih sarjana muda. Tapi sebenarnya aku sudah pernah memiliki HP seperti milik Udin, tapi aku jual waktu di Semarang sebelum berangkat tugas disini. Aku sudah antisipasi dari awal, mending aku pakai HP sederhana saja soalnya aku sudah tahu bahwa aku akan ditempatkan didaerah terpencil tanpa sinyal. Buat apa HP bagus – bagus kalau ternyata jarang dipakai. Tapi Udin tidak tahu. Dan aku memang sengaja merahasiakannya agar dia tidak tahu dan tidak tersinggung.

Setelah mendengarkan jawabanku, Udin pun terdiam. Kemudian dia minum air putih yang telah disediakan oleh bapak sembari sesekali memainkan Blackberry nya itu.
Sehabis itu dia sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.
“Wah, sudah sore pak guru…. Saya pulang dulu ya.” Kata Udin dengan sedikit terkejut.
“Begitu saja Mas? Tidak mau menginap disini dulu?”
“Ah….tidak pak guru. Sebentar kalau bapak mencari gimana?” Jawabnya sambil senyum kepadaku.
“Walah….udah besar kok masih dicari bapaknya?...hehe. Kataku sedikit bercanda.
“hehehe….woookeey dech….sampai jumpa pak guru…see you!…kapan – kapan kita jalan – jalan bareng lagi ya pak guru!”
“siiiiipppp!!”
Udinpun menstarter motor besarnya dan melaju kencang hingga hilang dari pandanganku.


************

Setelah kepulangan Udin, aku langsung menuju kamar mandi. Aku harus mandi dan sholat ashar segera. Malamnya, karena kecapaian, setelah sholat isya, aku langsung merebahkan tubuhku diatas kasur.  Dan ternyata generator listrik di sebelah rusak lagi, sehingga aku melewati malam yang gelap lagi di rumah ini.
Dalam kegelapan, pikiranku langsung tertuju pada bayangan kehidupan masyarakat kampung ini setelah aku mengenalnya lebih dekat bersama Udin. Bayangan yang membuatku semakin heran dan ingin senyum – senyum sendiri.

Sebuah kampung yang jauh dari keramaian, tanpa listrik dan sinyal HP serta sebagian besar masyarakatnya bercocok tanam di sawah dan kebun, memiliki pola pikir dan keinginan yang tidak mau kalah dan ketinggalan dengan masyarakat di perkotaan seperti yang mereka lihat selama ini di TV. Yang pertama adalah penggunaan alat – alat listrik seperti kulkas, rice cooker, blender, dan perlengkapan hiburan lain seperti TV dan Playstation. Padahal arus listrik dan sarana instalasinya belum tersedia di kampung ini. Mereka rela membeli minyak solar dalam jumlah yang besar untuk bisa menyalakan peralatan itu semua.  Dan yang lebih mengherankan lagi ternyata jika di tempat ini ada arus listrik, itu berasal dari pusat kota. Sedangkan PLN (Perusahaan Listrik Negara) daerah yang ada di kotapun juga menggunakan mesin diesel besar berjumlah 5 buah untuk menghasilkan arus selama 24 jam setiap harinya. Aku tak bisa membayangkan, berapa liter solar yang dihabiskan setiap harinya?...hemm…ironis!. Sebenarnya daerah ini sudah lama mengupayakan pendirian PLTU (Pembangkit Listrik tenaga Uap) dan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), akan tetapi sampai sekarang proyek itu belum juga terselesaikan.Yang kedua adalah penggunaan HP. Rata – rata masyarakat di kampung ini sudah memiliki HP. Padahal sinyal saja belum tersedia. Kalaupun ada sinyal, mereka harus ke pantai dengan menempuh jarak sekitar 20 km. Sehingga HP jarang sekali digunakan untuk menelfon atau sms melainkan untuk mendengarkan musik atau foto – foto.

Dan terakhir, yang paling membuatku heran lagi adalah penampilan Udin dengan motor besarnya, pakaian trendi dan celana pensilnya serta aneka macam asesoris yang menempel ditubuhnya seperti kalung, gelang, anting, dan dompet berantai yang membuatnya seperti layaknya artis ibukota. Belum lagi saat melihat dia asyik dengan Blackberry nya…..gila! Aku yang anak asli Semarang saja kalah jauh!..hemmm.

“Dasar Anak Udik Gaya Metropolis!”

Akupun akhirnya tertidur pulas dan mimpi indah.

TAMAT


Cerpen ini ditulis sebagai wujud empati penulis terhadap masyarakat NTT khususnya di Flores yang masih mengalami kesenjangan sosial.
Nama – nama tokoh yang ada dalam cerita ini adalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, maka itu hanyalah kebetulan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar