|
Pulang sekolah bersama siswa
Lokasi: Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende,
Nusa Tenggara Timur (NTT) |
Menjadi Guru di Pedalaman
*Aziza Restu Febrianto
4
bulan setelah keputusan berhenti bekerja dan menganggur, saya akhirnya mendapatkan
informasi yang sangat menarik perhatian saya. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) melalui program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia
(MBMI), membuka lowongan guru yang akan ditempatkan di daerah terpencil selama
satu tahun, bernama Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal
(SM-3T). Program ini adalah pioneer atau rintisan dari pemerintah karena
sebelumnya sudah ada program yang serupa yaitu Gerakan Indonesia Mengajar dari pihak
swasta. Saya sangat antusias sekali untuk mendaftar program ini karena
pengalaman yang akan diperoleh peserta ketika ditempatkan di daerah 3T.
Pada
awalnya ibu tidak merestui, namun, setelah saya jelaskan, beliau akhirnya
mantab dan merelakan keputusan saya. Setelah mempersiapkan semua
persyaratannya, sayapun mendaftar secara online. Jujur saja, ketertarikan saya untuk mengikuti
program ini sekali lagi bukanlah karena alasan keinginan pribadi untuk menjadi
guru, tapi karena jiwa petualangan dan rasa ingin tahu yang tinggi untuk
mengeksplorasi tempat-tempat baru. Kebetulan program ini hanya diperuntukkan bagi para lulusan S1 kependidikan atau keguruan seperti saya.
Saya
kemudian mengikuti semua proses seleksi dengan baik, mulai dari administrasi secara online
maupun offline, tes tertulis berupa Tes Potensi Akademik (TPA) dan Tes
Kompetensi Bidang (TKB), hingga yang terakhir, yaitu wawancara. Alhamdulillah,
saya mampu melewati semua tahapan seleksi secara sempurna. Saya bahkan tidak
terlalu menghabiskan waktu lama untuk melewati proses wawancara karena
pewawancara dengan cepat mendapatkan kesan yang baik mengenai saya.
“Sepertinya anda punya banyak
wawasan dan matang. Saya yakin anda siap ditempatkan di Nusa Tenggara Timur
(NTT).”
Seperti
itulah kesan yang beliau tunjukkan kepada saya pada saat wawancara. Sebenarnya
jawaban yang saya sampaikan hanya mengalir begitu saja. Tidak ada yang dibuat-buat.
Tapi saya yakin kesan itu muncul karena beliau pastinya membandingkan performa saya
dengan peserta lain yang kebanyakan berusia 3 tahun lebih muda dari saya (baru
saja lulus kuliah). Pola pikir orang dengan jarak usia seperti itu tentu saja
sangat berbeda, ditambah lagi dengan pengalaman hidup yang dimiliki.
Setelah
dinyatakan lolos sebagai peserta SM-3T, saya kemudian mengikuti kegiatan
pra-kondisi atau pembekalan selama seminggu di Semarang dalam rangka persiapan
untuk menghadapi tantangan hidup dan mengajar selama tinggal di daerah 3T. Selama kegiatan
ini, semua peserta dibekali dengan beberapa keterampilan seperti membuat
perangkat pembelajaran, teknik mengajar yang menarik sesuai dengan daerah 3T,
ketahanmalangan, dan kepramukaan. Khusus untuk materi ketahanmalangan, kita semua secara langsung dibimbing oleh para anggota TNI dari Ringdam Diponegoro, Magelang.
Serangkaian latihan dalam membuat perangkat pembelajaran dan teknik mengajar selama kegiatan pra-kondisi
inilah yang akhirnya membuat saya mulai menemukan semangat dan ketertarikan
untuk menjadi guru. Pada kegiatan ini, semua peserta diberikan bimbingan
tentang cara mengajar, mulai dari membuat materi hingga permainan menarik yang
disesuaikan dengan kondisi di daerah 3T, yang tentu tidak lepas dari
keterbatasan sarana dan prasarana.
Kegiatan
pra-kondisi dan pembekalanpun akhirnya selesai. Sehari kemudian, saya dan
peserta lainnya diberangkatkan menuju lokasi tujuan. Beberapa peserta diberangkatkan
menuju provinsi Aceh, sedangkan saya dan beberapa teman lainnya dikirim ke
Kabupaten Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten ini sangat
terkenal, terutama karena merupakan tempat dimana presiden pertama RI, Soekarno pernah
diasingkan. Perjalanan saya menuju Kabupaten Ende adalah pengalaman saya naik
pesawat untuk pertama kalinya..hehe. Sungguh, yang rasakan waktu itu adalah
kebahagiaan yang luar biasa: melakukan perjalanan dengan naik pesawat dan
mengunjungi tempat-tempat indah di NTT.
Sesampainya
di Ende, tentu saja saya dan teman-teman lain tidak ingin melewatkan kunjungan
ke rumah Bung Karno saat diasingkan pada tahun 1943 dulu. Alhamdulillah, selama
program SM-3T, saya telah mengunjungi banyak tempat di semua pulau besar di
NTT, hidup bersama masyarakat dan mempelajari kebudayaan setempat. Sungguh,
saya sangat bersyukur sekali mendapatkan kesempatan ini.
Saya
ditugaskan di sebuah SMP Katolik yang lokasinya sangat jauh dari kota Ende.
Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor, kira-kira bisa menghabiskan waktu
sekitar 4 jam untuk menuju ke sekolah dari kota. Sebagai seoarang guru baru
dengan latar belakang yang berbeda dengan penduduk setempat, tentu saja saya
mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pengalaman selama mengajar di sekolah
ini. Pertama, saya harus belajar banyak perbedaan terutama mengenai kebiasaan, budaya, dan adat-istiadat lokal. Saya belajar bagaimana mengajar siswa dengan memiliki
latar belakang suku, budaya, agama serta wawasan yang sangat berbeda. Kedua, saya juga harus belajar bagaimana cara berinteraksi dengan para guru yang cara mengajar dan mendidiknya
sangat berbeda dari kebanyakan guru yang selama ini saya temui di pulau Jawa.
Motivasi
belajar kebanyakan siswa di sekolah tempat saya bertugas ini bisa dikatakan
masih sangat rendah. Kesimpulan ini bisa dilihat dari tingkat partisipasi siswa
di sekolah serta perhatian mereka pada pembelajaran yang saya berikan di kelas.
Ketika mengajar, saya sering sekali mengalokasikan waktu untuk bercerita.
Tujuannya tentu adalah agar mereka semakin terinspirasi melalui cerita saya dan
semangat belajar Bahasa Inggris mereka menjadi semakin meningkat. Namun,
semakin saya sering bercerita, yang terjadi malah mereka ternyata menjadi
ketagihan mendengarkan cerita dan kurang antusias saat saya memulai
pembelajaran. Beginilah kira-kira dialog saya dengan siswa di kelas setelah
saya selesai bercerita:
“Nah
sekarang saatnya kita mulai mencintai Bahasa Inggris dengan mempelajari materi
kita pada hari ini, okay?” Mereka kemudian malah berteriak, “Cerita lagi pak guru…….. Cerita lagi!!”
Dalam hati saya
bergumam, “Gawat, kalau saya bercerita terus, kapan masuk materinya?” Akhirnya
saya hanya bisa bilang kepada mereka, “Ceritanya
kita lanjutkan lain kali saja ya…….. Okay?” Merekapun merenyutkan dahi,
tanda sebuah rasa kekecewaan.
Saya
kemudian mencoba menerapkan beberapa permainan di kelas, berharap siswa saya secara
tidak langsung menjadi antusias dengan pembelajaran yang saya berikan. Namun
yang terjadi lagi-lagi mereka malah menjadi ketagihan dengan permainan itu.
Kejadian ini persis seperti apa yang saya alami ketika saya selesai bercerita
di kelas.
“Main
lagi aja pak guru….main lagi…..” celoteh beberapa orang
siswa. Berharap memiliki waktu untuk penjelasan materi, saya hanya bisa bilang,
“Permainannya
kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya aja ya….”
“Kita
kembali ke materi dulu…okay?”
Kejadian
semacam ini sering sekali terjadi di kelas saya, sehingga saya harus selalu
memutar otak untuk mencari kreativitas mengajar yang menarik dan sekaligus juga
membuat siswa belajar sesuatu di kelas. Setelah setahun saya mengajar di
sekolah itu, akhirnya saya menemukan satu kesimpulan tentang siswa disana.
Motivasi belajar Bahasa Inggris siswa di sekolah itu sangat rendah karena
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan keluarga. Mereka merasa senang dan antusias
dalam belajar saja sudah merupakan sebuah pencapaian yang bagus. Tapi
konsekuensinya, target pembelajaran yang seharusnya mengikuti kurikulum tidak
pernah tercapai.
Diantara
semua pengalaman yang saya dapatkan selama mengajar di SMP terpencil ini, menurut
saya ada satu yang paling berkesan. Semua berawal dari penemuan saya tentang
beberapa siswa di kelas yang tidak memiliki motivasi sama sekali untuk
melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Saya mengetahuinya ketika rasa penasaran
saya begitu memuncak terutama pada siswa yang selalu saja acuh, tidak peduli
dengan pelajaran saya dan suka membuat kegaduhan di kelas. Di luar pelajaran,
mereka juga sering sekali dihukum oleh guru lainnya. Sayapun akhirnya
berinisiatif untuk mewawancari mereka satu persatu. Berikut ini adalah cuplikan
salah satu dialog saya dengan salah seorang diantara mereka:
Saya bertanya kepada
salah satu siswa, “Samuel, kamu sadar kan
kegaduhan yang kamu buat sangat menganggu temanmu lain yang sedang belajar?”
Sambil tersenyum,
Samuel pun menjawab, “Iya pak guru.” “Kamu itu sebenarnya cerdas…. Kalau lulus
nanti, kamu masih ingin melanjutkan sekolah lagi kan?”
Dengan santainya dia
menjawab, “Malas pak guru. Saya mau cari
ikan di laut saja. Di sekolah banyak aturan, tugas dan disuruh bekerja pula.”
Mendengar
jawaban dari Samuel ini, saya berkesimpulan bahwa sekolah menurut dia adalah
tempat yang tidak nyaman. Di percakapan lain, dia juga berpendapat bahwa
percuma dia melanjutkan sekolah jika akhirnya harus menjadi nelayan di kampung.
Sepertinya memang ada yang salah dengan cara orang tua Samuel dalam mendidik
Samuel selama ini.
Pengalaman
lain yang tidak kalah menariknya adalah melihat bagaimana guru memperlakukan
siswa, yang menurut saya kurang beradab. Kebiasaan memukul siswa sudah menjadi
hal yang lumrah di sekolah itu. Bahkan orang tua siswapun mendukung kebiasaan
itu. Kebiasaan ini mengingatkan saya pada budaya guru menghukum pada jaman dulu
di kampung saya di Jawa. Tapi menurut saya cara menghukum yang dilakukan oleh
guru di sekolah ini jauh lebih keras. Saya sempat berdialog dengan salah
seorang guru yang dengan sangat keras menghukum siswanya pada saat apel pagi.
Saya bilang kepada guru
itu, “Ibu, menurut saya ibu tadi terlalu
kasar pada siswa. Harusnya jangan seperti itu memperlakukan mereka.”
Dengan tersenyum simpul
beliau menjawab, “hehe…..itu sudah biasa
pak disni. Disini jangan dibandingkan dengan di jawa atau di kota. Anak – anak
kalau tidak dikasih kasar dan keras, mereka tidak akan merubah sikap. Mereka
itu kepala batu. Mereka juga sudah terbiasa diperlakukan sama oleh mereka punya
orang tua di rumah.”
Sedikit kecewa dengan
tanggapannya, kemudian saya menyanggah, “Terus
bagaimana kalau nanti ada keluhan atau protes dari orang tua mereka?” Beliau
malah menambahkan, “justru mereka punya orang
tua sangat mendukung tindakan kami. Mereka bilang, kalau anak mereka nakal,
pukul saja.”
Pengalaman
selama mengikuti program SM-3T ini membuat saya semakin belajar. Di tempat
tugas, saya belajar banyak tentang bagaimana menumbuhkan sikap toleransi
terhadap banyaknya perbedaan. Tidak hanya perbedaan berdasarkan suku, agama dan
ras saja, tapi juga pandangan serta pola pikir manusia yang sangat beragam. Saya
akhirnya juga semakin mantab memilih guru sebagai profesi saya walaupun di
kemudian hari, pandangan saya itu bisa saja berubah.