Minggu, 04 Agustus 2019

Guru vs Youtube

Ilustrasi: https://jatimtimes.com


Guru vs Youtube

*Oleh Aziza Restu Febrianto

Setiap jaman selalu menawarkan tantangan yang berbeda. Keadaan manusia di masa kini tentu sangat berbeda dengan masa lalu akibat perubahan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Perubahan ini merupakan sebuah keniscayaan karena manusia selalu ingin mencari dan menemukan berbagai macam cara agar hidupnya semakin menjadi lebih baik dan mudah. Mereka selalu memastikan bahwa semua pekerjaan bisa dilakukan dengan cara efektif dan efisien.

Semua perubahan yang ada tentu saja berimplikasi pada nilai dan tatanan kehidupan manusia yang secara perlahan mulai bergeser. Kebiasaan manusia menjadi berubah. Manusia kemudian cenderung meninggalkan cara-cara lama, yang sudah tidak relevan dan tidak dibutuhkan pada jamannya. Banyak yang menganggap perubahan itu adalah peluang, tapi tidak sedikit pula orang yang merasa takut dan khawatir akan kehadirannya. Salah satu implikasi dari perubahan yang sering membuat orang khawatir adalah dampaknya terhadap dunia pendidikan, terutama bagi anak-anak mereka.

Pada jaman dahulu, orang belajar melalui interaksi tatap muka atau face to face antar anggota keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar (cara konvensional). Mereka yang mempunyai akses terhadap buku bisa belajar dengan referensi yang lebih lengkap. Namun, ketika radio dan televisi (TV) ditemukan, banyak orang kemudian mempunyai sumber belajar baru, yaitu berita dan informasi yang disajikan melalui alat elektronik itu. Akhirnya mereka yang mempunyai radio atau televisi tidak lagi hanya mengandalkan cara lama atau konvensional untuk belajar sesuatu.

Teknologi dan informasi semakin berkembang dari waktu ke waktu, yang kemudian mempengaruhi kebiasaan orang dalam belajar. Terciptanya alat komunikasi seperti Handphone (HP) pada pertengahan abad ke-20 memudahkan orang untuk saling berkomunikasi. Mereka kemudian memanfaatkan alat ini untuk saling bertukar informasi. Untuk mendapatkan pasar dan pelanggan, semua perusahaan HP kemudian saling bersaing untuk merebut perhatian masyarakat. Persaingan inilah yang akhirnya memunculkan inovasi dan perkembangan dunia komunikasi dan informasi hingga saat ini. Berawal dari HP yang dulunya hanya bisa digunakan untuk berkomunikasi saja melalui sinyal radio, berkembang menjadi HP pintar yang terkoneksi dengan internet. Dari jaringan yang bermula dari 0G menjadi 4G atau bahkan 5G, yang membuat koneksi semakin cepat.

HP pintar atau Smartphone yang kita miliki saat ini tentu secara signifikan telah merubah gaya dan kebiasaan orang dalam belajar. Orang yang sebelumnya hanya bisa mengakses internet melalui komputer, sekarang bisa melakukannya hanya dengan menggunakan HP. Saat ini, hampir semua orang termasuk anak-anak dan remaja sering mengakses internet melalui HP. Tidak hanya informasi tertulis di website atau blog yang mereka dapatkan ketika berselancar di internet, tapi juga rekaman suara hingga video berkualitas HD (High Definition).

YouTube adalah salah satu platform media sosial yang menawarkan kesempatan bagi orang untuk mendapatkan informasi dan saling berbagi pengetahuan dalam bentuk video. Siapapun bisa menikmati berbagai macam video atau bahkan berbagi video melalui YouTube. Orang yang suka berbagi video ini biasa dikenal dengan dengan Vloggers. Banyaknya orang yang berbagi video ini akhirnya menjadikan YouTube sebagai satu-satunya media sosial yang paling disukai oleh masyarakat, termasuk para remaja. Sebuah badan peneliti yang berbasis di Amerika Serikat, Pew Research Center tahun lalu telah mengungkap bahwa para remaja usia belasan tahun saat ini lebih tertarik menggunakan YouTube daripada media sosial lainnya.

Untuk kalangan remaja, YouTube ternyata memiliki daya pikat paling kuat diantara media sosial lain seperti Facebook, Instagram, Snapchat ataupun Twitter. Penelitian Pew menunjukkan bahwa 85 persen remaja usia 13-17 lebih senang membuka YouTube. Setelah YouTube, media sosial yang banyak disukai oleh remaja ini adalah Instagram dengan persentase 72 persen. Jumlah remaja yang dulunya menyukai Facebook akhirnya merosot tajam hingga 51 persen saja. Yang mengejutkan adalah mayoritas remaja ini (95 persen) menggunakan semua media sosial itu melalui HP mereka sendiri, atau tanpa bimbingan orang tua.

Menurut studi yang sama, alasan utama para remaja menggunakan YouTube adalah karena platform ini memiliki karakteristik layanan yang sederhana, tapi kaya informasi. Mereka menganggap YouTube adalah model TV yang baru. Namun, berbeda dengan TV, mereka bisa menikmati video apapun yang mereka mau melalui YouTube. Mereka bahkan bisa berbagi informasi dengan mengunggah video yang mereka buat sendiri untuk para penonton lain. Mereka juga bisa mendapatkan penghasilan melalui video itu jika telah ditonton minimal seribu orang atau telah memenuhi persyaratan dari YouTube.

Kegandrungan remaja terhadap YouTube tentu saja memiliki dampak positif dan negatifnya. Namun penulis tidak sedang berfokus pada itu. Yang jelas YouTube telah berperan menjadi sumber belajar sekaligus media berekspresi para generasi muda masa kini. Informasi apapun tersedia disana. Berbagai macam tutorial, presentasi, kuliah ataupun workshop bisa ditemukan disana, bahkan bisa saja langsung dari pakarnya. Video yang bisa dinikmati juga kebanyakan sangat menarik. Yang menjadi pertanyaan, jika para remaja sekarang banyak mengandalkan YouTube sebagai sumber belajar, lalu bagaimanakah peran guru di sekolah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, semua harus kita kembalikan pada hakikat tugas guru dalam pendidikan. Menurut Undang-undang No. 14 Tahun 2005, guru merupakan pendidik profesional yang memiliki tugas utama, yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan formal mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Jadi tugas guru itu banyak sekali, tidak hanya mengajar atau memberikan informasi saja. Semua tugas ini tentu saja tidak bisa dilakukan atau digantikan oleh para Vloggers di YouTube.

YouTube memang menyediakan berbagai macam video informasi yang tentu saja sangat berguna bagi semua orang terutama remaja. Video informasi itu bahkan bisa diakses kapanpun sesuai dengan kebutuhan. Bukan searah atau satu sudut pandang seperti TV. Namun, pada kenyataannya YouTube tetap tidak bisa menggantikan peran guru di kelas. Ada banyak peran yang ternyata tidak bisa diambil alih oleh platform media sosial itu. Misalnya, dalam proses pembelajaran, ketika siswa sudah memperoleh pengetahuan, mereka kemudian diberikan tugas untuk mengasah kemampuan dan keterampilan. Kegiatan ini tentu memerlukan bimbingan dan evaluasi yang tidak bisa diberikan oleh YouTube. Ketika mendapatkan masalah, siswa juga memerlukan seseorang untuk bertanya dan berkonsultasi. Guru kemudian memberikan masukan dan feedback sesuai dengan kebutuhan siswa. Hanya guru kelaslah yang bisa melakukan ini.

Yang jadi masalah sebenarnya bukanlah peran guru kelas yang bisa saja tergantikan oleh YouTube, tapi gap informasi antara yang disampaikan oleh guru dengan yang diberikan oleh para vloggers. Siswa yang sering menonton video dari YouTube tentu memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Siswa itu akhirnya menemukan gurunya sendiri di internet. Guru mereka itu bahkan bisa banyak, atau bahkan adalah pakar di bidangnya. Dengan kebiasaan menonton YouTube ini, sangat mungkin sekali jika pengetahuan yang dimiliki oleh siswa itu menjadi lebih banyak dan akurat daripada gurunya. Pengetahuan mereka itu juga bisa lebih up to date atau aktual daripada yang dimiliki oleh gurunya.

Ada beberapa sikap yang seharusnya dimiliki oleh guru dalam menghadapi para generasi milenial semacam itu di kelas. Pertama, guru harus sadar bahwa luasnya wawasan dan keakuratan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa melalui berbagai sumber di internet itu merupakan sesuatu hal yang wajar, karena mereka tumbuh di jaman yang penuh dengan informasi. Wawasan yang dimiliki oleh siswa seharusnya tidak dianggap sebagai suatu ancaman bagi guru. Para guru seharusnya justru bahagia dan bangga melihat siswanya pintar. Mereka hendaknya juga senang melihat siswanya yang suka berdebat, mengkritik atau bahkan menguji kemampuan gurunya. Bukan malah merasa terancam.
Yang kedua, keberadaan YouTube merupakan sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. YouTube harusnya dianggap sebagai salah satu sumber dan media pembelajaran di kelas. Banyak hal menarik yang bisa guru manfaatkan untuk mendukung pembelajarannya di kelas. Misalnya, mereka bisa memakai lagu, film pendek atau permainan yang tersedia di YouTube untuk mengajar agar siswa mereka senang mengikuti pembelajarannya.

Agar tidak tertinggal oleh siswanya, guru hendaknya juga selalu memperbarui pengetahuannya melalui berbagai macam konten terkini yang ada di YouTube. Jika ingin bisa dekat dan diterima oleh siswanya di kelas, guru tentu juga harus mengetahui kehidupan mereka. Untuk itu, guru perlu tahu kebiasaan para siswanya. Kalau perlu, mereka bisa menonton video-video yang biasanya disukai oleh siswanya itu. Mereka kemudian merancang dan menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan siswa. Dengan demikian, mereka bisa lebih mudah mengatur para peserta didiknya itu di kelas.

YouTube faktanya telah menjadi sebuah platform media sosial yang paling berpengaruh di masa kini. Di masa depan, YouTube bisa diprediksi akan mengalami banyak perubahan. Teknologi informasi dan komunikasi akan selalu berkembang di masa yang akan datang, memberikan tantangan baru lagi bagi para generasi yang baru. Oleh karena itu, kita hendaknya menjadikan YouTube dan internet sebagai rekan kita, bukan sebagai ancaman. Yang kita perlukan hanyalah mengatur dan mengontrol penggunaannya untuk kebaikan bersama, termasuk pendidikan.

Artikel ini pernah dimuat di kompasiana: 

Jumat, 26 Juli 2019

Refleksi Kegagalan Tahun 2019



*Aziza Restu Febrianto

Kali ini saya ingin menulis sebuah refleksi tentang kegagalan dalam hidup saya. Mungkin banyak orang malu untuk menceritakannya. Tetapi tidak bagi saya karena menurut saya, cerita kegagalan itu justru lebih inspiratif daripada cerita kesuksesan. Menulis refleksi ini membuat saya seolah-olah flashback ke masa lalu, ketika saya baru saja menyelesaikan pendidikan S1. Dengan berbekal ijazah resmi di tangan dan beberapa sertifikat penunjang lainnya, saya melamar di berbagai macam universitas dan berharap untuk menjadi dosen pada salah satu institusi yang saya lamar. Saat itu sarjana atau lulusan pendidikan S1 masih memiliki peluang banyak untuk menjadi dosen. Karena begitu banyaknya universitas yang saya lamar waktu itu, saya sampai lupa berapa jumlah pastinya. Prinsip saya ketika itu adalah terus berusaha menyebarkan jejaring pancing, siapa tahu dari jaring dengan kail yang saya lepaskan ke berbagai kolam itu dapat menarik perhatian salah satu ikan (kampus).

Pada hari ini, hari ketika saya mendapatkan informasi akan kegagalan saya yang masih hangat di kepala (tidak lolosnya saya pada Tes Potensi Akademik (TPA) dalam rangka seleksi dosen di UII Yogyakarta), saya merasakan bahwa sejarah itu terulang kembali. Sejarah rangkaian kegagalan pada tahun 2009 silam dengan peristiwa yang terjadi pada saya saat ini, di tahun 2019, atau 10 tahun kemudian. Keadaan inilah yang membuat saya berfikir keras, yang akhirnya berakhir pada tulisan refleksi dan evaluasi ini.

Setelah menyelesaikan studi Master (S2) dari salah satu universitas bergengsi di Inggris, saya tentu memiliki impian yang sangat ideal dan rencana yang baik ketika kelak kembali ke tanah air. Beberapa impian saya yang pernah saya tulis adalah bekerja sebagai dosen pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di sebuah universitas, mempublikasikan karya ilmiah pada jurnal terindeks internasional, dan menerbitkan buku. Apa yang saya lakukan ini persis sama seperti ketika saya lulus S1 dulu, yang pastinya juga mempunyai impian. Impian saya pada waktu itu adalah menjadi seorang dosen di sebuah universitas dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 di luar negeri.

Realitanya, semua impian dan rencana itu ternyata hanya berujung menjadi kenangan. Setelah lulus S1, saya tidak bisa menjadi dosen dan tidak juga mendapatkan beasiswa untuk S2. Memang sebenarnya ada salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja yang sempat menerima saya setelah melalui beberapa tahapan seleksi. Namun karena pertimbangan gaji yang ternyata tidak mencukupi untuk bertahan hidup di Jogja, saya kemudian memutuskan untuk tidak mengambilnya. Sebuah perguruan tinggi swasta di Madiun juga sempat memanggil saya untuk mengikuti ujian seleksi dosen. Waktu itu saya dinyatakan diterima dan bahkan diberitahu mata kuliah apa saja yang akan saya ampu. Hanya saja pada saat mendekati semester baru tiba, saya tidak pernah dihubungi atau diundang oleh pihak kampus untuk koordinasi. Dan setelah saya meminta klarifikasi, saya justru dinyatakan tidak memenuhi syarat karena alasan belum memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Dalam hati saya berkata, bagaimana saya bisa mempunyai NIDN kalau mengajar di kampus saja belum pernah. Justru saya ingin mengajar di kampus itu agar bisa mendapatkan NIDN.

Menyadari akan keinginan, impian dan rencana yang tidak terealisasi, saya tidak punya pilihan lain selain harus berkompromi dengan keadaan. Akhirnya saya memilih untuk tetap bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar di kota kecil Salatiga dan mendaftar CPNS guru. Waktu itu peluang lulusan S1 Pendidikan hanya bisa mendaftar CPNS keguruan atau instrukur di institusi pemerintahan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi saya untuk mendaftar dosen yang mensyaratkan pendidikan minimal S2. Sejak lulus S1, jika dihitung, saya telah mengikuti ujian dan seleksi CPNS selama 5 kali di tempat yang berbeda. Dan sayangnya semua juga berakhir pada kegagalan. Selain CPNS, saya juga sudah beberapa kali mencoba peruntungan dengan mendaftar beberapa beasiswa luar negeri untuk mengejar impian saya yang kedua. Namun itu semua juga berakhir pada kegagalan. Moving on dari rangkaian kegagalan yang saya alami, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar seleksi program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T) pada akhir tahun 2011. Namun, niat saya mendaftar program itu bukanlah karena panggilan hati untuk menjadi guru, akan tapi hanya ingin mencari pengalaman dan wawasan saja.

Selesai program SM-3T, sayapun mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama satu tahun melalui beasiswa sebagai program lanjutan. Memang pendidikan dan pelatihan yang saya dapatkan melalui PPG sempat membentuk pola pikir dan jati diri saya untuk bekerja di dunia keguruan. Namun, semuanya tetap tidak bisa merubah impian saya, yaitu bekerja sebagai dosen di bidang pendidikan, bukan sebagai guru di sekolah. Sehingga setelah lulus PPG, sambil bekerja sebagai guru di sekolah internasional, saya juga mempersiapkan semua persyaratan untuk mendaftar beasiswa. Saat itu kesempatan yang sangat terbuka dan lebih terukur adalah mendaftar beasiswa LPDP. Karena syarat untuk menjadi dosen harus berpendidikan minimal S2 dan syarat untuk mendaftar LPDP juga tidak terlalu rumit, akhirnya sayapun memutuskan untuk fokus mempersiapkan beasiswa itu dengan serius.

Kegagalan pasca lulus S1 tahun 2009
  1. Gagal menjadi dosen di Bina Sarana Informatika (BSI) cabang Yogyakarta
  2. Gagal menjadi dosen di IKIP PGRI Madiun (sekarang UNIPMA)
  3. Gagal menjadi dosen di beberapa universitas lain di Madiun, Yogyakarta, Solo, dan Semarang
  4. Gagal menjadi guru PNS di Kab. Ngawi
  5. Gagal menjadi PNS di Kementerian Keuangan
  6. Gagal menjadi PNS di Pemprov. Yogyakarta
  7. Gagal menjadi guru PNS di Kementerian Agama
  8. Gagal menjadi guru PNS di Kab. Blora
  9. Gagal seleksi 3 beasiswa luar negeri: Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat
  10. Gagal menjadi peserta China Youth Exchange Program


Kegagalan pasca lulus S2 tahun 2017
  1.  Gagal publikasi karya ilmiah internasional
  2. Gagal menjadi dosen di UNAIR Surabaya
  3. Gagal menjadi peserta Future Leaders Connect di Inggris
  4. Gagal menjadi dosen di IAIN Kediri
  5. Gagal menjadi dosen di UNTIDAR Magelang (CPNS)
  6. Gagal menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Magelang
  7. Gagal menjadi dosen di UII Yogyakarta

Belajar dari seluruh kegagalan yang pernah saya alami selama ikhtiar mencari jalan impian, ada beberapa hal yang menjadi benang merah. Dan semoga menjadi evaluasi dan pelajaran bagi saya untuk menjalani kehidupan yang lebih baik kedepannya.
  • Karena sejak SD saya tidak menyukai pelajaran yang berbau hitung-hitungan dan Matematika, komponen seleksi yang menjadi sandungan saya dalam berikhtiar adalah tes Numerik. Bahkan jenis soal inilah yang membuat saya tidak lolos SNMPTN pada saat mendaftar Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit saya dulu. Mengejar ketertinggalan dalam jenis soal ini tentu tidak mudah bagi saya. Saya harus bekerja jauh lebih keras dari sebelumnya. Padahal disisi lain saya harus disibukkan dengan pekerjaan sehari-hari juga.
  • Khusus untuk seleksi pendaftaran program SM-3T dan beasiswa LPDP, saya waktu itu hanya merasa beruntung saja. Pada saat itu seleksi kedua jenis program ini tidak terlalu menekankan ujian intelejensia umum, yang meliputi bidang Numerik. Saya memang mengikuti tes intelejensia saat mendaftar program SM-3T, hanya saja standar atau tingkat kesulitannya menurut saya sangatlah berbeda dengan ujian serupa yang pernah saya ikuti sebelumnya. Sedangkan ujian semacam itu tidak saya temukan dalam proses seleksi beasiswa LPDP saat itu.
  • Sandungan ujian Numerik ini akan terus menghantui saya selama proses pengembangan profesi saya kedepan. Misalnya, untuk mendapatkan status sebagai dosen resmi, saya harus mengurus NIDN, yang syaratnya adalah TPA, yang terdiri atas subtes Numerik dengan skor minimal 550. Padahal untuk saat ini, skor saya masih pada tataran 450 (TPA UII 2019) atau masih jauh dari standar minimal.
  • Yang bisa saya lakukan saat ini mungkin hanyalah berlatih sekeras mungkin soal-soal ujian numerik yang sering keluar di TPA. Saya memang tidak tahu peluang seperti apa yang bisa saya ambil kedepan untuk menjadi dosen. Yang jelas syarat pertama untuk mendapatkan NIDN harus terpenuhi, yaitu lulus ujian TPA.
  • Dengan status saya yang saat ini sebagai dosen tidak tetap di sebuah Politeknik Pelayaran swasta di Semarang, suatu saat saya mungkin akan menemui jalan yang lebih mudah. Tapi juga belum tentu, karena semua tergantung pada peluang dan kondisi yang ada. Sehingga saya memang tidak punya pilihan lain selain mencoba peruntungan pada setiap adanya peluang yang datang. Apalagi bekerja menjadi dosen di Politeknik Pelayaran bukanlah impian saya yang sebenarnya. Bidang pelayaran sudah sangat jelas bukanlah dunia saya. I don’t think I belong there. Keinginan saya tetap sama sedari dulu, yaitu menjadi dosen profesional di bidang pendidikan, karena pertimbangan pengalaman saya yang telah lama menjadi guru di sekolah.
  • Jika semua rencana itu tidak terealisasi, saya juga harus mempersiapkan rencana kedua. Rencana kedua ini tentu saja harus realistis. Saya harus selalu mengambil hikmah dari semua kejadian yang saya alami. Hakikat dan esensi hidup yang sesungguhnya sebenarnya adalah mencari rezeki dan ilmu yang berkah. Semuanya itu dicari dengan usaha yang keras dan jujur tanpa membuat orang lain tidak nyaman. Bahkan kalau bisa kita justru harus selalu berbuat baik kepada orang lain. Jika kita kembalikan pada esensi hidup semacam itu, maka kita tidak akan terjebak pada pandangan yang sempit tentang impian kita. Jika saya belum bisa mendapatkan apa yang saya impikan selama ini (menjadi dosen di bidang pendidikan), maka kenapa saya tidak fokus pada yang lain saja.
  • Profesi dosen itu adalah status. Dosen bekerja dengan melaksanakan Tri Dharma Perguruan tinggi. Sehingga tugasnya tidak hanya mengajar saja, namun juga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tapi terkadang kenyataannya tidak semua dosen mampu melaksanakannya secara seimbang. Misalnya seperti ini, ketika mereka mendapatkan banyak tugas kampus misalnya mengajar kelas yang banyak, tugas administrasi dan membimbing mahasiswa dalam tugas akhir, maka sudah tentu konsekuensinya mereka tidak akan mempunyai banyak waktu untuk melakukan penelitian dan menulis. Dan yang perlu diingat, penelitian dan menulis adalah aktivitas yang tidak terpisahkan. Selain itu keduanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga dosen yang terlanjur terjebak pada rutinitas mengajar dan kegiatan administrasi lainnya, sudah jelas tidak akan bisa berkembang, kecuali bagi mereka yang memiliki komitmen dan passion yang kuat. Sehingga bisa lihai dalam membagi waktu. Seharusnya saya bersyukur, dengan belum memiliki NIDN, saya berarti belum terikat penuh dengan peraturan tugas tersebut. Sehingga saya bisa melakukan banyak hal untuk mengembangkan diri secara bebas. Salah satunya adalah menulis dan berkarya. 
  • Banyak hal besar yang ternyata bisa kita lakukan tanpa harus menjadi dosen. Jika dulu guru dan dosen merupakan orang yang banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan pola pikir orang, sepertinya sekarang sudah bergeser. Karena perkembangan teknologi, siapapun bisa menjadi influencer. Dengan kreativitas dan komitmen, orang bisa menjadi Youtuber dan content creator yang tentu lebih digemari oleh banyak orang dibandingkan mereka yang hanya menampilkan diri di dalam ruang kelas.  Buku-buku populer yang lebih membahas tentang kehidupan manusia secara praktis dan cerita fiksi lainnya juga sepertinya jauh lebih menarik dibandingkan dengan jurnal, karya ilmiah atau buku akademik karangan dosen.
  • Untuk mengembangkan diri, kita juga tidak harus berprofesi sebagai dosen. Asalkan kita selalu memiliki rasa penasaran, gairah dan semangat dalam mencari ilmu, kita pasti bisa memiliki wawasan yang luas dan pola pikir yang baik. Jaman sekarang ilmu pengetahuan itu bisa dicari dimana saja melalui internet. Bahkan banyak sekali diantaranya yang bisa kita dapatkan secara gratis.

Kesimpulannya, menjadi dosen mungkin harus dan tetap diupayakan karena memang sudah menjadi impian. Memiliki pengakuan dan NIDN juga pasti akan memudahkan saya untuk melangkah lebih jauh kedepan dalam berkarir. Bahkan untuk mendapatkan beasiswa S3 pun, kepemilikan NIDN bisa sangat membantu sekali. Namun, jika semuanya belum tercapai, ya tidak masalah. Banyak hal yang bisa saya lakukan tanpa harus menjadi dosen ber-NIDN. Tetap fokus saja pada bidang yang saya tekuni (dunia pendidikan), tapi juga tidak menutup kemungkinan untuk selalu kreatif, inovatif dan inisiatif untuk terus berkarya. Tujuan akhirnya adalah bisa menjadi seseorang yang bermanfaat dan tauladan bagi banyak orang.

Karena yang bisa saya lakukan saat ini selain mengajar adalah menulis, saya ingin bisa menulis banyak buku dan artikel, baik tentang bidang yang saya tekuni, sejarah atau topik-topik sosial kekinian (kontemporer). Karya tulis itu tidak harus bersifat akademis. Justru tulisan populer kenyataannya jauh lebih menarik hati banyak orang. Penerbit juga banyak sekali, baik mayor maupun indie.  Kitapun juga bisa menerbitkan buku sendiri secara online tanpa harus publikasi melalui penerbit tertentu. Jaman sekarang, pembaca itu tidak terlalu peduli akan buku itu diterbitkan oleh siapa dan didapatkan dari mana. Karena sekarang buku itu tidak hanya dicari di toko buku saja, tapi tersebar di seluruh jagad raya internet. Yang paling penting adalah judul dan kontennya itu menarik.


“Saya yakin dengan terus berkarya pada bidang yang kita sukai dan tekuni, suatu hari nanti pasti akan ada jalan terang yang membawa kita menuju tujuan akhir impian kita.”




Semarang, 23 Juli 2019

Senin, 22 Juli 2019

Being a Teacher (Bagian 14) - Serangkaian Refleksi

Foto ketika menjadi Wali kelas 7A

Mengajar di Sekolah Elit (Bagian 2)

*Aziza Restu Febrianto

Selama mengajar di sekolah internasional, keinginan saya untuk mencari peruntungan beasiswa makin menggebu lagi. Menurut perhitungan saya, dua tahun adalah masa yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar berhasil mendapatkan beasiswa, sembari bekerja mencari bekal biaysta persiapan serta menyambung hidup di perantauan. Sayapun selalu membagi waktu dengan baik antar pekerjaan dengan menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan untuk mendaftar beasiswa. Tes IELTS juga segera saya ambil dengan menggunakan sisa uang tabungan selama saya bekerja di sekolah ini. Jadi selama proses mendaftar beasiswa, saya tidak pernah meminta bantuan biaya kepada siapapun termasuk orang tua saya.

Saya sebenarnya sangat senang sekali mengajar di sekolah berlabel internasional semacam itu. Mengajar dengan semua sumber belajar yang disediakan oleh CIE memberikan kesempatan bagi saya untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan dan pengalaman baru. Mengajar dengan menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris juga membuat saya berlatih menggunakan Bahasa Inggris dalam pembelajaran di kelas. Selain itu, saya juga bisa mendapatkan pengalaman lain ketika berinteraksi dengan siswa yang berasal dari negara yang berbeda seperti Jepang, China, India, Swedia, Korea, dsb di sekolah itu. Well, saya hanya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ternyata banyak juga hal yang tidak mudah saya jalani ketika menjadi guru di sekolah itu. 


Menjadi MC berbahasa Inggris dalam sebuah acara di sekolah
Menurut saya ada yang salah dengan sistem dan manajemen yang diterapkan di sekolah ini terkait perlindungan dan penghargaan guru. Sekolah ini seolah-olah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sangat tergantung sekali pada siswa sebagai konsumen. Jumlah siswanya bisa dikatakan tidak banyak, dan mayoritas berasal dari keluarga borju alias orang-orang kaya dan para ekspatriat yang tinggal di kota Semarang. Untuk ukuran sekolah dasar dan menengah, biaya pendidikannya tergolong sangat mahal. Uang gedungnya saja bisa mencapai sekitar 40 - 60 juta rupiah. Dengan latar belakang konsumen yang berasal dari golongan orang kaya seperti ini, tentu saja sekolah mempunyai tanggung jawab moral untuk selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswanya.

Apa yang dilakukan sekolah dengan sistem pelayanan sempurna memang sangat baik. Saya sangat setuju akan hal itu. Namun setelah diterapkan, yang saya rasakan justru para guru  harus menerima sebuah konsekuensi besar, yaitu mendapatkan tekanan. Mungkin persoalannya akan lain jika gaji mereka dinaikkan. Permasalahannya gaji kebanyakan guru cenderung tetap atau tidak naik sama sekali. Kalaupun naik, paling cuma 200 atau 300 ribu doang per bulan. Dengan gaji yang waktu itu masih sedikit dibawah Upah Minimum Regional (UMR), seperti guru lainnya, saya dituntut untuk bagaimana memastikan bahwa semua aktivitas pembelajaran yang saya ampu di dalam kelas berjalan dengan lancar tanpa ada masalah sedikitpun. Jika ada masalah, maka sang siswa sebagai konsumen bisa saja melaporkan kondisi kelas kepada orang tua mereka di rumah. Jika ada seorang wali murid yang protes terhadap sekolah, maka  guru harus siap-siap untuk disalahkan tanpa ada proses musyawarah antara tiga pihak yang bersangkutan. Kondisi seperti inilah yang membuat saya merasa canggung dan tidak nyaman saat mengajar di kelas.

Selama mengajar di sekolah ini, saya pernah mengalami beberapa kasus. Pertama, pada suatu pagi, saya dipanggil oleh Kepala sekolah karena telah menegur seorang siswa di kelas, yang menurutnya tidak pas. Kelas yang saya ajar waktu itu adalah kelas 5 SD. Siswa itu susah sekali diatur dan merasa seenaknya sendiri mengganggu teman lainnya selama kegiatan pembelajaran sedang berlangsung. Saya peringatkan dia sekali dan dua kali untuk tenang, tapi tetap saja tidak menurut. Akhirnya tanpa sengaja, saya mengibaskan papan stereofom yang ada di dekat saya tepat di depan wajahnya. Tapi sama sekali tidak mengenainya. Ternyata anak itu menaruh dendam kepada saya. Padahal tidak sedikitpun saya melukainya. Dan saya melakukannya karena memang sudah terlanjur jengkel dengan perilaku. Sesampainya di rumah, dia kemudian melapor ke orang tuanya. Dan keesokan harinya, orang tua anak itu protes kepada kepada sekolah, yang berujung pada persidangan saya di depan kepala sekolah dan beberapa guru senior lainnya.

Kasus serupa juga pernah saya alami ketika mengajar siswa jenjang SMP. Saat itu saya menyampaikan kekecewaan saya kepada beberapa siswa yang tidak mengerjakan tugas rumah atau PR. Tugas itu adalah sebuah project yang harus diselesaikan oleh siswa pada hari itu juga karena pada keesokan harinya akan ditampilkan pada sebuah event di sekolah. Terkait dengan itu, saya juga sudah memberikan peringatan pada pertemuan sebelumnya atau satu minggu sebelum pembelajaran berikutnya. Yang membuat saya lebih kecewa lagi adalah siswa itu sama sekali tidak membawa perlengkapan tugas sedikitpun di kelas. Mereka juga banyak beralasan. Kebanyakan dari mereka memiliki alasan yang sama, yaitu sibuk dan sibuk.


Jadwal beban mengajar saya.
Tidak hanya mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, tetapi juga Science Fair Preparation

Sebagai seorang guru yang merupakan bawahan dari pemilik sekolah, saya tentu berada dalam dua posisi yang cukup sulit, yaitu memastikan project siswa sebelum event yang diadakan keesokan harinya, padahal siswa sama sekali tidak membawa perlengkapannya. Dalam kondisi demikian, sayapun meluapkan kekesalan saya pada mereka dan memberi teguran. Kira-kira beginilah kata-kata saya;

“I’ve told you... Your project is supposed to be submitted today, coz all of them have to be presented at the scientific expo that will be held tomorrow morning. But you....don’t bring anything at all with you now. How can you get it all done today?

Tidak kusangka, teguran saya ternyata tidak terlalu dihiraukan oleh mereka. Bahkan, ada seorang siswa yang justru menyahut teguran saya dengan mengatakan,

“But I had a family event last weekend Mr. I had no time for completing the project. I was busy.”

Mendengar pernyataan itu dari mulutnya, saya merasa sangat kesal. Kok bisa orang tuanya tidak mengarahkan anaknya untuk memperhatikan tugas sekolahnya di rumah. Mereka justru mengajak anaknya untuk sibuk dalam acara mereka dan melupakan sekolah. Saya kemudian spontan menunjukkan kekecewaan saya kepadanya dengan mengatakan. “Why didn’t you try to manage to do it when you had free time?” Diapun juga tidak mau disalahkan dengan merespon apa yang saya katakan, “But I was really busy, Mr. How could I have spare time?” Mendengar jawaban itu saya semakin kesal. Masih anak SMP kok bukan main sibuknya. Lagipula event itu adalah acara orang tuanya. Saya kemudian spontan mengatakan, “Why do you keep defending yourself???” Why do you keep defending yourself?”

Saya sama sekali tidak menduga bahwa ternyata kalimat terakhir yang saya ucapkan kepada anak itu menjadi sumber masalah. Sepulang sekolah, anak itu melapor kepada orang tuanya tentang kejadian di kelas itu. Dia bilang bahwa seorang guru di sekolahnya telah memarahinya karena dia tidak membawa tugas. Dan ketika dia menjelaskan alasan kenapa tidak membawa tugas itu, gurunya malah mempertanyakan ucapannya serta menuduh kenapa dia selalu membela diri. Mendengar laporan dari anaknya, si orang tua langsung menghubungi pihak sekolah. Dan yang paling mengejutkan adalah tanpa mencari keterangan lebih lanjut, Kepala sekolah langsung memanggil saya untuk mengikuti persidangan yang diikuti oleh sekitar 7 orang guru senior.

Selama sidang berlangsung, saya merasa heran... Ketika saya menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi, para guru senior itu terlihat seolah-olah lebih membela siswa dengan alasan kondisi anak yang masih remaja, orang tua yang memang memiliki kesibukan, dsb. Bahkan mereka justru memberikan saran dan nasihat kepada saya mengenai cara dan pendekatan yang lebih baik untuk menangani anak semacam itu. Yang saya tidak habis pikir, anak tersebut tidak diberikan sanksi sama sekali. Dalam kondisi semacam ini, saya tentu tidak bisa berdaya dan membela diri. Saya hanya pasrah dan terpaksa harus mengakui kesalahan saya. Namun, perasaan heran itu tetap menghinggap di hati saya. Saya merasa ada bagian perkara yang ditutupi oleh pihak sekolah kepada saya, yaitu komunikasi antara mereka dengan orang tua siswa. Kok bisa tanpa adanya klarifikasi mengenai peran orang tua terhadap siswa, saya secara tidak langsung dinyatakan bersalah.


Foto bersama para guru lainnya

Mendampingi siswa dalam acara Fieldtrip di Tanjungputing, Kalimantan Timur 



Kamis, 20 Juni 2019

Sekolah Membuatmu Pintar?

https://news.okezone.com

*Aziza Restu Febrianto

Pada dasarnya sekolah memang dibuat dan dirancang sebagai tempat belajar, mencari ilmu dan mengembangkan diri. Atas dasar amanat undang-undang, negara kemudian hadir menjadi agen utama atas kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.  Negara juga harus memastikan para siswa di sekolah mendapatkan ilmu pengetahuan yang luas dan keterampilan yang berguna dan relevan dengan kondisi masa kini serta masa yang akan datang melalui sebuah kurikulum. Ilmu pengetahuan dan keterampilan itu diharapkan mampu membantu mereka memecahkan berbagai macam tantangan dan masalah baik masalah pribadi, lingkungan masyarakat maupun negara itu sendiri. Untuk dapat memecahkan masalah, para lulusan sekolah tentu harus diberikan tempat atau lapangan pekerjaan untuk menyalurkan semua ilmu dan keterampilan yang didapat. Mereka kemudian dianugerahi sebuah ijazah atau tanda kelulusan sebagai bukti bahwa mereka memang telah menyelesaikan pendidikan sekolah pada periode yang telah ditentukan. Ijazah dan tanda kelulusan ini bisa digunakan ketika para lulusan ketika sedang melamar sebuah pekerjaan. Dengan tanda ini, mereka kemudian dianggap sudah memiliki kualifikasi yang memenuhi syarat untuk bisa bekerja dengan baik.

Bersekolah dan mendapat tanda kualifikasi pendidikan formal memang penting. Namun pertanyaannya adalah apakah dengan itu semua, kita lantas sudah benar-benar menjadi orang yang pintar, cakap dan sukses? Hal yang dikhawatirkan sebenarnya justru jangan-jangan sistem pendidikan formal semacam ini membuat pemahaman masyarakat tentang sekolah menjadi bergeser, yaitu sebagai tempat untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi, bukan pengembangan kualitas pribadi. Dengan kata lain, tujuan orang bersekolah adalah mendapatkan ijazah formal untuk mempermudah mendapatkan kesempatan kerja. Bahkan mereka yang tergolong berduit atau kaya rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar anaknya bisa bersekolah di lembaga terkenal dan bergengsi. Menjadi hal yang tidak masalah jika pendidikan yang berkualitas ini memang benar-benar berdampak juga pada perkembangan kompetensi anak mereka. Tapi tidak jarang niat mereka memasukkan anak mereka di sekolah itu hanyalah karena sekedar mencari nama; nama besar sekolah yang membuat nama anak mereka besar pula. Tentu saja dengan nama besar yang disandang, mereka akan terlihat lebih dipercaya memiliki kualitas yang sama dengan almamaternya ketika melamar sebuah pekerjaan.

Fakta dan sejarah ternyata membuktikan kenyataan yang jauh berbeda dari apa yang dipikirkan oleh banyak orang tentang peran sekolah. Satu-satunya faktor yang membuat orang menjadi pintar, cakap dan berhasil dalam hidupnya selama ini ternyata bukanlah sekolah atau pendidikan formal, melainkan karakter dan kepribadian kuat orang itu sendiri dalam mengarungi hidupnya. Banyak sekali orang sukses di dunia ini yang keberhasilannya tidak dipengaruhi secara langsung oleh pendidikan formal mereka. Bill Gates, misalnya, justru mengalami dropped out karena terlalu fokus pada usaha di bidang perangkat lunak komputer meskipun dia bersekolah pada bidang yang sama di sekolah atau kampus yang sangat bergengsi. Dia kemudian baru bisa menyelesaikan pendidikan formal S1 nya ketika dia sudah berusia 40 tahun atau setelah dia menjadi orang yang kaya raya. Contoh orang sukses lain yang mengalami hal serupa seperti Bill gates juga banyak seperti pencipta perangkat keras dan lunak komputer, Apple, Steve Jobs, pendiri Facebook, Mark Zuckerburg, CEO e-commerce Alibaba, Jack Ma, dsb. Mereka semua adalah orang-orang hebat dan cerdas yang mengalami masalah dengan sekolahnya.

Peran sekolah bagi kesuksesan orang memang ada, tapi pengaruhnya mungkin tidak signifikan atau porsinya biasa saja. Jika melihat contoh orang-orang sukses seperti yang disebutkan, karakter dan kepribadian orang sukses itu ternyata banyak ditentukan oleh bagaimana mereka menentukan pilihan atau memilih jalan hidupnya sendiri sesuai dengan ketertarikan atau passion mereka. Semua keputusan penting yang mereka ambil lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal individu itu sendiri atau bisa jadi atas dasar nilai, pola pikir atau budaya yang diterapkan dalam keluarga. Mereka justru menganggap sekolah adalah sebuah penjara. Menurut mereka, sekolah terlalu banyak menerapkan banyak aturan serta rutinitas yang cenderung membatasi ruang imajinasi berfikir mereka. Seorang Fisikawan yang terkenal akan kejeniusannya, Albert Einstein pernah menyebut bahwa “Imajinasi itu lebih penting daripada ilmu pengetahuan.” Pernyataan ini bisa diartikan bahwa ilmu pengetahuan yang biasanya secara terstruktur diperoleh di sekolah tidak akan pernah membuat seseorang itu menjadi besar jika dia sendiri secara personal tidak memiliki imajinasi yang luas. Pernyataan ini masuk akal karena setiap individu memiliki cara dan waktu berimajinasi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dan kondisi ini tidak bisa diatur atau didekte dengan sistem atau peraturan yang sama di sekolah.

Selain memilih cara pandang yang tepat, orang-orang besar itu juga sangat menghargai Self-learning atau belajar mandiri. Mereka tidak pernah mengandalkan ilmu pengetahuan yang sudah pernah diajarkan di sekolah, tapi selalu berfikiran bahwa banyak hal di dunia ini yang belum dieksplorasi. Mereka kemudian berusaha mencari tahu hal-hal yang belum pernah terpecahkan itu dengan rasa penasaran yang tidak terbatas. Mereka tidak pernah membatasi diri mereka dengan pengetahuan yang sudah ada, apalagi yang hanya berkutat pada pembelajaran di kelas dengan tugas-tugas rutinnya. Orang-orang semacam ini juga banyak dijumpai di Indonesia. Presiden pertama kita, Bapak Soekarno misalnya, dalam sejarahnya, memiliki kebiasaan suka membaca buku sejak remaja. Beliau suka sekali mencari buku dan membacanya dari berbagai macam tempat termasuk sekolahnya. Kebiasaan ini tidak dilakukan oleh teman-teman sebayanya yang juga bersekolah di tempat yang sama. Kebiasaan inilah yang membuatnya menjadi orang besar dan memiliki pemikiran yang luas, hingga melampaui jamannya. Pemikiran-pemikiran beliau pun akhirnya banyak diakui dan diikuti oleh banyak orang di dunia sampai sekarang. Tokoh inspiratif lainnya adalah Buya Hamka, seorang tokoh islam dan ulama berpengaruh yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD), padahal karya-karyanya memiliki andil besar pada dunia literasi Indonesia.

Tidak kalah dengan para pendahulunya, para tokoh nasional masa kini seperti Dahlan Iskan, Susi Pujiastuti, dan Muhammad Jusuf Kalla juga melakukan hal yang sama. Tanpa memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, mereka mampu membuktikan pada dunia bahwa mereka bisa menjadi orang yang pintar dan sukses. Mereka bahkan tidak hanya sukses untuk dirinya sendiri, tapi mampu memberikan manfaat bagi orang banyak. Membaca biografi mereka dan melihat semua pencapainnya yang luar biasa, bisa disimpulkan bahwa cara dan gaya belajar mereka pasti sangat berbeda dari kebanyakan orang, padahal mereka juga sama-sama mengenyam pendidikan sekolah. Yang membedakan adalah mereka tidak pernah mengandalkan ilmu yang mereka dapatkan di sekolah. Mereka membebaskan diri mereka mencari wawasan dan banyak peluang di luar sekat pendidikan formal dengan belajar sendiri dan mengambil semua keputusan dengan mandiri sesuai dengan bidang yang telah mereka pilih dan tekuni. Seorang pengusaha dan motivator sukses asal Amerika, Jim Rohn pernah mengatakan bahwa, “Pendidikan formal akan membuatmu hidup, tapi pendidikan mandiri akan membuatmu jauh lebih beruntung.” Adapun kutipan dari Bill Gates yang perlu kita jadikan sebuah refleksi bersama, “Saya pernah gagal ujian pada banyak mata pelajaran, tapi ada salah seorang teman saya yang lulus dengan baik pada semua mata pelajaran itu. Sekarang, dia adalah seorang ahli teknisi Microsoft, dan saya adalah pemilik Microsoft.”

Artikel ini ditulis sebagai kritikan atau refleksi bagi sekolah dan pendidikan formal kita. Seharusnya sekolah hadir sebagai tempat yang memberikan pendidikan sesuai dengan esensinya. Artinya sekolah mampu memberikan ruang bagi setiap individu untuk suka bermimpi, berimajinasi, dan bekerja keras sesuai dengan bakat dan kelebihannya masing-masing. Sekolah bukanlah tempat penghasil orang-orang terdidik yang hanya berkutat pada khasanah ilmu yang sudah ada (status quo), tapi memfasilitasi dan menyiapkan para generasi inovatif dan kreatif yang dapat menjadi solusi berbagai macam masalah dan tantangan masa depan.

Penulis adalah seorang guru yang telah mengajar di lembaga pendidikan formal selama lebih dari 10 tahun dan menginginkan para muridnya menjadi orang luar biasa sebagai agen andalan utama perubahan bangsa.  

Artikel ini pernah diunggah di laman kompasiana pada tanggal 24 Februari 2019. Berikut link nya:

Jumat, 14 Juni 2019

Rahasia Pernikahan Bahagia Yang Jarang Diajarkan


Foto Lebaran Kemarin....Bahagia! 😊
Idul Fitri 1440

*Oleh Aziza Restu Febrianto


Pada artikel kali ini, saya ingin berusaha menuliskan beberapa pelajaran etika dan adab hubungan Pasangan suami istri (Pasutri) yang (mungkin) jarang sekali diajarkan di sekolah maupun keluarga. Karena jarang diajarkan, saya kira judul diatas sudah cukup pas untuk artikel ini. Saya berharap siapapun yang membacanya dapat melakukan refleksi dan evaluasi diri untuk selalu belajar menjadi individu yang lebih baik, khususnya dalam mengarungi kehidupan pernikahan dan berkeluarga. Tulisan juga saya khususkan untuk diri saya sendiri yang memang masih terus belajar untuk menjadi seorang suami dan ayah yang baik dalam membina sebuah rumah tangga.

  • Pernikahan itu Keputusan yang Agung
Pernikahan adalah sebuah keputusan yang sangat besar dalam kehidupan manusia sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Bahkan dalam islam, pernikahan itu merupakan salah satu dari tiga perjanjian agung, luhur dan suci yang disebut dengan “Mitsaqan Ghaliza” atau perjanjian yang amat kukuh. Perjanjian ini bahkan telah disebutkan di dalam kitab suci Al-Quran sebanyak tiga kali. Yang pertama menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7), kedua menjelaskan perjanjianNya dengan umatNya dalam melaksanakan pesan-pesan agama (QS An-Nisa 4:154) dan ketiga menyangkut perjanjian suami dan istri (QS An-Nisa 4:21).

Begitu besarnya nilai dari sebuah pernikahan, sehingga kita tidak boleh meremehkannya. Mungkin banyak yang mengira (terutama bagi yang belum menikah atau yang akan menikah) bahwa pernikahan adalah sebuah awal kebahagiaan. Tapi jangan salah, justru perjalanan hidup yang sebenarnya baru dimulai di awal pernikahan. Yang namanya hidup pasti banyak ujiannya. Hidup sendiri saja ujiannya sudah banyak, apalagi berdua dengan pasangan. Belum lagi ketika dikaruniani anak, yang pastinya masalah demi masalah akan terus kita hadapi dalam berumah tangga.

Namun, dengan semakin banyaknya masalah yang dihadapi, bukan berarti kita kemudian menjadi takut untuk memutuskan menikah. InshaAllah, banyak sekali manfaat dan berkah yang bisa diperoleh melalui pernikahan. Masalah itu hanyalah sebagian kecil dari kehidupan pernikahan. Masalah ibaratnya hanyalah sebuah bumbu agar kehidupan pernikahan yang kita jalani itu menjadi luar biasa indah. Jika kita mampu mengelola semua permasalahan itu dengan pasangan, maka kebahagiaan yang kita dapatkan akan jauh lebih banyak daripada ketika kita belum menikah.

  • Dua Orang Berbeda Menjadi Satu
Yang harus kita pahami terlebih dahulu adalah sebelum menikah, pasangan kita itu adalah 100% orang lain atau bukan merupakan bagian anggota dari keluarga kita. Dia adalah orang asing yang berasal dari keluarga lain dengan latar belakang budaya dan tradisi yang tentu saja sangat berbeda dengan kita. Ketika menikahinya, kita memang harus sudah siap lahir dan batin untuk hidup bersamanya dengan segala perbedaan yang dimilikinya, baik pola pikir, kebiasaan, hobi dan karakter atau wataknya.

Semua perbedaan yang ada antara kamu dan pasanganmu itu bisa sangat berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya, ketika kamu ingin menata ruang kamar yang sesuai dengan keinginanmu. Jangan berfikir bahwa pasanganmu akan memiliki pandangan yang sama dan semua keputusanmu akan berjalan dengan lancar. Tanpa ada penjelasan darimu tentang alasan kenapa kamu ingin menata ruang kamar, pasangan kamu bisa saja merasa kecewa ataupun marah mengenai keputusanmu itu. Namun masalah itu tidak akan muncul jika kamu terlebih dahulu mengkomunikasikan maksud keputusanmu itu kepada pasanganmu sebelum melakukannya. Tidak hanya menyampaikan maksud, tetapi kamu juga harus meminta pendapatnya sebagai tanda bahwa kamu memahami perasaannya dan menghargainya sebagai pasangan dan belahan jiwamu.

Hal lain tentang pernikahan yang perlu kita pahami adalah bahwa ketika kita sudah menikah, maka kita sudah tidak hidup sendiri lagi. Setelah menikah, hidup kita tentu tidak akan seperti dulu lagi ketika masih single. Saat masih single, kita bisa dengan bebas melakukan apa saja yang kita sukai. Misalnya, bagi mereka yang dulunya suka naik gunung, kumpul bersama teman, main band, dsb harus mulai mengurangi semua kegiatan hobinya itu ketika sudah menikah. Alasannya karena setelah memutuskan untuk menikah, sejatinya kita harus sudah siap untuk membagi waktu, tenaga dan pikiran kita dengan orang lain. Sehingga konsekuensinya adalah waktu dan kegiatan yang berkaitan dengan pribadi (me time) pasti akan berkurang. Dengan kata lain, di dalam waktu dan perhatian kita terdapat hak orang lain disitu, yaitu pasangan dan anak kita.

  • Menikahinya = Menikahi Keluarganya
Jangan berfikir bahwa ketika kamu menikahi seseorang pujaanmu, lantas dunia hanya milik kamu berdua dan yang lainnya hanya ikut ngontrak saja. Ingat, kita ini hidup di negara Indonesia yang sangat kental dengan tradisi dan adat ketimuran. Salah satu ciri khas adat ketimuran adalah kebiasaan komunal atau berkumpul. Artinya, dalam tradisi Indonesia, setelah menikah, pasangan masih diharuskan untuk menjaga hubungan yang erat dengan orang tua serta menjaga tradisi sosial keluarga yang diturunkan melalui mereka. Sehingga kondisi ini membutuhkan keterampilan tersendiri dari kita untuk dapat memahami dan menjaga hubungan yang baik dengan keluarga pasangan kita.

Kondisi yang biasanya sangat berpotensi menimbulkan masalah adalah intervensi orang tua terhadap urusan rumah tangga anaknya. Kebanyakan orang tua mungkin berfikiran bahwa setelah anaknya menikah, mereka merasa telah kehilangan perhatian dari anaknya yang selama ini hidup bersamanya. Sehingga mereka terkadang masih menganggap dan memperlakukan anaknya yang telah menikah itu dengan cara seperti dulu ketika dia belum menikah. Orang tua terkadang masih merasa bertanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap anaknya dan lupa bahwa anaknya itu sudah memiliki pasangan dan keluarga baru.

Memang sudah menjadi hal yang wajar jika orang tua kita sangat peduli dengan urusan dan kehidupan kita.... selamanya. Itu sudah naluri dan alamiah. Namanya juga orang tua. Bagian dari darah dan daging kita. Orang yang melahirkan dan membesarkan kita selama puluhan tahun sebelum akhirnya kita bertemu dengan pasangan kita. Namun, ketika kita sudah menikah, maka sejatinya kita sedang membangun keluarga yang baru. Membangun generasi baru yang tentu harus lebih baik dari generasi sebelumnya. Sehingga setiap keluarga baru harus memiliki prinsip dan pondasi mandiri secara kuat tentang akan dibawa kemana bahtera rumah tangga mereka. Demi masa depan keturunan-keturunan mereka.

Perhatian orang tua yang berujung pada intervensi urusan keluarga memang tidak bisa terhindarkan. Namun, bagi orang tua yang mengerti, pasti akan tahu akan batasan memberikan perhatian pada anaknya itu. Sehingga kehidupan rumah tangga sang anak juga akan menjadi baik-baik saja. Namun tidak semua orang tua itu mengerti. Jika kita menghadapi orang tua yang kedua ini, maka tidak ada cara lain kecuali dengan tetap saling percaya dan mendukung antar pasangan. Jika salah satu tidak nyaman dengan pengaruh orang tua, maka yang satunya harus menghargai perasaannya dan memberikan pengertian, kepercayaan serta dukungan penuh kepadanya. Bukan malah justru membela orang tua dan menjatuhkan pasanganya.

Sebenarnya yang paling berat menerima intervensi keluarga adalah menantu, yaitu pasangan kita terhadap orang tua kita atau kita terhadap mertua kita. Hubungan antara menantu dan mertua ini sangat rawan akan kesalahpahaman dan konflik. Alasan logisnya adalah karena pada dasarnya menantu adalah orang asing baru di rumah mertua. Pada sudut pandang menantu, mertua itu adalah raja atau ratu baginya. Bagaimana tidak, mereka adalah orang yang sudah merelakan anak yang paling mereka kasihi selama ini untuk diambil oleh orang seperti kita dan hidup bersama dengan kita selamanya. Bagaimanapun juga, mereka pasti akan selalu ingin memastikan bahwa anaknya itu hidup bahagia bersama kita.

Perasaan itu tentu saja akan mempengaruhi sikap menantu terhadap mertuanya. Sikap kikuk atau kurang nyaman akan selalu ia rasakan, terutama ketika harus terus-terusan bersama mertua. Dia akan selalu merasa bahwa apa yang dia lakukan itu selalu diawasi oleh mertuanya. Walaupun itu mungkin hanya sekedar perasaannya saja. Sedangkan dari sudut pandang mertua, menantu merupakan orang lain yang hidup bersama anaknya dengan usia yang jauh lebih muda. Bagi mertua yang mengerti, kepercayaan akan diberikan penuh kepadanya untuk mengelola keluarga baru bersama anaknya. Tapi bagi mereka yang kurang mengerti, perasaan khawatir atau cemburu terhadap menantunya bisa saja muncul. Mereka merasa bahwa setelah menikah, perhatian anaknya telah banyak tercurah kepada menantunya, bukan kepada mereka lagi.

Orang tua yang khawatir dan cemburu dengan anak dan menantunya ini akan berujung pada sikap intervensi, apalagi ketika mengetahui kekurangan yang ada di dalam keluarga anaknya. Orang tua kemudian merasa bahwa karena usianya jauh lebih tua, mereka memiliki banyak pengalaman dalam mengelola keluarga. Melihat kekurangan pada keluarga anaknya, orang tua semacam ini akan sering memberikan masukan dan nasihat (yang paling sering dikaitkan dengan pengalamannya). Memang tidak ada salahnya mempertimbangkan masukan dari orang tua, terutama jika memang itu benar adanya. Namun, kenyataannya masukan itu banyak yang tidak sepenuhnya benar dan bahkan sering disampaikan pada waktu yang kurang tepat. Jika kondisi ini terus berkembang, maka di dalam keluarga si anak akan terdapat double kepemimpinan atau dua pemimpin dalam satu keluarga. Padahal untuk menciptakan estafet generasi keturunan yang lebih baik, diperlukan kepemimpinan yang terpusat dan mandiri di dalam keluarga baru itu.

Tipe orang tua seperti itu mungkin lupa bahwa dengan perkembangan teknologi informasi yang terus menerus berkembang, anaknya bisa memperoleh banyak informasi dan pengalaman  berkeluarga melalui berbagai macam sumber di internet. Dalam hal ini, anak bisa saja lebih bijaksana karena mendapatkan lebih banyak informasi dari berbagai macam perspektif daripada orang tuanya, yang hanya mengandalkan ppengalaman dan pengetahuan dari sudut pandangnya saja. Orang tua juga hendaknya mengerti bahwa ketika memberikan keleluasaan kepada anak dan menantunya dalam menentukan arah rumah tangganya secara mandiri, mereka sebenarnya juga secara tidak langsung menjamin kebahagiaan anaknya.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pihak yang akan mendapatkan beban lebih ketika ada intervensi orang tua adalah menantu. Hubungan canggung antara mertua dan menantu inilah yang sering menyebabkan kesalahpahaman. Dan bisa saja menjadi pemicu renggangnya hubungan antara kedua belah pihak. Sikap legawa dan pengertian memang seharusnya dimiliki oleh keduanya jika terdapat perbedaan pandangan. Namun, tidak semua mau dan bisa mengerti. Satu-satunya cara yang paling efektif untuk menengahi masalah ini adalah keterampilan pasangan dari menantu (anak kandung mertua) dalam meluruskan kesalahpahaman. Tentu saja dengan cara yang bijaksana dan akhsan, sehingga tidak menyinggung perasaan salah satu atau kedua belah pihak. Hanya anak kandung dari mertua yang bisa. Kenapa? Karena namanya anak kandung, apapun yang dia lakukan, meskipun salah, orang tuanya pasti akan banyak memakluminya. Sedangkan jika menantu yang berbuat salah, bisa terjadi kesalahpahaman yang lebih mendalam dari kedua belah pihak.

  • Pernikahan itu Satu Tubuh
Pada poin pertama sudah disampaikan bahwa pernikahan itu adalah bersatunya dua orang yang berbeda dalam sebuah ikatan agung. Sebagai konsekuensinya, masing-masing harus saling memahami perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi memahami perbedaan itu saja tidaklah cukup. Setiap individu baik suami maupun istri harus saling menopang, saling mendukung dan saling merasakan. Karena dalam kehidupan rumah tangganya, mereka akan menghadapi berbagai macam tantangan dan masalah, yang tentunya membutuhkan banyak tenaga dan pikiran untuk menyelesaikannya.

Seperti kebanyakan orang bilang, pasangan itu adalah belahan jiwa. Pasangan itu ibaratnya adalah satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh kita itu sakit, maka pasti anggota tubuh yang lainnya akan merasakan sakit pula. Sehingga ketika salah satu pasangan mendapatkan masalah, sudah seharusnya yang satunya juga merasakan masalah yang sama. Akhirnya keduanya menganggap masalah salah satu pihak adalah masalah mereka berdua, yang harus dicarikan solusi secara bersama-sama. Hanya saja yang membedakan antara tubuh dan pernikahan adalah cara penyembuhan saat salah satu anggota tubuh sakit. Jika salah satu anggota tubuh kita sakit, kita bisa mengobatinya di rumah sakit. Namun dalam pernikahan, rasa sakit itu tidak bisa dan tidak boleh disembuhkan di tempat lain. Jika disembuhkan di tempat lain, maka rasa sakit itu justru akan semakin parah dan bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga.

Karena pasangan kita adalah bagian tubuh kita dan tidak ada tempat lain untuk menyembuhkan suatu penyakit yang diderita, maka sudah menjadi suatu kebutuhan kita untuk melindungi dan merawatnya. Sakit yang dirasakan oleh pasangan akan berdampak pada terganggunya kenyamanan dan kedamaian dalam keluarga jika dibiarkan. Merasakan apa yang dialami pasangan memang membutuhkan keterampilan tersendiri, yaitu rasa empati dan kepekaan yang baik. Tapi jika kita benar-benar mencintai pasangan kita dan memikirkan masa depan keluarga serta keturunan-keturunan kita, kenapa kita tidak belajar dan berlatih mengembangkan keterampilan ini. Semuanya demi ketenteraman, kebahagiaan dan keberlangsungan hidup berkeluarga.

Cara lain untuk mengembangkan keterampilan ini sebenarnya mudah, yaitu dengan keterbukaan. Setiap pasangan hendaknya saling terbuka tentang urusan apapun bahkan sekecil apapun itu. Setiap kali memiliki pemikiran, ide, masalah ataupun kepentingan, hendaknya kita menceritakan semuanya kepada pasangan. Bercerita tentang semua hal tidak akan menjadi masalah bagi kita dan pasangan, justru itulah yang seharusnya dilakukan dan dibutuhkan. Bahkan di dalam Islam, pasangan itu ibarat pakaian kita, dan sebaliknya kita adalah pakaian bagi pasangan kita. Sehingga setiap detail tentang tubuh dan hidup kita sudah sepantasnya diketahui oleh pasangan.

Mungkin ada orang yang enggan menceritakan beberapa hal ke pasangannya karena pertimbangan tertentu. Misalnya, mereka berfikir bahwa ada urusan tertentu yang hanya mereka tahu atau percuma jika urusan itu diceritakan kepada pasangan. Toh pasangan juga tidak akan tahu atau bahkan tidak bisa memberikan solusi. Menurut saya pandangan seperti ini salah. Justru ketika kita menceritakan semua urusan kita kepada pasangan, pasangan bisa merasa dihargai perannya. Tidak peduli apakah dia paham atau tidak.

Hendaknya pasangan juga jangan enggan mendengarkan cerita kita ketika tidak memahaminya atau tidak dapat memberikan solusi akan masalah yang mungkin ada. Bisa dibayangkan, jika salah satu tidak peduli dengan cerita pasangannya, selain yang lain akan merasa kecewa, dia juga tidak akan mempunyai tempat untuk bercerita. Coba dibayangkan. Siapa lagi tempat kita bercerita tentang semua hal (curhat), selain kepada pasangan kita.  Jangan sampai karena pasangan tidak mau mendengarkan kita, kemudian kita mencari tempat lain untuk bercerita. Itu bisa sangat berbahaya. Sehingga walaupun tidak tahu akan permasalahan yang diceritakan oleh pasangan, hendaknya kita tetap antusias memperhatikan meskipun hanya sekedar mendengar.

Pada dasarnya setiap orang itu memiliki ego atau keinginan dan hasrat untuk kebahagiaan hidupnya sendiri. Akan tetapi ketika orang itu sudah memutuskan untuk menikah dan membangun rumah tangga baru, maka ego pribadi itu harus disatukan dengan pasangannya. Melawan ego pribadi memang pastinya tidak mudah. Tapi menurut saya ego itu bisa diubah bentuknya menjadi ego bersama. Nah, untuk membentuk dan menyatukan ego bersama dengan pasangan, diperlukan pemahaman bersama akan pernikahan seperti 4 (empat) poin yang saya sebutkan diatas.

Jika disimpulkan, kunci dari semua permasalahan dalam rumah tangga adalah kesamaan visi, kepekaan, keterbukaan dan komunikasi dari masing-masing pasangan. Tentu saja semua disesuaikan dengan kondisi dan peran kita masing-masing dalam keluarga kita: sebagai suami atau istri, anak atau menantu, dan karir atau rumah tangga. Terimakasih telah membaca artikel ini. Semoga bermanfaat.



Semarang, 14 Juni 2019






Minggu, 14 April 2019

Being a Teacher (Bagian 13) - Serangkaian Refleksi

https://cambridgeinternationalschool.co.uk/
Mengajar di Sekolah Elit (Bagian 1)

*Aziza Restu Febrianto

Setelah dinyatakan lulus pendidikan PPG, saya kemudian diwisuda. Proses wisuda ini dilaksanakan bersamaan dengan wisuda jenjang studi S1 dan S2 tepatnya di Auditorium kampus UNNES Semarang. Kali ini saya mengalami wisuda untuk yang kedua kalinya, walaupun belum pernah mengambil pendidikan S2 pada waktu itu. Ketika menjalani prosesi wisuda, biasanya ada dua hal berbeda yang dirasakan oleh kebanyakan peserta, yaitu perasaan bahagia karena telah menyelesaikan studi dan kekhawatiran akan karir di masa depan yang tidak pasti. Namun kondisi ini sama sekali tidak berlaku bagi saya. Saya hanya percaya bahwa selama ini saya sudah melakukan apapun yang terbaik, sehingga saya yakin akan mendapatkan yang terbaik pula di masa yang akan datang kelak.

Ketika mengikuti upacara wisuda S1 dulu, saya juga tidak terlalu merasa takut dan khawatir. Saya meyakini bahwa apa yang selama ini saya kerjakan semasa kuliah pasti akan memberikan dampak di masa depan. Selama kuliah S1, saya sangat aktif mengikuti kegiatan ekstra maupun menjadi pengurus organisasi internal kampus. Setelah lulus, saya akhirnya bisa bekerja sebagai guru di sekolah dan pernah menjadi pegawai kantoran selama dua tahun. Dengan semua pengalaman ini, saya akhirnya lolos seleksi untuk mengajar di daerah 3T serta memperoleh gelar guru profesional setelah menyelesaikan kuliah PPG. Semua proses hidup yang saya lalui dan segala pengalaman yang saya miliki selama kuliah S1 dan dunia kerja inilah yang akhirnya kelak membantu saya mendapatkan beasiswa S2 di Inggris. Alhamdulillah.

Beberapa hari menjelang wisuda PPG, saya mendapatkan informasi lowongan guru di sebuah sekolah internasional di Semarang. Sebagai seorang lulusan PPG dengan sertifikat guru profesional di tangan, saya tentu sangat tertarik untuk mendaftar. Yang paling membuat saya tertarik dan penasaran dengan sekolah itu adalah kurikulumnya yang menggunakan Cambridge International School. Dengan kurikulum itu, sekolah bisa menyelenggarakan tes International Generate Certificate of Secondary Education (IGCSE) dan A level bagi siswa yang ingin mengambil kuliah S1 di luar negeri. Tanpa menunggu lama, saya segera menyiapkan surat lamaran dan langsung mendaftar. Selang satu minggu kemudian, saya mendapatkan informasi melalui telepon bahwa surat lamaran yang saya ajukan diterima, dan saya diminta untuk mengikuti wawancara. Bahagia sekali rasanya. Sayapun langsung bergegas mengambil kesempatan itu dan datang ke sekolah sesuai dengan waktu yang telah disepakati. 

Ketika pertama kalinya masuk gerbang sekolah, saya melihat papan sekolah yang cukup besar bertuliskan nama sekolah dan logo Cambridge International Examinations (CIE) sebagai lembaga penyedia tes IGCSE dan A level resmi. Saya kemudian memasuki ruang lobi dan bertemu dengan seorang penerima tamu. Tentu saja penerima tamu itu langsung bertanya kepada saya dan uniknya, dengan menggunakan Bahasa Inggris. Saya menjelaskan bahwa saya adalah seorang kandidat guru yang akan mengikuti seleksi wawancara. "Oh, what will you teach?" Tanyanya lagi. "English." Jawabku. "Oh, English," begitulah respon dia dengan pelafalan yang sempurna layaknya native speaker atau penutur asli.

Sekolah yang saya lamar ini tergolong kecil untuk ukuran sekolah dengan semua jenjang pendidikan yang dimiliki. Tapi kondisinya bersih dan tertata. Menurut saya, semua fasilitasnya cukup lengkap. Ketika memasuki ruang tengah, mata saya langsung tertuju pada foto yang terpajang di dinding. Ternyata pemilik sekolah ini adalah seorang bule. Setelah saya tanyakan foto itu kepada penerima tamu, ternyata bule itu berasal dari Inggris. Tepatnya kota Manchester. Sayapun kemudian semakin penasaran dengan sekolah ini dan sangat antusias sekali untuk mengikuti seleksi wawancara.

Beberapa menit kemudian, saya dipersilahkan masuk ke ruang meeting dan wawancara pun langsung dimulai. Saya kaget. Ternyata yang mewawancarai saya adalah seorang bule juga. Namanya Kerry Newman, seorang guru senior berasal dari Kanada. "Lumayan nih..sekalian bisa ngetes kemampuan Bahasa Inggrisku" pikirku dalam hati waktu itu. Singkat cerita, Alhamdulillah, wawancara berjalan dengan sangat lancar. Saya bisa menjawab semua pertanyaan dengan cukup lancar dalam Bahasa Inggris. Ada satu kalimat yang paling saya ingat dari Kerry tentang kesan dia terhadap saya pada waktu wawancara berlangsung, dan memang itulah yang menjadi momen penanda bahwa saya kelak akan diterima di sekolah itu tanpa proses lebih lanjut lagi. Dia mengatakan kepada kepala sekolah, yang waktu itu sedang duduk di sebelahnya, "I think we've found someone we've been looking for." 

Sayapun akhirnya secara cepat diterima menjadi guru di sekolah internasional itu dan langsung mengajar untuk beberapa kelas. Saya sebenarnya sangat menikmati segala aktivitas mengajar di sekolah ini karena semua pengalaman yang saya dapatkan dan teman-teman guru yang baik. Walaupun gak semua baik sih...hehe. Pada awalnya saya berencana akan mengajar di sekolah ini mungkin skitar dua tahunan, tapi ternyata karena suatu masalah, saya harus  mempercepat masa kerja saya dan segera mengundurkan diri dari sekolah, yang awalnya saya anggap keren itu. 


Fielftrip bersama siswa kelas 7 di Museum Batik Danar Hadi, Surakarta
Rafting bersama siswa kelas 12 ketika Fieldtrip di Bali