Jumat, 14 Juni 2019

Rahasia Pernikahan Bahagia Yang Jarang Diajarkan


Foto Lebaran Kemarin....Bahagia! 😊
Idul Fitri 1440

*Oleh Aziza Restu Febrianto


Pada artikel kali ini, saya ingin berusaha menuliskan beberapa pelajaran etika dan adab hubungan Pasangan suami istri (Pasutri) yang (mungkin) jarang sekali diajarkan di sekolah maupun keluarga. Karena jarang diajarkan, saya kira judul diatas sudah cukup pas untuk artikel ini. Saya berharap siapapun yang membacanya dapat melakukan refleksi dan evaluasi diri untuk selalu belajar menjadi individu yang lebih baik, khususnya dalam mengarungi kehidupan pernikahan dan berkeluarga. Tulisan juga saya khususkan untuk diri saya sendiri yang memang masih terus belajar untuk menjadi seorang suami dan ayah yang baik dalam membina sebuah rumah tangga.

  • Pernikahan itu Keputusan yang Agung
Pernikahan adalah sebuah keputusan yang sangat besar dalam kehidupan manusia sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Bahkan dalam islam, pernikahan itu merupakan salah satu dari tiga perjanjian agung, luhur dan suci yang disebut dengan “Mitsaqan Ghaliza” atau perjanjian yang amat kukuh. Perjanjian ini bahkan telah disebutkan di dalam kitab suci Al-Quran sebanyak tiga kali. Yang pertama menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7), kedua menjelaskan perjanjianNya dengan umatNya dalam melaksanakan pesan-pesan agama (QS An-Nisa 4:154) dan ketiga menyangkut perjanjian suami dan istri (QS An-Nisa 4:21).

Begitu besarnya nilai dari sebuah pernikahan, sehingga kita tidak boleh meremehkannya. Mungkin banyak yang mengira (terutama bagi yang belum menikah atau yang akan menikah) bahwa pernikahan adalah sebuah awal kebahagiaan. Tapi jangan salah, justru perjalanan hidup yang sebenarnya baru dimulai di awal pernikahan. Yang namanya hidup pasti banyak ujiannya. Hidup sendiri saja ujiannya sudah banyak, apalagi berdua dengan pasangan. Belum lagi ketika dikaruniani anak, yang pastinya masalah demi masalah akan terus kita hadapi dalam berumah tangga.

Namun, dengan semakin banyaknya masalah yang dihadapi, bukan berarti kita kemudian menjadi takut untuk memutuskan menikah. InshaAllah, banyak sekali manfaat dan berkah yang bisa diperoleh melalui pernikahan. Masalah itu hanyalah sebagian kecil dari kehidupan pernikahan. Masalah ibaratnya hanyalah sebuah bumbu agar kehidupan pernikahan yang kita jalani itu menjadi luar biasa indah. Jika kita mampu mengelola semua permasalahan itu dengan pasangan, maka kebahagiaan yang kita dapatkan akan jauh lebih banyak daripada ketika kita belum menikah.

  • Dua Orang Berbeda Menjadi Satu
Yang harus kita pahami terlebih dahulu adalah sebelum menikah, pasangan kita itu adalah 100% orang lain atau bukan merupakan bagian anggota dari keluarga kita. Dia adalah orang asing yang berasal dari keluarga lain dengan latar belakang budaya dan tradisi yang tentu saja sangat berbeda dengan kita. Ketika menikahinya, kita memang harus sudah siap lahir dan batin untuk hidup bersamanya dengan segala perbedaan yang dimilikinya, baik pola pikir, kebiasaan, hobi dan karakter atau wataknya.

Semua perbedaan yang ada antara kamu dan pasanganmu itu bisa sangat berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya, ketika kamu ingin menata ruang kamar yang sesuai dengan keinginanmu. Jangan berfikir bahwa pasanganmu akan memiliki pandangan yang sama dan semua keputusanmu akan berjalan dengan lancar. Tanpa ada penjelasan darimu tentang alasan kenapa kamu ingin menata ruang kamar, pasangan kamu bisa saja merasa kecewa ataupun marah mengenai keputusanmu itu. Namun masalah itu tidak akan muncul jika kamu terlebih dahulu mengkomunikasikan maksud keputusanmu itu kepada pasanganmu sebelum melakukannya. Tidak hanya menyampaikan maksud, tetapi kamu juga harus meminta pendapatnya sebagai tanda bahwa kamu memahami perasaannya dan menghargainya sebagai pasangan dan belahan jiwamu.

Hal lain tentang pernikahan yang perlu kita pahami adalah bahwa ketika kita sudah menikah, maka kita sudah tidak hidup sendiri lagi. Setelah menikah, hidup kita tentu tidak akan seperti dulu lagi ketika masih single. Saat masih single, kita bisa dengan bebas melakukan apa saja yang kita sukai. Misalnya, bagi mereka yang dulunya suka naik gunung, kumpul bersama teman, main band, dsb harus mulai mengurangi semua kegiatan hobinya itu ketika sudah menikah. Alasannya karena setelah memutuskan untuk menikah, sejatinya kita harus sudah siap untuk membagi waktu, tenaga dan pikiran kita dengan orang lain. Sehingga konsekuensinya adalah waktu dan kegiatan yang berkaitan dengan pribadi (me time) pasti akan berkurang. Dengan kata lain, di dalam waktu dan perhatian kita terdapat hak orang lain disitu, yaitu pasangan dan anak kita.

  • Menikahinya = Menikahi Keluarganya
Jangan berfikir bahwa ketika kamu menikahi seseorang pujaanmu, lantas dunia hanya milik kamu berdua dan yang lainnya hanya ikut ngontrak saja. Ingat, kita ini hidup di negara Indonesia yang sangat kental dengan tradisi dan adat ketimuran. Salah satu ciri khas adat ketimuran adalah kebiasaan komunal atau berkumpul. Artinya, dalam tradisi Indonesia, setelah menikah, pasangan masih diharuskan untuk menjaga hubungan yang erat dengan orang tua serta menjaga tradisi sosial keluarga yang diturunkan melalui mereka. Sehingga kondisi ini membutuhkan keterampilan tersendiri dari kita untuk dapat memahami dan menjaga hubungan yang baik dengan keluarga pasangan kita.

Kondisi yang biasanya sangat berpotensi menimbulkan masalah adalah intervensi orang tua terhadap urusan rumah tangga anaknya. Kebanyakan orang tua mungkin berfikiran bahwa setelah anaknya menikah, mereka merasa telah kehilangan perhatian dari anaknya yang selama ini hidup bersamanya. Sehingga mereka terkadang masih menganggap dan memperlakukan anaknya yang telah menikah itu dengan cara seperti dulu ketika dia belum menikah. Orang tua terkadang masih merasa bertanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap anaknya dan lupa bahwa anaknya itu sudah memiliki pasangan dan keluarga baru.

Memang sudah menjadi hal yang wajar jika orang tua kita sangat peduli dengan urusan dan kehidupan kita.... selamanya. Itu sudah naluri dan alamiah. Namanya juga orang tua. Bagian dari darah dan daging kita. Orang yang melahirkan dan membesarkan kita selama puluhan tahun sebelum akhirnya kita bertemu dengan pasangan kita. Namun, ketika kita sudah menikah, maka sejatinya kita sedang membangun keluarga yang baru. Membangun generasi baru yang tentu harus lebih baik dari generasi sebelumnya. Sehingga setiap keluarga baru harus memiliki prinsip dan pondasi mandiri secara kuat tentang akan dibawa kemana bahtera rumah tangga mereka. Demi masa depan keturunan-keturunan mereka.

Perhatian orang tua yang berujung pada intervensi urusan keluarga memang tidak bisa terhindarkan. Namun, bagi orang tua yang mengerti, pasti akan tahu akan batasan memberikan perhatian pada anaknya itu. Sehingga kehidupan rumah tangga sang anak juga akan menjadi baik-baik saja. Namun tidak semua orang tua itu mengerti. Jika kita menghadapi orang tua yang kedua ini, maka tidak ada cara lain kecuali dengan tetap saling percaya dan mendukung antar pasangan. Jika salah satu tidak nyaman dengan pengaruh orang tua, maka yang satunya harus menghargai perasaannya dan memberikan pengertian, kepercayaan serta dukungan penuh kepadanya. Bukan malah justru membela orang tua dan menjatuhkan pasanganya.

Sebenarnya yang paling berat menerima intervensi keluarga adalah menantu, yaitu pasangan kita terhadap orang tua kita atau kita terhadap mertua kita. Hubungan antara menantu dan mertua ini sangat rawan akan kesalahpahaman dan konflik. Alasan logisnya adalah karena pada dasarnya menantu adalah orang asing baru di rumah mertua. Pada sudut pandang menantu, mertua itu adalah raja atau ratu baginya. Bagaimana tidak, mereka adalah orang yang sudah merelakan anak yang paling mereka kasihi selama ini untuk diambil oleh orang seperti kita dan hidup bersama dengan kita selamanya. Bagaimanapun juga, mereka pasti akan selalu ingin memastikan bahwa anaknya itu hidup bahagia bersama kita.

Perasaan itu tentu saja akan mempengaruhi sikap menantu terhadap mertuanya. Sikap kikuk atau kurang nyaman akan selalu ia rasakan, terutama ketika harus terus-terusan bersama mertua. Dia akan selalu merasa bahwa apa yang dia lakukan itu selalu diawasi oleh mertuanya. Walaupun itu mungkin hanya sekedar perasaannya saja. Sedangkan dari sudut pandang mertua, menantu merupakan orang lain yang hidup bersama anaknya dengan usia yang jauh lebih muda. Bagi mertua yang mengerti, kepercayaan akan diberikan penuh kepadanya untuk mengelola keluarga baru bersama anaknya. Tapi bagi mereka yang kurang mengerti, perasaan khawatir atau cemburu terhadap menantunya bisa saja muncul. Mereka merasa bahwa setelah menikah, perhatian anaknya telah banyak tercurah kepada menantunya, bukan kepada mereka lagi.

Orang tua yang khawatir dan cemburu dengan anak dan menantunya ini akan berujung pada sikap intervensi, apalagi ketika mengetahui kekurangan yang ada di dalam keluarga anaknya. Orang tua kemudian merasa bahwa karena usianya jauh lebih tua, mereka memiliki banyak pengalaman dalam mengelola keluarga. Melihat kekurangan pada keluarga anaknya, orang tua semacam ini akan sering memberikan masukan dan nasihat (yang paling sering dikaitkan dengan pengalamannya). Memang tidak ada salahnya mempertimbangkan masukan dari orang tua, terutama jika memang itu benar adanya. Namun, kenyataannya masukan itu banyak yang tidak sepenuhnya benar dan bahkan sering disampaikan pada waktu yang kurang tepat. Jika kondisi ini terus berkembang, maka di dalam keluarga si anak akan terdapat double kepemimpinan atau dua pemimpin dalam satu keluarga. Padahal untuk menciptakan estafet generasi keturunan yang lebih baik, diperlukan kepemimpinan yang terpusat dan mandiri di dalam keluarga baru itu.

Tipe orang tua seperti itu mungkin lupa bahwa dengan perkembangan teknologi informasi yang terus menerus berkembang, anaknya bisa memperoleh banyak informasi dan pengalaman  berkeluarga melalui berbagai macam sumber di internet. Dalam hal ini, anak bisa saja lebih bijaksana karena mendapatkan lebih banyak informasi dari berbagai macam perspektif daripada orang tuanya, yang hanya mengandalkan ppengalaman dan pengetahuan dari sudut pandangnya saja. Orang tua juga hendaknya mengerti bahwa ketika memberikan keleluasaan kepada anak dan menantunya dalam menentukan arah rumah tangganya secara mandiri, mereka sebenarnya juga secara tidak langsung menjamin kebahagiaan anaknya.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pihak yang akan mendapatkan beban lebih ketika ada intervensi orang tua adalah menantu. Hubungan canggung antara mertua dan menantu inilah yang sering menyebabkan kesalahpahaman. Dan bisa saja menjadi pemicu renggangnya hubungan antara kedua belah pihak. Sikap legawa dan pengertian memang seharusnya dimiliki oleh keduanya jika terdapat perbedaan pandangan. Namun, tidak semua mau dan bisa mengerti. Satu-satunya cara yang paling efektif untuk menengahi masalah ini adalah keterampilan pasangan dari menantu (anak kandung mertua) dalam meluruskan kesalahpahaman. Tentu saja dengan cara yang bijaksana dan akhsan, sehingga tidak menyinggung perasaan salah satu atau kedua belah pihak. Hanya anak kandung dari mertua yang bisa. Kenapa? Karena namanya anak kandung, apapun yang dia lakukan, meskipun salah, orang tuanya pasti akan banyak memakluminya. Sedangkan jika menantu yang berbuat salah, bisa terjadi kesalahpahaman yang lebih mendalam dari kedua belah pihak.

  • Pernikahan itu Satu Tubuh
Pada poin pertama sudah disampaikan bahwa pernikahan itu adalah bersatunya dua orang yang berbeda dalam sebuah ikatan agung. Sebagai konsekuensinya, masing-masing harus saling memahami perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi memahami perbedaan itu saja tidaklah cukup. Setiap individu baik suami maupun istri harus saling menopang, saling mendukung dan saling merasakan. Karena dalam kehidupan rumah tangganya, mereka akan menghadapi berbagai macam tantangan dan masalah, yang tentunya membutuhkan banyak tenaga dan pikiran untuk menyelesaikannya.

Seperti kebanyakan orang bilang, pasangan itu adalah belahan jiwa. Pasangan itu ibaratnya adalah satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh kita itu sakit, maka pasti anggota tubuh yang lainnya akan merasakan sakit pula. Sehingga ketika salah satu pasangan mendapatkan masalah, sudah seharusnya yang satunya juga merasakan masalah yang sama. Akhirnya keduanya menganggap masalah salah satu pihak adalah masalah mereka berdua, yang harus dicarikan solusi secara bersama-sama. Hanya saja yang membedakan antara tubuh dan pernikahan adalah cara penyembuhan saat salah satu anggota tubuh sakit. Jika salah satu anggota tubuh kita sakit, kita bisa mengobatinya di rumah sakit. Namun dalam pernikahan, rasa sakit itu tidak bisa dan tidak boleh disembuhkan di tempat lain. Jika disembuhkan di tempat lain, maka rasa sakit itu justru akan semakin parah dan bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga.

Karena pasangan kita adalah bagian tubuh kita dan tidak ada tempat lain untuk menyembuhkan suatu penyakit yang diderita, maka sudah menjadi suatu kebutuhan kita untuk melindungi dan merawatnya. Sakit yang dirasakan oleh pasangan akan berdampak pada terganggunya kenyamanan dan kedamaian dalam keluarga jika dibiarkan. Merasakan apa yang dialami pasangan memang membutuhkan keterampilan tersendiri, yaitu rasa empati dan kepekaan yang baik. Tapi jika kita benar-benar mencintai pasangan kita dan memikirkan masa depan keluarga serta keturunan-keturunan kita, kenapa kita tidak belajar dan berlatih mengembangkan keterampilan ini. Semuanya demi ketenteraman, kebahagiaan dan keberlangsungan hidup berkeluarga.

Cara lain untuk mengembangkan keterampilan ini sebenarnya mudah, yaitu dengan keterbukaan. Setiap pasangan hendaknya saling terbuka tentang urusan apapun bahkan sekecil apapun itu. Setiap kali memiliki pemikiran, ide, masalah ataupun kepentingan, hendaknya kita menceritakan semuanya kepada pasangan. Bercerita tentang semua hal tidak akan menjadi masalah bagi kita dan pasangan, justru itulah yang seharusnya dilakukan dan dibutuhkan. Bahkan di dalam Islam, pasangan itu ibarat pakaian kita, dan sebaliknya kita adalah pakaian bagi pasangan kita. Sehingga setiap detail tentang tubuh dan hidup kita sudah sepantasnya diketahui oleh pasangan.

Mungkin ada orang yang enggan menceritakan beberapa hal ke pasangannya karena pertimbangan tertentu. Misalnya, mereka berfikir bahwa ada urusan tertentu yang hanya mereka tahu atau percuma jika urusan itu diceritakan kepada pasangan. Toh pasangan juga tidak akan tahu atau bahkan tidak bisa memberikan solusi. Menurut saya pandangan seperti ini salah. Justru ketika kita menceritakan semua urusan kita kepada pasangan, pasangan bisa merasa dihargai perannya. Tidak peduli apakah dia paham atau tidak.

Hendaknya pasangan juga jangan enggan mendengarkan cerita kita ketika tidak memahaminya atau tidak dapat memberikan solusi akan masalah yang mungkin ada. Bisa dibayangkan, jika salah satu tidak peduli dengan cerita pasangannya, selain yang lain akan merasa kecewa, dia juga tidak akan mempunyai tempat untuk bercerita. Coba dibayangkan. Siapa lagi tempat kita bercerita tentang semua hal (curhat), selain kepada pasangan kita.  Jangan sampai karena pasangan tidak mau mendengarkan kita, kemudian kita mencari tempat lain untuk bercerita. Itu bisa sangat berbahaya. Sehingga walaupun tidak tahu akan permasalahan yang diceritakan oleh pasangan, hendaknya kita tetap antusias memperhatikan meskipun hanya sekedar mendengar.

Pada dasarnya setiap orang itu memiliki ego atau keinginan dan hasrat untuk kebahagiaan hidupnya sendiri. Akan tetapi ketika orang itu sudah memutuskan untuk menikah dan membangun rumah tangga baru, maka ego pribadi itu harus disatukan dengan pasangannya. Melawan ego pribadi memang pastinya tidak mudah. Tapi menurut saya ego itu bisa diubah bentuknya menjadi ego bersama. Nah, untuk membentuk dan menyatukan ego bersama dengan pasangan, diperlukan pemahaman bersama akan pernikahan seperti 4 (empat) poin yang saya sebutkan diatas.

Jika disimpulkan, kunci dari semua permasalahan dalam rumah tangga adalah kesamaan visi, kepekaan, keterbukaan dan komunikasi dari masing-masing pasangan. Tentu saja semua disesuaikan dengan kondisi dan peran kita masing-masing dalam keluarga kita: sebagai suami atau istri, anak atau menantu, dan karir atau rumah tangga. Terimakasih telah membaca artikel ini. Semoga bermanfaat.



Semarang, 14 Juni 2019






Minggu, 14 April 2019

Being a Teacher (Bagian 13) - Serangkaian Refleksi

https://cambridgeinternationalschool.co.uk/
Mengajar di Sekolah Elit (Bagian 1)

*Aziza Restu Febrianto

Setelah dinyatakan lulus pendidikan PPG, saya kemudian diwisuda. Proses wisuda ini dilaksanakan bersamaan dengan wisuda jenjang studi S1 dan S2 tepatnya di Auditorium kampus UNNES Semarang. Kali ini saya mengalami wisuda untuk yang kedua kalinya, walaupun belum pernah mengambil pendidikan S2 pada waktu itu. Ketika menjalani prosesi wisuda, biasanya ada dua hal berbeda yang dirasakan oleh kebanyakan peserta, yaitu perasaan bahagia karena telah menyelesaikan studi dan kekhawatiran akan karir di masa depan yang tidak pasti. Namun kondisi ini sama sekali tidak berlaku bagi saya. Saya hanya percaya bahwa selama ini saya sudah melakukan apapun yang terbaik, sehingga saya yakin akan mendapatkan yang terbaik pula di masa yang akan datang kelak.

Ketika mengikuti upacara wisuda S1 dulu, saya juga tidak terlalu merasa takut dan khawatir. Saya meyakini bahwa apa yang selama ini saya kerjakan semasa kuliah pasti akan memberikan dampak di masa depan. Selama kuliah S1, saya sangat aktif mengikuti kegiatan ekstra maupun menjadi pengurus organisasi internal kampus. Setelah lulus, saya akhirnya bisa bekerja sebagai guru di sekolah dan pernah menjadi pegawai kantoran selama dua tahun. Dengan semua pengalaman ini, saya akhirnya lolos seleksi untuk mengajar di daerah 3T serta memperoleh gelar guru profesional setelah menyelesaikan kuliah PPG. Semua proses hidup yang saya lalui dan segala pengalaman yang saya miliki selama kuliah S1 dan dunia kerja inilah yang akhirnya kelak membantu saya mendapatkan beasiswa S2 di Inggris. Alhamdulillah.

Beberapa hari menjelang wisuda PPG, saya mendapatkan informasi lowongan guru di sebuah sekolah internasional di Semarang. Sebagai seorang lulusan PPG dengan sertifikat guru profesional di tangan, saya tentu sangat tertarik untuk mendaftar. Yang paling membuat saya tertarik dan penasaran dengan sekolah itu adalah kurikulumnya yang menggunakan Cambridge International School. Dengan kurikulum itu, sekolah bisa menyelenggarakan tes International Generate Certificate of Secondary Education (IGCSE) dan A level bagi siswa yang ingin mengambil kuliah S1 di luar negeri. Tanpa menunggu lama, saya segera menyiapkan surat lamaran dan langsung mendaftar. Selang satu minggu kemudian, saya mendapatkan informasi melalui telepon bahwa surat lamaran yang saya ajukan diterima, dan saya diminta untuk mengikuti wawancara. Bahagia sekali rasanya. Sayapun langsung bergegas mengambil kesempatan itu dan datang ke sekolah sesuai dengan waktu yang telah disepakati. 

Ketika pertama kalinya masuk gerbang sekolah, saya melihat papan sekolah yang cukup besar bertuliskan nama sekolah dan logo Cambridge International Examinations (CIE) sebagai lembaga penyedia tes IGCSE dan A level resmi. Saya kemudian memasuki ruang lobi dan bertemu dengan seorang penerima tamu. Tentu saja penerima tamu itu langsung bertanya kepada saya dan uniknya, dengan menggunakan Bahasa Inggris. Saya menjelaskan bahwa saya adalah seorang kandidat guru yang akan mengikuti seleksi wawancara. "Oh, what will you teach?" Tanyanya lagi. "English." Jawabku. "Oh, English," begitulah respon dia dengan pelafalan yang sempurna layaknya native speaker atau penutur asli.

Sekolah yang saya lamar ini tergolong kecil untuk ukuran sekolah dengan semua jenjang pendidikan yang dimiliki. Tapi kondisinya bersih dan tertata. Menurut saya, semua fasilitasnya cukup lengkap. Ketika memasuki ruang tengah, mata saya langsung tertuju pada foto yang terpajang di dinding. Ternyata pemilik sekolah ini adalah seorang bule. Setelah saya tanyakan foto itu kepada penerima tamu, ternyata bule itu berasal dari Inggris. Tepatnya kota Manchester. Sayapun kemudian semakin penasaran dengan sekolah ini dan sangat antusias sekali untuk mengikuti seleksi wawancara.

Beberapa menit kemudian, saya dipersilahkan masuk ke ruang meeting dan wawancara pun langsung dimulai. Saya kaget. Ternyata yang mewawancarai saya adalah seorang bule juga. Namanya Kerry Newman, seorang guru senior berasal dari Kanada. "Lumayan nih..sekalian bisa ngetes kemampuan Bahasa Inggrisku" pikirku dalam hati waktu itu. Singkat cerita, Alhamdulillah, wawancara berjalan dengan sangat lancar. Saya bisa menjawab semua pertanyaan dengan cukup lancar dalam Bahasa Inggris. Ada satu kalimat yang paling saya ingat dari Kerry tentang kesan dia terhadap saya pada waktu wawancara berlangsung, dan memang itulah yang menjadi momen penanda bahwa saya kelak akan diterima di sekolah itu tanpa proses lebih lanjut lagi. Dia mengatakan kepada kepala sekolah, yang waktu itu sedang duduk di sebelahnya, "I think we've found someone we've been looking for." 

Sayapun akhirnya secara cepat diterima menjadi guru di sekolah internasional itu dan langsung mengajar untuk beberapa kelas. Saya sebenarnya sangat menikmati segala aktivitas mengajar di sekolah ini karena semua pengalaman yang saya dapatkan dan teman-teman guru yang baik. Walaupun gak semua baik sih...hehe. Pada awalnya saya berencana akan mengajar di sekolah ini mungkin skitar dua tahunan, tapi ternyata karena suatu masalah, saya harus  mempercepat masa kerja saya dan segera mengundurkan diri dari sekolah, yang awalnya saya anggap keren itu. 


Fielftrip bersama siswa kelas 7 di Museum Batik Danar Hadi, Surakarta
Rafting bersama siswa kelas 12 ketika Fieldtrip di Bali

Minggu, 24 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 12) - Serangkaian Refleksi

Saya, foto bersama teman-teman sekelas PPG
Ujian Tulis Nasional (UTN): Drama kelulusan PPG

*Aziza Restu Febrianto

Di ujung masa kuliah PPG, semua peserta diwajibkan untuk mengikuti ujian tulis sebagai persyaratan paling utama untuk lulus dan mendapatkan sertifikat pendidik profesional dari UNNES yang disahkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi. Ujian tulis ini dibagi menjadi dua, yaitu ujian tulis lembaga dan ujian tulis nasional.

Ujian tulis yang pertama atau ujian tulis lembaga dilakukan di kelas dan bentuknya sangat sederhana. Setiap peserta PPG diberikan 10 soal dan harus memberikan jawaban dalam bentuk uraian berbahasa Inggris di kertas. Materi yang diujikan tidak jauh dari bidang profesi dan pekerjaan, yaitu bidang pendidikan dan keguruan yang selama ini kita tekuni. Namun, yang membedakan adalah kita harus menjawab semua soal dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah, saya tidak mengalami masalah sedikitpun dalam ujian ini atau dengan kata lain lulus dengan sempurna. Namun, saya merasa heran bahwa ternyata dari semua peserta (23 orang) dalam satu jurusan, hanya 4 orang. Jadi saya adalah 1 diantara 3 orang lain yang lulus.

Setelah ujian tulis yang pertama selesai, saya harus mengikuti ujian tulis yang kedua. Ujian tulis yang kedua ini biasa dikenal dengan Ujian Tulis Nasional (UTN). Ujian ini diselenggarakan secara online dengan server yang berpusat di Jakarta. Bagi saya, UTN adalah ujian tertulis online pertama yang tentu saja harus saya persiapkan dengan sungguh-sungguh. Meskipun materi yang diujikan dalam UTN adalah bidang yang saya tekuni, yaitu Bahasa Inggris, kebiasaan dan keterampilan mengerjakan soal melalui komputer juga menjadi tantangan tersendiri bagi saya.

Saya mempunyai kenangan yang tak terlupakan saat mengikuti UTN ini. Saat itu saya tidak membayangkan bahwa soal yang diujikan dalam UTN ternyata sangat luar biasa susahnya. Materi yang diujikan itu berkaitan dengan High Order Thinking Skill (HOTS) dan banyak diambil dari surat kabar dan majalah internasional. Saya sangat tahu betuh darimana materi itu diambil karena saya pernah membaca sebuah majalah online dan menemukan sebuah artikel yang sama persis dengan materi pada soal UTN yang saya kerjakan. Bentuk pertanyaan dalam soal adalah pilihan ganda dengan jumlah total 100 buah. Namun, hampir semua soal dan pilihan jawabannya itu diseleksi dengan sangat teliti dan ketat sesuai dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Namanya saja soal HOTS, sehingga untuk mengerjakan setiap soalnya, dibutuhkan waktu yang cukup.

Setelah mengikuti UTN, semua peserta harus menunggu sekitar satu minggu untuk mengetahui hasilnya. Saya pada awalnya memang sudah mempunyai firasat bahwa saya mungkin saja tidak akan lulus UTN. Semua pertanyaan yang saya kerjakan saat itu benar-benar membuat saya harus berfikir keras. Sungguh saya belum pernah mengerjakan soal sesulit itu sebelumnya. Saya akui tingkat kesulitan soal UTN bisa dikatakan melebihi soal Reading di TOEFL ataupun IELTS.

Firasat saya ternyata benar adanya. Saya tidak lulus bersama mayoritas teman saya di kelas. Waktu itu hanya 3 orang yang lulus. Saya cukup sedih karena saya harus belajar dan berlatih lagi untuk mengambil ujian ulang. Mengetahui ketidaklulusan saya di UTN, tidak sedikit teman-teman dari jurusan lain yang menyindir saya. Dan saya sangat sakit hati oleh sindiran itu, hingga terkenang sampai sekarang. Kira-kira beginilah sindiran mereka, “Masa Profesor TOEFL kok gak lulus UTN...haha.” Sewaktu PPG, saya memang dikenal dengan julukan Profesor TOEFL karena saya terbiasa mengajar les atau kelompok ketika tidak ada kegiatan asrama di malam hari. Sehingga saya merasa malu sekali waktu itu.

Karena rasa malu itu, saya kemudian bekerja lebih keras lagi untuk mempersiapkan ujian ulang ke-2. Saya banyak mencari materi di internet dan mencoba membuat soal-soal yang paling sulit. Alhamdulillah, usaha saya tidak sia-sia. Akhirnya saya lulus walaupun nilainya tidak seberapa. Namun diantara teman sekelas yang mengambil ujian ulang, masih ada 5 orang yang tidak lulus saat itu. Menurut saya, soal yang diujikan dalam UTN memang benar-benar susah sekali. Sejak saat itu saya berkesimpulan bahwa PPG memang merupakan sebuah program yang luar biasa dan ideal untuk menggembleng para peserta menjadi guru yang profesional. Ujian kelulusannya saja susahnya bukan main.


PPG ini akhirnya membuat saya melakukan refleksi diri bahwa setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Saya misalnya, memang bisa dikatakan sangat baik dan terampil dalam menulis atau membuat uraian terutama dalam Bahasa Inggris, namun saya ternyata juga memiliki kelemahan di bidang yang lain, yaitu keterampilan membaca (Reading), yang dibuktikan dengan kegagalan saya pada saat mengikuti UTN pertama. Menurut saya, memahami akan kelebihan dan kekurangan diri itu sangat penting untuk kehidupan saya kelak di masa yang akan datang. 

Bersambung.... (Bagian 13)

Selasa, 19 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 11) - Serangkaian Refleksi

Saya, foto bersama dengan peserta PPL lainnya di SMKN 2 Semarang
Mengikuti PPL ...Lagi?

*Aziza Restu Febrianto

Salah satu komponen yang paling penting dalam pendidikan keguruan adalah Pengalaman Praktik Lapangan (PPL). Begitupula dengan PPG yang mana PPL merupakan sebuah bagian integral, bahkan variasi kegiatan dan masa durasinya jauh lebih lama dibandingkan PPL pada pendidikan S1. PPL dalam program PPG berlangsung selama kurang lebih 4 bulan atau dua kali PPL di kuliah pendidikan S1. Seperti biasa, PPL diawali dengan observasi lingkungan sekolah beserta perangkat dan programnya. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan semua perangkat pembelajaran seperti kurikulum, silabus, materi, RPP dan  semua perlengkapan lainnya dengan didampingi oleh dosen pembimbing dan guru pamong. Pendampingan ini bertujuan untuk penyusunan perangkat yang harus disesuaikan dengan kondisi siswa di sekolah tersebut. Jika semua perangkat sudah dipersiapkan, baru semua peserta PPG dipersilahkan untuk mengajar di kelas-kelas yang telah ditentukan.

Pada waktu itu saya ditempatkan di SMKN 2 Semarang (dulunya SMEA) dimana mayoritas siswanya adalah perempuan. Kelas dibagi menjadi 3 macam jurusan, sesuai dengan pilihan siswa. Saya mendapatkan kesempatan mengajar di kelas jurusan Pemasaran, yang terkenal dengan keramaian dan kebandelan siswanya. Guru pamong tentu saja menceritakan semua tentang kelas itu kepada saya sebelum saya mulai mengajar. Saya jadi teringat waktu PPL S1 dulu yang mana saya juga mendapatkan jatah mengajar di kelas yang bandel (IPS), walaupun saya sendiri waktu SMA dulu juga anak IPS...haha. Tapi karena sudah terbiasa dengan mengajar siswa bandel, saya malah menjadi banyak belajar tentang mengajar di sekolah menengah.

Saya sempat bergumam dalam hati, “Untung saya sudah sering mengajar siswa bandel di kelas selama ini, bahkan siswa yang sangat rendah motivasinya di NTT sana. So, saya siap dengan tantangan ini!” Setelah masuk di kelas, saya memang menemukan banyak diantara siswa yang cerewet atau dalam bahasa jawa dikenal dengan sebutan “cewawakan”. Namun, hampir semua siswa adalah perempuan dan di kebanyakan kelas, hanya terdapat 2 atau 3 orang laki-laki. Sehingga saya merasa tidak begitu kualahan mengatur mereka. Tapi walaupun mereka masih bisa diatur, saya tetap tidak yakin mereka benar-benar bisa menangkap materi yang saya sampaikan. Rata-rata siswa yang saya ajar di kelas itu tidak memiliki latar belakang kompetensi Bahasa Inggris yang bagus. Motivasi mereka dalam belajar Bahasa asing ini juga tidak terlalu tinggi. Mereka juga kebanyakan tidak begitu memiliki cita-cita akademis yang tinggi. Menurut mereka yang penting setelah lulus sekolah, mereka bisa bekerja di bagian marketing perusahaan. Begitu saja sudah cukup.

Saya tidak tahu atas pertimbangan apa, waktu itu saya ditunjuk sebagai koordinator PPL. Sebagai konsekuensi, saya harus selalu bisa mewakili teman-teman lain untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak di sekolah seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan beberapa guru lain untuk segala urusan penting di sekolah. Saya juga harus mengikuti rapat koordinasi antara pihak kampus penyelenggara PPG dengan sekolah tempat PPL. Kesibukan ini akhirnya berdampak pada jadwal mengajar saya. Seringkali tugas mengajar itu saya limpahkan ke teman PPL lain. Sungguh sangat kebetulan, dosen pembimbing dari UNNES adalah seorang dosen yang sudah mengenal saya dengan baik. Memang sudah menjadi takdir Tuhan, beliau jugalah yang dulu membimbing saya ketika PPL pendidikan S1. Sehingga walaupun saya sering meninggalkan tugas mengajar, semuanya tetap berjalan dengan lancar.

Sebagai seorang koordinator, saya juga sering diminta memberikan sambutan di beberapa acara yang melibatkan mahasiswa PPL. Saya bahkan pernah ditunjuk sebagai khotib sholat jum’at di masjid sekolah. Karena kebiasaan organisasi, mengajar dan berbicara di depan umum selama kuliah S1 dulu, saya sama sekali tidak mempunyai masalah dengan semua tugas itu. Bahkan saya sangat senang menjalaninya. Bagi saya Public speaking itu adalah bagian yang paling penting dan integral dalam dunia mengajar.

Dalam PPL PPG, semua peserta diwajibkan untuk membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yang memang sudah menjadi salah satu tugas seorang guru di sekolah. Menurut aturan yang saya baca, PTK ini secara signifikan bisa membantu guru meningkatkan karir mereka dan bahkan bisa mengajukan sertifikasi guru. Dengan pembuatan PTK, guru diharapkan mampu membuat sebuah karya ilmiah yang hasilnya bisa sangat berguna bagi kebijakan pendidikan Alasan itu sangat masuk akal karena merekalah yang secara langsung mengetahui dan memahami permasalahan di kelas. Pembuatan PTK inilah yang menjadi salah satu pembeda antara PPL PPG dengan PPL S1. Saya masih ingat bahwa hasil karya PTK ini akhirnya saya jadikan sebuah paper untuk dipresentasikan di sebuah konferensi internasional pendidikan Bahasa Inggris di Semarang.

Nilai PPL PPG tidak hanya ditentukan oleh laporan selama kegiatan di sekolah saja, tapi juga dari beberapa komponen seperti ujian kinerja mengajar selama 3 kali, PTK dan laporan PPL. Semua komponen inilah yang juga membedakan antara PPL PPG dengan PPL S1, yang nilainya hanya ditentukan oleh laporan PPL dan praktik mengajar saja. Selain mengajar, membuat PTK dan laporan PPL, kita juga diharapkan bisa ikut membantu memperlancar atau menaktifkan kegiatan Pramuka di sekolah karena semua peserta PPG juga mendapatkan pembekalan Pramuka seperti Kursus Orientasi Lengkap (KOL), Kursus Menengah Dasar (KMD) dan Kursus Menengah Lanjutan (KML) di kampus. Pokoknya lengkap deh. Jadi lulusan PPG ini kelak diharapkan bisa menjadi guru yang juga mampu membina semua kegiatan pramuka di sekolah tempat mereka bekerja.

Sebagai penilaian akhir PPL, semua peserta diwajibkan untuk mengikuti Ujian Kinerja Guru (UKG) atau penilaian mengajar di kelas selama 3 kali. Dengan dilaksanakannya UKG selama 3 kali ini, para peserta sebagai calon guru profesional dapat melakukan refleksi dan evaluasi diri. Pada setiap UKG, ada 3 orang yang menguji, yaitu dosen pembimbing, guru pamong dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Seperti peserta PPG lainnya, saya tentu merasakan grogi ketika akan mengikuti UKG meskipun saya sudah terbiasa dengan public speaking dan mengajar. Sayapun menyiapkan UKG dengan semaksimal mungkin. Semua perangkat, materi dan media pembelajaran harus saya siapkan semenarik mungkin. Saya masih ingat, ketika mengikuti UKG tahap terakhir, saya mengajar Recount Text (Kurikulum KTSP) di kelas 10 jurusan pemasaran. 

Setelah praktik mengajar dalam rangka UKG, tentu saja para penilai diberikan kesempatan untuk memberikan komentar. Beginilah komentar yang disampaikan oleh guru pamong dan wakil kepala sekolah waktu itu,

“Sudah bagus mengajarnya mas, hanya saja mas perlu jalan-jalan ke belakang, memastikan bahwa siswa yang duduk di belakang itu paham.” Kata guru pamong. Sedangkan wakil kepala sekolah bidang kurikulum menyampaikan, “Ya memang sudah bagus sih, hanya saja tolong kalau berbicara Bahasa Inggris jangan terlalu cepat. Anak-anak nanti bingung mas.”
Karena dosen pembimbing saya sudah mengenal dan mengerti cara mengajar saya seperti apa, beliau meng-iyakan saja apa yang disampaikan oleh penguji lainnya. 

Rabu, 13 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 10) - Serangkaian Refleksi


Menjadi Peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG)

*Aziza Restu Febrianto

Setahun cepat sekali berlalu. Ilmu dan pengalaman telah cukup saya dapatkan di tanah rantauan selama program SM-3T, yang memang berlangsung hanya satu tahun. Itu artinya Saya dan peserta lainnya harus siap dipulangkan kembali ke tanah Jawa. Sebagai reward atau penghargaan atas tugas yang telah kita laksanakan selama satu tahun itu, pemerintah memberikan beasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) kepada semua peserta untuk jangka waktu satu tahun pula. Waktu itu saya mengikuti PPG di almamater saya, UNNES, sehingga saya harus kembali ke Semarang. Menurut subjektif saya, secara keseluruhan, PPG merupakan sebuah program yang sangat luar biasa dan ideal untuk melatih, mendidik dan menggembleng para calon guru untuk menjadi profesional. PPG jugalah yang akhirnya membuat saya membuka mata dan jatuh cinta pada dunia pendidikan yang kemudian saya tekuni hingga sekarang.

PPG ini mengingatkan saya pada sebuah program pendidikan guru di Inggris bernama Postgraduate Certificate in Education (PGCE/PGCertEd) yang durasinya juga satu tahun. Siapa saja yang mengambil dan menyelesaikan pendidikan ini akan berpeluang besar untuk menjadi guru. Secara esensi, memang ada kesamaan antara PPG dan PGCE. Namun, secara teknis, kedua program itu tentu saja memiliki banyak perbedaan. Informasi lebih lanjut mengenai PGCE bisa dilihat di laman ini https://www.prospects.ac.uk/. PPG sebenarnya juga merupakan program perbaikan dari jenis pendidikan yang ada sebelumnya, yaitu pendidikan Akta 4. Namun, setelah melalui rangkaian evaluasi dan dikeluarkannya undang-undang  profesi guru dan dosen, pendidikan Akta 4 ini kemudian dihapus dan digantikan oleh PPG.  

Selama PPG, semua peserta (alumni SM-3T) diwajibkan untuk tinggal di asrama. Semua peserta juga diharuskan untuk mengikuti berbagai macam kegiatan pengembangan diri di asrama. Perkuliahan dilaksanakan setiap hari senin sampai dengan sabtu di kampus mulai dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 17.00. Sungguh luar biasa padatnya jadwal PPG itu, sehingga kita harus mengosongkan semua agenda yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Pada hari minggupun kita juga harus mengikuti kegiatan olahraga dan kreativitas kesenian. Kita dilarang meninggalkan asrama kecuali atas ijin dari lurah asrama. Itu saja kalau memang ada keperluan penting. Yang jelas PPG itu adalah sebuah program yang sangat padat sekali. Semua peserta diwajibkan untuk berada di lingkungan kampus dan asrama selama 24 jam setiap hari dalam jangka waktu satu tahun.

Dalam pelaksanaannya, PPG dibagi menjadi dua sesi. Sesi yang pertama adalah kegiatan perkuliahan seperti biasa, yaitu semua peserta harus mengikuti perkuliahan di kampus dari pagi hingga sore hari, diajar dan didampingi oleh beberapa dosen. Sedangkan sesi yang kedua adalah PPL seperti halnya yang pernah saya dapatkan ketika masih kuliah S1 dulu. Hanya saja PPL pada saat PPG sangatlah berbeda baik dari sisi durasi maupun variasi kegiatannya. Pada kegiatan pertama di kampus, yang kita lakukan adalah membedah semua kurikulum dan silabus SMP dan SMA/ MA/ SMK. Tapi untuk melakukannya, kita dibagi menjadi beberapa tim agar semua perangkat itu bisa dikerjakan dengan diskusi kelompok untuk semua jenjang dalam waktu yang terbatas. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan materi pembelajaran yang diakhiri dengan memilih salah satu materi untuk digunakan dalam membuat Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP).

Ketika semua komponen kurikulum dan silabus telah dibedah, materi sudah dipersiapkan dan RPP juga sudah dibuat, kegiatan selanjutnya yaitu kita harus mempersiapkan praktik mengajar di kelas atau yang biasa dikenal dengan Peer teaching. Dengan semua perangkat dan perlengkapan pembelajaran yang sudah kita siapkan, kita harus melakukan praktik mengajar didepan teman sekelas atau kolega kita. Praktik mengajar ini tentu saja dilakukan secara bergiliran dengan diperhatikan dan dievaluasi oleh dosen. Terkadang kegiatan perkuliahan termauk Peer teaching ini juga dihadiri oleh seorang guru senior yang terkenal berprestasi, baik dari SMP, SMA maupun SMK. Para dosen, guru sekolah yang diundang serta semua peserta PPG diberikan kesempatan untuk memberikan masukan kepada setiap dari kita yang tampil. Saya masih cukup ingat beberapa masukan dari dosen, guru sekolah maupun teman sekelas ketika saya mendapatkan giliran Peer teaching.

Beberapa kolega atau teman kelas tampaknya memiliki pendapat yang sama dengan para dosen dan guru sekolah ketika melihat saya mengajar di kelas. Mereka mengatakan,

“Mas, keterampilan Bahasa Inggris anda sudah bagus. Tapi ketika menjelaskan materi, anda terlalu cepat. Ingat yang anda ajar ini adalah anak SMP.” Saking antusiasnya mengajar, saya memang terkadang tidak menyadari bahwa konteks latar belakang siswa yang saya ajar adalah SMP, yang tentu saja baru belajar Bahasa Inggris pada tingkat dasar. Mungkin kondisi Peer teaching yang mana siswanya merupakan kolega saya sendiri ini sangat mempengaruhi bagaimana saya mengajar.
Bahkan dua orang teman saya juga sempat berkata kepada saya, “Mas Restu jadi dosen saja. Lebih cocok.” Masukan lainnya yang saya terima dari peserta PPG lain adalah yang berkaitan dengan manajemen waktu, “Tadi itu mas seharusnya jangan terlalu banyak dan terlalu lama di pembukaan mengajar atau penyampaian apersepsinya, sehingga waktu untuk kegiatan inti jadi berkurang. ”

Begitulah kira-kira feedback yang diberikan oleh para kolega, dosen dan guru sekolah. Meunurut saya kegiatan seperti ini itu luar biasa. Peserta calon guru diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk membedah materi, mempersiapkan RPP dan melakukan praktik mengajar di kelas dengan berbagai masukan dari orang lain yang tentu membuat mereka semakin memperbaiki diri melalui evaluasi dan refleksi. Dan kegiatan semacam ini kita lakukan setiap hari hingga mendekati waktu PPL tiba. Sungguh luar biasa, walaupun saya juga berfikir bahwa semua pelatihan dalam perkuliahan ini belum tentu akan benar-benar bisa diterapkan sempurna di kelas yang sebenarnya karena pertimbangan pengalaman mengajar peserta yang cukup lama di sekolah.  Kita benar-benar paham betul betapa tentatifnya kondisi siswa di ruang kelas yang nyata. 

Bersambung.....(Bagian 11)

Kamis, 07 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 9) - Serangkaian Refleksi

Pulang sekolah bersama siswa
Lokasi: Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende,
Nusa Tenggara Timur (NTT)
Menjadi Guru di Pedalaman

*Aziza Restu Febrianto

4 bulan setelah keputusan berhenti bekerja dan menganggur, saya akhirnya mendapatkan informasi yang sangat menarik perhatian saya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI), membuka lowongan guru yang akan ditempatkan di daerah terpencil selama satu tahun, bernama Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T). Program ini adalah pioneer atau rintisan dari pemerintah karena sebelumnya sudah ada program yang serupa yaitu Gerakan Indonesia Mengajar dari pihak swasta. Saya sangat antusias sekali untuk mendaftar program ini karena pengalaman yang akan diperoleh peserta ketika ditempatkan di daerah 3T.

Pada awalnya ibu tidak merestui, namun, setelah saya jelaskan, beliau akhirnya mantab dan merelakan keputusan saya. Setelah mempersiapkan semua persyaratannya, sayapun mendaftar secara online. Jujur saja, ketertarikan saya untuk mengikuti program ini sekali lagi bukanlah karena alasan keinginan pribadi untuk menjadi guru, tapi karena jiwa petualangan dan rasa ingin tahu yang tinggi untuk mengeksplorasi tempat-tempat baru. Kebetulan program ini hanya diperuntukkan bagi para lulusan S1 kependidikan atau keguruan seperti saya.

Saya kemudian mengikuti semua proses seleksi dengan baik, mulai dari administrasi secara online maupun offline, tes tertulis berupa Tes Potensi Akademik (TPA) dan Tes Kompetensi Bidang (TKB), hingga yang terakhir, yaitu wawancara. Alhamdulillah, saya mampu melewati semua tahapan seleksi secara sempurna. Saya bahkan tidak terlalu menghabiskan waktu lama untuk melewati proses wawancara karena pewawancara dengan cepat mendapatkan kesan yang baik mengenai saya.

“Sepertinya anda punya banyak wawasan dan matang. Saya yakin anda siap ditempatkan di Nusa Tenggara Timur (NTT).”
Seperti itulah kesan yang beliau tunjukkan kepada saya pada saat wawancara. Sebenarnya jawaban yang saya sampaikan hanya mengalir begitu saja. Tidak ada yang dibuat-buat. Tapi saya yakin kesan itu muncul karena beliau pastinya membandingkan performa saya dengan peserta lain yang kebanyakan berusia 3 tahun lebih muda dari saya (baru saja lulus kuliah). Pola pikir orang dengan jarak usia seperti itu tentu saja sangat berbeda, ditambah lagi dengan pengalaman hidup yang dimiliki.

Setelah dinyatakan lolos sebagai peserta SM-3T, saya kemudian mengikuti kegiatan pra-kondisi atau pembekalan selama seminggu di Semarang dalam rangka persiapan untuk menghadapi tantangan hidup dan mengajar selama tinggal di daerah 3T. Selama kegiatan ini, semua peserta dibekali dengan beberapa keterampilan seperti membuat perangkat pembelajaran, teknik mengajar yang menarik sesuai dengan daerah 3T, ketahanmalangan, dan kepramukaan. Khusus untuk materi ketahanmalangan, kita semua secara langsung dibimbing oleh para anggota TNI dari Ringdam Diponegoro, Magelang.

Serangkaian latihan dalam membuat perangkat pembelajaran dan teknik mengajar selama kegiatan pra-kondisi inilah yang akhirnya membuat saya mulai menemukan semangat dan ketertarikan untuk menjadi guru. Pada kegiatan ini, semua peserta diberikan bimbingan tentang cara mengajar, mulai dari membuat materi hingga permainan menarik yang disesuaikan dengan kondisi di daerah 3T, yang tentu tidak lepas dari keterbatasan sarana dan prasarana.

Kegiatan pra-kondisi dan pembekalanpun akhirnya selesai. Sehari kemudian, saya dan peserta lainnya diberangkatkan menuju lokasi tujuan. Beberapa peserta diberangkatkan menuju provinsi Aceh, sedangkan saya dan beberapa teman lainnya dikirim ke Kabupaten Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten ini sangat terkenal, terutama karena merupakan tempat dimana presiden pertama RI, Soekarno pernah diasingkan. Perjalanan saya menuju Kabupaten Ende adalah pengalaman saya naik pesawat untuk pertama kalinya..hehe. Sungguh, yang rasakan waktu itu adalah kebahagiaan yang luar biasa: melakukan perjalanan dengan naik pesawat dan mengunjungi tempat-tempat indah di NTT.

Sesampainya di Ende, tentu saja saya dan teman-teman lain tidak ingin melewatkan kunjungan ke rumah Bung Karno saat diasingkan pada tahun 1943 dulu. Alhamdulillah, selama program SM-3T, saya telah mengunjungi banyak tempat di semua pulau besar di NTT, hidup bersama masyarakat dan mempelajari kebudayaan setempat. Sungguh, saya sangat bersyukur sekali mendapatkan kesempatan ini.

Saya ditugaskan di sebuah SMP Katolik yang lokasinya sangat jauh dari kota Ende. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor, kira-kira bisa menghabiskan waktu sekitar 4 jam untuk menuju ke sekolah dari kota. Sebagai seoarang guru baru dengan latar belakang yang berbeda dengan penduduk setempat, tentu saja saya mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pengalaman selama mengajar di sekolah ini. Pertama, saya harus belajar banyak perbedaan terutama mengenai kebiasaan, budaya, dan adat-istiadat lokal. Saya belajar bagaimana mengajar siswa dengan memiliki latar belakang suku, budaya, agama serta wawasan yang sangat berbeda. Kedua, saya juga harus belajar bagaimana cara berinteraksi dengan para guru yang cara mengajar dan mendidiknya sangat berbeda dari kebanyakan guru yang selama ini saya temui di pulau Jawa.

Motivasi belajar kebanyakan siswa di sekolah tempat saya bertugas ini bisa dikatakan masih sangat rendah. Kesimpulan ini bisa dilihat dari tingkat partisipasi siswa di sekolah serta perhatian mereka pada pembelajaran yang saya berikan di kelas. Ketika mengajar, saya sering sekali mengalokasikan waktu untuk bercerita. Tujuannya tentu adalah agar mereka semakin terinspirasi melalui cerita saya dan semangat belajar Bahasa Inggris mereka menjadi semakin meningkat. Namun, semakin saya sering bercerita, yang terjadi malah mereka ternyata menjadi ketagihan mendengarkan cerita dan kurang antusias saat saya memulai pembelajaran. Beginilah kira-kira dialog saya dengan siswa di kelas setelah saya selesai bercerita:

“Nah sekarang saatnya kita mulai mencintai Bahasa Inggris dengan mempelajari materi kita pada hari ini, okay?” Mereka kemudian malah berteriak, “Cerita lagi pak guru…….. Cerita lagi!!”
Dalam hati saya bergumam, “Gawat, kalau saya bercerita terus, kapan masuk materinya?” Akhirnya saya hanya bisa bilang kepada mereka, “Ceritanya kita lanjutkan lain kali saja ya…….. Okay?” Merekapun merenyutkan dahi, tanda sebuah rasa kekecewaan.
Saya kemudian mencoba menerapkan beberapa permainan di kelas, berharap siswa saya secara tidak langsung menjadi antusias dengan pembelajaran yang saya berikan. Namun yang terjadi lagi-lagi mereka malah menjadi ketagihan dengan permainan itu. Kejadian ini persis seperti apa yang saya alami ketika saya selesai bercerita di kelas.

“Main lagi aja pak guru….main lagi…..” celoteh beberapa orang siswa. Berharap memiliki waktu untuk penjelasan materi, saya hanya bisa bilang,
“Permainannya kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya aja ya….”  “Kita kembali ke materi dulu…okay?”

Kejadian semacam ini sering sekali terjadi di kelas saya, sehingga saya harus selalu memutar otak untuk mencari kreativitas mengajar yang menarik dan sekaligus juga membuat siswa belajar sesuatu di kelas. Setelah setahun saya mengajar di sekolah itu, akhirnya saya menemukan satu kesimpulan tentang siswa disana. Motivasi belajar Bahasa Inggris siswa di sekolah itu sangat rendah karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan keluarga. Mereka merasa senang dan antusias dalam belajar saja sudah merupakan sebuah pencapaian yang bagus. Tapi konsekuensinya, target pembelajaran yang seharusnya mengikuti kurikulum tidak pernah tercapai.

Diantara semua pengalaman yang saya dapatkan selama mengajar di SMP terpencil ini, menurut saya ada satu yang paling berkesan. Semua berawal dari penemuan saya tentang beberapa siswa di kelas yang tidak memiliki motivasi sama sekali untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Saya mengetahuinya ketika rasa penasaran saya begitu memuncak terutama pada siswa yang selalu saja acuh, tidak peduli dengan pelajaran saya dan suka membuat kegaduhan di kelas. Di luar pelajaran, mereka juga sering sekali dihukum oleh guru lainnya. Sayapun akhirnya berinisiatif untuk mewawancari mereka satu persatu. Berikut ini adalah cuplikan salah satu dialog saya dengan salah seorang diantara mereka:
Saya bertanya kepada salah satu siswa, “Samuel, kamu sadar kan kegaduhan yang kamu buat sangat menganggu temanmu lain yang sedang belajar?”
Sambil tersenyum, Samuel pun menjawab, “Iya pak guru.” “Kamu itu sebenarnya cerdas…. Kalau lulus nanti, kamu masih ingin melanjutkan sekolah lagi kan?”
Dengan santainya dia menjawab, “Malas pak guru. Saya mau cari ikan di laut saja. Di sekolah banyak aturan, tugas dan disuruh bekerja pula.”
Mendengar jawaban dari Samuel ini, saya berkesimpulan bahwa sekolah menurut dia adalah tempat yang tidak nyaman. Di percakapan lain, dia juga berpendapat bahwa percuma dia melanjutkan sekolah jika akhirnya harus menjadi nelayan di kampung. Sepertinya memang ada yang salah dengan cara orang tua Samuel dalam mendidik Samuel selama ini.

Pengalaman lain yang tidak kalah menariknya adalah melihat bagaimana guru memperlakukan siswa, yang menurut saya kurang beradab. Kebiasaan memukul siswa sudah menjadi hal yang lumrah di sekolah itu. Bahkan orang tua siswapun mendukung kebiasaan itu. Kebiasaan ini mengingatkan saya pada budaya guru menghukum pada jaman dulu di kampung saya di Jawa. Tapi menurut saya cara menghukum yang dilakukan oleh guru di sekolah ini jauh lebih keras. Saya sempat berdialog dengan salah seorang guru yang dengan sangat keras menghukum siswanya pada saat apel pagi.

Saya bilang kepada guru itu, “Ibu, menurut saya ibu tadi terlalu kasar pada siswa. Harusnya jangan seperti itu memperlakukan mereka.”
Dengan tersenyum simpul beliau menjawab, “hehe…..itu sudah biasa pak disni. Disini jangan dibandingkan dengan di jawa atau di kota. Anak – anak kalau tidak dikasih kasar dan keras, mereka tidak akan merubah sikap. Mereka itu kepala batu. Mereka juga sudah terbiasa diperlakukan sama oleh mereka punya orang tua di rumah.”
Sedikit kecewa dengan tanggapannya, kemudian saya menyanggah, “Terus bagaimana kalau nanti ada keluhan atau protes dari orang tua mereka?” Beliau malah menambahkan, “justru mereka punya orang tua sangat mendukung tindakan kami. Mereka bilang, kalau anak mereka nakal, pukul saja.”

Pengalaman selama mengikuti program SM-3T ini membuat saya semakin belajar. Di tempat tugas, saya belajar banyak tentang bagaimana menumbuhkan sikap toleransi terhadap banyaknya perbedaan. Tidak hanya perbedaan berdasarkan suku, agama dan ras saja, tapi juga pandangan serta pola pikir manusia yang sangat beragam. Saya akhirnya juga semakin mantab memilih guru sebagai profesi saya walaupun di kemudian hari, pandangan saya itu bisa saja berubah. 

Sabtu, 02 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 8) - Serangkaian Refleksi

Saya, mandi di sungai: Melepas penat setelah keluar dari pekerjaan..hehe :)

Mengundurkan Diri dari Pekerjaan dan Menjadi Pengangguran

*Aziza Restu Febrianto

Semua kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan selama bekerja di kantor tidak membuat saya patah semangat untuk bekerja. Saya harus tetap bekerja keras dan mencoba berbagai peruntungan lain lagi ketika kesempatan itu datang. Tugas demi tugas saya nikmati hingga akhirnya membawa saya pada sebuah insiden yang menjadi ujung berakhirnya karir saya sebagai kepala cabang di sebuah kantor lembaga bimbingan belajar. Semuanya berawal dari ketidakprofesionalitasan pemilik usaha (owner) yang selalu menunda pembayaran investasi (goodwill) dan dana operasional kepada kantor pusat. Sikap pemilik usaha ini akhirnya berdampak pada sarana dan prasarana pembelajaran yang tidak sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP).

Beberapa bulan berjalan, semua kegiatan pembelajaran dan pekerjaan lainnya masih berjalan dengan normal. Namun si pemilik usaha ternyata telah mendapatkan beberapa peringatan terkait dengan penundaan pembayaran. Akibatnya kantor pusat enggan mengirimkan sarana dan prasarananya ke kantor cabang Salatiga. Karena semua pembelajaran harus berjalan dengan lancar, maka si pemilik usaha harus mencari cara agar usahanya tetap berjalan dengan lancar. Beberapa sarana dipaksakan ada dan semua buku lama digandakan dengan biaya yang jauh lebih murah. Akhirnya hal yang tidak diinginkan terjadi. Pihak pusat melaukan kunjungan sekaligus meninjau kantor cabang, yang berujuang pada pemanggilan saya sebagai kepala cabang ke kantor pusat.

Dengan ditemani si pemilik usaha, sayapun berangkat ke kantor pusat, yang berlokasi di Yogyakarta. Hal yang paling tidak saya suka adalah bos saya (pemilik usaha) tidak mau datang ke pertemuan, sehingga sayalah yang harus sendirian menghadapi pihak kedisiplinan kantor pusat. Sedangkan bos hanya menunggu diluar. Pertemuan yang saya ikuti itu ternyata adalah sebuah persidangan. Saya ditegur dan bahkan dimarahi terkait semua fasilitas di kantor cabang yang tidak sesuai dengan SOP. Beginilah kira-kira perkataan bernada keras dari pihak pusat yang tidak pernah saya lupa.

“Mas Restu ya..Kepala cabang Osamaliki Salatiga....kamu tahu pekerjaan itu adalah ibadah. Bagaimana bisa kamu memanipulasi data dan menggandakan semua sarana dan prasarana yang ada tanpa SOP. Mbok kamu itu belajar dari mas Bayu di Semarang itu. Dia itu kerjanya bagus banget. Tidak kayak kamu, payah!.”

Mendengar kalimat itu dari mereka membuat saya kaget dan sangat kecewa...sangat kecewa sekali. Saya sedih bahwa selama ini saya telah masuk dalam lingkaran fitnah. Pemilik usaha ternyata tidak amanah dalam menjalankan usaha lembaga. Meskipun posisi saya adalah kepala cabang, semua keputusan tentu harus atas ijin pemilik usaha. Jadi selama ini saya telah ditipu. Keesokan harinya (tepat 2 tahun sejak saya pertama kali bekerja), dengan berat hati saya harus memutuskan untuk keluar dari pekerjaan. Namun, akibat keputusan saya ini, akhirnya saya menganggur cukup lama di rumah.

Bersambung... (Bagian 9)