Senin, 22 Juli 2019

Being a Teacher (Bagian 14) - Serangkaian Refleksi

Foto ketika menjadi Wali kelas 7A

Mengajar di Sekolah Elit (Bagian 2)

*Aziza Restu Febrianto

Selama mengajar di sekolah internasional, keinginan saya untuk mencari peruntungan beasiswa makin menggebu lagi. Menurut perhitungan saya, dua tahun adalah masa yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar berhasil mendapatkan beasiswa, sembari bekerja mencari bekal biaysta persiapan serta menyambung hidup di perantauan. Sayapun selalu membagi waktu dengan baik antar pekerjaan dengan menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan untuk mendaftar beasiswa. Tes IELTS juga segera saya ambil dengan menggunakan sisa uang tabungan selama saya bekerja di sekolah ini. Jadi selama proses mendaftar beasiswa, saya tidak pernah meminta bantuan biaya kepada siapapun termasuk orang tua saya.

Saya sebenarnya sangat senang sekali mengajar di sekolah berlabel internasional semacam itu. Mengajar dengan semua sumber belajar yang disediakan oleh CIE memberikan kesempatan bagi saya untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan dan pengalaman baru. Mengajar dengan menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris juga membuat saya berlatih menggunakan Bahasa Inggris dalam pembelajaran di kelas. Selain itu, saya juga bisa mendapatkan pengalaman lain ketika berinteraksi dengan siswa yang berasal dari negara yang berbeda seperti Jepang, China, India, Swedia, Korea, dsb di sekolah itu. Well, saya hanya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ternyata banyak juga hal yang tidak mudah saya jalani ketika menjadi guru di sekolah itu. 


Menjadi MC berbahasa Inggris dalam sebuah acara di sekolah
Menurut saya ada yang salah dengan sistem dan manajemen yang diterapkan di sekolah ini terkait perlindungan dan penghargaan guru. Sekolah ini seolah-olah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sangat tergantung sekali pada siswa sebagai konsumen. Jumlah siswanya bisa dikatakan tidak banyak, dan mayoritas berasal dari keluarga borju alias orang-orang kaya dan para ekspatriat yang tinggal di kota Semarang. Untuk ukuran sekolah dasar dan menengah, biaya pendidikannya tergolong sangat mahal. Uang gedungnya saja bisa mencapai sekitar 40 - 60 juta rupiah. Dengan latar belakang konsumen yang berasal dari golongan orang kaya seperti ini, tentu saja sekolah mempunyai tanggung jawab moral untuk selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswanya.

Apa yang dilakukan sekolah dengan sistem pelayanan sempurna memang sangat baik. Saya sangat setuju akan hal itu. Namun setelah diterapkan, yang saya rasakan justru para guru  harus menerima sebuah konsekuensi besar, yaitu mendapatkan tekanan. Mungkin persoalannya akan lain jika gaji mereka dinaikkan. Permasalahannya gaji kebanyakan guru cenderung tetap atau tidak naik sama sekali. Kalaupun naik, paling cuma 200 atau 300 ribu doang per bulan. Dengan gaji yang waktu itu masih sedikit dibawah Upah Minimum Regional (UMR), seperti guru lainnya, saya dituntut untuk bagaimana memastikan bahwa semua aktivitas pembelajaran yang saya ampu di dalam kelas berjalan dengan lancar tanpa ada masalah sedikitpun. Jika ada masalah, maka sang siswa sebagai konsumen bisa saja melaporkan kondisi kelas kepada orang tua mereka di rumah. Jika ada seorang wali murid yang protes terhadap sekolah, maka  guru harus siap-siap untuk disalahkan tanpa ada proses musyawarah antara tiga pihak yang bersangkutan. Kondisi seperti inilah yang membuat saya merasa canggung dan tidak nyaman saat mengajar di kelas.

Selama mengajar di sekolah ini, saya pernah mengalami beberapa kasus. Pertama, pada suatu pagi, saya dipanggil oleh Kepala sekolah karena telah menegur seorang siswa di kelas, yang menurutnya tidak pas. Kelas yang saya ajar waktu itu adalah kelas 5 SD. Siswa itu susah sekali diatur dan merasa seenaknya sendiri mengganggu teman lainnya selama kegiatan pembelajaran sedang berlangsung. Saya peringatkan dia sekali dan dua kali untuk tenang, tapi tetap saja tidak menurut. Akhirnya tanpa sengaja, saya mengibaskan papan stereofom yang ada di dekat saya tepat di depan wajahnya. Tapi sama sekali tidak mengenainya. Ternyata anak itu menaruh dendam kepada saya. Padahal tidak sedikitpun saya melukainya. Dan saya melakukannya karena memang sudah terlanjur jengkel dengan perilaku. Sesampainya di rumah, dia kemudian melapor ke orang tuanya. Dan keesokan harinya, orang tua anak itu protes kepada kepada sekolah, yang berujung pada persidangan saya di depan kepala sekolah dan beberapa guru senior lainnya.

Kasus serupa juga pernah saya alami ketika mengajar siswa jenjang SMP. Saat itu saya menyampaikan kekecewaan saya kepada beberapa siswa yang tidak mengerjakan tugas rumah atau PR. Tugas itu adalah sebuah project yang harus diselesaikan oleh siswa pada hari itu juga karena pada keesokan harinya akan ditampilkan pada sebuah event di sekolah. Terkait dengan itu, saya juga sudah memberikan peringatan pada pertemuan sebelumnya atau satu minggu sebelum pembelajaran berikutnya. Yang membuat saya lebih kecewa lagi adalah siswa itu sama sekali tidak membawa perlengkapan tugas sedikitpun di kelas. Mereka juga banyak beralasan. Kebanyakan dari mereka memiliki alasan yang sama, yaitu sibuk dan sibuk.


Jadwal beban mengajar saya.
Tidak hanya mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, tetapi juga Science Fair Preparation

Sebagai seorang guru yang merupakan bawahan dari pemilik sekolah, saya tentu berada dalam dua posisi yang cukup sulit, yaitu memastikan project siswa sebelum event yang diadakan keesokan harinya, padahal siswa sama sekali tidak membawa perlengkapannya. Dalam kondisi demikian, sayapun meluapkan kekesalan saya pada mereka dan memberi teguran. Kira-kira beginilah kata-kata saya;

“I’ve told you... Your project is supposed to be submitted today, coz all of them have to be presented at the scientific expo that will be held tomorrow morning. But you....don’t bring anything at all with you now. How can you get it all done today?

Tidak kusangka, teguran saya ternyata tidak terlalu dihiraukan oleh mereka. Bahkan, ada seorang siswa yang justru menyahut teguran saya dengan mengatakan,

“But I had a family event last weekend Mr. I had no time for completing the project. I was busy.”

Mendengar pernyataan itu dari mulutnya, saya merasa sangat kesal. Kok bisa orang tuanya tidak mengarahkan anaknya untuk memperhatikan tugas sekolahnya di rumah. Mereka justru mengajak anaknya untuk sibuk dalam acara mereka dan melupakan sekolah. Saya kemudian spontan menunjukkan kekecewaan saya kepadanya dengan mengatakan. “Why didn’t you try to manage to do it when you had free time?” Diapun juga tidak mau disalahkan dengan merespon apa yang saya katakan, “But I was really busy, Mr. How could I have spare time?” Mendengar jawaban itu saya semakin kesal. Masih anak SMP kok bukan main sibuknya. Lagipula event itu adalah acara orang tuanya. Saya kemudian spontan mengatakan, “Why do you keep defending yourself???” Why do you keep defending yourself?”

Saya sama sekali tidak menduga bahwa ternyata kalimat terakhir yang saya ucapkan kepada anak itu menjadi sumber masalah. Sepulang sekolah, anak itu melapor kepada orang tuanya tentang kejadian di kelas itu. Dia bilang bahwa seorang guru di sekolahnya telah memarahinya karena dia tidak membawa tugas. Dan ketika dia menjelaskan alasan kenapa tidak membawa tugas itu, gurunya malah mempertanyakan ucapannya serta menuduh kenapa dia selalu membela diri. Mendengar laporan dari anaknya, si orang tua langsung menghubungi pihak sekolah. Dan yang paling mengejutkan adalah tanpa mencari keterangan lebih lanjut, Kepala sekolah langsung memanggil saya untuk mengikuti persidangan yang diikuti oleh sekitar 7 orang guru senior.

Selama sidang berlangsung, saya merasa heran... Ketika saya menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi, para guru senior itu terlihat seolah-olah lebih membela siswa dengan alasan kondisi anak yang masih remaja, orang tua yang memang memiliki kesibukan, dsb. Bahkan mereka justru memberikan saran dan nasihat kepada saya mengenai cara dan pendekatan yang lebih baik untuk menangani anak semacam itu. Yang saya tidak habis pikir, anak tersebut tidak diberikan sanksi sama sekali. Dalam kondisi semacam ini, saya tentu tidak bisa berdaya dan membela diri. Saya hanya pasrah dan terpaksa harus mengakui kesalahan saya. Namun, perasaan heran itu tetap menghinggap di hati saya. Saya merasa ada bagian perkara yang ditutupi oleh pihak sekolah kepada saya, yaitu komunikasi antara mereka dengan orang tua siswa. Kok bisa tanpa adanya klarifikasi mengenai peran orang tua terhadap siswa, saya secara tidak langsung dinyatakan bersalah.


Foto bersama para guru lainnya

Mendampingi siswa dalam acara Fieldtrip di Tanjungputing, Kalimantan Timur 



Kamis, 20 Juni 2019

Sekolah Membuatmu Pintar?

https://news.okezone.com

*Aziza Restu Febrianto

Pada dasarnya sekolah memang dibuat dan dirancang sebagai tempat belajar, mencari ilmu dan mengembangkan diri. Atas dasar amanat undang-undang, negara kemudian hadir menjadi agen utama atas kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.  Negara juga harus memastikan para siswa di sekolah mendapatkan ilmu pengetahuan yang luas dan keterampilan yang berguna dan relevan dengan kondisi masa kini serta masa yang akan datang melalui sebuah kurikulum. Ilmu pengetahuan dan keterampilan itu diharapkan mampu membantu mereka memecahkan berbagai macam tantangan dan masalah baik masalah pribadi, lingkungan masyarakat maupun negara itu sendiri. Untuk dapat memecahkan masalah, para lulusan sekolah tentu harus diberikan tempat atau lapangan pekerjaan untuk menyalurkan semua ilmu dan keterampilan yang didapat. Mereka kemudian dianugerahi sebuah ijazah atau tanda kelulusan sebagai bukti bahwa mereka memang telah menyelesaikan pendidikan sekolah pada periode yang telah ditentukan. Ijazah dan tanda kelulusan ini bisa digunakan ketika para lulusan ketika sedang melamar sebuah pekerjaan. Dengan tanda ini, mereka kemudian dianggap sudah memiliki kualifikasi yang memenuhi syarat untuk bisa bekerja dengan baik.

Bersekolah dan mendapat tanda kualifikasi pendidikan formal memang penting. Namun pertanyaannya adalah apakah dengan itu semua, kita lantas sudah benar-benar menjadi orang yang pintar, cakap dan sukses? Hal yang dikhawatirkan sebenarnya justru jangan-jangan sistem pendidikan formal semacam ini membuat pemahaman masyarakat tentang sekolah menjadi bergeser, yaitu sebagai tempat untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi, bukan pengembangan kualitas pribadi. Dengan kata lain, tujuan orang bersekolah adalah mendapatkan ijazah formal untuk mempermudah mendapatkan kesempatan kerja. Bahkan mereka yang tergolong berduit atau kaya rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar anaknya bisa bersekolah di lembaga terkenal dan bergengsi. Menjadi hal yang tidak masalah jika pendidikan yang berkualitas ini memang benar-benar berdampak juga pada perkembangan kompetensi anak mereka. Tapi tidak jarang niat mereka memasukkan anak mereka di sekolah itu hanyalah karena sekedar mencari nama; nama besar sekolah yang membuat nama anak mereka besar pula. Tentu saja dengan nama besar yang disandang, mereka akan terlihat lebih dipercaya memiliki kualitas yang sama dengan almamaternya ketika melamar sebuah pekerjaan.

Fakta dan sejarah ternyata membuktikan kenyataan yang jauh berbeda dari apa yang dipikirkan oleh banyak orang tentang peran sekolah. Satu-satunya faktor yang membuat orang menjadi pintar, cakap dan berhasil dalam hidupnya selama ini ternyata bukanlah sekolah atau pendidikan formal, melainkan karakter dan kepribadian kuat orang itu sendiri dalam mengarungi hidupnya. Banyak sekali orang sukses di dunia ini yang keberhasilannya tidak dipengaruhi secara langsung oleh pendidikan formal mereka. Bill Gates, misalnya, justru mengalami dropped out karena terlalu fokus pada usaha di bidang perangkat lunak komputer meskipun dia bersekolah pada bidang yang sama di sekolah atau kampus yang sangat bergengsi. Dia kemudian baru bisa menyelesaikan pendidikan formal S1 nya ketika dia sudah berusia 40 tahun atau setelah dia menjadi orang yang kaya raya. Contoh orang sukses lain yang mengalami hal serupa seperti Bill gates juga banyak seperti pencipta perangkat keras dan lunak komputer, Apple, Steve Jobs, pendiri Facebook, Mark Zuckerburg, CEO e-commerce Alibaba, Jack Ma, dsb. Mereka semua adalah orang-orang hebat dan cerdas yang mengalami masalah dengan sekolahnya.

Peran sekolah bagi kesuksesan orang memang ada, tapi pengaruhnya mungkin tidak signifikan atau porsinya biasa saja. Jika melihat contoh orang-orang sukses seperti yang disebutkan, karakter dan kepribadian orang sukses itu ternyata banyak ditentukan oleh bagaimana mereka menentukan pilihan atau memilih jalan hidupnya sendiri sesuai dengan ketertarikan atau passion mereka. Semua keputusan penting yang mereka ambil lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal individu itu sendiri atau bisa jadi atas dasar nilai, pola pikir atau budaya yang diterapkan dalam keluarga. Mereka justru menganggap sekolah adalah sebuah penjara. Menurut mereka, sekolah terlalu banyak menerapkan banyak aturan serta rutinitas yang cenderung membatasi ruang imajinasi berfikir mereka. Seorang Fisikawan yang terkenal akan kejeniusannya, Albert Einstein pernah menyebut bahwa “Imajinasi itu lebih penting daripada ilmu pengetahuan.” Pernyataan ini bisa diartikan bahwa ilmu pengetahuan yang biasanya secara terstruktur diperoleh di sekolah tidak akan pernah membuat seseorang itu menjadi besar jika dia sendiri secara personal tidak memiliki imajinasi yang luas. Pernyataan ini masuk akal karena setiap individu memiliki cara dan waktu berimajinasi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dan kondisi ini tidak bisa diatur atau didekte dengan sistem atau peraturan yang sama di sekolah.

Selain memilih cara pandang yang tepat, orang-orang besar itu juga sangat menghargai Self-learning atau belajar mandiri. Mereka tidak pernah mengandalkan ilmu pengetahuan yang sudah pernah diajarkan di sekolah, tapi selalu berfikiran bahwa banyak hal di dunia ini yang belum dieksplorasi. Mereka kemudian berusaha mencari tahu hal-hal yang belum pernah terpecahkan itu dengan rasa penasaran yang tidak terbatas. Mereka tidak pernah membatasi diri mereka dengan pengetahuan yang sudah ada, apalagi yang hanya berkutat pada pembelajaran di kelas dengan tugas-tugas rutinnya. Orang-orang semacam ini juga banyak dijumpai di Indonesia. Presiden pertama kita, Bapak Soekarno misalnya, dalam sejarahnya, memiliki kebiasaan suka membaca buku sejak remaja. Beliau suka sekali mencari buku dan membacanya dari berbagai macam tempat termasuk sekolahnya. Kebiasaan ini tidak dilakukan oleh teman-teman sebayanya yang juga bersekolah di tempat yang sama. Kebiasaan inilah yang membuatnya menjadi orang besar dan memiliki pemikiran yang luas, hingga melampaui jamannya. Pemikiran-pemikiran beliau pun akhirnya banyak diakui dan diikuti oleh banyak orang di dunia sampai sekarang. Tokoh inspiratif lainnya adalah Buya Hamka, seorang tokoh islam dan ulama berpengaruh yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD), padahal karya-karyanya memiliki andil besar pada dunia literasi Indonesia.

Tidak kalah dengan para pendahulunya, para tokoh nasional masa kini seperti Dahlan Iskan, Susi Pujiastuti, dan Muhammad Jusuf Kalla juga melakukan hal yang sama. Tanpa memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, mereka mampu membuktikan pada dunia bahwa mereka bisa menjadi orang yang pintar dan sukses. Mereka bahkan tidak hanya sukses untuk dirinya sendiri, tapi mampu memberikan manfaat bagi orang banyak. Membaca biografi mereka dan melihat semua pencapainnya yang luar biasa, bisa disimpulkan bahwa cara dan gaya belajar mereka pasti sangat berbeda dari kebanyakan orang, padahal mereka juga sama-sama mengenyam pendidikan sekolah. Yang membedakan adalah mereka tidak pernah mengandalkan ilmu yang mereka dapatkan di sekolah. Mereka membebaskan diri mereka mencari wawasan dan banyak peluang di luar sekat pendidikan formal dengan belajar sendiri dan mengambil semua keputusan dengan mandiri sesuai dengan bidang yang telah mereka pilih dan tekuni. Seorang pengusaha dan motivator sukses asal Amerika, Jim Rohn pernah mengatakan bahwa, “Pendidikan formal akan membuatmu hidup, tapi pendidikan mandiri akan membuatmu jauh lebih beruntung.” Adapun kutipan dari Bill Gates yang perlu kita jadikan sebuah refleksi bersama, “Saya pernah gagal ujian pada banyak mata pelajaran, tapi ada salah seorang teman saya yang lulus dengan baik pada semua mata pelajaran itu. Sekarang, dia adalah seorang ahli teknisi Microsoft, dan saya adalah pemilik Microsoft.”

Artikel ini ditulis sebagai kritikan atau refleksi bagi sekolah dan pendidikan formal kita. Seharusnya sekolah hadir sebagai tempat yang memberikan pendidikan sesuai dengan esensinya. Artinya sekolah mampu memberikan ruang bagi setiap individu untuk suka bermimpi, berimajinasi, dan bekerja keras sesuai dengan bakat dan kelebihannya masing-masing. Sekolah bukanlah tempat penghasil orang-orang terdidik yang hanya berkutat pada khasanah ilmu yang sudah ada (status quo), tapi memfasilitasi dan menyiapkan para generasi inovatif dan kreatif yang dapat menjadi solusi berbagai macam masalah dan tantangan masa depan.

Penulis adalah seorang guru yang telah mengajar di lembaga pendidikan formal selama lebih dari 10 tahun dan menginginkan para muridnya menjadi orang luar biasa sebagai agen andalan utama perubahan bangsa.  

Artikel ini pernah diunggah di laman kompasiana pada tanggal 24 Februari 2019. Berikut link nya:

Jumat, 14 Juni 2019

Rahasia Pernikahan Bahagia Yang Jarang Diajarkan


Foto Lebaran Kemarin....Bahagia! 😊
Idul Fitri 1440

*Oleh Aziza Restu Febrianto


Pada artikel kali ini, saya ingin berusaha menuliskan beberapa pelajaran etika dan adab hubungan Pasangan suami istri (Pasutri) yang (mungkin) jarang sekali diajarkan di sekolah maupun keluarga. Karena jarang diajarkan, saya kira judul diatas sudah cukup pas untuk artikel ini. Saya berharap siapapun yang membacanya dapat melakukan refleksi dan evaluasi diri untuk selalu belajar menjadi individu yang lebih baik, khususnya dalam mengarungi kehidupan pernikahan dan berkeluarga. Tulisan juga saya khususkan untuk diri saya sendiri yang memang masih terus belajar untuk menjadi seorang suami dan ayah yang baik dalam membina sebuah rumah tangga.

  • Pernikahan itu Keputusan yang Agung
Pernikahan adalah sebuah keputusan yang sangat besar dalam kehidupan manusia sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Bahkan dalam islam, pernikahan itu merupakan salah satu dari tiga perjanjian agung, luhur dan suci yang disebut dengan “Mitsaqan Ghaliza” atau perjanjian yang amat kukuh. Perjanjian ini bahkan telah disebutkan di dalam kitab suci Al-Quran sebanyak tiga kali. Yang pertama menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7), kedua menjelaskan perjanjianNya dengan umatNya dalam melaksanakan pesan-pesan agama (QS An-Nisa 4:154) dan ketiga menyangkut perjanjian suami dan istri (QS An-Nisa 4:21).

Begitu besarnya nilai dari sebuah pernikahan, sehingga kita tidak boleh meremehkannya. Mungkin banyak yang mengira (terutama bagi yang belum menikah atau yang akan menikah) bahwa pernikahan adalah sebuah awal kebahagiaan. Tapi jangan salah, justru perjalanan hidup yang sebenarnya baru dimulai di awal pernikahan. Yang namanya hidup pasti banyak ujiannya. Hidup sendiri saja ujiannya sudah banyak, apalagi berdua dengan pasangan. Belum lagi ketika dikaruniani anak, yang pastinya masalah demi masalah akan terus kita hadapi dalam berumah tangga.

Namun, dengan semakin banyaknya masalah yang dihadapi, bukan berarti kita kemudian menjadi takut untuk memutuskan menikah. InshaAllah, banyak sekali manfaat dan berkah yang bisa diperoleh melalui pernikahan. Masalah itu hanyalah sebagian kecil dari kehidupan pernikahan. Masalah ibaratnya hanyalah sebuah bumbu agar kehidupan pernikahan yang kita jalani itu menjadi luar biasa indah. Jika kita mampu mengelola semua permasalahan itu dengan pasangan, maka kebahagiaan yang kita dapatkan akan jauh lebih banyak daripada ketika kita belum menikah.

  • Dua Orang Berbeda Menjadi Satu
Yang harus kita pahami terlebih dahulu adalah sebelum menikah, pasangan kita itu adalah 100% orang lain atau bukan merupakan bagian anggota dari keluarga kita. Dia adalah orang asing yang berasal dari keluarga lain dengan latar belakang budaya dan tradisi yang tentu saja sangat berbeda dengan kita. Ketika menikahinya, kita memang harus sudah siap lahir dan batin untuk hidup bersamanya dengan segala perbedaan yang dimilikinya, baik pola pikir, kebiasaan, hobi dan karakter atau wataknya.

Semua perbedaan yang ada antara kamu dan pasanganmu itu bisa sangat berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya, ketika kamu ingin menata ruang kamar yang sesuai dengan keinginanmu. Jangan berfikir bahwa pasanganmu akan memiliki pandangan yang sama dan semua keputusanmu akan berjalan dengan lancar. Tanpa ada penjelasan darimu tentang alasan kenapa kamu ingin menata ruang kamar, pasangan kamu bisa saja merasa kecewa ataupun marah mengenai keputusanmu itu. Namun masalah itu tidak akan muncul jika kamu terlebih dahulu mengkomunikasikan maksud keputusanmu itu kepada pasanganmu sebelum melakukannya. Tidak hanya menyampaikan maksud, tetapi kamu juga harus meminta pendapatnya sebagai tanda bahwa kamu memahami perasaannya dan menghargainya sebagai pasangan dan belahan jiwamu.

Hal lain tentang pernikahan yang perlu kita pahami adalah bahwa ketika kita sudah menikah, maka kita sudah tidak hidup sendiri lagi. Setelah menikah, hidup kita tentu tidak akan seperti dulu lagi ketika masih single. Saat masih single, kita bisa dengan bebas melakukan apa saja yang kita sukai. Misalnya, bagi mereka yang dulunya suka naik gunung, kumpul bersama teman, main band, dsb harus mulai mengurangi semua kegiatan hobinya itu ketika sudah menikah. Alasannya karena setelah memutuskan untuk menikah, sejatinya kita harus sudah siap untuk membagi waktu, tenaga dan pikiran kita dengan orang lain. Sehingga konsekuensinya adalah waktu dan kegiatan yang berkaitan dengan pribadi (me time) pasti akan berkurang. Dengan kata lain, di dalam waktu dan perhatian kita terdapat hak orang lain disitu, yaitu pasangan dan anak kita.

  • Menikahinya = Menikahi Keluarganya
Jangan berfikir bahwa ketika kamu menikahi seseorang pujaanmu, lantas dunia hanya milik kamu berdua dan yang lainnya hanya ikut ngontrak saja. Ingat, kita ini hidup di negara Indonesia yang sangat kental dengan tradisi dan adat ketimuran. Salah satu ciri khas adat ketimuran adalah kebiasaan komunal atau berkumpul. Artinya, dalam tradisi Indonesia, setelah menikah, pasangan masih diharuskan untuk menjaga hubungan yang erat dengan orang tua serta menjaga tradisi sosial keluarga yang diturunkan melalui mereka. Sehingga kondisi ini membutuhkan keterampilan tersendiri dari kita untuk dapat memahami dan menjaga hubungan yang baik dengan keluarga pasangan kita.

Kondisi yang biasanya sangat berpotensi menimbulkan masalah adalah intervensi orang tua terhadap urusan rumah tangga anaknya. Kebanyakan orang tua mungkin berfikiran bahwa setelah anaknya menikah, mereka merasa telah kehilangan perhatian dari anaknya yang selama ini hidup bersamanya. Sehingga mereka terkadang masih menganggap dan memperlakukan anaknya yang telah menikah itu dengan cara seperti dulu ketika dia belum menikah. Orang tua terkadang masih merasa bertanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap anaknya dan lupa bahwa anaknya itu sudah memiliki pasangan dan keluarga baru.

Memang sudah menjadi hal yang wajar jika orang tua kita sangat peduli dengan urusan dan kehidupan kita.... selamanya. Itu sudah naluri dan alamiah. Namanya juga orang tua. Bagian dari darah dan daging kita. Orang yang melahirkan dan membesarkan kita selama puluhan tahun sebelum akhirnya kita bertemu dengan pasangan kita. Namun, ketika kita sudah menikah, maka sejatinya kita sedang membangun keluarga yang baru. Membangun generasi baru yang tentu harus lebih baik dari generasi sebelumnya. Sehingga setiap keluarga baru harus memiliki prinsip dan pondasi mandiri secara kuat tentang akan dibawa kemana bahtera rumah tangga mereka. Demi masa depan keturunan-keturunan mereka.

Perhatian orang tua yang berujung pada intervensi urusan keluarga memang tidak bisa terhindarkan. Namun, bagi orang tua yang mengerti, pasti akan tahu akan batasan memberikan perhatian pada anaknya itu. Sehingga kehidupan rumah tangga sang anak juga akan menjadi baik-baik saja. Namun tidak semua orang tua itu mengerti. Jika kita menghadapi orang tua yang kedua ini, maka tidak ada cara lain kecuali dengan tetap saling percaya dan mendukung antar pasangan. Jika salah satu tidak nyaman dengan pengaruh orang tua, maka yang satunya harus menghargai perasaannya dan memberikan pengertian, kepercayaan serta dukungan penuh kepadanya. Bukan malah justru membela orang tua dan menjatuhkan pasanganya.

Sebenarnya yang paling berat menerima intervensi keluarga adalah menantu, yaitu pasangan kita terhadap orang tua kita atau kita terhadap mertua kita. Hubungan antara menantu dan mertua ini sangat rawan akan kesalahpahaman dan konflik. Alasan logisnya adalah karena pada dasarnya menantu adalah orang asing baru di rumah mertua. Pada sudut pandang menantu, mertua itu adalah raja atau ratu baginya. Bagaimana tidak, mereka adalah orang yang sudah merelakan anak yang paling mereka kasihi selama ini untuk diambil oleh orang seperti kita dan hidup bersama dengan kita selamanya. Bagaimanapun juga, mereka pasti akan selalu ingin memastikan bahwa anaknya itu hidup bahagia bersama kita.

Perasaan itu tentu saja akan mempengaruhi sikap menantu terhadap mertuanya. Sikap kikuk atau kurang nyaman akan selalu ia rasakan, terutama ketika harus terus-terusan bersama mertua. Dia akan selalu merasa bahwa apa yang dia lakukan itu selalu diawasi oleh mertuanya. Walaupun itu mungkin hanya sekedar perasaannya saja. Sedangkan dari sudut pandang mertua, menantu merupakan orang lain yang hidup bersama anaknya dengan usia yang jauh lebih muda. Bagi mertua yang mengerti, kepercayaan akan diberikan penuh kepadanya untuk mengelola keluarga baru bersama anaknya. Tapi bagi mereka yang kurang mengerti, perasaan khawatir atau cemburu terhadap menantunya bisa saja muncul. Mereka merasa bahwa setelah menikah, perhatian anaknya telah banyak tercurah kepada menantunya, bukan kepada mereka lagi.

Orang tua yang khawatir dan cemburu dengan anak dan menantunya ini akan berujung pada sikap intervensi, apalagi ketika mengetahui kekurangan yang ada di dalam keluarga anaknya. Orang tua kemudian merasa bahwa karena usianya jauh lebih tua, mereka memiliki banyak pengalaman dalam mengelola keluarga. Melihat kekurangan pada keluarga anaknya, orang tua semacam ini akan sering memberikan masukan dan nasihat (yang paling sering dikaitkan dengan pengalamannya). Memang tidak ada salahnya mempertimbangkan masukan dari orang tua, terutama jika memang itu benar adanya. Namun, kenyataannya masukan itu banyak yang tidak sepenuhnya benar dan bahkan sering disampaikan pada waktu yang kurang tepat. Jika kondisi ini terus berkembang, maka di dalam keluarga si anak akan terdapat double kepemimpinan atau dua pemimpin dalam satu keluarga. Padahal untuk menciptakan estafet generasi keturunan yang lebih baik, diperlukan kepemimpinan yang terpusat dan mandiri di dalam keluarga baru itu.

Tipe orang tua seperti itu mungkin lupa bahwa dengan perkembangan teknologi informasi yang terus menerus berkembang, anaknya bisa memperoleh banyak informasi dan pengalaman  berkeluarga melalui berbagai macam sumber di internet. Dalam hal ini, anak bisa saja lebih bijaksana karena mendapatkan lebih banyak informasi dari berbagai macam perspektif daripada orang tuanya, yang hanya mengandalkan ppengalaman dan pengetahuan dari sudut pandangnya saja. Orang tua juga hendaknya mengerti bahwa ketika memberikan keleluasaan kepada anak dan menantunya dalam menentukan arah rumah tangganya secara mandiri, mereka sebenarnya juga secara tidak langsung menjamin kebahagiaan anaknya.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pihak yang akan mendapatkan beban lebih ketika ada intervensi orang tua adalah menantu. Hubungan canggung antara mertua dan menantu inilah yang sering menyebabkan kesalahpahaman. Dan bisa saja menjadi pemicu renggangnya hubungan antara kedua belah pihak. Sikap legawa dan pengertian memang seharusnya dimiliki oleh keduanya jika terdapat perbedaan pandangan. Namun, tidak semua mau dan bisa mengerti. Satu-satunya cara yang paling efektif untuk menengahi masalah ini adalah keterampilan pasangan dari menantu (anak kandung mertua) dalam meluruskan kesalahpahaman. Tentu saja dengan cara yang bijaksana dan akhsan, sehingga tidak menyinggung perasaan salah satu atau kedua belah pihak. Hanya anak kandung dari mertua yang bisa. Kenapa? Karena namanya anak kandung, apapun yang dia lakukan, meskipun salah, orang tuanya pasti akan banyak memakluminya. Sedangkan jika menantu yang berbuat salah, bisa terjadi kesalahpahaman yang lebih mendalam dari kedua belah pihak.

  • Pernikahan itu Satu Tubuh
Pada poin pertama sudah disampaikan bahwa pernikahan itu adalah bersatunya dua orang yang berbeda dalam sebuah ikatan agung. Sebagai konsekuensinya, masing-masing harus saling memahami perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi memahami perbedaan itu saja tidaklah cukup. Setiap individu baik suami maupun istri harus saling menopang, saling mendukung dan saling merasakan. Karena dalam kehidupan rumah tangganya, mereka akan menghadapi berbagai macam tantangan dan masalah, yang tentunya membutuhkan banyak tenaga dan pikiran untuk menyelesaikannya.

Seperti kebanyakan orang bilang, pasangan itu adalah belahan jiwa. Pasangan itu ibaratnya adalah satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh kita itu sakit, maka pasti anggota tubuh yang lainnya akan merasakan sakit pula. Sehingga ketika salah satu pasangan mendapatkan masalah, sudah seharusnya yang satunya juga merasakan masalah yang sama. Akhirnya keduanya menganggap masalah salah satu pihak adalah masalah mereka berdua, yang harus dicarikan solusi secara bersama-sama. Hanya saja yang membedakan antara tubuh dan pernikahan adalah cara penyembuhan saat salah satu anggota tubuh sakit. Jika salah satu anggota tubuh kita sakit, kita bisa mengobatinya di rumah sakit. Namun dalam pernikahan, rasa sakit itu tidak bisa dan tidak boleh disembuhkan di tempat lain. Jika disembuhkan di tempat lain, maka rasa sakit itu justru akan semakin parah dan bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga.

Karena pasangan kita adalah bagian tubuh kita dan tidak ada tempat lain untuk menyembuhkan suatu penyakit yang diderita, maka sudah menjadi suatu kebutuhan kita untuk melindungi dan merawatnya. Sakit yang dirasakan oleh pasangan akan berdampak pada terganggunya kenyamanan dan kedamaian dalam keluarga jika dibiarkan. Merasakan apa yang dialami pasangan memang membutuhkan keterampilan tersendiri, yaitu rasa empati dan kepekaan yang baik. Tapi jika kita benar-benar mencintai pasangan kita dan memikirkan masa depan keluarga serta keturunan-keturunan kita, kenapa kita tidak belajar dan berlatih mengembangkan keterampilan ini. Semuanya demi ketenteraman, kebahagiaan dan keberlangsungan hidup berkeluarga.

Cara lain untuk mengembangkan keterampilan ini sebenarnya mudah, yaitu dengan keterbukaan. Setiap pasangan hendaknya saling terbuka tentang urusan apapun bahkan sekecil apapun itu. Setiap kali memiliki pemikiran, ide, masalah ataupun kepentingan, hendaknya kita menceritakan semuanya kepada pasangan. Bercerita tentang semua hal tidak akan menjadi masalah bagi kita dan pasangan, justru itulah yang seharusnya dilakukan dan dibutuhkan. Bahkan di dalam Islam, pasangan itu ibarat pakaian kita, dan sebaliknya kita adalah pakaian bagi pasangan kita. Sehingga setiap detail tentang tubuh dan hidup kita sudah sepantasnya diketahui oleh pasangan.

Mungkin ada orang yang enggan menceritakan beberapa hal ke pasangannya karena pertimbangan tertentu. Misalnya, mereka berfikir bahwa ada urusan tertentu yang hanya mereka tahu atau percuma jika urusan itu diceritakan kepada pasangan. Toh pasangan juga tidak akan tahu atau bahkan tidak bisa memberikan solusi. Menurut saya pandangan seperti ini salah. Justru ketika kita menceritakan semua urusan kita kepada pasangan, pasangan bisa merasa dihargai perannya. Tidak peduli apakah dia paham atau tidak.

Hendaknya pasangan juga jangan enggan mendengarkan cerita kita ketika tidak memahaminya atau tidak dapat memberikan solusi akan masalah yang mungkin ada. Bisa dibayangkan, jika salah satu tidak peduli dengan cerita pasangannya, selain yang lain akan merasa kecewa, dia juga tidak akan mempunyai tempat untuk bercerita. Coba dibayangkan. Siapa lagi tempat kita bercerita tentang semua hal (curhat), selain kepada pasangan kita.  Jangan sampai karena pasangan tidak mau mendengarkan kita, kemudian kita mencari tempat lain untuk bercerita. Itu bisa sangat berbahaya. Sehingga walaupun tidak tahu akan permasalahan yang diceritakan oleh pasangan, hendaknya kita tetap antusias memperhatikan meskipun hanya sekedar mendengar.

Pada dasarnya setiap orang itu memiliki ego atau keinginan dan hasrat untuk kebahagiaan hidupnya sendiri. Akan tetapi ketika orang itu sudah memutuskan untuk menikah dan membangun rumah tangga baru, maka ego pribadi itu harus disatukan dengan pasangannya. Melawan ego pribadi memang pastinya tidak mudah. Tapi menurut saya ego itu bisa diubah bentuknya menjadi ego bersama. Nah, untuk membentuk dan menyatukan ego bersama dengan pasangan, diperlukan pemahaman bersama akan pernikahan seperti 4 (empat) poin yang saya sebutkan diatas.

Jika disimpulkan, kunci dari semua permasalahan dalam rumah tangga adalah kesamaan visi, kepekaan, keterbukaan dan komunikasi dari masing-masing pasangan. Tentu saja semua disesuaikan dengan kondisi dan peran kita masing-masing dalam keluarga kita: sebagai suami atau istri, anak atau menantu, dan karir atau rumah tangga. Terimakasih telah membaca artikel ini. Semoga bermanfaat.



Semarang, 14 Juni 2019






Minggu, 14 April 2019

Being a Teacher (Bagian 13) - Serangkaian Refleksi

https://cambridgeinternationalschool.co.uk/
Mengajar di Sekolah Elit (Bagian 1)

*Aziza Restu Febrianto

Setelah dinyatakan lulus pendidikan PPG, saya kemudian diwisuda. Proses wisuda ini dilaksanakan bersamaan dengan wisuda jenjang studi S1 dan S2 tepatnya di Auditorium kampus UNNES Semarang. Kali ini saya mengalami wisuda untuk yang kedua kalinya, walaupun belum pernah mengambil pendidikan S2 pada waktu itu. Ketika menjalani prosesi wisuda, biasanya ada dua hal berbeda yang dirasakan oleh kebanyakan peserta, yaitu perasaan bahagia karena telah menyelesaikan studi dan kekhawatiran akan karir di masa depan yang tidak pasti. Namun kondisi ini sama sekali tidak berlaku bagi saya. Saya hanya percaya bahwa selama ini saya sudah melakukan apapun yang terbaik, sehingga saya yakin akan mendapatkan yang terbaik pula di masa yang akan datang kelak.

Ketika mengikuti upacara wisuda S1 dulu, saya juga tidak terlalu merasa takut dan khawatir. Saya meyakini bahwa apa yang selama ini saya kerjakan semasa kuliah pasti akan memberikan dampak di masa depan. Selama kuliah S1, saya sangat aktif mengikuti kegiatan ekstra maupun menjadi pengurus organisasi internal kampus. Setelah lulus, saya akhirnya bisa bekerja sebagai guru di sekolah dan pernah menjadi pegawai kantoran selama dua tahun. Dengan semua pengalaman ini, saya akhirnya lolos seleksi untuk mengajar di daerah 3T serta memperoleh gelar guru profesional setelah menyelesaikan kuliah PPG. Semua proses hidup yang saya lalui dan segala pengalaman yang saya miliki selama kuliah S1 dan dunia kerja inilah yang akhirnya kelak membantu saya mendapatkan beasiswa S2 di Inggris. Alhamdulillah.

Beberapa hari menjelang wisuda PPG, saya mendapatkan informasi lowongan guru di sebuah sekolah internasional di Semarang. Sebagai seorang lulusan PPG dengan sertifikat guru profesional di tangan, saya tentu sangat tertarik untuk mendaftar. Yang paling membuat saya tertarik dan penasaran dengan sekolah itu adalah kurikulumnya yang menggunakan Cambridge International School. Dengan kurikulum itu, sekolah bisa menyelenggarakan tes International Generate Certificate of Secondary Education (IGCSE) dan A level bagi siswa yang ingin mengambil kuliah S1 di luar negeri. Tanpa menunggu lama, saya segera menyiapkan surat lamaran dan langsung mendaftar. Selang satu minggu kemudian, saya mendapatkan informasi melalui telepon bahwa surat lamaran yang saya ajukan diterima, dan saya diminta untuk mengikuti wawancara. Bahagia sekali rasanya. Sayapun langsung bergegas mengambil kesempatan itu dan datang ke sekolah sesuai dengan waktu yang telah disepakati. 

Ketika pertama kalinya masuk gerbang sekolah, saya melihat papan sekolah yang cukup besar bertuliskan nama sekolah dan logo Cambridge International Examinations (CIE) sebagai lembaga penyedia tes IGCSE dan A level resmi. Saya kemudian memasuki ruang lobi dan bertemu dengan seorang penerima tamu. Tentu saja penerima tamu itu langsung bertanya kepada saya dan uniknya, dengan menggunakan Bahasa Inggris. Saya menjelaskan bahwa saya adalah seorang kandidat guru yang akan mengikuti seleksi wawancara. "Oh, what will you teach?" Tanyanya lagi. "English." Jawabku. "Oh, English," begitulah respon dia dengan pelafalan yang sempurna layaknya native speaker atau penutur asli.

Sekolah yang saya lamar ini tergolong kecil untuk ukuran sekolah dengan semua jenjang pendidikan yang dimiliki. Tapi kondisinya bersih dan tertata. Menurut saya, semua fasilitasnya cukup lengkap. Ketika memasuki ruang tengah, mata saya langsung tertuju pada foto yang terpajang di dinding. Ternyata pemilik sekolah ini adalah seorang bule. Setelah saya tanyakan foto itu kepada penerima tamu, ternyata bule itu berasal dari Inggris. Tepatnya kota Manchester. Sayapun kemudian semakin penasaran dengan sekolah ini dan sangat antusias sekali untuk mengikuti seleksi wawancara.

Beberapa menit kemudian, saya dipersilahkan masuk ke ruang meeting dan wawancara pun langsung dimulai. Saya kaget. Ternyata yang mewawancarai saya adalah seorang bule juga. Namanya Kerry Newman, seorang guru senior berasal dari Kanada. "Lumayan nih..sekalian bisa ngetes kemampuan Bahasa Inggrisku" pikirku dalam hati waktu itu. Singkat cerita, Alhamdulillah, wawancara berjalan dengan sangat lancar. Saya bisa menjawab semua pertanyaan dengan cukup lancar dalam Bahasa Inggris. Ada satu kalimat yang paling saya ingat dari Kerry tentang kesan dia terhadap saya pada waktu wawancara berlangsung, dan memang itulah yang menjadi momen penanda bahwa saya kelak akan diterima di sekolah itu tanpa proses lebih lanjut lagi. Dia mengatakan kepada kepala sekolah, yang waktu itu sedang duduk di sebelahnya, "I think we've found someone we've been looking for." 

Sayapun akhirnya secara cepat diterima menjadi guru di sekolah internasional itu dan langsung mengajar untuk beberapa kelas. Saya sebenarnya sangat menikmati segala aktivitas mengajar di sekolah ini karena semua pengalaman yang saya dapatkan dan teman-teman guru yang baik. Walaupun gak semua baik sih...hehe. Pada awalnya saya berencana akan mengajar di sekolah ini mungkin skitar dua tahunan, tapi ternyata karena suatu masalah, saya harus  mempercepat masa kerja saya dan segera mengundurkan diri dari sekolah, yang awalnya saya anggap keren itu. 


Fielftrip bersama siswa kelas 7 di Museum Batik Danar Hadi, Surakarta
Rafting bersama siswa kelas 12 ketika Fieldtrip di Bali

Minggu, 24 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 12) - Serangkaian Refleksi

Saya, foto bersama teman-teman sekelas PPG
Ujian Tulis Nasional (UTN): Drama kelulusan PPG

*Aziza Restu Febrianto

Di ujung masa kuliah PPG, semua peserta diwajibkan untuk mengikuti ujian tulis sebagai persyaratan paling utama untuk lulus dan mendapatkan sertifikat pendidik profesional dari UNNES yang disahkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi. Ujian tulis ini dibagi menjadi dua, yaitu ujian tulis lembaga dan ujian tulis nasional.

Ujian tulis yang pertama atau ujian tulis lembaga dilakukan di kelas dan bentuknya sangat sederhana. Setiap peserta PPG diberikan 10 soal dan harus memberikan jawaban dalam bentuk uraian berbahasa Inggris di kertas. Materi yang diujikan tidak jauh dari bidang profesi dan pekerjaan, yaitu bidang pendidikan dan keguruan yang selama ini kita tekuni. Namun, yang membedakan adalah kita harus menjawab semua soal dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah, saya tidak mengalami masalah sedikitpun dalam ujian ini atau dengan kata lain lulus dengan sempurna. Namun, saya merasa heran bahwa ternyata dari semua peserta (23 orang) dalam satu jurusan, hanya 4 orang. Jadi saya adalah 1 diantara 3 orang lain yang lulus.

Setelah ujian tulis yang pertama selesai, saya harus mengikuti ujian tulis yang kedua. Ujian tulis yang kedua ini biasa dikenal dengan Ujian Tulis Nasional (UTN). Ujian ini diselenggarakan secara online dengan server yang berpusat di Jakarta. Bagi saya, UTN adalah ujian tertulis online pertama yang tentu saja harus saya persiapkan dengan sungguh-sungguh. Meskipun materi yang diujikan dalam UTN adalah bidang yang saya tekuni, yaitu Bahasa Inggris, kebiasaan dan keterampilan mengerjakan soal melalui komputer juga menjadi tantangan tersendiri bagi saya.

Saya mempunyai kenangan yang tak terlupakan saat mengikuti UTN ini. Saat itu saya tidak membayangkan bahwa soal yang diujikan dalam UTN ternyata sangat luar biasa susahnya. Materi yang diujikan itu berkaitan dengan High Order Thinking Skill (HOTS) dan banyak diambil dari surat kabar dan majalah internasional. Saya sangat tahu betuh darimana materi itu diambil karena saya pernah membaca sebuah majalah online dan menemukan sebuah artikel yang sama persis dengan materi pada soal UTN yang saya kerjakan. Bentuk pertanyaan dalam soal adalah pilihan ganda dengan jumlah total 100 buah. Namun, hampir semua soal dan pilihan jawabannya itu diseleksi dengan sangat teliti dan ketat sesuai dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Namanya saja soal HOTS, sehingga untuk mengerjakan setiap soalnya, dibutuhkan waktu yang cukup.

Setelah mengikuti UTN, semua peserta harus menunggu sekitar satu minggu untuk mengetahui hasilnya. Saya pada awalnya memang sudah mempunyai firasat bahwa saya mungkin saja tidak akan lulus UTN. Semua pertanyaan yang saya kerjakan saat itu benar-benar membuat saya harus berfikir keras. Sungguh saya belum pernah mengerjakan soal sesulit itu sebelumnya. Saya akui tingkat kesulitan soal UTN bisa dikatakan melebihi soal Reading di TOEFL ataupun IELTS.

Firasat saya ternyata benar adanya. Saya tidak lulus bersama mayoritas teman saya di kelas. Waktu itu hanya 3 orang yang lulus. Saya cukup sedih karena saya harus belajar dan berlatih lagi untuk mengambil ujian ulang. Mengetahui ketidaklulusan saya di UTN, tidak sedikit teman-teman dari jurusan lain yang menyindir saya. Dan saya sangat sakit hati oleh sindiran itu, hingga terkenang sampai sekarang. Kira-kira beginilah sindiran mereka, “Masa Profesor TOEFL kok gak lulus UTN...haha.” Sewaktu PPG, saya memang dikenal dengan julukan Profesor TOEFL karena saya terbiasa mengajar les atau kelompok ketika tidak ada kegiatan asrama di malam hari. Sehingga saya merasa malu sekali waktu itu.

Karena rasa malu itu, saya kemudian bekerja lebih keras lagi untuk mempersiapkan ujian ulang ke-2. Saya banyak mencari materi di internet dan mencoba membuat soal-soal yang paling sulit. Alhamdulillah, usaha saya tidak sia-sia. Akhirnya saya lulus walaupun nilainya tidak seberapa. Namun diantara teman sekelas yang mengambil ujian ulang, masih ada 5 orang yang tidak lulus saat itu. Menurut saya, soal yang diujikan dalam UTN memang benar-benar susah sekali. Sejak saat itu saya berkesimpulan bahwa PPG memang merupakan sebuah program yang luar biasa dan ideal untuk menggembleng para peserta menjadi guru yang profesional. Ujian kelulusannya saja susahnya bukan main.


PPG ini akhirnya membuat saya melakukan refleksi diri bahwa setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Saya misalnya, memang bisa dikatakan sangat baik dan terampil dalam menulis atau membuat uraian terutama dalam Bahasa Inggris, namun saya ternyata juga memiliki kelemahan di bidang yang lain, yaitu keterampilan membaca (Reading), yang dibuktikan dengan kegagalan saya pada saat mengikuti UTN pertama. Menurut saya, memahami akan kelebihan dan kekurangan diri itu sangat penting untuk kehidupan saya kelak di masa yang akan datang. 

Bersambung.... (Bagian 13)

Selasa, 19 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 11) - Serangkaian Refleksi

Saya, foto bersama dengan peserta PPL lainnya di SMKN 2 Semarang
Mengikuti PPL ...Lagi?

*Aziza Restu Febrianto

Salah satu komponen yang paling penting dalam pendidikan keguruan adalah Pengalaman Praktik Lapangan (PPL). Begitupula dengan PPG yang mana PPL merupakan sebuah bagian integral, bahkan variasi kegiatan dan masa durasinya jauh lebih lama dibandingkan PPL pada pendidikan S1. PPL dalam program PPG berlangsung selama kurang lebih 4 bulan atau dua kali PPL di kuliah pendidikan S1. Seperti biasa, PPL diawali dengan observasi lingkungan sekolah beserta perangkat dan programnya. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan semua perangkat pembelajaran seperti kurikulum, silabus, materi, RPP dan  semua perlengkapan lainnya dengan didampingi oleh dosen pembimbing dan guru pamong. Pendampingan ini bertujuan untuk penyusunan perangkat yang harus disesuaikan dengan kondisi siswa di sekolah tersebut. Jika semua perangkat sudah dipersiapkan, baru semua peserta PPG dipersilahkan untuk mengajar di kelas-kelas yang telah ditentukan.

Pada waktu itu saya ditempatkan di SMKN 2 Semarang (dulunya SMEA) dimana mayoritas siswanya adalah perempuan. Kelas dibagi menjadi 3 macam jurusan, sesuai dengan pilihan siswa. Saya mendapatkan kesempatan mengajar di kelas jurusan Pemasaran, yang terkenal dengan keramaian dan kebandelan siswanya. Guru pamong tentu saja menceritakan semua tentang kelas itu kepada saya sebelum saya mulai mengajar. Saya jadi teringat waktu PPL S1 dulu yang mana saya juga mendapatkan jatah mengajar di kelas yang bandel (IPS), walaupun saya sendiri waktu SMA dulu juga anak IPS...haha. Tapi karena sudah terbiasa dengan mengajar siswa bandel, saya malah menjadi banyak belajar tentang mengajar di sekolah menengah.

Saya sempat bergumam dalam hati, “Untung saya sudah sering mengajar siswa bandel di kelas selama ini, bahkan siswa yang sangat rendah motivasinya di NTT sana. So, saya siap dengan tantangan ini!” Setelah masuk di kelas, saya memang menemukan banyak diantara siswa yang cerewet atau dalam bahasa jawa dikenal dengan sebutan “cewawakan”. Namun, hampir semua siswa adalah perempuan dan di kebanyakan kelas, hanya terdapat 2 atau 3 orang laki-laki. Sehingga saya merasa tidak begitu kualahan mengatur mereka. Tapi walaupun mereka masih bisa diatur, saya tetap tidak yakin mereka benar-benar bisa menangkap materi yang saya sampaikan. Rata-rata siswa yang saya ajar di kelas itu tidak memiliki latar belakang kompetensi Bahasa Inggris yang bagus. Motivasi mereka dalam belajar Bahasa asing ini juga tidak terlalu tinggi. Mereka juga kebanyakan tidak begitu memiliki cita-cita akademis yang tinggi. Menurut mereka yang penting setelah lulus sekolah, mereka bisa bekerja di bagian marketing perusahaan. Begitu saja sudah cukup.

Saya tidak tahu atas pertimbangan apa, waktu itu saya ditunjuk sebagai koordinator PPL. Sebagai konsekuensi, saya harus selalu bisa mewakili teman-teman lain untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak di sekolah seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan beberapa guru lain untuk segala urusan penting di sekolah. Saya juga harus mengikuti rapat koordinasi antara pihak kampus penyelenggara PPG dengan sekolah tempat PPL. Kesibukan ini akhirnya berdampak pada jadwal mengajar saya. Seringkali tugas mengajar itu saya limpahkan ke teman PPL lain. Sungguh sangat kebetulan, dosen pembimbing dari UNNES adalah seorang dosen yang sudah mengenal saya dengan baik. Memang sudah menjadi takdir Tuhan, beliau jugalah yang dulu membimbing saya ketika PPL pendidikan S1. Sehingga walaupun saya sering meninggalkan tugas mengajar, semuanya tetap berjalan dengan lancar.

Sebagai seorang koordinator, saya juga sering diminta memberikan sambutan di beberapa acara yang melibatkan mahasiswa PPL. Saya bahkan pernah ditunjuk sebagai khotib sholat jum’at di masjid sekolah. Karena kebiasaan organisasi, mengajar dan berbicara di depan umum selama kuliah S1 dulu, saya sama sekali tidak mempunyai masalah dengan semua tugas itu. Bahkan saya sangat senang menjalaninya. Bagi saya Public speaking itu adalah bagian yang paling penting dan integral dalam dunia mengajar.

Dalam PPL PPG, semua peserta diwajibkan untuk membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yang memang sudah menjadi salah satu tugas seorang guru di sekolah. Menurut aturan yang saya baca, PTK ini secara signifikan bisa membantu guru meningkatkan karir mereka dan bahkan bisa mengajukan sertifikasi guru. Dengan pembuatan PTK, guru diharapkan mampu membuat sebuah karya ilmiah yang hasilnya bisa sangat berguna bagi kebijakan pendidikan Alasan itu sangat masuk akal karena merekalah yang secara langsung mengetahui dan memahami permasalahan di kelas. Pembuatan PTK inilah yang menjadi salah satu pembeda antara PPL PPG dengan PPL S1. Saya masih ingat bahwa hasil karya PTK ini akhirnya saya jadikan sebuah paper untuk dipresentasikan di sebuah konferensi internasional pendidikan Bahasa Inggris di Semarang.

Nilai PPL PPG tidak hanya ditentukan oleh laporan selama kegiatan di sekolah saja, tapi juga dari beberapa komponen seperti ujian kinerja mengajar selama 3 kali, PTK dan laporan PPL. Semua komponen inilah yang juga membedakan antara PPL PPG dengan PPL S1, yang nilainya hanya ditentukan oleh laporan PPL dan praktik mengajar saja. Selain mengajar, membuat PTK dan laporan PPL, kita juga diharapkan bisa ikut membantu memperlancar atau menaktifkan kegiatan Pramuka di sekolah karena semua peserta PPG juga mendapatkan pembekalan Pramuka seperti Kursus Orientasi Lengkap (KOL), Kursus Menengah Dasar (KMD) dan Kursus Menengah Lanjutan (KML) di kampus. Pokoknya lengkap deh. Jadi lulusan PPG ini kelak diharapkan bisa menjadi guru yang juga mampu membina semua kegiatan pramuka di sekolah tempat mereka bekerja.

Sebagai penilaian akhir PPL, semua peserta diwajibkan untuk mengikuti Ujian Kinerja Guru (UKG) atau penilaian mengajar di kelas selama 3 kali. Dengan dilaksanakannya UKG selama 3 kali ini, para peserta sebagai calon guru profesional dapat melakukan refleksi dan evaluasi diri. Pada setiap UKG, ada 3 orang yang menguji, yaitu dosen pembimbing, guru pamong dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Seperti peserta PPG lainnya, saya tentu merasakan grogi ketika akan mengikuti UKG meskipun saya sudah terbiasa dengan public speaking dan mengajar. Sayapun menyiapkan UKG dengan semaksimal mungkin. Semua perangkat, materi dan media pembelajaran harus saya siapkan semenarik mungkin. Saya masih ingat, ketika mengikuti UKG tahap terakhir, saya mengajar Recount Text (Kurikulum KTSP) di kelas 10 jurusan pemasaran. 

Setelah praktik mengajar dalam rangka UKG, tentu saja para penilai diberikan kesempatan untuk memberikan komentar. Beginilah komentar yang disampaikan oleh guru pamong dan wakil kepala sekolah waktu itu,

“Sudah bagus mengajarnya mas, hanya saja mas perlu jalan-jalan ke belakang, memastikan bahwa siswa yang duduk di belakang itu paham.” Kata guru pamong. Sedangkan wakil kepala sekolah bidang kurikulum menyampaikan, “Ya memang sudah bagus sih, hanya saja tolong kalau berbicara Bahasa Inggris jangan terlalu cepat. Anak-anak nanti bingung mas.”
Karena dosen pembimbing saya sudah mengenal dan mengerti cara mengajar saya seperti apa, beliau meng-iyakan saja apa yang disampaikan oleh penguji lainnya. 

Rabu, 13 Maret 2019

Being a Teacher (Bagian 10) - Serangkaian Refleksi


Menjadi Peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG)

*Aziza Restu Febrianto

Setahun cepat sekali berlalu. Ilmu dan pengalaman telah cukup saya dapatkan di tanah rantauan selama program SM-3T, yang memang berlangsung hanya satu tahun. Itu artinya Saya dan peserta lainnya harus siap dipulangkan kembali ke tanah Jawa. Sebagai reward atau penghargaan atas tugas yang telah kita laksanakan selama satu tahun itu, pemerintah memberikan beasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) kepada semua peserta untuk jangka waktu satu tahun pula. Waktu itu saya mengikuti PPG di almamater saya, UNNES, sehingga saya harus kembali ke Semarang. Menurut subjektif saya, secara keseluruhan, PPG merupakan sebuah program yang sangat luar biasa dan ideal untuk melatih, mendidik dan menggembleng para calon guru untuk menjadi profesional. PPG jugalah yang akhirnya membuat saya membuka mata dan jatuh cinta pada dunia pendidikan yang kemudian saya tekuni hingga sekarang.

PPG ini mengingatkan saya pada sebuah program pendidikan guru di Inggris bernama Postgraduate Certificate in Education (PGCE/PGCertEd) yang durasinya juga satu tahun. Siapa saja yang mengambil dan menyelesaikan pendidikan ini akan berpeluang besar untuk menjadi guru. Secara esensi, memang ada kesamaan antara PPG dan PGCE. Namun, secara teknis, kedua program itu tentu saja memiliki banyak perbedaan. Informasi lebih lanjut mengenai PGCE bisa dilihat di laman ini https://www.prospects.ac.uk/. PPG sebenarnya juga merupakan program perbaikan dari jenis pendidikan yang ada sebelumnya, yaitu pendidikan Akta 4. Namun, setelah melalui rangkaian evaluasi dan dikeluarkannya undang-undang  profesi guru dan dosen, pendidikan Akta 4 ini kemudian dihapus dan digantikan oleh PPG.  

Selama PPG, semua peserta (alumni SM-3T) diwajibkan untuk tinggal di asrama. Semua peserta juga diharuskan untuk mengikuti berbagai macam kegiatan pengembangan diri di asrama. Perkuliahan dilaksanakan setiap hari senin sampai dengan sabtu di kampus mulai dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 17.00. Sungguh luar biasa padatnya jadwal PPG itu, sehingga kita harus mengosongkan semua agenda yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Pada hari minggupun kita juga harus mengikuti kegiatan olahraga dan kreativitas kesenian. Kita dilarang meninggalkan asrama kecuali atas ijin dari lurah asrama. Itu saja kalau memang ada keperluan penting. Yang jelas PPG itu adalah sebuah program yang sangat padat sekali. Semua peserta diwajibkan untuk berada di lingkungan kampus dan asrama selama 24 jam setiap hari dalam jangka waktu satu tahun.

Dalam pelaksanaannya, PPG dibagi menjadi dua sesi. Sesi yang pertama adalah kegiatan perkuliahan seperti biasa, yaitu semua peserta harus mengikuti perkuliahan di kampus dari pagi hingga sore hari, diajar dan didampingi oleh beberapa dosen. Sedangkan sesi yang kedua adalah PPL seperti halnya yang pernah saya dapatkan ketika masih kuliah S1 dulu. Hanya saja PPL pada saat PPG sangatlah berbeda baik dari sisi durasi maupun variasi kegiatannya. Pada kegiatan pertama di kampus, yang kita lakukan adalah membedah semua kurikulum dan silabus SMP dan SMA/ MA/ SMK. Tapi untuk melakukannya, kita dibagi menjadi beberapa tim agar semua perangkat itu bisa dikerjakan dengan diskusi kelompok untuk semua jenjang dalam waktu yang terbatas. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan materi pembelajaran yang diakhiri dengan memilih salah satu materi untuk digunakan dalam membuat Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP).

Ketika semua komponen kurikulum dan silabus telah dibedah, materi sudah dipersiapkan dan RPP juga sudah dibuat, kegiatan selanjutnya yaitu kita harus mempersiapkan praktik mengajar di kelas atau yang biasa dikenal dengan Peer teaching. Dengan semua perangkat dan perlengkapan pembelajaran yang sudah kita siapkan, kita harus melakukan praktik mengajar didepan teman sekelas atau kolega kita. Praktik mengajar ini tentu saja dilakukan secara bergiliran dengan diperhatikan dan dievaluasi oleh dosen. Terkadang kegiatan perkuliahan termauk Peer teaching ini juga dihadiri oleh seorang guru senior yang terkenal berprestasi, baik dari SMP, SMA maupun SMK. Para dosen, guru sekolah yang diundang serta semua peserta PPG diberikan kesempatan untuk memberikan masukan kepada setiap dari kita yang tampil. Saya masih cukup ingat beberapa masukan dari dosen, guru sekolah maupun teman sekelas ketika saya mendapatkan giliran Peer teaching.

Beberapa kolega atau teman kelas tampaknya memiliki pendapat yang sama dengan para dosen dan guru sekolah ketika melihat saya mengajar di kelas. Mereka mengatakan,

“Mas, keterampilan Bahasa Inggris anda sudah bagus. Tapi ketika menjelaskan materi, anda terlalu cepat. Ingat yang anda ajar ini adalah anak SMP.” Saking antusiasnya mengajar, saya memang terkadang tidak menyadari bahwa konteks latar belakang siswa yang saya ajar adalah SMP, yang tentu saja baru belajar Bahasa Inggris pada tingkat dasar. Mungkin kondisi Peer teaching yang mana siswanya merupakan kolega saya sendiri ini sangat mempengaruhi bagaimana saya mengajar.
Bahkan dua orang teman saya juga sempat berkata kepada saya, “Mas Restu jadi dosen saja. Lebih cocok.” Masukan lainnya yang saya terima dari peserta PPG lain adalah yang berkaitan dengan manajemen waktu, “Tadi itu mas seharusnya jangan terlalu banyak dan terlalu lama di pembukaan mengajar atau penyampaian apersepsinya, sehingga waktu untuk kegiatan inti jadi berkurang. ”

Begitulah kira-kira feedback yang diberikan oleh para kolega, dosen dan guru sekolah. Meunurut saya kegiatan seperti ini itu luar biasa. Peserta calon guru diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk membedah materi, mempersiapkan RPP dan melakukan praktik mengajar di kelas dengan berbagai masukan dari orang lain yang tentu membuat mereka semakin memperbaiki diri melalui evaluasi dan refleksi. Dan kegiatan semacam ini kita lakukan setiap hari hingga mendekati waktu PPL tiba. Sungguh luar biasa, walaupun saya juga berfikir bahwa semua pelatihan dalam perkuliahan ini belum tentu akan benar-benar bisa diterapkan sempurna di kelas yang sebenarnya karena pertimbangan pengalaman mengajar peserta yang cukup lama di sekolah.  Kita benar-benar paham betul betapa tentatifnya kondisi siswa di ruang kelas yang nyata. 

Bersambung.....(Bagian 11)